Gadis itu menguap dengan lebar, mensejajarkan kedua tangannya di atas meja sebelum benar-benar di gunakan sebagai pengganti bantal. Napasnya tak teratur sejak tadi, banyak beban pikiran yang tersimpan di dalam kepalanya saat ini.
Banyak orang yang mengatakan menjadi indigo adalah hal yang menyenangkan. Banyak pula yang mengaku indigo hanya untuk menjadi pusat perhatian, dan terlihat keren. Padahal itu kebohongan, dan banyak orang yang percaya. Entah kenapa dia masuk dalam kategori orang yang ingin menjadi indigo, dan mengatakan menjadi indigo adalah keren, dan menyenangkan.
Akan tetapi dia tidak memikirkan risiko yang akan di terimanya nanti. Tidak memikirkan dampak, dan tidak enaknya menjadi seorang indigo. Sampai akhirnya dia benar-benar merasa kesal, dan menyesal atas semua yang dia minta kepada Tuhan.
Meyes merasa dia sangat bodoh dalam hal meminta. Dia sangat bodoh karena harus melihat sosok mengerikan yang tidak pernah tahu tempat, dan situasi yang tepat. Apa lagi mereka datang ketika dia sedang sendirian, di dalam rumah atau ruangan senyap, dan tiba-tiba berubah menjadi mencekam. Itu adalah hal yang mengerikan.
Perhatiannya sekarang berpusat pada jam dinding yang ada di atas foto presiden Joko Widodo. Jarum jam menunjuk pada angka delapan, masih satu jam lagi bell istirahat berbunyi. Jika bukan karena ancaman kemarin, Meyes sudah pergi ke kantin sejak beberapa jam yang lalu.
"Mey, lo sakit ya?" ujar Shalsha yang sekarang mensejajarkan dirinya dengan Meyes di samping. Tatapannya nampak khawatir, "Ayo, ke UKS, gue anter!"
"Gue gak sakit," sahut Meyes lirih.
"Kenapa dari tadi diem aja? Gue sama Shafa ngobrol, yang lain pada main juga. Beda aja sih gue liatnya, gak kaya kemarin."
Kening Meyes bertaut, mengubah posisinya menjadi duduk tegap, dan berkata, "Lo ketemu sama gue kan baru kemarin? Lagian gue juga kemarin bolos kelas, gimana bisa lo bilang gue beda?"
"Shafa yang cerita," sahut Shalsha dengan cengirannya. Beranjak dari posisi jongkoknya, dan berkata, "Gue ke toilet dulu, lo mau ikut?"
Meyes menggeleng. Mendapat jawaban itu membuat Shalsha mengangguk sebelum melenggang pergi.
Meyes kembali menghela untuk yang ke sekian kalinya. Melirik ke arah Shapa yang sekarang sedang sibuk menyalin catatan Bahasa Indonesia yang ada di papan tulis. Gadis itu sangat rajin, bahkan lebih rajin dari Meyes. Katanya ingin menjadi seorang dokter spesialis, padahal mereka anak IPS, dan katanya yang boleh masuk prodi kedokteran hanya anak IPA.
Akan tetapi banyak orang yang dia lihat masuk fakultas kedokteran di kampus swasta. Mungkin itu jalan pintas agar bisa menjadi seorang dokter tanpa melihat prodi pendidikan terakhir.
"Meyes, ini bakalan di pake buat ujian minggu depan. Lo mau pinjem catetan gue atau gak nyatet sama sekali?" ucap Shapa yang sekarang menatap Meyes.
"Hm, gak ngerti. Lo kirim aja deh fotonya ke whatsApp, biar nanti gue salin atau fotocopy!"
"Ah! Oke, nanti gue kirim pas udah selesai ya."
Meyes mengangguk, tapi perhatiannya dengan Shapa sekarang beralih pada pintu keluar. Melihat Adit yang sedang berjalan menghampiri mereka berdua dengan raut muka cemas. Cowok itu terus memanggil nama Meyes.
"Mey, gawat!" ucap Adit heboh.
"Kenapa?" kening Meyes mengernyit heran, dan bingung dengan gelagat aneh teman kelasnya itu.
"Pak ribut, guru BK kita!"
"Iya, kenapa emangnya? Jangan setengah-setengah dong sat!" ketus Meyes yang tak sabaran.
