Hiruk-pikuk terdengar lebih jelas di dalam kelas sepuluh pariwisata. Tidak adanya guru, dan tugas membuat mereka mengobrol dengan suara keras, beberapa diantaranya tengah bermain, dan tertawa dengan keras.
Suara bising yang terdengar hingga penghujung jalan itu pun membuat pria berkemeja batik cokelat itu melangkan dengan cepat. Pria yang berusia dua puluh sembilan tahun itu berhenti di ambang pintu kelas.
Raut muka serius, dan kesal dia berikan untuk siswa kelas itu. Melangkah masuk, helaan napas kasar keluar ketika dia mulai duduk.
Ruangan itu berubah menjadi senyap. Semuanya memasang wajah tegang, dan takut melihat Pak Donny yang sekarang memberikan tatapan tajam. Donny kembali menghela untuk yang kedua kalinya, jari-jemarinya memilih untuk memainkan spidol merah.
"Ini sekolah, bukan pasar atau tempat sepi yang bisa kalian pakai buat rusuh. Boleh kok ricuh kaya tadi, tapi tau tempat," ucap Donny dengan suara yang masih terdengar lembut.
Semua orang yang ada di dalam sana memilih untuk diam. Beberapa diantaranya menundukkan kepalanya karena takut.
"Saya bukan wali kelas kalian aja ngerasa malu, kenapa kalian sama wali kelas kalian ngerasa biasa aja sih?" ucap Donny lagi, kali ini alisnya bertaut.
"Kenapa harus malu Pak? Kita emang nakal Pak, tapi tiap kali ada lomba pasti kan kelas kita yang ngeborong juara. Itu artinya kita pinter kan Pak? Seharusnya Bapak bangga dong sama kita," sahut Asep dengan wajah polosnya yang terlihat menyebalkan.
"Emang kalau kalian nakal, tapi pintar harus di banggain?"
Asep mengangguk mantap, "Mendingan nakal, tapi pinter dari pada nakal, tapi bodoh Pak."
"Ya lebih baik jadi gak nakal Asep, astaga!"
Cowok berkulit hitam itu tertawa dengan anggukan kepalanya, dia kembali menatap Donny, dan berkata, "Pak, namanya juga masih anak-anak, masa gak boleh nakal sih?"
Donny mendesah kesal, sekarang dia beranjak, dan berkacak pinggang. Memperhatikan seluruh siswa kelas dengan tatapan datarnya. Jika di pikir lagi memang anak seusia mereka sedang mencari kesenangan dengan cara apa apun. Mencari sesuatu agar di lirik, dan di katakan keren oleh orang lain. Tidak ada yang salah memang, tapi Donny ingin gen Z ini menjadi remaja yang lebih baik dari generasi milenial ataupun kolonial.
"Bapak pasti dulu juga nakal kan? Saya yakin iya," ucap Hasan setengah berteriak.
Donny tertawa kecil, menganggukkan kepalanya, dan berkata, "Sudah ya, kita lupain yang tadi!"
"Memangnya kenapa Pak?" tanya Asep dengan dahi yang ia tautkan.
"Ada siswi baru, tapi masih belum dateng sih sampai sekarang. Sepertinya sebentar lagi datang." Donny melihat ke arah jam dinding, dan sekarang masih pukul delapan pagi.
"Cantik gak Pak?" tanya Dion dengan cengirannya.
"Ye!! Giliran cantik aja yang paling depan!" sorak seluruh siswa laki-laki di dalam kelas itu.
Dion tertawa terbahak-bahak, "Gue gak mau jadi jomblo lebih lama!"
"Idih! Ganteng lo?" sahut Asep dengan nada tinggi.
Dion mengangguk, membenahi kerah kemejanya dengan lagak sombong, "Banget!"
"Heh! Udah-udah!" ucap Donny, teriakannya membuat seluruh penghuni kelas kembali diam, dan menatapnya dengan tatapan serius.
Suara langkah kaki di dalam kelas yang hening terdengar dengan jelas. Sontak saja semua mata tertuju pada gadis yang sedang melangkah masuk, berdiri di samping Pak Donny dengan senyum yang sangat meneduhkan hati.
Rambut hitam panjang terurai dengan sepatu berwarna putih membuatnya semakin terlihat cantik.
"Hai!" sapanya.
"Wah! Cantik banget!" ucap seluruh siswa laki-laki dengan tatapan kagum.
Gadis itu menenggelamkan bibirnya, kemudian tersenyum begitu lebar dengan pipi yang merona merah.
