Satu hari kemudian aku pun melepas kepergian Mas Indra menaiki motornya, berangkat kerja.
Meskipun diarenya masih ada, akan tetapi Mas Indra memaksa tetap ingi masuk hari ini. Katanya sih ia sudah agak merasakan dirinya lebih fit dibanding kemarin.
Semoga saja hari ini dia baik-baik saja di tempat kerjanya nanti. Aku sedikit menyayangkan karena dia tidak ingin periksa ke dokter kemarin.
Bilangnya sih hanya masuk angin biasa dan tidak memerlukan obat-obatan khusus. Ah tidak tahu deh.
Tapi kok kemarin aku melihat dirinya pergi lama ya? Kemana ya dia?
Aku pun segera masuk kembali ke dalam rumah lagi, menyapu mulai dari kamar hingga keluar.
Sebelum itu aku sempatkan diri membenahi seprai diatas kasur yang berantakan. Setelah itu aku sapu kolong kasurnya namun tiba-tiba aku melihat ada sebungkus berisi banyak obat.
Aku mengernyit heran ketika melihat isi depan bungkus obatnya. "Ini obat apa ya? Kok tulisannya atas nama Mas Indra? Bahkan tanggal perginya kemarin?" batinku.
Aku pun segera mengechat Mas Indra dan kirim foto obat itu dengan bertuliskan.
"Mas ini obat kamu? Memang kamu kemarin habis berobat ya? Bukannya kata kamu enggak mau berobat ya kemarin? Kamu ke dokter enggak bilang-bilang ke aku Mas?" tulisku langsung kirim.
Aku terus memandang obat-obatan yang banyak itu. Mencurigakan sekali, bukannya ia hanya sakit muntah dan diare saja ya? Tapi ini kok obatnya banyak sekali? Aneh-aneh lagi namanya dan sangat awam untuk dikenali itu obat apa.
Aku pernah bersekolah di farmasi dulu, minimal aku tahu obat yang diberikan untuk penderita diare maupun muntah-muntah. Tapi ini aneh, seakan obatnya hanya khusus untuk penderita penyakit tertentu saja.
Itu masih feelingku sih, lebih baik aku menunggu jawaban Mas Indra.
Siang harinya sekitar jam 12, aku mendapati suara motor Mas Indra memasuki teras. Loh kok, dia sudah pulang?
Aku pun segera beranjak dari sofa dan keluar rumah. "Ma--" belum selesai bicara, Mas Indra terlihat begitu kelelahan bahkan jalannya sempoyongan, wajahnya pucat.
Ia seperti akan jatuh sekarang, aku sesegera mungkin mendekatinya dan menopang tubuhnya untuk tetap berdiri.
"K-kamu kenapa Mas? Kamu masih sakit?" tanyaku cemas.
"Obat... obat tadi... mana." ucapnya terbata, menahan sakit.
"K-kamu kesini buat nyari obat itu? Kenapa kamu enggak bilang ke aku biar aku yang antar kesana?! Kita masuk dulu." ucapku seraya memapahnya hingga membaringkannya ke sofa.
Aku segera berlari menuju kamar dan mengambil obat tersebut, lalu aku ambil air hangat dari dispenser dan segera berikan pada Mas Indra.
"Kamu udah makan Mas sekarang?" tanyaku cemas seraya bantu membangunkannya.
"Sudah." jawabnya segera meminum obatnya beberapa kali teguk meskipun ia merasakan kesakitan ketika menelannya.
"Kenapa Mas? Sakit juga nelannya?" tanyaku. Ia mengangguk.
"Sariawan juga kamu itu."
Aku begitu cemas melihatnya seperti itu.
"Kamu masih sakit perutnya Mas? Mukanya pucet gitu. Kita ke rumah sakit aja deh ya? Kamu bahkan--"
Belum selesai bicara, aku melihat Mas Indra mengeluarkan darah dari hidungnya. Aku panik.
"Ya Allah Mas! Kamu... kamu mimisan!" seruku. Ia terkejut dan mengusap darahnya.
Aku sesegera mungkin mengambil tisu lalu coba usap hidungnya. Namun Mas Indra menatap tajam diriku dan menepis tanganku kasar.
"Apaan sih! Aku bisa sendiri! Memang aku anak kecil?!" tandasnya marah. Aku kaget dan terpatung.
Dia... kenapa belakangan suka marah-marah seperti ini? Padahal aku hanya khawatir dengannya.
Ia mengusap hidungnya perlahan meski sangat perih, sepertinya ada luka didalam hidungnya yang menyebabkannya mengeluarkan darah.
"Dengar baik-baik.. aku sangat amat mengerti... kamu itu khawatir sama aku. Tapi tolong... tolong banget kamu jangan sampai pegang luka atau darahku, terlebih kalo kamu lagi terluka. Ngerti kamu?!" tegasnya.
Aku kembali terpatung dengan perasaan tidak nyaman. "I-iya Mas." jawabku.
Aku bahkan tidak sempat menanyakan kenapa dia mengatakan seperti itu. Karena saking... menghormati dirinya.
Mas Indra pasti merasa sangat sakit... harusnya aku mengerti. Bukan malah... merasa sakit hati begini.
Mungkin memang orang yang sedang sakit lebih mudah marah dan sensi terhadap orang disekitarnya... terlebih... jika orang yang disampingnya itu memicu kekesalannya.
Ah... aku harus mengerti...
Beberapa saat kemudian Mas Indra pun kembali lagi ke kantornya. Aku melambai tangan melepas kepergiannya lagi.
"Hati-hati." ucapku lalu ia pun pergi dengan motornya.
