Chereads / Dear Tante Kunti / Chapter 17 - Who's he?

Chapter 17 - Who's he?

Meyes menghela samar. Rumahnya kembali terlihat tak terhuni, semua orang sedang berada di luar. Kaki kanannya memulai langkah menyururi pekarangan rumah. Untuk apa membeli rumah jika tidak pernah di huni? Merseka hanya singgah untuk tidur, dan kembali berlayar ketika mentari terbit.

Helaan napas kembali keluar ketika langkahnya terhenti di pinggir kolam. Perhatiannya beralih pada langit sore, dan kembali menunduk. Memperhatikan pantulan dirinya di dalam air kolam yang tenang itu.

Kesepian. Itu yang Meyes rasakan setiap berada di rumah. Dia merasa orang tuanya terlalu sibuk, dan lupa jika memiliki anak perempuan lain. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, dan jarang meluangkan waktu untuknya di rumah atau pun di luar.

Namun, tak apa, Meyes merasa tidak kesepian sewaktu di luar sekolah. Ada  Shapa yang selalu membuatnya tertawa, gadis itu selalu membuatnya bisa melupakan kesedihan setiap kali di rumah.

Meyes memilih untuk mendaratkan bokongnya di atas gazebo. Memperhatikan langit sore yang sekarang menapakkan cahaya senja. Begitu cantik dengan warna merah keunguan, kedua sudut bibir gadis itu tertarik ke atas.

"Aduh! Siapa sih ini?" kesal Meyes sembari menempelkan benda pipih itu pada telinganya, "Hallo!" ucapnya lagi.

"Hallo! Mey, kamu udah di rumah atau masih di sekolah?" sahut seseorang di seberang sana.

Meyes kembali menghela samar, menegakkan tubuhnya, dan berkata, "Baru sampe rumah, kenapa Mah?"

"Mama gak sempet masak, waktu kamu ke sekolah mama sama papa langsung pergi ke kantor. Ada uang di atas kulkas beli makanan di luar ya!" jelas Aisyah.

"Yang lain ke mana? Ikut sama Mama? Bang yoga juga?"

"Iya, semuanya ikut ke kantor. Kamu jangan bikin aneh-aneh ya, abis beli makanan kunci rumah!"

"Emang Mama sama papa ke mana? Kenapa lama pulangnya? Pastinya jam berapa udah sampe di rumahnya?" kening Meyes bertaut.

"Mama sama papa ada lembur, adek kamu sama abang gak mau di rumah. Tapi nanti mama  cepetin kok kerjanya supaya gak pulang malem banget."

Meyes hanya membisu dengan tatapan kesalnya. Lagi-lagi alasan klasik yang wanita itu berikan, selalu ada pekerjaan penting yang datang di malam hari. Membuatnya kembali sendirian di dalam rumah ketika bulan kembali muncul.

"Mey, udah ya Nak, jangan lupa beli makanannya! Jangan sampe kamu gak beli makanan, kamu harus makan nasi!" ucap Aisyah lagi.

"Iya Mama iya, aku nanti beli nasi."

"Kalau sampai mama gak dapetin bungkusan nasi, kamu gak dapet uang jajan lagi ya!"

"Iya Ma, astaga nanti aku beli nasi padang. Mama liat aja nanti sampah makanannya di tong sampah dapur!" sahut Meyes.

"Mey, mama kaya gini supaya kamu sehat, gak cuman makan ciki doang di luar sana. Kamu juga jarang sarapan, gak mau bawa bekal dari rumah, gimana  mama gak khawatir coba?"

Meyes hanya membisu.

"Oke, mama gak akan cerewet lagi ke kamu, cepet mandi terus beli makanan!" ucap Aisyah sebelum memutuskan sambungan teleponnya.

Meyes menghela kasar, memasukkan telepon genggamnya ke dalam saku kemeja dengan kesal. Jujur dia tidak merasa lapar, terlalu banyak makanan ringan yang masuk ke dalam tubuhnya mulai dari istirahat pertama tadi. Namun, lagi-lagi ancaman tak mengenakan Aisyah berikan untuknya.

Gadis itu mulai beranjak, berlari menuju rumahnya. Langkahnya terhenti, memperhatikan langit-langit ruangan rumahnya dengan datar sebelum mengambil langkah menaiki anak tangga.