"Cantik, tapi masih cantikkan Meyes," ucap Asep yang terus memperhatikan siswi baru itu.
"Dia cantik, tapi dia kulkas. Mendingan anak baru yang udah keliatan bukan kulkas," sahut Dion.
"Dion, sama Asep mohon diam sebentar!" titah Donny.
Asep, dan Dion segera menutup bibirnya rapat-rapat, dan kembali memperhatikan ke depan.
"Ayo, perkenalkan diri!" ucap Pak Donny.
Gadis itu mengangguk, mengambil satu langkah ke depan, dan berkata, "Namaku shalsha zairani, kerap di sapa shalsha. Salam kenal semuanya!"
"Salam kenal Shal, gue dion. Cowok paling ganteng di kelas ini!" sahut Dion dengan sangat percaya diri.
"Jangan di dengerin Shal, dia itu play boy kelas kakap! Mendingan sama gue aja, udah jelas cowok paling kalem di kelas!" timpal Asep.
Shalsha tersenyum malu saat mendengar, dan melihat perdebatan Dion dengan Asep. Akan tetapi perhatiannya beralih pada Meyes yang sibuk memperhatikan jendela kelas. Dia baru sadar jika gadis itu saja yang tidak memperhatikan dirinya, bahkan tidak ada raut muka ceria yang terlihat. Hanya Meyes yang tidak bersemangat pagi ini.
"Shalsha, kamu bisa duduk di belakang Meyes ya! Anak yang lagi sibuk liatin jendela, di belakangnya ada bangku kosong, kamu bisa duduk di sana ya!" ucap Pak Donny.
Shalsha mengangguk, memberikan senyum serta ucapan terima kasih sebelum melenggang, dan duduk di tempatnya. Tak lama setelah dia duduk, Pak Donny melenggang pergi, dan saat pria itu benar-benar menghilang, suara bell pertanda istirahat berbunyi dengan nyaring.
Semua siswa yang ada di dalam kelas berlari keluar, tapi Meyes, dan Shapa masih duduk di bangkunya. Shalsha memperhatikan kedua gadis itu dengan segudang pertanyaan yang hadir di dalam kepalanya.
Gadis itu mengambil napas panjang, dan mengeluarkannya secara perlahan. Beranjak dari duduknya, melangkah dengan mantap, dan berhenti di samping meja kayu itu. Dia memberikan senyum manis pada Shapa, dan Meyes.
"Hai!" sapanya dengan ramah.
Kedua gadis itu menoleh bersamaan. Shapa memberikan senyum yang lebar, dan berkata, "Hai, Shalsha!"
"Gue... boleh duduk di sini?" Shalsha menunjuk kursi yang ada di depan Shapa, dan Shapa memberikan anggukkan sebagai persetujuan, "Makasih!"
Gadis itu mulai mendaratkan bokongnya setelah mengubah posisi kursinya agar bisa berhadapan dengan Meyes, dan Shapa.
"Shapa, dia anak baru?" bisik Meyes yang masih bisa di dengar Shalsha.
"Iya, masa gak tau sih? Lo dari tadi ngapain sih anjir?"
Meyes mengangkat kedua bahunya acuh, dan kembali menatap Shalsha. Di lihatnya gadis itu dari ujung kepala hingga dasi, senyum miring Meyes sunggingkan sebelum mengudarakan tangan kanannya, "Gue Mey."
"Shalsha." Shalsha menjawab jabatan tangan Meyes dengan senyum lebarnya, "Gue tau banyak tentang lo. Gue juga salah satu follower instagram lo, sumpah lo keren banget!"
Kening Shapa bertaut dalam, dia segera membuka akun instagram Meyes, dan mencari nama Shalsha di dalam pengikut sahabatnya. Kedua netranya terbelalak, dia tidak percaya jika Shalsha benar-benar mengikuti akun instagram Meyes, dan dia juga selalu mengomentari setiap foto yang Meyes posting.
"Jadi lo salah satu fans Meyes?" tanya Shapa tidak percaya.
Shalsha mengangguk, "Gue belum tau nama lo."
"Ah! Iya, gue shafa."
"Oh iya, lo kan suka posting meme foto lo sama valak tuh. Terus... kadang juga foto kuntilanak beberapa kali tiap malam jum'at. Kadang sampai titik-titik, dan jujur gue kesel banget tiap itu. Gue takut, tapi gue juga penasan. Terus... yang bikin gue makin penasaran tuh-"
"Apa?"