Rani berjalan mendekat ke arah ranjang tempat Hendy berbaring.
"Ini." ucapnya sambil menyodorkan kotak obat kepada Rico.
Cowok itu sedikit bingung. Namun dia menerimanya dengan berpikir apa yang harus dia lakukan.
"Kok diem aja?"
"A-aku mesti ngapain?"
"Hah? Itu bibir teman kamu berdarah. Gak diobatin?"
"Dokternya mana sih?"
"Gak dateng. Ini kan hari Sabtu."
Rani duduk di sisi lain ranjang. Kini dia dan Rico pun saling berhadapan. Cowok itu lalu mulai mengusap darah di bibir Hendy.
Alis Rani berkerut. Apa yang dilakukan Rico membuat cewek itu begitu gemas. Bukannya mengusap, Rico lebih mirip menekan-nekan bibir Hendy.
"Biar aku aja!"
Rani menghela napas sesaat. Dia mengambil kembali kotak obat di tangan Rico.
"Kenapa diambil lagi?"
"Yang ada wajahnya malah lebam-lebam kamu tabokin kayak gitu."
Rico pun hanya tersenyum garing. Dia lalu memperhatikan bagaimana lembutnya Rani merawat luka Hendy.
Setiap pergerakan tangannya begitu hati-hati dan telaten.
(Andai gue yang ada di posisi itu..)
Rani mendekatkan wajahnya ke arah Hendy agar bisa lebih mudah melihat lukanya. Saat cewek itu kembali mengusapkan kapas di ujung bibir Hendy, cowok itu membuka matanya dengan perlahan.
Dalam pandangan yang masih berputar, Hendy melihat wajah yang paling dia rindukan belakangan ini.
Benar! Selama berminggu-minggu dia mencari keberadaan Rani. Dia mencari ke setiap sudut kampus namun tak berhasil menemukannya.
Itulah sebabnya dia menjadi pendiam dan sering termenung sendiri. Sejak melihat Rani pertama kali, Hendy tak bisa mengusir bayangan cewek itu dari kepalanya.
Dia sudah mencoba berbagai cara untuk melupakan cewek cantik itu, namun usahanya selalu gagal. Yang ada dia tak bisa melakukan sesuatu dengan benar.
Rani terpaku sesaat. Dia lalu mengambil senter kecil dan menyorotkan cahayanya ke mata Hendy.
Cewek itu bernapas lega saat pupil mata yang tajam itu mengecil ketika terkena cahaya senter.
"Syukurlah.."
"Dia gak apa-apa kan?" seloroh Rico.
"Gak apa-apa kok. Kayaknya kecapekan aja."
Pandangan Rani beralih ke Hendy. Cowok itu masih menatapnya dengan mata sayu. Ada guratan kebahagiaan dari matanya walaupun dia diam.
"Apa yang kamu rasain? Masih pusing?"
Hendy hanya mengangguk.
"Sebaiknya kamu bawa temen kamu ke rumah sakit deh. Biar bisa diperiksa menyeluruh."
"Kita ke rumah sakit ya Hen?"
"Gak usah."
Hendy pun berusaha duduk, namun yang ada dia roboh lagi akibat sakit kepala yang belum reda.
"Tuh kan! Jangan ngeyel deh!"
Terjadilah perdebatan antara Hendy dan Rico. Yang satu ingin ke rumah sakit, sedangkan yang satunya lagi tidak mau dibawa ke rumah sakit.
Rani tersenyum kecil mendengar perdebatan itu. Tak hanya sama-sama keras kepala, cewek itupun akhirnya tahu nama dari keduanya tanpa dia harus bertanya.
"See?" ucap Rani pada akhirnya sambil menyodorkan sebuah cermin kecil ke wajah Hendy.
"What?"
"Huft.. Lihat kan bibir kamu luka. Di dahi juga ada walaupun samar. Aku kuatir kalau di dalam kepala kamu ada luka juga. Kamu masih pusing kan? Karena itu kamu harus ke rumah sakit untuk mastiin kalau kamu baik-baik aja. Oke?"
"Oke."
(Busyet! Nih anak pingin gue pites aja! Dari tadi gue udah bujuk sampai berbusa nih mulut dia gak mau! Sekalinya di bujuk sama Rani, dia langsung setuju!)
**
"Gejala typus dok?!"
"Sstt.."
Rani segera menghentikan Rico sebelum cowok itu membuat kehebohan di rumah sakit. Rico pun langsung menutup mulutnya dengan tangan.
"Benar. Karena itu pasien harus istirahat total ya. Ini saya tuliskan resep obatnya."
Rico pun menghela napas dalam yang tentunya membuat Rani menyadari ada sesuatu yang di pikirkan oleh cowok itu.
Rani acuh pada awalnya. Namun gerak tubuh Rico yang tidak tenang mulai mengusik cewek cantik itu.
"Kenapa sih?"