Chereads / Dear Tante Kunti / Chapter 12 - L O R O N G

Chapter 12 - L O R O N G

Gadis pucat itu keluar dari dalam toilet perempuan yang berada di ujung. Roknya sedikit basah, dia mencoba untuk membersihkannya dengan cara mengusap-usap roknya secara kasar. Namun, langkah yang dia ambil adalah yang sia-sia. Jelas seklali airnya tidak hilang, roknya masih basah sampai saat ini.

Helaannya keluar dengan kasar. Sekarang perhatiannya beralih pada cermin besar yang ada di depannya. Dia berjalan mendekat, memperhatikan wajahnya lamat-lamat dari pantulan cermin.

"Cantik," gumamnya tanpa senyum.

Meyes tak pernah merasa dirinya jelek, dia selalu tahu bahwa dia adalah gadis cantik yang selalu di kagumi banyak cowok di sekolah. Semua menatapnya kagum, tanpa terkeculi murid perempuan. Meskipun ada yang membencinya karena tatapan tajam, dan wajah galaknya.

Wajah yang terlihat galak itu memang sudah dia miliki dari lahir, tapi sifat galak, dan pendiamnya baru dia mikiki beberapa tahun yang lalu. Kenangan buruk itu membuatnya sulit untuk kembali percaya pada orang lain, dan untungnya Tuhan mempertemukan dia dengan Shapa. Gadis baik yang mau menerima Meyes dengan segala kekurangan, dan sifat keras kepalanya.

Gadis itu kembali menghela, melangkah pergi dengan suara sepatu yang menjadi alunan musik.

Koridor sekolahnya masih sepi. Biasanya di jam seperti ini banyak guru yang berlalu-lalang menuju kantin, atau hanya sekadar jalan-jalan karena merasa bosan di kantor. Namun, hari iniĀ  adalah keberuntungannya untuk tidak bertemu dengan mereka semua.

Meyes tersenyum tipis. Mempercepat langkahnya tanpa ada tujuan yang jelas. Intinya dia harus pergi, meninggalkan kelas membosankan itu.

Sayangnya Shapa tidak ikut, dan dia juga tidak memiliki teman lain. Anak laki-laki yang ada di kelasnya juga sangat rajin, jarang bolos kelas meskipun mereka mau. Yang ada di dalam otaknya hanya belajar, dan menambah banyak ilmu untuk investasi masa depan.

Kening Meyes bertaut, langkahnya semakin memelan. Suasana koridor berubah menjadi lebih hening, dan ketukan sepatunya pun terdengar dengan jelas sekarang.

Langkahnya terhenti di dekat kelas dua belas akuntasi. Kedua alisnya masih bertaut rapat. Meyes merasakan hawa yang berbeda antara tempat yang sedang dia pijak, dan tempat yang ada di depannya. Seakan-akan ada dua dunia yang berbeda sekarang.

Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mengambil langkah maju. Masuk ke dalam lorong yang katanya keramat. Lorong ini sangat sepi, dan hawa dingin sangat terasa begitu dia melangkah maju. Padahal cuaca hari ini sangat cerah, dan terasa sangat panas. Akan tetapi di sini sangat lembab meskipun sinar matahari ikut masuk ke dalam lorong.

Hawa yang semakin aneh membuatnya semakin penasaran. Meyes semakin masuk ke dalam, netranya terus memperhatikan tempat yang sedang dia jamah. Banyak lumut yang tumbuh di dinding kotor itu, terlihat jelas jika tempat ini tidak di rawat dengan baik.

Padahal tempatnya nyaman untuk di huni ketika sedang panas seperti ini. Mungkin jika ini kelasnya, dia tidak membutuhkan ac untuk di nyalakan karena sudah dingin.

Semakin dalam suasananya semakin berbeda. Oksigen terasa lebih sedikit di sini, dan ini membuatnya untuk menghirup oksigen secara perlahan agar tidak merasa sesak. Langkahnya terasa lebih berat, Meyes merasa aneh, tapi suara aneh terdengar begitu lirih.

Dia semakin penasaran. Memasang telinganya lebar-lebar dengan langkah yang memelan. Meyes kembali mendengarkan suara itu, dan sekarang suaranya semakin jelas.

