Meyes menghela untuk yang ke sekian kalinya. Cowok bernama Demas itu sangat menyebalkan, selalu membuat Meyes marah. Pertama menelepon di malam hari, dan menjadi orang yang sok kenal. Kemudian bermain di rumahnya dengan wanita paruh baya yang ternyata teman arisan Aisyah, dan hari ini dia bersekolah di sekolah Meyes.
Demas memang tampan, tapi bukan berarti Meyes bisa langsung jatuh hati, dan memilih untuk menjadi baik. Dia tidak suka itu.
Helaan napas kembali keluar, mendongak dengan tatapan datar. Masa bodo dengan sinar matahari yang katanya bisa membuat kulit menghitam, dan yang paling berbahaya adalah kanker kulit.
"Udah lama di sini?" suara berat nan serak itu terdengar jelas di sebelahnya. Meyes menoleh, keningnya bertaut dalam sebelum mengambil satu langkah ke belakang.
Demas ikut menoleh ke belakang, salah satu alisnya tertarik ke atas karena bingung dengan pergerakan yang di lakukan Meyes secara tiba-tiba.
"Lo kenapa?" tanyanya lagi.
"Lo yang kenapa, kenapa harus pindah ke sekolah gue? Masih banyak sekolah negeri yang bisa lo masukin, kenapa harus sekolah gue?!" sahut Meyes ketus, "Dari awal kan udah gue bilang kalau jangan sok akrab atau jadi temen gue! Kenapa lo malah pindah, terus ngampirin gue di kelas?!"
Demas terdiam, ini bukan tujuan aslinya. Gadis itu salah paham, mungkin karena terlalu benci dengan kehadirannya membuat Meyes menjadi berlebihan.
"Sekolah ini yang paling deket dari rumah gue, ini juga bukan sekolah lo kan? Iya lo murid di sini, tapi bukan berarti lo bisa ngelarang gue buat sekolah di sini. Mey, jangan emosi dulu! Tenangin diri lo dulu, kita obrolin baik-baik!"
Kening Meyes kembali bertaut, dia baru sadar atas emosi yang selalu hadir. Emosi yang hadir secara berlebihan membuatnya tampak menjadi monster mengerikan, "Ngapain ke rooftop? Shafa yang ngasih tau ya?"
Demas menggeleng, menyandarkan punggungnya pada pagar pembatas, dan berkata, "Dia gak ngasih tau, gue ngikutin lo tadi. Sebenernya gue pengen lo jadi temen gue, temen pertama gue di sekolah ini."
"Kenapa gak dari awal aja bilang jadi temen? Kenapa juga malah ngasih gelagat aneh yang bikin gue kesel?"
"Ha? Gelagat aneh gimana? Yang mana dulu?"
Gadis itu kembali membisu, kali ini perhatiannya beralih pada lantai dengan raut muka bingung. Meyes semakin tidak paham dengan kalimat yang keluar dari dalam mulutnya, selalu aneh, dan tidak sesuai dengan keinginan otaknya. Inilah kenapa banyak orang yang menyuruhnya untuk berpikir sebelum berbicara.
Meyes menyelipkan rambut panjangnya itu ke belakang telinga sebelum berkata, "Lupain, gue udah gak peduli lagi!"
Demas tersenyum kecil, mengubah posisinya menjadi berdiri tegap. Cowok itu mendekat, memegang salah satu tangan Meyes. Menatapnya lekat-lekat dengan senyum yang masih mengembang meskipun Meyes memberikan tatapan tak menyenangkan.
"Apaan?" ujar Meyes.
"Jadi temen gue ya!" pinta Demas.
"Ih! Gak ah, gue udah punya shafa!" Meyes melepas genggaman tangan Demas.
"Gue jelek ya?"
Meyes tertawa terbahak-bahak, memegang perut beserta rambut yang dia sibakkan ke belakang. Helaan napas kembali keluar, dan berkata, "Lo abis minum ya? Ngomong ngelantur, emangnya muka gue muka-muka orang yang suka pilih-pilih temen?"
"Buktinya lo gak mau temenan sama gue."
"Demas, gue tuh... udah ya, gue masih ada urusan yang lebih penting dari ini, bye!" ucap Meyes sebelum berlari pergi.
"Mey, lo mau ke mana?"
"Gak usah tau!"