Ketika anak tangga terakhir hampir dia pijak, langkahnya terhenti. Suara seseorang menggeram terdengar begitu jelas. Itu suara berat nan serak, hanya pria yang memiliki suara seberat itu, dan Meyes pikir sosok itu berusia sekitar tujuh puluhan. Atau mungkin sudah melampaui ratusan tahun.

Salivah di telan mendadak, Meyes masih terpaku di tempat dengan tatapan tak percaya. Dia bingung harus melanjutkan langkahnya atau tidak, tapi dia juga tidak bisa berlama-lama di luar, yang ada nyamuk akan memakan darahnya.

Detik berikutnya Meyes berlari menuju kamarnya yang masih jauh dari tempatnya berdiri. Langkahnya tergesah-gesah dengan kening yang sekarang bercucuran keringat, masa bodoh jika sosok itu melihatnya seperti seorang yang pengecut. Intinya Meyes segera pergi, dan menyelematkan dirinya dari suara, dan tempat yang terasa mencekam itu.

***

Gadis pucat yang memakai hoodie berwarna merah dengan bercak putih itu keluar dari dalam rumah makan padang. Langkahnya terhenti tepat di pinggir jalanan besar, tak ada bus atau taxi yang lewat sekarang. Ini sudah pukul sembilan malam, dan seharusnya masih ada bus atau taxi yang pergi ke arah rumahnya saat ini.

Helaannya keluar, mau tak mau dia harus jalan sekarang. Dengan langkah malasnya Meyes berjalan menysuri jalanan terang itu. Andaikan dia memiliki teman yang bisa di andalkan, pasti hidupnya akan lebih baik dari ini. Shapa tak akan bisa di andalkan, gadis itu terlalu sulit untuk keluar dari jeruji besi rumahnya. Harus ada alasan yang jelas, dan dapat ibunya terima setiap kali keluar  malam.

Ponselnya kembali berdering, membuat Meyes mengernyit dengan langkah yang berhenti. Gadis itu mengeluarkan ponselnya yang di simpan di dalam jeans pendeknya. Langsung menempelkan telepon genggam itu pada telinga, dan berkata, "Hallo!"

"Hallo! Ini Mey kan?"

Kening Meyes bertaut tanpa menjawab pertanyaan dari cowok yang sedang meneleponnya.

"Hallo! Ini masih nyambung, kenapa diem aja?" ucap cowok di balik telepon itu lagi.

"Ha? Apaan sih? Lo siapa?" sahut Meyes ketus.

"Ini Mey kan?"

"Iya gue mey, lo siapa? Dapet nomor gue dari siapa?"

"Lo di mana sekarang? Sibuk? Bisa kita ketemu?"

Kening Meyes semakin bertaut dalam, bibirnya terbuka sedikit dengan tatapan tak percaya. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan orang aneh yang sedang meneleponnya malam ini. Namanya juga sangat asing, tak pernah dia dengar, dan juga tau bagaimana rupa cowok ini.

"Hallo! Mey?" panggilnya lagi.

"Lo siapa sih anjir? Gak usah nanya gue lagi di mana, terus nanya gue sibuk atau engga. Lo siapa emangnya?" sahut Meyes lebih ketus.

Suara kekehan terdengar, dan itu semakin membuat Meyes kesal mendengarnya.

"Mey, jujur gue ngehubungin lo bukan buat adu argumen."

"Kalau gitu kasih tau lo ini siapa, terus siapa yang ngasih nomor gue ke lo? Serius nomo ini privasi banget, cuman temen sama keluarga gue doang yang tau, dan seharusnya lo gak punya nomor gue!"

"Kenapa gue gak boleh punya?"

"Karena lo itu orang asing! Astaga, gue buang-buang waktu buat ngobrol sama lo, ini udah malem. Seharusnya lo ini bisa tau kalau di jam segini orang istirahat!"

"Maaf ya karena gue salah hari ini, tapi tujuan gue telepon itu buat-"

Sambungannya Meyes putus dengan kasar. Memasukkan benda pipih itu ke dalam saku hoodienya, dan kembali berjalan dengan kesal. Rahangnya mengeras, dia terus menggerutu kesal. Jika nanti Meyes tahu siapa yang memberikan nomor teleponnya kepada orang tadi, Meyes akan memberikan pelajaran pada si pemberi itu.