Sinar mentari menyorot pada wajahnya secara tiba-tiba. Keningnya bertaut dalam karena silau, tangan kanannya ikut menutup separuh wajah cantiknya itu. Hari ini libur untuk pergi ke sekolah, dan seharusnya matahari tahu jika Meyes menginginkan tidur yang lebih panjang lagi, tapi apa ini?
Meyes menggeleliat, menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut tebal berwarna hitam itu. Namun, seseorang membuka selimutnya dengan kasar, menyeret kakinya untuk keluar dari kasur.
"Aduh! Aku ngantuk!" ucap Meyes dengan suara seraknya.
"Ayo, bangun!" sahut Aisyah.
Gadis itu mendengus, kedua matanya masih terpejam dengan erat, "Ma, ini hari minggu, aku masih ngantuk!"
"Bangun Mey, kamu harus mandi! Ayo, nanti ada tamu penting yang kamu harus temuin!" Aisyah kembali menarik salah satu lengan putrinya sampai Meyes benar-benar duduk di pinggir ranjang dengan mata terpejam, "Ayo, bangun, ini udah siang Ya Allah!"
"Siapa sih yang dateng? Kenapa harus aku ikutan buat duduk di sofa? Aku tuh capek, kemarin pulang jam enam sore, Mama kenapa sih tumben banget kaya gini," ucap Meyes kesal, sekarang kedua matanya terbuka meskipun terasa sangat berat, dan banyak kotoran mata di pinggiran matanya.
"Temen mama ke sini bawa anaknya, seumuran kamu. Kalau gak ada kamu, siapa yang bakalan ngobrol sama dia kalau bukan kamu?"
Lagi-lagi Meyes harus ikut menemui tamu Aisyah. Padahal dulu dia pernah membuat pertemuan kacau karena malas, dan kesal dengan percakapan yang terjadi. Lagi pula dia memiliki kesibukan, dan harinya sekarang menjadi kacau dengan orang asing.
"Ayo, mandi terus sarapan! Mama tunggu di bawah," ucap Aisyah sebelum melenggang pergi.
Meyes hanya mendengus, mengucek kedua matanya kasar sebelum beranjak, dan masuk ke dalam toilet.
***
Gadis itu menuruni tangga dengan malas. Tenaganya terasa terkuras habis karena mendengar jika tamu milik Aisyah sudah tiba, dan sekarang duduk di ruang tamu. Padahal banyak novel horor yang harus dia selesaikan sekarang, hanya hari minggu yang bisa dia gunakan untuk membaca novel.
Meyes mendengus untuk yang ke sekian kalinya, langkahnya terhenti di balik dinding menuju ruang tamu. Gadis itu merapikan pakaiannya yang berantakan, jeans panjang yang robek di bagian paha, dan lutut itu membuatnya terdiam sambil memperhatikan. Meyes merasa ini tidak sopan, tapi ini rumahnya, dan mereka hanyalah tamu yang seharusnya mau menerima kondisi tuan rumah.
Jadi masa bodo untuk beban pikiran yang baru saja bertambah itu. Meyes segera mengambil langkah, membuat senyuman tipis sebelum mencium punggung tangan wanita yang menyanggul rambutnya seperti orang yang sedang ada acara sakral.
"Hallo! Tante," sapanya sebelum mendarat di sebelah Aisyah dengan anggun.
"Hallo! Ini yang namanya Mey?" sahutnya dengan senyum yang sangat lebar itu.
Meyes mengangguk sebagai jawaban.
"Ini anakku yang kedua, dia jarang sekali keluar rumah. Beda sama saudaranya yang lain, mereka paling gak betah buat keluar," timpal Aisyah.
"Ah! Gitu, kenapa gak mau keluar? Ini kan hari minggu, biasanya anak jaman sekarang paling gak betah di rumah terus. Apa lagi di suruh ke dapur," sahutnya dengan kekehan.
Meyes hanya tersenyum kecut. Itu hanya kata Aisyah, padahal dia sangat suka keluar, apa lagi ketika malam hari bersama Shapa. Namun, Meyes tahu jika wanita itu tidak pernah tahu karena sangat jarang berada di rumah hanya untuk melihat kegiatannya yang sangat membosankan itu.
