Chapter 4 - Pernah murid

Sejujurnya Rian itu adalah anak muridku, jadi aku pernah menjadi guru di sekolahnya dan mengajar dikelasnya.

Aku adalah seorang guru bahasa indonesia bahkan saat Rian kelas 3. Aku sempat ditunjuk sebagai guru BK.

Dulu waktu pertama kali melihatnya ikut MOS, ia adalah anak yang sopan, berkacamata dan kutubuku. Dia terbilang kuper bagi anak sepantarannya.

Karena ia lebih sering terlihat di kelas membaca buku atau bergabung dengan anak perempuan untuk belajar.

Dia tergolong murid yang cerdas, akan tetapi semua berubah ketika dia beranjak kelas 3 SMA.

Dia jadi sering membolos, tidak mengerjakan peer, tidak sopan, suka melawan, berkelahi, tidak ikut upacara karena kesiangan hingga pada akhirnya disetrap dan merupakan murid langgananku keluar-masuk ruang BK.

Ia kembali berkata, selagi aku mengenang beberapa hal tentangnya. "Saya kira Mbak udah lupa, sama kejadian waktu itu." ucapnya.

"Mana mungkin lupa, semua kejadian yang berhubungan sama kamu selalu aja bikin saya ketawa." ucapku.

Ia tersenyum, malah ia jadi terus memandangku saat itu. "Masa sih Mbak? Kok saya jadi geer ya?" tanyanya.

Aku menyikut tangannya lagi. "Geer lagi kamu, tapi emang bener sih. Ngeliat semua perubahan kamu dari mulai ikut MOS sampai kelas 3, bikin saya ketawa aja." ucapku.

"Kok bisa? Emang apa yang membuat Mbak ketawa?" tanyanya.

"Banyak hal sih, kamu yang dulu cupu jadi berubah 180 derajat saat kelas 3. Udah gitu ada aja kejadian yang bikin saya selalu ketawa pas berdebat sama kamu." ucapku.

Rian hanya tertawa saat itu, bahkan kurasa dia masih ingat sekali dengan kejadian waktu itu.

"Absurd banget sih Mbak, udah ah jangan ingetin lagi. Saya jadi malu." ucapnya seraya tertawa.

"Hahaha, lucu banget kan? Kamu juga pasti barusan inget. Oh iya, Mbak penasaran kok kamu sama Mas Indra beda sih? Bedaaa banget kelakuannya?" tanyaku.

Ia tertawa sinis. "Heh, Mbak enggak tahu aja gimana Mas Indra pas dibelakang. Bahkan dia lebih-lebih dari saya." ucapnya. Aku menatapnya tidak percaya. "Masa sih? Lebih dari kamu kayak gimana maksudnya?" tanyaku.

Ia malah tersenyum padaku. "Itu masa lalu dia kok, enggak usah terlalu dipikirin." ucapnya. Aku kok sedikit tidak tenang ya mendengar perkataannya barusan.

"Enggak usah khawatir Mbak, Mas Indra juga keliatan cintaaa banget sama Mbak. Bahkan dari dulu, dari semenjak saya masih SMA." jelasnya.

Aku tersipu. "Masa sih? Sejak saya masih jadi guru kamu itu? Iya sih ya.. semenjak kejadian keluar-masuknya kamu dari ruang BK, saya jadi dekat sama kakak kamu." ucapku.

Ia tersenyum memandangku lalu setelahnya berpaling memandang jalanan didepannya.

Entah kenapa ya, aku merasa saja jika denganku Mas Rian bisa terlihat sangat akrab, tapi berkebalikan dengan kakaknya sendiri.

Dia selalu terlihat sebal, kesal dan lebih sering melempar pandangan kecut.

Aku tidak tahu alasan apa yang melandasi mereka saling membenci satu sama lain. Sepertinya telah terjadi konflik batin diantara mereka berdua, sejak lama.

"Kamu sendiri gimana Mas Rian sama siapa tuh namanya?" tanyaku sembari mengingat-ingat nama tunangannya.

"Fika maksudnya? Ya gimana.. besok kan acaranya. Mbak dateng ya ke rumah saya?" pintanya.

"Iya insyaAllah Mbak dateng sama Mas Indra. Kalo Mas Indra udah agak mendingan juga ya? Soalnya Mas Indra masih sakit sampai sekarang. Bahkan tadi sampai mimisan dia." ucapku.

"Mimisan? Udah dibawa ke dokter? Itu sakit apa ya Mbak?" tanyanya.

"Enggak tahu tuh, kayaknya sih sakit muntaber sama sariawan. Nih makanya Mbak beli buah-buahan ke pasar." ucapku. Ia mengangguk paham.

