Chereads / Dear Tante Kunti / Chapter 11 - R O A D

Chapter 11 - R O A D

"Apa?" potong Meyes cepat.

"Ini... gue gak enak ngomongnya," ucap Shalsha dengan cengiran masamnya.

"Bilang aja gak papa!"

"Hm... jadi tuh kan ada gosipnya. Lo itu kan suka banget sama valak, terus kuntilanak. Jadi... ada gosip yang bilang kalau lo punya hubungan sama dua makhluk itu," jelas Shalsha yang mulai tidak nyaman, kali ini tatapannya kembali dia berikan pada Meyes, "Mey, seriously? If this is real, i think you are crazy!"

"Anjir, lo dapet gosip dari mana sih? Tolong jangan bego, gue bukan orang yang kaya gitu! Udah sekolah harusnya bisa tau mana berita hoax!" ucap Meyes ketus.

Shalsha membulatkan kedua netranya, sejujurnya dia tidak bermaksud untuk membuat Meyes kesal. Dia hanya memberikan isi kepalanya yang selalu membuat dia penasaran. Tidak ada niatan untuk menghina atau apa pun itu.

"Mey, maaf ya udah bikin lo kesel. Pertanyaan ini udah ada beberapa bulan di kepala gue, terus juga gue dm lo, tapi gak pernah dapet balesan. Maafin gue ya karena salah ngomong barusan," sahut Shalsha menyesal.

Meyes menguap untuk beberapa detik, menatap Shalsha dengan mata yang mulai berair, dan berkata, "Lain kali otaknya di pake, jangan cuman jadi pajangan!"

"Hehe! Iya Mey."

Meyes beralih melirik Shapa sejenak, memberikan kode pada sahabatnya itu sebelum beranjak, dan melenggang pergi.

"Dia mau ke mana Fa?" tanya Shalsha penasaran.

"Toilet, mungkin abis itu ke kantin. Dia lagi bosen katanya," sahut Shapa.

Shalsha hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti.

"Gue udah lama temenan sama dia, anaknya tuh emang gitu. Kalau ngomong suka bener, kasar, pedes, meskipun kaya gitu, tujuannya dia baik kok. Cuman pengen orang yang jadi lawan bicaranya itu sadar diri, jadi... kalau tadi misalnya menurut lo salah, jangan di masukin hati ya!"

Shalsha kembali menoleh ke arah Shapa, kedua sudut bibirnya tertarik ke atas, "Gak papa kok, gue sadar. Emang bibir gue sama otak gak pernah sejalan, harusnya gue mikir dulu sebelum nanya."

"Shal, meskipun dia agak jahat ya, tapi sebenernya dia anak yang baik kok. Cangkangnya doang yang keliatan galak, es batu, tapi dalemnya itu kaya jeli. Gampang hancur juga."

"Gampang hancur?"

Shapa mengangguk sebagai jawabannya.

"Eh iya, kasih tau gue dong apa yang kalian lakuin biasanya. Gue liat di feed instagram lo sama mey sering ngunjungin bangunan terbengkalai gitu, cuman foto doang sih bukan video, jadi gue penasaran banget."

Shapa baru ingat jika Meyes selalu memposting kegiatannya. Helaan napas kesal dia keluarkan, jika gadis itu ada di kelas, mungkin Shapa sudah memukulnya karena menyeret Shapa ke dalam lingkaran gelap.

Shapa menggaruk tengkuknya secara tiba-tiba, menatap Shalsha tak nyaman, dan berkata, "Sebenernya kita gak ngapa-ngapain di sana. Cuman dateng buat foto-foto doang, isi feed instagram biar keren. Abis itu pulang, tapi tetep aja sih jantung gue terus deg-degan udah kaya mau copot. Takut serius, tempatnya keliatan angker."

"Semuanya?"

"Engga, beberapa doang. Ada banyak yang di pinggir jalan, jadi gue ngerasa biasa aja. Apa lagi kita ke sananya suka siang atau sore, jadi masih amanlah buat gak ketemu penunggunya."

"Ih! Gue mau dong di ajak buat ke sana, gue pengen ikutan. Sekali atau dua kali gue mau, yang penting bisa bikin gue gak penasaran lagi."

Shapa tertawa terbahak-bahak sampai perutnya terasa nyeri. Dia tidak tahu jika ada manusia seperti Shalsha yang sama penasarannya dengan Meyes. Dia sendiri saja takut dengan hantu, dan takut sekali ketika datang ke tempat angker. Kemudian Meyes yang sekarang juga takut, dan tidak mau menjadi seorang indigo.

