Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang berseprei putih kebiruan itu. Perhatiannya berfokus pada langit-langit kamarnya dengan raut muka datar. Kejadian tadi pagi masih dia pikirkan sampai sekarang.
Padahal ini sudah malam, dan seharusnya Meyes tidur untuk mengisi energinya. Namun, otaknya masih terus bekerja dengan giat, membuat berbagai pertanyaan soal sosok menyeramkan, dan suara berat yang masih tidak dia ketahui akan sosok, dan rupanya seperti apa.
Meyes menghela, mengubah posisi terlentangnya menjadi miring. Dia bingung sekarang, bibirnya terasa gatal. Ingin sekali menceritakan soal kejadian yang baru saja dia alami, tapi kepada siapa? Siapa yang akan mempercayai cerita aneh ini? Lagi pula semua temannya tidak ada yang memiliki mata batin seperti dirinya.
Cerita nyata yang dia alami akan menjadi di ingat sebagai karangan dari semua imajinasi yang dia miliki oleh orang lain. Tidak akan ada yang percaya.
Meyes meraba nakasnya, mengambil benda pipih yang sekarang ada di genggamannya. Mencari nomor telepon sebelum menempelkannya pada telinga.
"Hallo! Lo udah mau tidur ya?" ucapnya lirih.
"Belum, kenapa? Kenapa suara lo kecil banget?" sahut Shapa di balik telepon.
Meyes kembali menghela panjang, mengubah posisinya menjadi duduk dengan kepala yang menunduk, "Gue... mau cerita, tapi... lo percaya atau engga nantinya?"
"Soal apa dulu? Kisah nyata? Mungkin gue bisa percaya karena lo yang cerita."
"Hm, oke. Ini tentang yang tadi, tempat yang gue pake buat bolos."
"Eh iya! Ayo, ceritain gue pensaran banget lo tadi ke mana gegara lama!" sahut Shapa dengan begitu semangat.
Meyes menenggelamkan bibirnya, dia bingung harus memulai dari mana untuk bercerita. Lidahnya terasa kilu, otaknya tak lagi berjalan dengan baik, tapi bibirnya terasa gatal. Tidak sabar untuk mengeluarkan setiap kalimat yang dia rangkai sesuai dengan kejadian tadi.
"Hallo! Meyes?" panggil Shapa khawatir.
"Gue tadi pergi ke lorong yang terkenal angker itu."
"Eh, bentar!" potong Shapa.
Kening Meyes bertaut, dia merasa kesal karena kalimatnya harus selesai.
"Gue lagi di jalan, sekarang ada di depan rumah lo. Boleh masuk gak nih? Cerita langsung di depan gue ya!"
Gadis itu beranjak, membuka gorden jendelanya, dan melihat mobil berwarna putih tengah terparkir di depan pagar rumahnya malam ini, "Oke, cepetan!"
Shapa terlihat berlari membuka pintu pagar dengan cepat, kemudian memasukkan mobilnya secara perlahan. Meyes tersenyum tipis, temannya itu sangat bersemangat malam ini.
Suara pintu terbuka membuat Meyes menoleh ke belakang, "Tutup, jangan lupa di kunci!"
Shapa memberikan jempol kanannya, dan menutup pintu itu rapat-rapat. Berlari menuju ranjang, duduk di tengah-tengah bersama dengan Meyes yang sekarang merebahkan tubuhnya.
"Gimana? Ayo, mulai cerita!" titah Shapa tak sabar.
"Lo tau rumor lorong angker itu kan?"
Shapa mengangguk.
"Gue ke sana."
"Apa?! Seriusan, kok bisa?!" sahutnya dengan mata yang terbelalak.
Meyes mengangguk, meraih boneka babi dari kartun angry bird itu sebagai pengganti bantal, "Gue ke sana gara-gara penasaran, tempatnya sunyi banget. Hawanya gak enak banget, asing sama dingin. Lembap deh pokoknya, banyak lumut, tapi... ada satu yang bikin gue gak bingung."
"Apa?"