Demas hanya bisa menghela samar, memperhatikan punggung Meyes yang semakin lama tak terlihat. Gadis itu menghilang, entah pergi ke mana lagi sekarang, Demas tidak tahu. Kehadirannya membuat gadis itu emosi, dan terus berkata ketus.
"Kenapa dia aneh?" gumam Demas.
***
Langkah kaki yang berlari itu berhenti tepat di perbatasan lorong. Gadis itu baru sadar jika kakinya kembali mengajak dia ke tempat menyeramkan ini, padahal tak ada niatan untuk kembali ke sini.
Namun, anehnya ada sesuatu yang membuatnya memperhatikan lorong sepi itu dengan kening bertaut dalam. Ada aura yang sangat memikat, aura negatif dengan hawa dingin yang kembali menyelimuti. Meyes menghela, dia kebingungan sekarang.
"Apa yang harus gue lakuin?" gumamnya, memendam bibir dengan tangan kanan yang dia simpan di belakang lehernya.
Suara aneh itu kembali terdengar, terdengar seperti perintah untuknya segera masuk ke dalam. Menelusuri koridor lagi seperti waktu itu.
Meyes tertegun, tapi beberapa detik kemudian tatapan kosong itu terlihat dengan jelas. Ini seperti sihir yang membuatnya tak bisa mengontrol diri. Salah satu kakinya memulai langkah, masuk lebih dalam.
Auranya semakin pekat sekarang, bulu kuduk meremang dengan jantung yang berdebar lebih cepat. Meyes menghela, ini sudah di luar kehendaknya, tapi rasa penasaran itu membuatnya untuk semakin menurut.
Tempat ini tak banyak berubah, tapi lebih bersih dari sebelumnya. Entah kapan Pak Eko membersihkan debu, dan sarang laba-laba di setiap dinding tempat ini. Meyes tidak tahu dengan pasti, tapi hari ini koridor ini sangat bersih.
Udara yang di hirup masih sama, tersarang debu di setiap udara yang dia ambil.
"Kenapa semakin jauh ya? Perasaan kemarin deket, ini aneh banget. Atau mungkin sosok kemarin yang bikin jalanannya semakin panjang?" ucap Meyes yang sedang bermonolog.
Langkahnya terhenti, merogoh benda pipih yang sedang berdering pada saku rok abu-abunya itu.
"Hallo! Kenapa lagi?" ucap Meyes kesal, menyandarkan punggungnya pada dinding sambil memperhatikan sekelilingnya.
"Lo di mana? Kok suaranya kaya menggema gitu sih, lo di mana Mey?" sahut Demas di balik telepon, terdengar begitu khawatir.
Namun, Meyes malah berdecih. Dia tidak suka dengan kekhawatiran orang berlebihan. Padahal ini kehendaknya, dan seharusnya orang lain tidak perlu untuk ikut campur, atau memberikan tatapan yang sangat dia benci. Meyes yakin, sekarang Demas tengah kelimpungan karena mencari tempat yang sedang dia kunjungi sekarang.
"Gak perlu tau!"
"Mey, gue seriusan, ini udah bell buat masuk kelas. Lo di mana? Shafa tadi nanya sama gue lo di mana, terus nyoba ngehubungin lo, tapi gak bisa," ucap Demas.
"Astaga! Lupa, gue blokir kemarin nomornya, nanti gue buka lagi blokirannya," sahut Meyes dengan kekehan karena kebodohannya.
Demas menghela samar, sementara Meyes kembali membuat muka datarnya. Kedua alisnya kembali bertaut dalam, dia merasa seperti ada orang yang sedang mengamatinya sekarang.
"Demas, lo lagi ada di sekitar gue ya? Lo... lagi ngintai gue ya?" ucap Meyes cepat.
"Ha? Engga, kalaupun iya pasti udah gue seret buat balik ke kelas."
Gadis itu terdiam, menggaruk hidungnya yang terasa gatal sambil memperhatikan ujung lorong gelap. Sepertinya di sana ada orang yang sedang mengawasinya sejak tadi, tapi Meyes tidak yakin kalau ada orang lain lagi yang berani menjamah tempat ini.
"Udah ya, gue sibuk!" ucap Meyes sebelum mematikan sambungannya, dan berlari menelusuri lorong gelap itu.