"Tiap kali dia sakit atau terluka bahkan sampai mengeluarkan darah, dia selalu marah ke aku. Aku bingung. Padahal niatku mau bantu atau ngobatin lukanya. Tapi dia nolak dengan kasar bahkan sambil marah-marah." ucapku.
Rhena menggaruk kecil dagunya seraya berpikir.
"Mestinya enggak sampai marah-marah gitu. Tapi emang bagi sebagian orang mungkin itu mengganggu." ucapnya.
"Terus menurutmu aku harus diemin aja gitu dia terluka?" tanyaku heran.
"Ya mungkin, itu mengganggu buat dia." ucapnya. Aku memanggut lirih.
"Tapi dengan catatan, dia enggak suka marah-marah lagi dalam urusan lain. Dia cuma marah-marah pas kamu berniat ngobatin luka dia doang kan?" tanyanya.
"Enggak, dia juga marah kalo aku buka chatnya. Bahkan chatnya segala pakai pin loh, verifikasi dua langkah gitu." ucapku.
"Hmm, kayaknya mencurigakan banget. Tapi apa sebelumnya enggak pernah pakai pin? Baru setelah kalian menikah ini?" tanyanya.
"Iya, bener. Baru kali ini, setelah menikah." ucapku.
"Dan disaat yang sama pula, dia enggak mau berhubungan badan sama lo. Itu mencurigakan banget, apalagi alasannya cuma karena sakit. Itu enggak bisa dijadiin alesan. Ya, itu memang kebutuhan wajib seorang suami istri." ucapnya.
"Tapi sebelumnya juga dia bilang enggak mau punya anak. Katanya punya anak itu banyak pengeluaran, banyak biaya yang harus ditanggung, belum nanti kalo ada permasalahan atau biaya perlengkapannya, atau ini dan itu. Aku tahu sih emang yang dikatakan dia benar. Aku jadi... enggak mengelak saat itu." ucapku.
"Tunggu, ini aneh loh... emang sebelum melakukan pernikahan, kalian pakai surat perjanjian pra nikah? Kayak ada peraturan enggak mau berhubungan badan satu sama lain atau enggak mau punya anak dalam beberapa waktu tertentu?" tanyanya.
"Mana mungkin, enggak ada gitu-gituan. Kita menikah ya nikah... buat melaksanakan kewajiban. Enggak ada aturan ini dan itu." ucapku.
"Dan semua berubah setelah kalian menikah?" tanyanya.
"Iya."
"Ya aneh jatohnya... mencurigakan bagi gue. Semua perubahan terjadi dalam sebulan ini lagi." ucapnya. Aku semakin khawatir.
"Menurutmu gimana?" tanyaku.
"Yang jadi poin meresahkan adalah ada chat yang pakai pin. Aneh. Gue curiga dia..." ucapnya menjeda.
"Dia ada yang disembunyiin, bahkan gue rasa dia punya selingkuhan." ucapnya, kedua mataku melebar sesaat.
Aku merasa sangat cemas. Ia kembali meneruskan perkataannya.
"Dia udah ngerasa gak nyaman menjalani hidup selama sebulan sama kamu, menurut dia kamu enggak sesuai yang dia harapin mungkin.. lalu dia berpaling sama orang yang mengerti dia seluruhnya dan yang sesuai sama harapan dia." ucapnya.
Aku merasa sangat takut. Masa sih seperti itu? Kok aku jadi... makin galau ya?
Huftt..
"Terus aku harus gimana?" tanyaku lirih.
"Pantau dia, ya minimal kamu tahu pin chatnya dia. Minta kasih tahu apa pinnya. Terus sering-sering pergi ke kantornya, ya kalo dia nanya bilang aja mau nganterin bekal makanan atau liat keadaan dia yang lagi sakit. Nah saat di kantor, kamu awasi pergerakan dia, kemana dia pergi di jam-jam sekian, atau dia keluar dari kantor, cari tahu kemana tujuannya." ucapnya.
Aku terdiam menatapnya.
Apakah aku harus menjalani semua sarannya ya?
Esok harinya aku pun mau tak mau mengikuti beberapa saran Rhena. Pertama hal yang kulakukan adalah meminta pin chatnya, akan tetapi Mas Indra justru berdalih seperti ini.
"Buat apa? Memang menurut kamu apa yang aku sembunyikan dari kamu? Kamu dengan sangat konyolnya menganggap aku berselingkuh gitu? Kepercayaan kamu sama aku ternyata secetek itu loh, heran." ucapnya.