"Lo di panggil, katanya harus ke ruang BK sekarang. Gue gak ngerti, tapi gue ngerasa gak enak sih. Lo kenapa anjir bisa sampe di panggil gitu? Ngelakuin apa?" jelas Adit cemas.
Meyes hanya menghela, bola matanya memutar malas sebelum beranjak dari duduknya, "Kebanyakan bolos."
"Emang alpa udah banyak banget?"
"Ngelebihin bates malahan," sahut Meyes enteng, "Dahlah, gue duluan!"
Adit, dan Shapa menatap gadis itu dengan gelengan tak percaya. Mereka tak bisa membantu, dan membiarkan gadis pucat itu melenggang pergi.
***
Ruangan kecil itu terasa sangat sempit. Banyak sekali buku yang tersusun berantakan di dalam rak tinggi berwarna hitam itu. Meja kerjanya juga berantakan, tumpukan kertas ada di mana-mana, dan pria paruh baya berkepala botak itu tak mau membuatnya menjadi rapi. Padahal kerapian kan sebagian dari iman.
Meyes menghela samar, memainkan jemarinya yang berada di bawah meja dengan bibir yang dia majukan sedikit. Sementara Pak Ribut sibuk mencari buku, dan juga pulpen tinta merah yang menghilang sejak beberapa menit yang lalu.
Pria paruh baya itu mendesah kesal, membuka, dan mengacak-acak isi laci dengan kasar sampai senyuman merekah itu tercetak. Buku hitam tipis itu terlihat sekarang, dan di dalam tersimpan pulpen tinta merah. Di letakkannya benda itu tepat di depannya, dan mulai berdeham agar suasana mencair, dan menjadi lebih serius.
"Mey, kenapa kamu selalu membolos sekolah?" ucapnya tanpa basa-basi.
Meyes menatap mata itu lamat-lamat, memberikan cengiran, dan berkata, "Jujur saya bosen Pak sama pelajaran sejarah kemarin. Gurunya kan udah sepuh ya, jadi waktu lagi ngejelasin itu gak asyik."
"Terus mau kamu itu apa? Guru yang masih muda gitu? Yang sesuai sama apa yang kamu mau?"
Meyes mengangguk, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, "Iya Pak, generasi milenial gitu Pak. Saya kan gen Z ya, kalau di ajarin sama generasi kolonial pasti ngerasa kurang aja."
Pak Ribut menghela, gelengan kepala terlihat dengan raut muka tak sedap. Meyes tahu isi kepala pria itu sekarang, tapi masa bodo juga untuk semua ini. Lagi pula orang tuanya tidak meminta nilai bagus, menurut mereka nilai adalah bonus setelah belajar selama puluhan jam.
Meyes sangat bersyukur memiliki orang tua seperti itu, dia tidak menjadi ambisius, belajar seadanya, dan sebisanya. Terlalu banyak bermain malahan. Dahulu pernah Dian memarahi Meyes karena nilainya terlalu sempurna, dan Meyes juga tidak pernah keluar kamar hanya untuk belajar. Kemudian nilai ujian harian matematika yang mendapatkan nilai nol juga pernah di jumpai Dian, dan pria itu sama sekali tidak marah, malahan memberi penghargaan dengan membelikan putri kesayangannya es krim.
"Ini surat peringatan pertama kamu." Pak Ribut menyodorkan buku hitam yang terbuka dengan pena merah.
Kening Meyes bertaut, dan kembali menatap Pak Ribut bingung, "Kok buku? Mana suratnya Pak?"
"Tanda tangan dulu!"
Meyes kembali mendesah, menanda tangani buku hitam pertamanya beberapa kali, dan berkata, "Jadi mana suratnya?"
"Itu, ambil di printer! Baru selesai saya cetak," sahut Pak Ribut tanpa menatap lawan bicaranya.
"Makasih Pak!" ucap Meyes, beranjak dari duduknya, dan meraih selembar kertas pada alat berbentuk kotak itu.
"Jangan bolos lagi!"
"Siap!" Meyes memberikan senyum tipis sebelum benar-benar keluar dari ruangan sempit itu.
Koridor nampak begitu sepi, helaan napas lega keluar ketika dia berdiri di dekat bak sampah. Di lihatnya lembar putih dari Pak Ribut itu dengan datar, detik berikutnya Meyes merobek kertas putih itu sebelum membuangnya di bak sampah tanpa rasa bersalah.