Chereads / Dear Tante Kunti / Chapter 9 - MAKE ME HAPPY

Chapter 9 - MAKE ME HAPPY

Gadis itu duduk di depan pagar sekolahnya dengan kepala yang menunduk. Kedua jempolnya tengah asyik menari-nari di atas layar ponsel dengan bibir yang melengkung ke atas.

Pesan singkat yang masuk membuatnya tertawa terbahak-bahak, dia kembali mengetik dengan cepat sebelum akhirnya memasukkan benda pipih itu ke dalam saku rok sekolahnya. Meyes beranjak, berjalan mendekati aspal, dan memperhatikan jalanan yang masih sepi.

Tidak ada tanda-tanda seseorang tengah menjemputnya, bahkan kendaraan pun tidak ada yang lewat. Tempat ini sangat sepi, ramai di waktu pagi, dan sore ketika jam pulang, selebihnya sepi seperti kota mati.

Pendiri sekolahnya memiliki kesalahan fatal karena memilih tempat seperti ini. Seharusnya mereka bisa memilih tempat lain untuk membangun sekolah, memilih tempat yang lebih setrategis, dan lebih ramai. Jika sepi seperti ini pasti akan ada banyak maling, atau orang jahat yang memiliki seribu tipu muslihat untuk mengambil keuntungan.

Helaan napas kelur dengan kasar, Meyes merasa bosan untuk terus menunggu, dan sekarang sudah jam lima sore. Keluarganya benar-benar telah melupakan putri tertuanya. Mereka sudah sangat bahagia memiliki dua putri yang masih memiliki paras  imut, dan tidak galak sepertinya.

Meyes kembali duduk, keheningan kembali tercipta dengan senja yang muncul. Sekarang terasa tidak nyaman, perasaannya mulai bercampur aduk, Meyes benci dengan situasi ini.

Namun, ada sesuatu yang aneh terjadi. Meyes memperhatikan sekitarnya, dan masih tidak ada orang lain selain dirinya. Akan tetapi dia merasa ada yang sedang mengawasinya sekarang.

Entah siapa pun itu, Meyes tidak menyukai dengan situasi ini.

Perhatiannya beralih pada cowok tinggi yang mengenakan hoodie kuning tengah menghampirinya. Keningnya bertaut dalam, raut muka kesal, dan marah Meyes pasang sekarang.

"Lo lama banget sih, abis dari mana sih anjir?! Di sinu tuh panas, tega banget ngebuat adeknya kepanasan!" ucap Meyes setengah berteriak.

"Banyak omong, udah ayo pulang!" sahut Yoga yang tak kalah kesal.

"Kok lo ikutan marah sih? Lo lupa sama adek lo ini ya? Atau jangan-jangan lo lagi sibuk pacaran ya?!"

"Bacot! Mau pulang atau engga? Kalau engga gue tinggal!"

Meyes mendengus, dia segera beranjak, dan berlari mendahului Yoga memasuki mobilnya. Rasanya ingin sekali mengumpat di depan cowok itu, sayangnya Yoga bukan orang yang sabar untuk menerima berbagai umpatan dari adik perempuannya.

"Lo pernah ngerasa lagi di awasin gak sih Bang?" tanyanya ketika Yoga menjelankan mobilnya dengan kecepatan normal.

"Kenapa emangnya?" sahut Yoga tanpa menatap lawan bicaranya.

"Gue ngerasa lagi di awasin tadi, gue gak ngerti siapa, gak keliatan orangnya."

"Stalker."

"Ha? Masa iya?"

"Lo kan cantik, follower instagram juga banyak, udah jelas banyak fans yang pengen tau aktivitas lo," jelas Yoga.

Meyes menatap kakaknya itu dengan raut muka terkejut, "Jadi sekarang lo udah tau kalau gue cantik?"

Yoga melirik adiknya sekilas, dan berkata, "Najis bilang lo cantik, gue tarik kata cantik tadi!"

"Bangcad!"

"Apa lo bilang?!" ketus Yoga.

"Lampu merah ada di depan!"

***

Pintu itu terbuka dengan suara dencitan khas pintu tua. Gadis cantik dengan gaun cokelat itu masuk, dia berjalan lesu. Merebahkan tubuhnya di atas ranjang dengan kasar, helaan napasnya keluar.

"Gue capek!" ucapnya kesal.

Shapa melirik ke arah jam dinding, masih pukul enam malam, dan ini waktu yang bagus untuk berbincang. Tangan kanannya terulur menuju nakas, mengambil benda pipih yang tergeletak itu, dan menempelkannya pada telinga setelah mengetik nomor ponsel.