Perhatian Meyes beralih pada cowok tinggi dengan alis tebal itu. Terlihat tampan, dan terlalu nikmat untuk di pandang. Sayangnya Meyes hanya menatapnya sekilas, dan kembali memperhatikan ubin lantai dengan pikiran yang masih penuh. Dia bingung, waktu berjalan dengan begitu lamban, sampai-sampai ini terasa seperti berhari-hari.
"Kalau Demas sekolah di mana? Sekarang kelas berapa?" tanya Aisyah.
Kening Meyes bertaut, dia seperti tidak asing dengan nama itu, tapi di mana dia mendengarnya? Orang yang ada di hadapannya juga terlihat sangat asing, ini kali pertamanya untuk mereka saling bertemu.
"Kelas sepuluh Tante, aku sekolah di SMK5, tapi mau pindah," sahut Demas.
"Sekolah favorit itu? Kenapa mau pindah?"
"Gak nyaman, lagian sekolahnya juga kejauhan dari rumah. Jadi mau nyari yang deket," jelas Demas.
"Pindah ke sekolahnya Mey aja kalau gitu, deket kan dari rumah kamu. Nanti kalau berangkat sama pulang bisa barengan sama Mey, lagian Mey juga suka males bawa motor. Sukanya nebeng atau naik bus," ucap Aisyah sambil menyenggol lengan Meyes pelan.
Demas hanya terkekeh kecil, dia bingung untuk menjawab apa lagi.
"Kenapa nebeng sama naik bus? Pacarnya ke mana?" sahut ibu Demas.
"Gak punya pacar Tante," ujar Meyes yang kali ini menatap wajah wanita itu dengan senyum masam.
"Oh ya? Sama dong, anak tante juga gak punya pacar, gimana kalau kalian-"
"Ma, aku ada tugas kimia, bisa aku naik ke atas sekarang? Deadline tugasnya besok," potong Meyes cepat.
Aisyah terdiam sejenak, dia merasa tidak enak karena putrinya mulai tidak sopan, "Penting Mey?"
Gadis itu mengangguk.
"Mau gue bantu?"
Suara itu membuat Meyes menoleh dengan rahang yang mengeras. Dia menatap kesal cowok itu, padahal niatnya untuk pergi.
"Ah! Iya, boleh kok sayang. Mey ajak Demas ke atas, buatin teh juga ya supaya belajarnya makin nyaman!" ucap Aisyah.
Meyes menghela samar, memberikan isyarat pada cowok itu sebelum beranjak, dan melenggang menuju kamarnya. Dia membuka pintu dengan malas, usahanya gagal sekarang.
"Tugasnya di bab apa Mey? Mungkin di sekolah gue udah di jelasin minggu lalu," sahut Demas, memperhatikan setiap sudut kamar Meyes yang terlihat sangat nyaman itu.
Meyes menghela, seharusnya foto kuntilanak, dan valak masih dia pasang agar cowok itu merasa ilfeel atau takut, dan menyebutnya aneh sekarang. Kemudian Demas pasti akan menjauh tanpa di suruh, sayangnya mereka telah di singkirkan.
Gadis itu duduk di tepi ranjang, memperhatikan Demas yang masih berdiri di dekat pintu, "Jurusan pariwisata, mapel kimia cuman alasan supaya gue bisa pergi ke kamar."
Cowok itu tidak terkejut sama sekali, malahan memberikan senyum tipis, dan itu membuat kening Meyes bertaut kesal.
"Lo inget gue gak sih?" tanyanya yang sekarang ikut duduk di sebelah Meyes.
"Engga, lo siapa emangnya? Kenapa juga gue harus inget orang asing," ketus Meyes.
"Penelepon asing sekitar jam sembilan malam, dan lo jawabnya ketus banget."
Ah! Meyes ingat sekarang, dan entah bagaimana bisa orang tua mereka saling kenal. Meyes menatapnya curiga, tapi raut mukanya berubah menjadi biasa saja. Helaan napas panjang mulai keluar.
"Siapa yang ngasih?" tanya Meyes dengan santai.
"Apanya?" kening Demas bertaut.
"Nomor gue, siapa yang ngasih nomor gue ke lo?"
"Shafa."
Kedua netra Meyes membulat sempurna, cara duduknya pun berubah menjadi tegap, dan berkata, "Kok bisa?!"