Suara berat dari seseorang tengah menyebut namanya beberapa kali.

Kedua netranya membulat seketika, tapi segera dia atur menjadi normal kembali. Meyes ingat akan rumor yang beredar, soal tempat ini yang katanya memiliki penghuni. Sosok besar dengan mata merah. Meyes tak pernah tahu, dan tidak pernah berpikiran untuk masuk ke sini. Namun, hari ini dia melangkah masuk lebih dalam karena rasa penasarannya.

Bulu kuduknya meremang, rasa takut itu mulai muncul. Namun, Meyes tetap mengutamakan rasa penasarannya itu. Suara berat itu sudah menghilang, Meyes baru sadar, dan dia tidak tahu kapan tepatnya suara itu pergi. Namun, langkahnya terhenti di depan pintu kelas sepuluh keperawatan.

Pintunya nampak begitu tua dengan gagang pintu yang mulai berkarat. Dia mencoba untuk menyentuh gagang pintu itu, terasa sangat dingin, dan berpasir. Terlalu tua, Meyes pikir pintunya tidak akan terbuka, tapi dia salah mengira. Pintu itu terbuka lebar dengan suara dencitan khas pintu tua.

Aroma khas ruangan tua dengan debu itu masuk ke dalam hidungnya. Seperti menyapa tanpa bersuara. Meyes melangkah masuk, keningnya bertaut. Dia tidak pernah tahu jika ada sebuah kelas di dalam lorong angker ini.

"Hallo! Numpang liat-liat ya Om atau Tante yang nunggu ruangan ini," ucap Meyes dengan setengah berteriak.

Tak pernah ada staf guru ataupun pegawai lain yang membicarakan tempat ini. Seakan-akan kelas yang ada di sini sedang mereka sembunyikan atau mungkin mereka mencoba untuk memusnahkan tanpa mengobarkan api.

Meyes menghentikan langkahnya di depan papan tulis hitam. Debu menempel di setiap sudutnya, dan kotak kapurnya juga di jadikan sarang laba-laba. Banyak fasilitas yang masih terlihat bagus, dan seharusnya di gunakan sesuai dengan kebutuhan. Namun, kelas ini tidak di gunakan oleh anak perawat, mereka memilih untuk berpindah kelas setiap bulannya. Entah apa yang mereka pikirkan, atau apa yang sedang guru perawat pikirkan tentang kelas ini. Intinya kelas ini masih bagus, dan layak di huni.

Banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya, sampai-sampai Meyes bingung memulai dari mana. Dia bingung untuk menjawab, dan menerka semuanya sendirian. Pintu yang tidak di kunci, kelas yang tidak di huni, bangku yang masih bagus, dan lorong gelap nan dingin yang tak pernah di jamah manusia. Dia semakin penasaran dengan semua hal yang ada di sini.

Suasananya pun terasa berbeda sekarang, tapi tidak semenyeramkan itu. Padahal gosipnya setiap orang yang masuk atau mencoba untuk menelisik lebih jauh, sosok bermata merah itu tidak akan tinggal diam. Dia akan ikut, dan mengganggu setiap manusia yang berani masuk.

Meyes tidak percaya karena sekarang dia tidak merasakan apa pun. Dia tidak melihat sosok apa pun, dan tidak merasa aneh di dalam ruangan ini. Meskipun wadahnya belum penuh, dan masih kecil, tapi Meyes tetap bisa untuk merasakan kehadiran makhluk tak kasat mata itu

Helaannya kembali keluar. Tempat ini membuatnya bosan, dan ingin segera pergi. Namun, kakinya terasa berat dengan pundak yang ikut nyeri. Meyes tidak tahu apa maksud dari semua ini, dia hanya mengikuti rasa penasarannya yang terlalu besar itu.

Gadis itu mencoba untuk melangkah menjauhi tempatnya berdiri. Berjalan di antara meja usang itu, dan lagi-lagi langkahnya terhenti di tengah-tengah ruangan besar ini. Perhatiannya berfokus pada dinding.

"Kenapa bukan pahlawan?"