"Kelas perawat ada di sana, masih bagus. Layak pake, tapi malah gak di pake. Di dalem sana ada lukisan noni belanda cantik banget, di sudut bawah ada tulisan maria. Gue gak tau maria siapa, pelukisnya atau cewek yang ada di dalem lukisan itu," jelas Meyes sebelum menghela, "Terus pas gue pegang lulisannya, gangguan mulai dateng. Suara langkah kaki, bau busuk, gue ngerasa lagi di awasin, pintu kekunci, dan yang paling nyeremin satu!"
"Apa?"
"Sosok perempuan gaun putih yang bersimbah darah lagi teriak terus lari ke arah gue. Dia nabrak gue, gue jatoh jadinya. Tapi lo tau gak sih? Gue ngerasain angin yang kenceng banget lagi nabrak gue, rasanya sakit banget!"
"Angin?" kening Shapa bertaut dalam.
Meyes mengangguk sebagai jawaban sebelum mengubah posisinya menjadi duduk. Dia menatap Shapa dengan tatapan serius, "Abis itu pintunya ke buka, ada pak ujang, tapi beda banget. Pas gue keluar udah di depan kelas sebelas pariwisata, malah ngeliat pak ujang lagi nurunin bendera."
"Palingan lo kalah cepet sama pak ujang perginya."
"Gak mungkin, pak ujang tuh masuk ke koridor lebih jauh. Gue lari buat pulang, terus pak ujang yang di tiang bendera pake batik, sementara yang gue temuin lagi pake kaos putih pake peci," jelas Meyes.
Shapa terdiam, dia tidak bisa menjawab, dan membantah lagi. Ini sangat janggal, dan membuatnya berpikir keras, "Kok bisa ada hantu di siang bolong?"
Meyes mengangkat kedua bahunya acuh dengan gelengan kepala setelahnya.
"Jangan ke sana lagi bahaya!"
"Tapi gue penasaran, gak tau kenapa ada sesuatu yang masih pengen gue liat. Gue ngerasa tempat itu terus manggil gue, lo ngerti gak sih maksud gue?" ucap Meyes yang kesusahan merangkai setiap kalimatnya.
"Meyes, lo itu cuman remaja tujuh belas tahun yang baru punya wadah. Lo gak punya tameng atau penjaga, lo sendirian. Kalau ada apa-apa siapa yang nolongin lo coba? Gue gak bisa apa-apa, gue cuman manusia biasa."
"Seenggaknya lo percaya sama gue."
"Percuma kalau gak bisa jagain lo," sahut Shapa.
"Kalau gitu jadi indigo juga aja kaya gue gini!" ucap Meyes enteng.
Kedua netra Shapa terbelalak, "Jangan!"
***
Gadis itu duduk di meja makan yang masih kosong. Dia merasa lemas, dan tidak ada semangat untuk hidup hari ini. Pundaknya terasa berat, dan banyak gangguan yang dia dapat semalam. Membuat tidurnya kacau.
Meyes menguap lebar, meminum susu cokelatnya perlahan, dan kemudian meraih roti gandum yang baru saja Aisyah letakkan di atas meja dekat dengan selai nanas.
Wanita itu ikut duduk berseberangan dengan Meyes. Keningnya bertaut, dia tidak mengerti dengan putri tertuanya itu, "Kamu kenapa lemes gini? Sakit?"
"Engga, aku cuman ngerasa aneh," sahut Meyes dengan tatapan kosongnya.
"Kamu kenapa? Kalau ada apa-apa itu ceritain ke mama!"
Meyes mulai menatap Aisyah, dia berpikir, dan akhirnya, "Mama, aku dapet gangguan semalem. Banyak hantu yang ngepung aku, meja belajarku yang tadinya rapi jadi berantakan. Kemarin di sekolah juga banyak kejadian aneh, aku ngerasa gak nyaman buat hidup kaya gini Ma. Aku takut karena makin banyak hantu yang dateng."
Kening Aisyah semakin bertaut dalam, "Kamu ngomong apa sih Mey? Gak ada yang namanya hantu, mereka semua itu gak ada. Yang ada cuman jin, lagian jin juga gak akan gangguin manusia kaya gitu."
"Terus kalau bukan jin atau hantu apa Ma?" ucap Meyes agak kesal.
"Imajinasi kamu. Mungkin semalem cuman mimpi, dan mungkin kamu juga lupa kalau abis berantakin meja belajas sewaktu selesai belajar."
"Ma, ayo dong percaya sama aku!"