Seisi kampus menjadi gempar saat tahu pemandangan apa yang baru saja mereka lihat.
Seorang Hendy, sang gitaris terkenal dari STARS tampak menggandeng cewek cantik yang menjadi primadona kampus di sepanjang lorong.
Rani sudah mencoba menghentikan Hendy dan meminta agar cowok itu melepaskan tangannya. Namun sepertinya Hendy tak mendengar sama sekali.
Tibalah mereka berdua di area yang jarang sekali dikunjungi oleh mahasiswa lain di kampus X. Tempat itu merupakan tempat tertinggi di kampus yang berada di lantai 5. Tempat terbuka dimana mereka bisa melihat seluruh pemandangan yang terhampar di kampus tercinta.
"M.. Kamu gak mau ngajakin aku bunuh diri kan, Hen?"
Pertanyaan dari Rani spontan membuat cowok itu tersenyum. Namun senyum itu seketika sirna saat dia teringat tujuannya membawa Rani ke sini.
Hendy pun berbalik menatap cewek yang masih bertanya-tanya di belakangnya. Seketika pandangannya tertuju pada mata indah Rani. Mata berwarna hazel yang bisa dipastikan bahwa itu bukan mata orang pribumi.
"Kenapa kamu mau ke Jepang lagi? Bukannya kamu baru pulang?"
"Kamu tahu darimana kalau aku baru pulang dari Jepang?"
Sorot mata Rani yang keheranan itu justru membuat Hendy semakin tak bisa mengalihkan pandangannya. Entah mengapa semakin lama dia memandang Rani, semakin dalam dia terjatuh ke sebuah perasaan yang masih belum bisa dia terjemahkan.
"Hen?" panggil Rani sambil melambaikan tangan di depan wajah Hendy.
"Pokoknya kamu gak boleh balik ke Jepang."
"Kenapa?
"Momennya kurang pas."
"Momen apaan sih Hen?"
Rani pun semakin bingung. Dia lalu melihat arloji di tangannya.
"Sorry aku harus pergi sekarang."
"Ran, please.."
Sontak Hendy kembali menggenggam tangan Rani yang lembut. Hal itu tentunya menimbulkan keheningan diantara keduanya untuk beberapa saat.
"Aku mohon jangan pergi lagi."
"Ya tapi kenapa? Kalau aku gak balik sekarang, kampus kita bisa di blacklist dan kita gak bakalan bisa kerjasama lagi untuk ke depannya sama Jepang.
"Soalnya aku.. M-maksudku, kampus kan bentar lagi ada event penting. Jadi harusnya vakum dulu lah semua kegiatan akademik. Kita buktiin kalau kampus kita solid dengan berkumpulnya semua mahasiswa-mahasiswi buat memeriahkan suasana."
(Duh.. Ngomong apa sih gue?!)
Hanya alasan itulah yang terpikirkan oleh Hendy. Alasan yang bahkan baru muncul beberapa detik yang lalu dan terkesan tak masuk akal.
"Gitu ya.. Tapi aku tetap harus pergi, perintah rektor."
"Biar aku yang ngomong ke beliau."
Dengan menggebu-gebu Hendy pun bergegas menuju ruang rektor untuk membicarakan hal ini, meninggalkan Rani yang semakin bingung dengan sikap aneh cowok itu.
"Tapi Hen.."
**
"Jadi begitu pak. Saya kuatir jika orang luar tahu, nanti dikira mahasiswa-mahasiswi kita tidak militan alias nantinya setelah lulus tidak mencintai almamater. Gimana kalau hal itu mempengaruhi pandangan masyarakat umum tentang kampus kita ini?"
Pak Romi berpikir sejenak. Rektor berusia 45 tahunan itu mempertimbangkan ucapan Hendy dengan serius. Menurutnya ucapan mahasiswa populer itu ada benarnya.
"Ucapan kamu ada benarnya. Oke, biar bapak komunikasikan dengan Jepang untuk menunda pertukaran pelajar sampai tahun ajaran berikutnya."
Hendy pun menghela napas lega mendengar keputusan dari Pak Romi itu. Dia lalu undur diri untuk kembali menemui Rani.
"Stop! Astaga Hen.. Gue udah muterin kampus gak tahunya lo di sini?! Ngapain lo ke ruang rektor?"
"Ada urusan."
"Habis bimbingan ya?"
"Hah? Bimbingan apaan? Skripsi aja masih jauh."
"Terus ngapain lo bawa buku segitu banyak ke ruang rektor?"
Hendy pun melihat tangannya. Dia baru sadar bahwa masih membawa buku-buku Rani. Tanpa pikir panjang cowok itu beranjak meninggalkan Rico yang tentunya masih bingung karena tak ada satupun pertanyaannya yang terjawab.
"Woi mau kemana lagi?! Busyet main tinggal-tinggal aja tuh anak!"