"Hallo!" ucapnya dengan senyum yang sangat lebar.

"Hm, kenapa? Gue baru pulang, yoga jemput lama banget anying gue sendirian di sekolah tadi! Lo tau gak sih, kalau misalnya tadi gue nebeng sama lo, pasti udah bisa tidur dua jam di rumah," sahut Meyes di balik telepon.

"Kan udah gue bilang tadi nebeng aja, lagian bang yoga sama nyokap bokap lo gak bisa di hubungin. Gak mau nurut sih!"

"Iya, gue kan gak ngerti, tapi yaudahlah ya, udah terlanjur juga." Terdengar helaan napas di seberang sana, "Eh iya, gue tadi ngerasa di awasin loh, kata bang yoga sih itu gegara gue punya stalker atau bisa jadi fans gue yang ada di instagram. Menurut lo gimana?"

Shapa mengubah posisi tidurnya menjadi duduk, "Gue lumayan setuju sih."

"Hm, gitu ya."

"Iya, gue juga ngehubungin lo bukan buat ngedengerin curhatan lo tau Meyes."

"Terus apa?"

"Gue bosen, ayo jalan-jalan!" ucap Shapa dengan suara memohon.

"Gue kan baru pulang Shapa, ya kali langsung keluar. Yang ada di introgasi sama nyokap, di suruh makan, mandi, ibadah, terus belajar, tapi pas di introgasi juga dapet ceramah. Lo gak kasihan apa sama gue?"

"Meyes, gue bosen banget di rumah. Gak ada orang juga, bokap sama nyokap gue  lagi pergi." Shapa mengecurutkan bibirnya ke depan.

"Hm, gimana ya.... lo ke sini aja deh jemput gue! Kasih tau nyokap gue kita mau ke mana, ngapain aja, pulang jam berapa, terus lo bilang juga buat nginep di rumah gue!"

Kening Shapa bertaut dalam, "Ini udah kaya ke kantor polisi aja."

"Lo kan tau nyokap gue itu posesifnya kebangetan."

Gadis itu terkekeh kecil, beranjak dari duduknya, dan memilah pakaian yang ada di dalam lemari, "Oke, itu gampang deh pokoknya. Gue pake gaun warna item, bawa seragam buat besok sama piyama."

"Gue tunggu!"

Shapa mengangguk, dan memutuskan sambungan teleponnya. Gadis itu segera memilah pakaian yang cocok untuk dia gunakan. Terlalu banyak gaun berwarna hitam dengan motif yang berbeda membuatnya bingung untuk memilih.

Padahal dulu Shapa tidak suka dengan warna hitam. Katanya itu suram, dan milik orang yang selalu larut dalam kesedihan. Namun, lama kelamaan dia jatuh cinta dengan pakaian berwarna hitam, terlalu sering melihat Meyes menggunakan pakaian berwarna hitam membuatnya jatuh cinta.

Gadis itu tertawa kecil, mengambil gaun yang terbaiknya, dan melangkah pergi. Namun, langkahnya terhenti di depan pintu toilet karena ponselnya berdering. Kening Shapa bertaut, nomor tak di kenal menghubunginya sekarang.

"Hallo!" ucap Shapa.

"Hallo! Shafa, lo di mana?" suara  berat yang terdengat membuat Shapa semakin mengernyit bingung.

"Maaf, ini siapa?"

***

Dua gadis itu tengah asyik menjajal setiap wahana yang ada di pasar malam. Semuanya mereka coba tanpa terkecuali, tawa renyah, dan keras mereka keluarkan secara bergantian.

Raut muka bahagia tercetak dengan jelas. Ini permainan lawas yang kembali mereka lakukan, kenangan indah yang kembali mereka ciptakan dengan versi mereka sendiri. Meskipun berbeda waktu, tahun, dan suasana, tapi ini sangat menyenangkan.

Meyes, dan Shapa terus tertawa. Memenangkan berbagai macam hadiah, terutama boneka tedy bear yang sangat besar itu sedang Shapa peluk dengan erat.

Mereka mencari tempat duduk yang berada di dekat penjual rambut nenek. Duduk di sana dengan helaan napas lelah, dan di sertai kekehan lagi.

"Udah puas?" tanya Meyes.

Shapa mengangguk dengan senyum yang masih tercetak, "Banget! Makasih buat bonekanya, gue suka banget!"

"Simpen baik-baik!"

"Siap komandan!" teriak Shapa, memberikan hormat kepada Meyes untuk beberapa detik sebelum tawanya kembali pecah.