Tangguh terombang–ambing di atas hamparan lautan luas. Gelombang membawanya pergi tak tentu arah di atas lautan biru. Tubuhnya terus mengapung di permukaan air laut seperti sehelai daun yang jatuh di tepian sungai. Beruntung ia masih hidup walau tak sadarkan diri. Dan beruntung pula tak ada ikan hiu yang memangsanya. Rupanya Yang Maha Kuasa masih menjaganya untuk tetap hidup dan tetap mengambang di atas permukaan laut. Hingga suatu ketika, gelombang membawanya terdampar di pulau yang sepertinya tak berpenghuni.
Setelah sekian lama pingsan, akhirnya Tangguh sadar juga. Ia memuntahkan air laut yang masuk ke dalam tenggorokkannya, terbatuk-batuk lalu duduk dan melihat sekelilingnya. Ada hamparan pasir yang memanjang di sepanjang garis pantai, ada beberapa pohon kelapa yang terkadang melambaikan daunnya ketika angin meniupnya. Ia tak tau apa yang terjadi. Sejuta kata tanya muncul dari benaknya dan berputar di kepalanya. Ia mengerutkan dahinya lalu memegang kepalanya, tidak ingat akan kejadian yang membuatnya terdampar di pulau itu.
Di tengah kebingungan, ia berdiri memandangi sekitar. Kemudian berjalan mencari apakah ada orang yang tinggal di pulau itu. Ia mencoba memberanikan diri masuk menelusuri pulau lebih dalam, meninggalkan butiran pasir tempatnya terdampar.
Namun setelah beberapa lama menelusuri pulau itu, sejauh ini, dan sejauh mata memandang, tak terlihat tanda–tanda kehidupan manusia di pulau itu. Hanya pepohonan yang berderet, monyet-monyet yang bergelantungan dari pohon ke pohon, dan burung-burung yang berterbangan di angkasa.
Di tengah perjalanan, langkah kakinya melemah, ia merasa capek dan lapar. Mau tak mau apa saja dimakan dari mulai ayam hutan sampai belalang.
Malam dilaluinya di tengah hutan nan lebat di pulau itu. Tidur beralaskan semak di antara pohon-pohon yang tinggi, ditemani longlongan harimau. Dan sering kali berada dalam ketakutan yang menyeruak ke dalam batin. Ia merasa menyesal sekali telah meninggalkan orang tuanya, sekolahnya, dan harapannya. Kini ia merasakan bagaimana tersiksanya hidup sendiri di tengah hutan. Tak ada yang menemani, tak ada yang bisa membantunya, seolah sepi yang tiada bertepi terhampar luas dalam hati sanubari. Ia melewati malam dengan berusaha tidur dalam ketakutan dan kedinginan.
***
Pagi itu, di saat embusan udara masih sangat dingin dan membawa butiran embun menyapa dedaunan, ia baru terbangun dari tidurnya, bersegeralah ia cuci muka dengan air sungai yang melintas tak jauh dari sana. Sholat Subuh, lalu bergegas meneruskan perjalanan tuk mencari jejak–jejak kehidupan, tuk mencari orang yang bisa membantunya kembali ke rumahnya.
Air adalah sumber kehidupan. Biasanya orang hidup tak mau jauh dari air. Maka Tangguh mulai menelusuri aliran sungai dari hilir ke hulu. Berbagai jejak memang ia temukan di sepanjang aliran sungai, mulai dari jejak harimau, rusa, sampai beruang hutan. Namun hingga saat ini, ia belum menemukan jejak manusia.
Ia merasa cemas kalau-kalau tak ada orang yang bisa membantunya kembali ke rumahnya. Ia tak mau jika terus tinggal di pulau itu sendirian. Tapi ia selalu teringat akan nama yang diberikan ibunya kepadanya, "Tangguh Perkasa." Dengan mengingat nama itu, ia selalu semangat dan berani, karena ia percaya bahwa orang tuanya menginginkannya tuk menjadi anak yang tangguh. Ia juga ingat pesan ibunya yang mengingatkannya untuk selalu berdoa terlebih ketika berada dalam kesulitan.
