"Nah ini dah pada dateng."
Seorang cowok bertubuh tinggi menghampiri Hendy dan Rico setibanya mereka berdua di studio musik kampus X. Candra, dialah sang vokalis yang juga merupakan leader dari STARS.
Memiliki suara yang khas ditambah lagi begitu merdu saat bernyanyi membuat popularitas cowok itu hampir setara dengan Hendy.
"Dari mana aja sih?" sahut Bima yang mengisi posisi sebagai drummer.
"Biasa.. Kita habis melewati rintangan kaum hawa yang ngejar-ngejar nih anak."
Hendy yang mendengar celoteh Rico pun memilih acuh. Dia kini fokus menyetel gitar sembari sesekali bersenandung menghafalkan nada-nada lagu.
"Gimana guys? Udah siap?" tanya seorang panitia acara.
Seiring dengan anggukan kepala dari Candra, keempat personil STARS naik ke atas panggung untuk meramaikan peringatan hari jadi kampus yang ke-9 sore itu.
Hiruk pikuk penonton langsung terdengar dari awal penampilan band yang digawangi oleh Candra, Hendy, Rico dan Bima.
Terlihat di barisan depan panggung telah didominasi oleh mahasiswi yang tak lain ingin melihat performa sang gitaris dari dekat.
Sedangkan para mahasiswa masih menjaga image mereka di awal-awal lagu. Namun pada akhirnya mereka ikut membaur di depan panggung karena penampilan STARS yang memukau.
Sesekali Hendy tersenyum tipis ke arah penonton saat namanya disebut. Hal itu tentu membuat para mahasiswi semakin histeris. Bahkan diantaranya ada yang menangis karena terlalu bahagia.
Di tengah berlangsungnya konser tunggal itu, tanpa sengaja Hendy melihat seorang cewek di kejauhan. Cewek itu duduk di barisan tribun paling belakang sambil melihat ke arah panggung atau lebih tepatnya melihat Hendy.
Cowok itu lalu melihat sekeliling. Semua mahasiswa dan mahasiswi di kampus X bersorak, bernyanyi, dan menari di sekitar panggung. Hanya cewek itu saja yang tidak melakukan hal yang sama. Dia hanya diam sambil memegang sebuah di buku di tangannya.
Entah sebuah kebetulan atau memang penglihatan Hendy yang terlalu tajam, cowok itu seolah bisa melihat kesedihan yang terpancar di mata sang cewek.
"Psstt! Hen!"
Suara Rico sontak membuyarkan lamunan Hendy. Dia lalu menyadari bahwa hampir kehilangan beberapa nada.
Hendy kembali berkonsentrasi dengan gitarnya. Namun rupanya cewek misterius itu telah mengusik hati Hendy. Diapun melihat ke arah cewek itu lagi dan sayangnya cewek itu sudah pergi dari tempat dia duduk tadi.
Mata Hendy mulai mencari-cari ke semua sudut dan diapun menemukan cewek itu masuk ke sebuah mobil lalu pergi meninggalkan kampus.
(Siapa dia?)
**
"Emang lo udah ketemu dia?"
"Belum sih. Tapi bukannya hari ini tanggal dia balik?"
"Harusnya iya. Atau diundur? Soalnya gue belum lihat dia juga. Lagian para kating belum ada yang heboh tuh. Jadi pasti belum balik dianya."
Obrolan lirih mahasiswa di perpustakaan siang itu membuat Hendy bertanya-tanya mengenai siapakah orang yang sedang mereka bicarakan. Namun seperti biasa Hendy tak mau ambil pusing.
Setelah mendapatkan buku yang dia cari, diapun keluar dari perpustakaan menuju ke arah Rico yang menunggu di depan pintu masuk.
"Dapet?"
"Yup!"
"Ya udah buruan cabut. Merinding gue kalau ke tempat yang namanya perpus."
"Next time lo nyari sendiri ke dalam sana."
"Ih ogah.. Mending gue ngaku ke ibu-ibu kantin kalau gue belum bayar gorengan kemarin daripada masuk ke tempat angker kayak gitu."
Rico pun mengambil buku dari tangan Hendy. Dia sontak menepuk dahi ketika membaca judulnya.
"Duh! Gue lupa soal teknik perakitan! Pinjemin lagi dong sob.."
"Masuk sendiri." ujar Hendy sambil melangkah pergi.
"Ayolah.." rengek Rico yang mengikuti langkah Hendy.
"Enggak."
"Demi persahabatan kita.."
"Bodo amat."
"Nanti gue traktir batagor deh."
"Ogah."
"Hen.."
Langkah Hendy pun terhenti karena Rico yang menarik jaket belakangnya.
"Ayolah Hen.."
"Lep.."
Brugh!
Tanpa sengaja Hendy bertabrakan dengan seseorang saat dia berhasil melepaskan tangan Rico dari jaketnya.