Napasnya terasa tercekat ketika sosok itu menembusnya. Rasanya seperti angin yang sangat kencang tengah menghantamnya, ini sangat sakit hingga Meyes terduduk di depan pintu dengan wajah yang masih syok.
Ini sangat menakutkan, dan kali pertamanya dia berada di dalam lingkungan yang membuat jantungnya terus berdetak dengan kencang. Napas yang memburu, ketakutan, rasa khawatir, dan tidak tenang, kemudian perasaan was-was yang selalu muncul.
Namun, untungnya ini sudah berakhir. Sosok menyeramkan itu telah pergi dengan sendirinya, meninggalkan dia di dalam ruangan besar ini dengan helaan napas lega.
Deru napas yang masih tidak teratur Meyes abaikan. Dia mulai beranjak dengan menggenggam knop pintu itu erat. Kakinya masih terasa lemas, tapi dia harus segera keluar dari tempat menakutkan ini.
Meyes kembali mengetuk pintu itu dengan kencang, tapi lagi-lagi tidak ada jawaban dari luar. Meyes ingin menangis, dia tidak bisa keluar dari tempat lain, kelas ini tidak memiliki jendela kaca yang bisa dia gunakan untuk pergi.
"Siapa pun tolongin gue!" teriak Meyes.
Suara ketukan terdengar lirih, kedua sudut bibir Meyes tertarik ke atas, "Hallo! Tolongin gue, gue ke kunci di sini!"
"Siapa? Siapa di dalam?" sahut seorang pria dengan suara serak di balik pintu.
"Pak, tolongin ini lagi di kunci dari luar!" teriak Meyez lagi, "Pak tolongin Pak, saya gak berani lama-lama di sini!"
"Bentar Neng sabar ya!"
Gadis itu mulai tenang sekarang, helaan napas lega terus dia keluarkan untuk beberapa kali. Sampai akhirnya pintu itu terbuka dengan lebar. Meyes segera keluar, dan helaan napas kembali keluar.
"Astaga! Makasih banyak Pak Ujang, jujur saya gak ngerti harus minta tolong siapa lagi kalau bukan sama Bapak," ucap Meyes dengan sangat bersyukur.
Pria tua itu hanya menatapnya datar tanpa ada kalimat pertanyaan yang keluar dari bibirnya. Namun, hal itu tidak membuat Meyes pusing, dia tetap memberikan senyum manis sebagai tanda terima kasih.
"Bapak emang suka operasi ke sini ya?"
Pak Ujang menatap Meyes sedikit tajam, wajahnya berubah menjadi pucat, selang beberapa menit dia berjalan pergi menuju koridor yang ada di sebelah timur. Meyes menatapnya heran dengan kening bertaut, pasalnya jalan keluar ada di bagian barat, dan pria itu juga tidak menjawab pertanyaannya.
Meyes menggeleng, masa bodo dengan kebisuan Pak Ujang. Intinya dia sudah bebas, dan bisa pulang sekarang.
Gadis itu berlari dengan cepat, tapi langkahnya terhenti di depan koridor. Sekolahnya sudah sepi, bendera merah putihnya juga sedang Pak Ujang turunkan dari arah utara.
"Ha? Bukannya? Bangke, yang gue temuin tadi siapa?!" ucap Meyes dengan muka terkejutnya.
Entah siapa yang menolongnya, apa mungkin hantu wanita tadi? Atau sosok besar yang sedang melangkah mendekatinya? Pertanyaan itu terus memenuhi kepala Meyes. Dia semakin bingung, dan takut untuk melihat ke belakang.
Meyes kembali mengambil langkah untuk berlari menaiki anak tangga. Kelasnya sudah sepi, dan ranselnya juga tidak ada di bangku. Usaha yang sia-sia untuk berlari menaiki anak tangga sekarang. Seharusnya Shapa menelepon atau memberikan pesan singkat agar dia bisa segera pulang.
***
Helaan napas panjang gadis itu keluarkan untuk yang ke sekian kalinya. Shapa mendongak, memperhatikan matahari dengan mata memicing. Ini panas, dan tempat parkirnya pun tidak memiliki pohon yang membuatnya terhindar dari sengatan matahari.