Ketika ia terus mencari bantuan, tiba–tiba dari dalam semak belukar terdengar suara daun–daun yang saling bergesekan, semak-semak bergoyang. Ia penasaran akan apa yang ada di dalamnya. Ia pun perlahan mendekatinya dan membuka celah semak itu. Lalu betapa kagetnya ia ketika melihat sorotan mata di dalam semak itu dan ternyata Brushhh..... seekor harimau hutan yang kelaparan berada di dalam sana.
Tangguh yang kaget setengah mati berlari sekuat tenaga menghindari terjangan harimau yang lapar. Ia meliuk–liuk melintasi pohon-pohon di hutan. Harimau itu tak memberinya kesempatan tuk menghela nafas. Kejar–kejaran terjadi hingga tetesan keringat mengalir di keningnya. Napasnya terengah–engah. Ia merasa saat itu adalah ujung hidupnya, tapi ternyata ia masih beruntung. Ketika harimau itu mengejarnya, ada rusa hutan di sana yang membuat harimau mengalihkan buruannya.
Tangguh duduk menyandar di sebuah batang pohon dengan napas kelelahan. Namun setidaknya ia bersyukur masih bisa bernapas. Tak pernah ia berlari secepat itu sebelumnya. Ia baru sadar, ternyata jika dalam situasi terpaksa, ia mampu mengeluarkan seluruh tenaga dan upaya untuk berlari.
Tapi tanpa disadari ternyata kejaran harimau itu telah membawanya berada jauh di tengah hutan yang lebat dan Tangguh tak tau sama sekali tentang arah, apalagi untuk kembali ke tepi pantai dan keluar dari pulau itu. Ia berjalan tak tentu arah menelusuri hutan, walaupun bahaya mungkin bisa mengancamnya lagi.
Hingga suatu ketika, Tangguh menemukan sebuah gua di tengah hutan. Gua itu dihiasi stalagnit yang menggantung–gantung di atasnya. Dari stalagnit itu menetes air yang menimbulkan bunyi yang berirama. Matanya terus menatap ke atap gua. Tapi yang lebih membuatnya kaget adalah ketika ia memandang ke tanah di bawah mulut gua. Ternyata ia menemukan jejak manusia di permukaan tanah. Ada harapan terpancar dari raut wajahnya ketika melihat jejak itu.
"Kelihatannya jejaknya belum lama, itu artinya ada manusia yang hidup di sini berarti aku bisa meminta bantuan untuk kembali ke rumah," pikirnya.
Rasa penasaran membawanya masuk lebih dalam ke mulut gua. Ia terus melangkahkan kaki di tengah kegelapan. Semakin masuk ke dalam gua semakin gelap pula suasana di dalamnya. Namun ia tak gentar karena ia ingin meminta bantuan pada orang yang mungkin ada di dalam gua itu.
Di tengah kegelapan, ia terus berjalan sambil meraba–raba dinding gua. Namun langkahnya terhenti ketika menyentuh sesuatu seperti batu sebesar bola, ketika diangkat ternyata ringan dan berongga. Karena penasaran, ia membawa benda itu, walau tak tahu benda apa itu karena suasana begitu gelap. Sampai suatu ketika, ia melihat secercah cahaya matahari masuk melalui celah batu yang sempit di atasnya. Namun karena terlalu sempit, ia tak bisa keluar dari tempat itu. Tapi alangkah terkejutnya ia ketika cahaya itu menyoroti benda yang ia bawa. Ternyata benda itu adalah tengkorak, sebenarnya itu tengkorak kera, namun ia menyangka itu tengkorak manusia. Segera dilemparkannya tengkorak itu sambil berteriak ketakutan dan berlari secepatnya di tengah kegelapan gua. Namun ia berlari tak tentu arah dan tak menemukan jalan keluar.
Justru ia tersandung batu dan terjatuh. Pandangannya tak sengaja melihat sebuah ruang yang ada di gua itu. Sebuah ruang yang tertutup tirai tipis berwarna merah. Ruang itu bercahaya, namun bukan cahaya matahari. Seperti cahaya api lilin yang menyala redup. Ia sempat tak tau apa yang harus ia lakukan di tengah kegelapan, di tengah kegalauan, di tengah ketakutan. Ia tak tahu jalan keluar. Akhirnya kakinya menuntun langkahnya menuju ruangan misterius itu. Semakin mendekat tubuhnya semakin bergetar, dan rasa takutnya semakin muncul ketika melihat isi ruangan yang ada di dalam gua itu.