Aku hanya bisa menghela nafas setelahnya. Sepertinya aku salah lagi. Jadi tidak yakin untuk melanjutkan penyelidikanku selanjutnya.
Tapi beberapa hari setelahnya semua hal semakin membuatku penasaran. Rhena juga terus memojokkanku untuk segera melanjutkan penyelidikanku.
Hingga pada akhirnya aku pun terpaksa melakukan penyelidikan. Aku mendatangi kantor Mas Indra dengan alasan membawakan bekal makanan untuknya.
Tapi saat itu setelah kutanyakan pada resepsionis untuk menghubunginya, dikatakan Mas Indra sedang bertemu dengan kliennya di sebuah restoran sebelah kantor.
Kok sampai ke restoran ya ketemuannya? Apakah mungkin... dia...
Selingkuhan Mas Indra?!
Aku yang cemas pun segera menyusul Mas Indra ke restoran sebelah kantor. Saat itu, kepalaku penuh dengan pikiran negatif. Beberapa perkataan Rhena seperti melayang lagi di kepala dan membuatku khawatir bukan kepalang.
Apa cerita di dalam televisi benar-benar terjadi dalam hidupku? Dimana pemeran utama laki-laki berselingkuh dengan kliennya dan ketahuan sedang bermesraan di sebuah restoran?
Ini persis sekali dengan adegan itu!
Aku berjalan cepat menuju restoran hingga kedua mataku mendapati Mas Indra dan seorang wanita sedang berbicara empat mata saat itu.
Bahkan mereka terlihat sangat akrab membahas sesuatu diselingi dengan canda tawa.
Aku kesal, dengan sergap aku pun jalan mendekati Mas Indra dan menatapnya tajam. Mas Indra tentu terkejut saat melihatku tiba-tiba datang seperti itu.
"Loh, kamu kok--"
"Kamu selingkuh dibelakangku kan Mas?!" tandasku.
Ia mengernyit heran menatapku dan berbalik menatap wanita didepannya tidak enak. Sepertinya ia begitu menghormati kliennya ini. Benar-benar menyebalkan.
Ia pun langsung menarik tanganku dan mengajakku berjalan agak jauh dari sana.
"Kamu gila apa? Ngapain kamu kesini?!" tanyanya heran.
"Aku enggak nyangka Mas, ternyata kamu selingkuh dibelakangku sama wanita itu. Hanya karena aku enggak sesuai yang kamu harapkan, terus kamu berniat menduakanku Mas?!" tandasku dengan mata berkaca-kaca.
Mas Indra justru menolak tegas hal itu. "Kamu dapat pikiran kayak gitu dari mana sih?! Drakor? Sinetron? Omongan tetangga? Aku kan disini lagi kerja, membahas kerjaan disini. Emang menurut kamu aku ngapain?!" tandasnya
"Lalu kenapa harus di restoran?! Kan bisa di lobby kantor atau masih di dalam kantor. Kenapa di restoran?!" tandasku.
"Ya karena itu dia yang mau, karena dia belum makan katanya. Lagian juga restoran ini kan masih disebelah kantor. Enggak jauh." dalihnya.
"Bohong Mas, aku yakin kamu melancarkan beberapa cara untuk mendekati wanita itu, bahkan tadi kamu sampai ketawa-ketiwi sama dia, padahal kalian kan cuma klien!" ucapku.
Mas Indra mengusap wajahnya menahan kesal.
"Kamu ini susah banget sih dibilangin, harus berapa kali aku bilang. Aku enggak selingkuh! Kenapa sih kamu sensitif banget belakangan ini!" tandasnya.
"Aku? Sensitif? Bukannya itu kamu?! Kamu yang berubah kasar belakangan ini sama aku, segala pakai pin chat, aku tiba-tiba enggak boleh ngelakuin ini dan itu. Bahkan kamu... kamu enggak mau menyentuhku Mas! Padahal itu sudah kewajiban kita sebagai suami istri. Sekalipun kamu sakit, itu tidak menjadi alasan. Lalu, sebelum menikah pun kamu sangat ingin memiliki anak denganku. Tapi setelah menikah kamu malah acuh dengan hal itu bahkan selalu marah disaat aku membahas hal itu. Aku tahu semua maksud kamu itu pasti mengarah kesini!" tandasku. Ia kembali mengusap wajahnya, menahan kesabaran.
"Enggak, kamu salah! Kita memang cuma sebatas klien, enggak lebih!" jelasnya. Aku tidak percaya.
"Ya terus apa alasan konkretnya kamu melakukan semua keanehan itu selain selingkuh?!" tandasku. Ia terlihat seperti menahan sebuah rahasia, yang tidak ingin ia ungkapkan padaku.