"Tapi Mas Indra kayaknya enggak suka buah naga deh Mbak." ucapnya, aku langsung berhenti saat itu juga.

Tercengang. "Hah? Salah dong? Duhh.. gimana sih. Masa sih dia enggak suka? Aku balik lagi dong ya ke pasar? Malah aku beli apelnya cuma tiga biji lagi." tanyaku tidak percaya.

"Buah naga dicampur perasan asem mungkin gak suka. Kalo buah naga biasa mungkin suka." ucapnya seraya terkekeh. Aku pun langsung menjewer telinga Rian.

"Kamu tuh! Nyebelin banget!"

Ia merintih kesakitan.

"Duh, duh... Mbak... memangnya saya masih murid Mbak apa, dijewer-jewer?" protesnya.

"Habisnya kamu itu nyebelin! Dari jaman SMA sampai sekarang, enggak berubah-berubah." tandasku. Ia tertawa geli saat itu.

Benar-benar nostalgia... rasanya seperti ingin kembali ke masa lalu saja.

Tak lama berselang kami pun sampai didepan pagar rumahku. "Udah nyampe aja." ucapnya.

"Mau keliling lagi? Atau masih mau ngobrol? Mau ngopi gak didalem?" tanyaku.

"Enggak Mbak, takut dicariin sama orang kantor." ucapnya.

Aku menggoda. "Jadi orang sibuk nih sekarang. Banyak yang nyariin. Aku paling dicariin sama tukang yakult." ucapku.

"Haha ada-ada aja." tawanya.

"Yaudah, sampai jumpa besok ya di acara." ucapku.

"Iya Mbak. Sampai jumpa besok." ucapnya seraya tersenyum dan melambai. Lalu pergi, aku pun masuk ke dalam pagar.

Malam harinya.

Aku dan Mas Indra saling menonton televisi, duduk dengan kepala bersandar di bahu kokohnya. Rasanya nyaman sekali bersandar padanya.

Diluar sedang hujan, jadi itulah yang membuat kami saling berdempetan saat ini.

Mas Indra meskipun sedang bersamaku didepan televisi, matanya terus beralih pada ponsel.

"Mas, kamu ngerasa dingin banget gak sih?" tanyaku

"Kenapa? Mau dipeluk?" tanyanya tersenyum menggoda.

Wajahku memerah. "A-apa sih."

"Ya enggak apa-apa dong? Kan udah sah? Mau gak dipeluk?" tanyanya.

"Gak! Mending peluk kompor." ucapku. Ia tertawa.

"Awas item." ucapnya.

Mendadak diriku teringat sesuatu. Aku pun segera beranjak pergi ke dapur. Mas Indra sayup-sayup bertanya. "Ngapain kamu?" tanyanya dari ruang tengah.

"Bikin sesuatu." ucapku.

Aku sibuk mengambil buah naga yang tadi kubeli dari dalam kulkas, lalu memotongnya jadu dua bagian, aku keruk daging buah itu san masukkan ke dalam gelas, kuberikan susu kedalamnya disertai sedikit air.

Tiba-tiba saja Mas Indra langsung mendekapku dari belakang, memelukku erat, kepalanya bersandar pada bahu kananku. Aku merasa sedikit geli.

"Ngapain sih?" tanyanya. Kedua tangannya melingkar di perutku.

"Kamu kan sariawan dan panas dalam. Jadi aku buatin kamu buah naga. Katanya sih buah naga bagus buat orang yang panas dalam." ucapku.

"Oh gitu." ucapnya, aku segera melepas pelukannya dan berikan segelas buah naga itu padanya.

"Ini kamu cobain deh. Gimana rasanya, takutnya kurang manis." ucapku.

"Suapin dong." ucapnya. Aku mengernyit heran.

"Dih, manja." ucapku seraya tertawa.

"Kan tangannya nganggur. Bolehlah disuapi istri sah." ucapnya. Ia terus memintaku untuk menyuapinya bahkan sampai membuka lebar mulutnya ke depanku, minta disuapi.

"Dasar kamu nih. Berubah jadi anak SD kamu." ucapku diselingi tawa, aku mengambil satu sendok buah naga dan mulai menyuapinya perlahan.

"Gimana? Manis gak?" tanyaku.

"Sebenarnya cukup manis, tapi kok setelah melihat kamu jadi tambah manis?" tanyanya heran. Aku mencubit gemas pinggangnya, ia merintih.

"Aw, sakit. Lah emang bener." ucapnya.

"Emang mukaku terbuat dari tebu apa?" tanyaku.