Meyes masih belum datang, padahal dia sudah menunggu selama dua puluh menit. Sampai semua orang yang ada di sekolah telah pergi menuju rumah masing-masing.
"Gue bosen, panas banget di sini. Kalau kaya gini bisa godong, bisa bikin flek hitam," rengek Shalsha, menatap Shapa dengan bibir yang dia tekuk ke bawah, "Shafa, gue masih belum replay sunscreen, gue takut wajah gue nanti belang."
Shapa memutar bola matanya malas, menatap teman barunya itu dengan tatapan malas, dan berkata, "Kalau takut mah pulang aja! Ngapain juga lo di sini? Lagian gue gak ada nyuruh buat nunggu kan? Sana pulang!"
"Gak mau, gue pengen di sini nemenin lo. Lagian kalau gak ada gue, lo sama siapa di sini?"
"Ada meyes, nanti dia juga dateng."
"Meskipun ada si mey, dia juga dateng nanti. Lo bakalan sendiri, dari pada berdiri di bawah sinar matahari, mendingan masuk ke mobil gue yuk! Gue nyalain ac-nya supaya gak gerah," ucap Shalsha dengan senyumnya yang sangat lebar.
Shapa menggeleng, melangkah menuju koridor, dan duduk di salah satu kursi. Tempat ini lebih dingin, seharusnya Shapa duduk di sini sejak tadi, dia sangat bodoh sekarang.
"Shafa, kenapa gue di tinggal sih?" kesal Shalsha yang baru saja sampai, dan ikut duduk di sebelah Shapa.
"Kan udah gue bilang pulang aja, lo ngeyel! Gue gak butuh temen, yang gue butuhin cuman meyes doang!" sahut Shapa yang tak kalah kesalnya dengan Shalsha.
"Kenapa lo malah marah sih? Kan gue yang kesel, kenapa lo ikutan kesel?" Kening Shalsha bertaut.
Shapa kembali mendengus, memutar bola matanya sebelum mengubah pandangannya pada bunga kertas berwarna merah di depannya. Dia malas bersama Shalsha yang sangat cerewet, dan sok menjadi orang yang asyik.
Meyes juga menyebalkan, sejak tadi pagi sampai sekarang masih belum terlihat. Entah ada di mana gadis itu sekarang, yang jelas Shapa yakin jika Meyes masih ada di dalam sekolah saat ini.
"Shapa?!"
Teriakan itu membuat Shapa menoleh. Dia tersenyum tipis, membalas lambaian tangan Meyes sampai gadis itu berdiri di hadapannya sekarang.
"Lo dari mana aja sih? Gue tungguin dari tadi, gue telepon seratus kali juga gak di angkat!" omel Shapa.
"Telepon? Orang dari tadi hp gue aman-aman aja, gak ada telepon dari lo." Meyes memperlihatkan log panggilan pada Shapa dengan kening bertautnya, "Tas gue mana?"
"Apaan tuh? Orang gue telepon kok, nyambung tapi gak lo angkat. Gue seriusan, gak bohong!" sahut Shapa sambil memberikan ransel itu pada Meyes.
"Iya, waktu Shafa telepon itu gue ada di sampingnya. Pas istirahat, gue juga ikut ngehubungin lo, tapi anehnya nomor hp lo itu gak aktif pas gue hubungin," imbuh Shalsa.
"Masa sih? Kayanya hp gue eror deh." Meyes memperhatikan benda pipih berwarna hitam itu lamat-lamat. Sejak tadi ponselnya tidak mengeluarkan suara, dan tidak ada juga panggilan yang datang dari Shapa ataupun Shalsha. Apa mungkin karena ada makhluk itu?
"Mey, lo bolos di mana sih? Gue lupa tadi pak siapa namanya, pokoknya doi bilang kalau lo bakalan dapet buku hitam sama surat panggilan kalau bolos lagi," ucap Shapa.
Meyes, dan Shalsha menatap Shapa dengan kening bertaut.
"Lo lupa sama nama guru tadi Fa? Kok bisa lupa?" tanya Shalsha bingung.
"Guru baru, lupa nama hehe!" ucap Shapa, dan kembali menatap Meyes tajam, "Jangan bolos lagi Meyes!"
"Iya-iya, gak akan lagi!"