Mas Indra pada akhirnya pun membawa kembali obatnya itu. Tapi anehnya saat kutanya obat apakah itu, ia hanya bilang itu obat sakit muntaber.
Ia juga bilang kalau dirinya pergi sendirian ke dokter kemarin.
Kenapa ya dia tidak mengajakku ikut ke dokter? Padahal dia kelihatan lemas sekali kemarin.
Aku terkadang heran, kenapa setelah menikah justru... dia seperti memberi benteng padaku?
Seakan... dia menyimpan banyak rahasia dibelakangku, seakan begitu banyak misteri tentangnya yang harus kupecahkan.
Ah.. aku berpikir apa sih.
Hmm, tadi Mas Indra sampai mimisan seperti itu. Bahkan ia sampai berbekal tisu dari rumah khawatir mimisan lagi saat di kantor. Dia pasti sariawan itu, aku yakin.
Aku harus membelikannya buah-buahan sekarang. Apa ya? Buah naga kali ya?
Aku harus ke pasar sekarang.
Aku pun jalan kaki menuju pasar, sejujurnya itu pasar yang letaknya sangat dekat dengan rumahku. Aku bersyukur ada pasar disana, jadi tidak usah repot-repot naik ojek atau naik motor.
Aku berjalan menuju penjual buah, beli beberapa buah disana.
Tiba-tiba saja aku terkejut saat menyadari dompet yang kukantongi hilang. Aku pun segera cari kemanapun. Duh, aku malu sekali.
"Maaf ya Bu. Saya cari dompetnya dulu."
Kemana sih..
Ketika diriku mencarinya ke sekeliling arah maupun ke bawah. Mendadak seseorang menyodorkan dompet merahku ke hadapan wajahku.
"Nyari ini?" tanyanya.
Aku mendongak dan terkejut. Pemuda tampan ini...
Mas Rian. Ia tersenyum padaku. Aku tertawa melihatnya.
"Ya ampun, Mas Rian. Kok kamu ada disini?" tanyaku heran. "Iya lagi iseng aja lewat kesini." ucapku.
"Sayang banget barusan Mas Indra udah berangkat kerja. Kamu mau ketemu sama Mas Indra atau bagaimana?" tanyaku.
"Enggak sih, saya masih harus ke kantor sekarang." ucapnya.
"Ini kok dompet bisa ada di kamu? Jatuh ya ini? Duh teledor banget sih aku." tanyaku sambil menyalahkan diri.
"Saya ambil dari tangan orang." ucapnya. Aku terperanjat.
"A-apa?! Maksudnya dompetku dicuri gitu?!"
"Tepat." ucapnya terkekeh.
"Astagfirulloh! Ya Allah... aku kok bisa enggak nyadar ya? Astagfirullohaladzim." ucapku.
"Iya, lainkali hati-hati ya. Untung saya ngeliat barusan." ucapnya.
"Huhh, untung aja ada kamu. Aku bener-bener enggak tahu deh kalo enggak ada kamu, bisa-bisa Mas Indra ngomelin aku lagi nanti. Makasih banyak ya." ucapku
Mas Rian menatapku. "Mas Indra suka ngomelin Mbak?" tanyanya. Duh salah ngomong lagi aku.
Aku pun cepat-cepat meralat. "E-enggak. Maksudnya nanti Mas Indra bisa marah kalo aku ngilangin dompetku hehe. Jarang sih, jarang marah." ucapku mencoba untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman disana.
"Oh." ucapnya seraya berpaling melihat jeruk didepannya.
"Kamu mau mampir enggak ke rumah? Mampir yuk, udah lama enggak mampir. Kita ngobrol-ngobrol kayak dulu. Sambil nostalgia. Mau gak?" tawarku.
Ia tertawa malu melihatku, aku heran.
"Kenapa? Kok ketawa sih?" tanyaku menyikut tangannya.
"Hmm mungkin nganterin Mbak aja kali ya sampai ke depan rumah. Takut pencuri dompetnya dateng lagi, khawatirnya yang dicuri bukan dompet lagi, tapi hati Mbak." ucapnya. Aku tertawa kecil.
"Hati saya udah dicuri sama kakakmu." ucapku. Ia tersenyum samar.
"Yuk sambil jalan." ucapku.
Kami pun saling jalan berdampingan saat itu, melewati banyak penjual disekitar. "Ke pasar cuma beli buah?" tanyanya.
"Emang beli apa lagi? Beli alat pel? Sapu? Tempat sampah?" tanyaku sedikit menyinggung masa lalu kami yang pernah ke pasar untuk membeli alat-alat sekolah.
Ia tertawa. Rasanya aku seperti membangkitkan memori penuh nostalgia diantara kami berdua.
"Mbak masih inget aja. Apalagi waktu itu jalannya masih belok ya Mbak? Bahkan yang bikin saya geli, heels sepatu Mbak sampai mendem ke tanah. Hahaha. Susah banget lagi keluarinnya." tawanya.
Aku ikut tertawa geli. "Kamu juga bantu nolong Mbak kan waktu itu, bantu keluarin sepatu Mbak. Benar-benar deh, besoknya Mbak udah enggak pakai sepatu itu lagi. Kapok hahaha." tawaku.
Aneh banget sih, kenapa tiap kali bersama dengan Rian aku selalu dibuat tertawa seperti ini? Berbeda jauh ketika bersama dengan kakaknya.
Aku justru berbalik gugup dan merasa kikuk begitu, seakan aku tidak ingin mengucapkan kata-kata yang salah didepannya. Cenderung menjaga imageku didepannya.
Ah sudahlah kenapa aku jadi membandingkan mereka berdua?