"Enggak bisa.. aku enggak bisa jelasin." ucapnya ragu.
"Kenapa?!" tanyaku.
"Aku takut kamu ilfeel sama aku!" jawabnya. Aku meremehkannya, bahkan terlintas sebuah pemikiran buruk dikepalaku.
"Oh... atau kamu menghamili dia kan Mas? Jangan-jangan kamu sudah memiliki anak dibelakangku, terus kamu berupaya menyembunyikan semua itu sendirian, supaya aku enggak ilfeel, gitu?!" tandasku.
Ia kembali mengusap wajahnya.
Aku mengangguk dan segera melepas cincin pernikahanku lalu mengembalikannya ke tangan Mas Indra.
"Kalo dalam pernikahan enggak ada yang dinamakan kejujuran dan kepercayaan. Lalu...buat apa bertahan?" tanyaku tersenyum lirih seraya pergi meninggalkannya saat itu juga.
Sayup-sayup suara Mas Indra memanggilku dibelakang. Aku tak menghiraukannya... dan tetap pergi.
Satu bulan kemudian.
Di puncak, bogor.
Aku menyelurup khidmat teh hangat didepan hamparan sawah dan pegunungan. Sangat nyaman, ujung atas kerudungku bahkan kerap bergoyang diterpa angin.
Sudah satu bulan aku tinggal disini. Aku mengasingkan diri dari siapapun, dari keluargaku maupun Mas Indra. Rasanya tenang sekali.
Aku tinggal di villa kepunyaan Rhena. Dia sendiri yang menawarkanku untuk tinggal disini dalam beberapa waktu.
Dia menyarankanku untuk mulai melupakan Mas Indra, meskipun hubungan diantara kita masih terikat tali pernikahan, masih gantung.
Aku tidak tahu harus bagaimana... aku bingung harus mengakhiri hubungan ini seperti apa. Aku... kecewa.
Ngomong-ngomong, Rhena baik sekali padaku. Dia mengijinkanku tinggal disini sekaligus diberi fasilitas makan juga.
Ada seorang ibu yang biasa memasakkanku makanan, beliau bisa dibilang juga Ibu yang bertugas menjaga villa ini.
Namanya Bu Nisa.
Aku mengenal dekat Bu Nisa, beliau juga sering membawa anak terakhirnya kemari. Namanya Linda. Dia baru keluar SMA, rumah mereka didekat perkebunan teh depan sana.
Tempat dimana banyak wahana permainan sekaligus tempat rekreasi, tempat yang sering dikunjungi banyak orang di akhir pekan.
Salah satu wahana paling terkenal disana adalah paralayang, flying fox dan lain sebagainya.
Aku sering bermain kesana, menikmati masa-masa healingku dengan mencoba beberapa wahana.
Tapi hanya sekali sih aku mencobanya, tidak berani lagi setelahnya.
Semenjak kejadian saat itu, aku mencoba menghindar dari semua. Bahkan termasuk ponsel yang kugunakan, aku matikan selama sebulan penuh.
"Si teteh ngapain disini?" ucap Linda yang berangsur mendekatiku.
"Ngalamun wae, nanti kesambet loh." ucapnya lagi kemudian duduk disampingku.
"Ini, lagi ngeliat pemandangan. Kamu sendiri jadi ngelamar pekerjaannya?" tanyaku.
"Udah Teh, cuman naro doang sih ke pabriknya. Kayaknya masih lama dipanggilnya juga. Aku pengen kerja jadi pemetik teh dulu deh." ucapnya
Aku mengernyit heran. "Emang kamu bisa?" tanyaku.
"Lah cuma metik daun teh apa yang susah? Lagian lumayan kan buat beli cilok?" tanyanya seraya nyengir.
Alis matanya di naik-naikkan ketika melihatku, aku meraup wajahnya tertawa.
"Kirain lumayan buat kawin." ucapku.
"Dih, kawin sama siapa? Kambing?" tanyanya.
"Bukan... sapi." ucapku terkekeh. Linda merajuk.
"Teteh ih. Nanti maharnya rumput dong."
"Kalo kamu kerja, nanti saya ditemenin sama siapa? Enggak ada yang ngajak ngobrol lagi." tanyaku lesu.
"Hmm, kalo gitu mau gak ikutan Linda metik daun teh juga?" tanyanya.
Aku terdiam memandangnya sambil berpikir.
"Lumayan juga sih ya, kalo misal aku terus-terusan mengandalkan Rhena untuk biaya hidupku disini tidak enak. Apa aku ikut kerja dengan Linda saja kali ya?" batinku.