-POV Lisa-
Malam hari setelah acara pernikahan kami diadakan. Aku yang kini sudah mengenakan baju lingerie berwarna biru tua, berjalan langkah demi langkah memasuki sebuah kamar.
Tepatnya itu adalah kamar kami berdua, aku dan Mas Indra. Suami tampanku yang saat ini sudah berganti pakaian memakai baju kaos dan celana pendek.
Aku merasa sangat berdebar ketika mendekati Mas Indra yang sedang terduduk diatas kasur. Bagaimanapun ini adalah malam pertamaku dan suamiku tercinta.
Bagi sebagian orang, mungkin malam pertama adalah hal yang paling ditunggu-tunggu bagi kedua pasangan yang sudah terikat janji suci.
Pengalaman mendebarkan yang tak mungkin terlupakan. Kesenangan dan kepuasan yang bercampur jadi satu, sebuah nafkah yang direstui oleh Tuhan. Nafkah batin.
"Mas." ucapku yang lantas duduk disamping Mas Indra, sejak tadi suamiku? itu terus terdiam.
Sebetulnya sudah seminggu Mas Indra terlihat tidak baik-baik saja dan hanya menjawab singkat semua pertanyaanku.
Tapi yang cukup membuatku yakin jika suamiku ini baik-baik saja adalah karena dia selalu menjawab semua pertanyaan itu dengan senyuman lembut.
Seolah diriku tahu, jika lelaki ini masihlah tambatan hatiku yang begitu kubanggakan sejak lama.
"Kenapa?" tanya Mas Indra.
"Kamu kok masih berpakaian Mas?" tanyaku heran. Mas Indra termenung, seolah ia sedang dihadapkan oleh pikiran yang sulit hingga membuatnya terkesan mendiamkanku.
Tentu diriku sendiri yang tak mendengar respon balasan dari Mas Indra lantas mencolek tangan suamiku itu.
"Mas?" tanyaku dan langsung membuat Mas Indra tersadar lalu berkata.
"Kok aku merasa sangat lelah ya malam ini? Maaf Lis.. aku harus tidur dulu. Lain kali saja ya?" ucap Mas Indra tersenyum, dan langsung membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.
Meninggalkanku begitu saja terdiam di tempat, kecewa. Tampaknya percuma diriku memakai lingerie hadiah pemberian Rhena yang katanya bakal ampuh memikat siapapun melihatnya, nyatanya... ah sudahlah.
Diriku pun beranjak tidur disamping kiri Mas Indra sedangkan Mas Indra sendiri berposisi tidur menyamping ke arah kanan dan membelakangiku.
Sekitar jam 5 subuh, diriku terbangun dan mendapati suamiku sedang terduduk disebelahku. Aku terkejut saat melihat suamiku muntah-muntah, bahkan ketika cairan itu mulai keluar dari mulutnya.
Mas Indra pun sesegera mungkin beranjak dari kasur menuju kamar mandi dan mengeluarkan semua cairan di dari dalam perutnya.
Aku khawatir, Mas Indra kenapa?
Dia bahkan terlihat sangat lemas saat itu. Aku menguruti punggungnya berulang-ulang.
"Mas, kamu masuk angin ya?" tanyaku cemas
"Aku bikinin minuman hangat ya?" tanyaku lagi.
Ia masih terus mengeluarkan cairan itu dari mulutnya, bahkan perutnya terus dipegangi saat itu.
Seakan dia merasakan rasa tidak enak di perutnya. Ia hanya sibuk membuka keran di wastafel, agar muntahannya itu luruh oleh air, tanpa menghiraukanku.
Aku ambil dua lembar tisu padanya dan ia menerimanya setelah membasuh wajahnya terlebih dahulu.
Aku papah dia kembali menuju kasur dan biarkan dia duduk disampingku.
Ia memandang wajahnya yang terlihat pucat saat itu, aku mengusap tangannya yang masih terus memegang perutnya tanpa sedikitpun berkata.
"Ini yang sakit Mas? Jangan-jangan kamu muntaber lagi Mas, perasaan dari semalem kamu buang air terus?" tanyaku cemas. Ia tersenyum tenang disana dengan bibir pucatnya.
"Enggak kok, enggak apa-apa." ucapnya.
"Kemarin emang capek banget, sebelas jam kan kita duduk dan berdiri. Aku juga ngerasa badanku remuk semua. Kamu masuk angin ini." tebakku seraya menguruti tengkuk maupun bahunya.
