"Punya mata gak lo?!"
Hendy menatap datar lawan bicaranya itu lalu menunjuk matanya yang tajam dengan jari telunjuk dan jari tengah.
"Nih."
"Heh!"
Cowok itu mencengkeram kerah baju Hendy. Tak ayal hal tersebut menarik perhatian mahasiswa dan mahasiswi yang berada di sekitar perpustakaan.
"Gak punya sopan santun lo ya!" ucap cowok yang bernama Gabriel.
"Terus yang lo lakuin sekarang sopan gitu?"
Baku hantam pun tak terelakkan. Keduanya terlibat perkelahian sengit di depan pintu masuk perpustakaan.
Sama-sama bertubuh kekar dan pandai berkelahi membuat tak ada satupun yang berani melerai mereka berdua termasuk Rico. Dia hanya berteriak-teriak berusaha menghentikan Hendy dan Gabriel.
Tiba-tiba seseorang melompat di antara keduanya. Dia lalu merentangkan tangan dan dengan kekuatan tangan itu dia menahan tubuh Hendy dan Gabriel di sisi yang berbeda.
Orang-orang yang melihat kejadian itu sontak terkejut. Di sana, diantara Hendy dan Gabriel telah berdiri seorang cewek berambut hitam panjang yang bergelombang di bagian ujungnya.
Mereka semua termasuk Rico bertanya-tanya bagaimana bisa seorang cewek melerai dua orang cowok yang bahkan badannya 2x lebih besar darinya?
Namun dari semua orang, Hendy lah yang paling terkejut.
"Kamu.."
"Ran? Kapan kamu.."
"Sorry.. Kalian menghalangi pintu masuk." potong cewek itu tanpa menoleh saat Gabriel bicara. Dia lalu pergi begitu saja dan masuk ke dalam perpustakaan.
Entah apa yang terjadi di diri Hendy. Dia tak bisa melepaskan pandangannya dari sosok cantik itu.
Benar, dialah sosok yang menarik perhatian Hendy saat konser tempo hari. Sosok yang berhasil membuatnya penasaran hingga terbawa sampai ke alam mimpi.
Gabriel menyadari bahwa cewek tadi mengalihkan perhatian Hendy. Rasa tak senang pun menyelimuti cowok itu. Dia kembali mencengkeram kerah baju Hendy.
"Jangan harap lo bisa deketin dia."
"Bacot."
"Ada apa ini?!"
Sebuah suara menggelegar terdengar tepat saat keduanya kembali mengepalkan tinju. Seorang dosen sangar berdiri sambil bertolak pinggang menatap Hendy dan Gabriel dengan garang.
"Ke kantor sekarang!"
**
"Hah.. Gak berubah. Seperti biasa.."
"Apaan?"
"Itu.."
Oliv membuat isyarat mata ke arah luar ruang kesehatan. Di depan sana rupanya banyak mahasiswa yang berjalan mondar mandir tak jelas. Hal itu dikarenakan mereka hanya ingin melihat atau bahkan mencari perhatian Rani.
Rani sekilas melirik mereka. Namun dia kembali fokus untuk mengobati Oliv yang entah bagaimana kakinya terkilir hingga bengkak di pergelangannya.
"Oh.."
"Udah gitu doang?"
"Cckk.. Lagian kenapa kaki lo bisa segede ini sih Liv? Lo habis akrobat atau gimana?"
"Iya. Gue habis bantuin ultraman nangkap maling. Puas lo?"
Rani pun tak bisa menahan senyum. Sudah setahun berlalu sejak dia harus berpisah dengan sang sahabat untuk mengikuti pertukaran pelajar ke Jepang. Namun tak ada yang berubah dari Oliv. Dia tetaplah Oliv yang humoris seperti yang Rani kenal.
Keduanya pun melanjutkan obrolan untuk melepas rindu hingga terdengar pembicaraan lain dari luar ruang kesehatan.
"Ayo buruan! Kalau gini aja lelet banget lo jalannya!"
"Bawel. Lagian udah gue bilang gue gak apa-apa. Masih aja maksa ke sini."
"Gak apa-apa dari Hongkong! Lihat tuh pelipis ngucur kayak gitu! Gimana kalau lo anemia gara-gara kekurangan darah dodol?!"
Rani pun melihat ke arah pintu dimana Rico dan Hendy berjalan memasuki ruang kesehatan.
Sontak saja Hendy terkejut begitu tahu siapa orang yang berada di dalam sana. Mata hazel memukau milik Rani kembali membuatnya terpana tak bergerak.
Dari sinilah awal dari secuil kisah antara sang gitaris dengan makhluk cantik bernama Rani.