Di dinding ruangan dihiasi oleh tulang belulang. Di ruangan itu terdapat meja batu dan di atasnya ada kembang–kembang yang dipakai buat sesajian. Ada pula sebuah boneka dan jarum, juga benggala yang berisi air. Tak salah lagi, itu adalah sebuah ruangan tempat dukun bersemayam. Tubuhnya bergetar ketakutan. Ia tak ingin terlalu lama berada di ruangan itu karena mungkin bisa berbahaya. Yang penting baginya adalah mencari jalan keluar, karena ternyata mungkin jejak di mulut gua itu adalah jejak dukun yang jahat.
Segera ia memalingkan wajahnya dari ruangan itu untuk pergi. Namun alangkah kagetnya ketika wajahnya menengok ke belakang. Ia melihat sosok yang amat menyeramkan tepat beberapa centimeter di hadapan wajahnya. Rambutnya putih keabu-abuan dan terlihat tak pernah keramas, kulitnya agak keriput, sorot matanya tajam, memakai baju hitam kumal sobek-sobek, dan membawa tongkat berkepala ular.
Melihat sosok menakutkan itu, Tangguh langsung berteriak dihadapan wajah yang menyeramkan itu, "Aaaaaaaaaaa.......!!!!!"
Tangguh menghalau sosok itu dan berlari menjauh. Ia mengayuhkan kakinya secepat mungkin seperti seorang sprinter. Namun rasa takut membuatnya tak bisa mengendalikan situasi. Tanpa disadari, ia hanya berlari di tempat. Lalu sosok itu menggenggam kerah baju Tangguh dari belakang dan berkata, "Hai, mau ke mana kau?! berani–beraninya kau memasuki ruanganku!!!"
Tangguh terkejut karena ia masih berada di tempat itu setelah berusaha lari sekuat mungkin. Rupanya sosok itu adalah dukun yang bersemayam di gua itu. Si dukun pun mengikat tangan dan kaki Tangguh. Tangguh coba berontak, "Jangan ..... jangan ikat aku di sini, aku hanya terjebak di gua ini!!!"
"Berani–beraninya kau, apa kau tau, tak ada orang selain aku di pulau ini? mengapa kau berani memasuki pulau ini?" tanya dukun wanita itu.
"Aku terdampar di pulau ini, air laut yang membawaku ke sini," jawab tangguh sambil mengguncangkan tubuhnya agar tak terikat.
"Siapa kamu wahai anak muda?" tanya si dukun.
"A. . .aku Tangguh. . Tangguh perkasa wahai nenek tua," jawabnya.
Mendengar nama itu si dukun terdiam dan berusaha mengingat sesuatu. Ia merasa pernah mendengar nama itu, tapi ia lupa.
"Baiklah, aku tak akan mengikatmu apalagi membunuhmu, tapi dengan satu syarat," ucap dukun itu. "Engkau harus mau menjadi muridku sekaligus asistenku. Kalau kau tidak mau jangan harap kau bisa keluar dari sini!!" ancam si dukun meneruskan perkataannya.
Akhirnya dengan sangat terpaksa Tangguh mengiyakan, walaupun batinnya menolak.
***
Hari itu, di tengah malam, si dukun terus memikirkan nama Tangguh Perkasa. Akhirnya dukun itu pun ingat nama itu. Rupanya anak itu yang dulu membuatnya benjol dan bonyok saat kelahirannya.
Ah, rupanya dukun itu dulu adalah dukun beranak yang membantu proses kelahiran Tangguh. Si dukun telah menyelesaikan kuliahnya di fakultas kedukunan. Kini ia menjadi dukun yang cukup sakti dengan gelar Drs. di depan namanya. Drs. Parti itulah ia. Drs adalah gelar untuk dukun raja sakti. Seperti itulah ia menganggap dirinya.
***