"Kamu tidurin dulu deh, Mas. Aku bikinin bubur dulu ya sekarang?" tanyaku.
"Udah enggak usah Lis." ucap Mas Indra.
"Udah kamu enggak usah ngerasa direpotin. Aku kan istri sah kamu sekarang. Aku bakal siap dua puluh empat jam menjalankan tugasku sebagai istri yang baik." ucapku seraya mendekatkan wajahku ke hadapannya dengan ceria.
Ia balik tersenyum dan mencubit hidungku. "Udah jadi istri bawelnya gak hilang." ucapnya terkekeh.
"Iya lah. Kan itu yang membuat kamu cinta sama aku haha. Aku ke dapur dulu." ucapku seraya pergi meninggalkannya.
Aku segera membuatkan bubur di dapur beserta juga memasak lauk mentah yang kubeli dari tukang sayur.
Selesai matang semua, aku pun membawakan makanan itu ke kamar setelah sebelumnya kuintip terlebih dahulu apakah Mas Indra masih melek. Ternyata masih.
"Nah ini dia makanannya sudah dataang Tuan raja." ucapku seraya menyediakan makanan itu ke depannya.
"Wah Ratu baik sekali yaa." ucapnya terkekeh.
"Iya dong, Tuan Raja kan harus dilayani dengan baik di rumah ini." ucapku.
"Ayo coba, dicicipin. Gimana rasanya?" tanyaku.
Ia segera mengambil sendok dan mengunyahnya perlahan.
"Umm, enak. Apalagi kalo makannya sambil ngeliat kamu. Kayak ada manis-manisnya." ucapnya. Aku tersipu.
"Apa sih, emang aku iklan aer." ucapku.Â
"Eh mau disuapin gak?" tanyaku balik lagi.
"Masih punya tangan." ucapnya tersenyum.
"Kirain tangannya udah dicopot." ucapku terkekeh.
"Beneran nih enggak mau disuapin? Kan lumayan gratis, enggak perlu bayar." tanyaku lagi.
"Nanti aja kalo tanganku capek." ucapnya terkekeh.
Aku ikut terkekeh. "Yaudah kalo tangannya capek, kamu panggil aku ya?" pintaku.
"Iyaaaa."Â
Aku balik ke dapur lagi untuk membereskan dapur, memasukkan sampah ke dalam plastik lalu taruh wajan dan peralatan memasak yang tadi dipakai ke atas wastafel. Aku mencucinya.
Tiba-tiiba sebuah nada dering terdengar, aku menerima teleponnya.
"Halo, assalamualaikum? Ini siapa ya?" tanyaku tanpa melihat lagi nama di kontak.
"Waalaikumsalam Mbak, bagaimana kabarnya?" tanya seorang pria dari seberang.
Aku tersontak ketika mendengar suara familiar itu. Kulihat kembali layar hapeku dan lihat nama kontaknya.
Aku tidak percaya, dia... Mas Rian. Aku segera menempelkan kembali ponsel di telinga.
Padahal sudah lama sekali dia tidak menghubungi kami setelah kejadian itu. Bahkan kemarin dia tidak datang ke acara pernikahan kami.
Dia bilang sih ada masalah di perusahaannya yang membuat dia enggak bisa ninggalin kantor gitu aja. Salahnya aku juga sih mengambil waktu pernikahan di hari kerja.
"Iya alhamdulillah baik Mas Rian, tapi Mas Indra lagi enggak enak badan. Kayaknya sih karena kemarin kecapean jadinya masuk angin. Buang air terus sama muntah. Sekarang lagi makan sih, belum minum obat."
"Oh, udah dibawa ke dokter Mbak?" tanyanya.
"Belum. Mbak tadi kan bilang sama Mamasmu suruh ke dokter. Tapi dia bilang enggak mau, katanya cuma sakit masuk angin biasa nanti juga sembuh." ucapku.
"Oh gitu.. yaudah semoga lekas sembuh ya Mbak buat Mas Indra. Titip salam juga." ucapnya dari seberang.
"Iya aamin, makasih banyak. Oh iya, kamu telepon Mbak mau bicara apa ya?" tanyaku.
"Gini Mbak, sebenarnya saya ingin mengundang Mbak dan Mas Indra ke acara pertunangan saya dan Fika. Tapi kalau misalkan di hari itu Mas Indra masih sakit, enggak masalah. Biar nanti Hilya sama Ibu dan Bapak aja yang dateng sebagai perwakilan." ucapnya
"Oalah, gitu toh. Emang kapan tanggal jatuhnya?" tanyaku.