Shapa masih tertawa, dia tidak paham dengan cara berpikirnya manusia selain dirinya. Seharusnya mereka sudah bahagia hidup dengan penglihatan normal. Tidak seperti anak indigo yang harus menahan rasa takut setiap saat karena ada makhluk menyeramkan yang mengganggu ketenangan mereka.

Shapa mulai mengambil napas ketika tawanya terhenti, menatap Shalsha lamat-lamat, dan berkata, "Kenapa pengen ikut?"

"Penasaran."

"Itu aja?"

Shalsha mengangguk.

"Astaga! Shalsha, itu tempat gak asik. Serem, auranya tuh beda banget, pokoknya bikin gak nyaman, sama merinding. Mendingan lo kubur aja deh rasa penasaran lo itu!"

Kening Shalsha bertaut dalam, dia tidak tahu dengan alasan Shapa. Padahal gadis itu selalu terlihat ceria di dalam foto ketika berada di lingkungan angker. Akan tetapi hari ini terlihat berbeda, sorot matanya memberi tahu jika Shapa merasa takut.

"Shal, ini itu gak sekeren yang lo pikirin. Gue ngerasa ketakutan tiap kali ke sana, gue pengen pulang cepet, ada banyak mata yang gue rasain lagi ngawas. Udah ya, mendingan simpen baik-baik aja keinginan lo itu, ganti sama yang lebih berguna!" ucap Shapa lagi.

Shalsha menghela sejenak, mengubah posisi duduknya, dan berkata, "Gue penasaran, tapi... yaudahlah ya. Gue bakalan ikut kalau kalian ajak aja."

***

Gadis pucat itu menghela samar, merenggangkan otit tubuhnya, dan kemudian memasukkan alat tulis yang tergeletak di atas meja ke dalam laci. Kedua sudut bibirnya terangkat, dan kegiatannya itu membuat Shapa mengernyitkan dahi.

Shapa menatap sahabatnya itu dengan mata yang memicing. Dia curiga akan rencana Meyes yang akan dia beritahu sebentar lagi.

Gadis itu pucat itu membalas tatapan Shapa dengan muka datarnya, mengejap-ngerjapkan matanya, dan berkata, "Gue mau bolos, kalau gak mau ikut diem!"

Shapa berdecih, menatap kesal dengan bibir atas yang dia angkat sebelah.

"Oke, bye!" ucap Meyes lagi sebelum beranjak, berjalan mendekati pria berkumis tebal itu, dan berkata, "Pak, saya ijin ke toilet sebentar ya!"

Pria tua itu mendongak, matanya memicing curiga sekarang, "Alpa kamu di absen saya ini banyak, kalau nambah lagi saya aduin ke pak selamet loh Mey!"

Pak Selamet - guru bimbingan konseling yang tidak memiliki wajah garang, dan sifat yang juga keras. Beliau hanya orang yang memiliki paras lemah lembut, dan sifat tegas. Meyes sudah bersahabat dengan pria itu, dan hal ancaman Pak Anas membuatnya tersenyum.

"Beneran kok Pak, saya ke toilet. Lima belas menit aja, gak akan lama," ucap Meyes.

"Lima belas menit? Gak ada, delapan menit harus udah di sini!"

"Loh Pak! Dari kelas ke toilet itu jalannya sekitar lima menit, gak akan cukup buat PP," rengeknya.

"Gak bisa, gak boleh di bantah! Kamu punya punya kaki buat lari, jadi kamu bisa sampai di sini dengan cepat!"

Gadis itu menghela, mau tidak mau dia harus mengiyakan ucapan Pak Anas kali ini. Lagi pula Meyes juga sudah merasa bosan terus-terusan duduk, dan mendengarkan pria tua itu menerangkan pelajaran dengan suara yang pelan.

"Oke, delapan menit ya Pak Anas," ucap Meyes akhirnya.

"Waktu di toilet nanti jangan lupa di buang Mey!"

Kening Meyes bertaut, "Buang apa Pak?"

"Akhlakmu yang minus itu di buang ke toilet! Anak jaman sekarang gak punya sopan-santun!"

Sontak seluruh siswa yang ada di dalam kelas itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban sarkas dari Pak Anas. Sementara Meyes menahan rasa kesalnya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Udah sana pergi!" titah Pak Anas.

Meyes melengkungkan bibirnya ke atas, dan kemudian berjalan meninggalkan kelasnya dengan raut muka datar menahan kekesalan.