"Hari minggu nanti Mbak, tanggal 20 bulan ini. Tiga hari lagi." ucapnya.
"Hmm gitu ya. Yaudah deh nanti Mbak kasih tahu Mas Indra ya, bisa atau enggak. Eh atau kamu mau ngomong sekarang sama Mas Indra? Dia lagi makan sekarang." ucapku.
"Oh, enggak usah Mbak. Saya minta Mbak sampein hal ini aja sama Mas Indra." ucapnya.
"Iya Mas Rian."
"Yaudah itu aja, saya tutup ya Mbak. Assalamualaikum."Â Â Â
"Waalaikumsalam."
Aku pun segera memasukkan kembali ponselku ke dalam saku seraya berpikir. Rasanya aku tidak enak menyampaikan hal ini pada Mas Indra, yang notabene pernah bermasalah dengannya.
Bahkan setahuku, ketika diriku menyebut sesuatu tentang Mas Rian, pembicaraan kami saat itu selalu dialihkan dengan hal ini, seakan... aku benar-benar tahu kalau memang dia sengaja melakukan itu.
Ah, tapi bagaimanapun aku harus menyampaikan ini pada Mas Indra. Aku pun berjalan cepat menuju kamarnya. Kulihat dia baru saja menyelesaikan makannya.
"Wah, habis. Alhamdulillah. Mau nambah gak? Masih ada satu panci lagi tuh buburnya." ucapku.  Â
"Mau ditaruh dimana? Di jantung?" tanyanya, kami saling tertawa.
Aku duduk didekatnya, lalu mulai bicara. "Mas, aku..."
Baru mau bicara aku langsung bertanya topik lain yang kebetulan lewat dikepala. "Kamu udah minum obat belum?" tanyaku.
"Belum." ucapnya.
Aku pun segera mengambil kotak obat yang diberikan ibuku kemarin. Ah tahu saja ibuku itu, kalau besoknya Mas Indra bakal sakit seperti ini.
Aku segera memberikan obat itu pada Mas Indra dan memberikan air putih hangat padanya.
Ia masih belum meminum obatnya, masih memegang segelas air dan obatnya. Aku bertanya. "Kamu masih buang air barusan?" tanyaku.
Ia mengangguk. Aku menatapnya cemas.
"Habis ini kita ke dokter ya Mas?" tanyaku.
"Enggak usah Lis, mungkin ini cuma masuk angin aja." ucapnya.
"Tapi kan Mas, akan lebih baik kamu minum obat dari dokter. Supaya ketahuan penyakitnya apa dan enggak betah lama-lama penyakitnya." ucapku.
Ia masih belum meminumnya dan malah tersenyum.
"Udahlah Lis, aku enggak apa-apa beneran. Paling cuma masuk angin biasa." ucap Mas Indra.
"Yaudah cepet diminum." ucapku yang masih melihat obat itu dipegang olehnya.
Baru akan meminum, Mas Indra berkata. "Oh iya Lis, kamu liat hapeku gak?" tanyanya. Aku mengernyit.
"Loh, bukannya semalem ada di dekat kamu?" tanyaku
"Enggak... aku cari gak ada." ucapnya. Aku pun segera mencari sekitar bantal dan posisi tempat Mas Indra tidur semalam.
"Mana ya? Kok bisa enggak ada sih ya?" tanyaku dengan mata terus mencari.
Namun tak lama aku pun melihat ponsel itu, yang justru ada di bawah bantal tempat posisiku tertidur semalam.
"Oalah, ini. Kok bisa ada dibawah bantal sini sih ya?" tanyaku heran, aku memberikannya pada Mas Indra.
"Makasih." ucapnya seraya meneguk air putihnya hingga setengah gelas.
"Udah minum obatnya?" tanyaku. Ia mengangguk dan tersenyum.
"Syukur deh kalo udah. Oh iya aku mau bicara sesuatu sama kamu. Tadi ada seseorang nelepon aku." ucapku menatapnya serius.
"Siapa?" tanyanya.
"Dia... Mas Rian." ucapku hati-hati.
Dia tersentak. Ia lantas melempar pandangan saat itu. Tapi aku tidak melihatnya marah, ia terkesan seperti mengingat hal yang tidak ingin ia ingat.
Aku masih menatapnya dan memegang tangannya.
"Mas, kamu masih marah ya sama dia? Kamu masih belum maafin dia, Mas?" tanyaku.