"Hem... Allena, mari kita mulai memikirkan masa depan!" celetuk Nio sontak Allena terdiam sejenak.
"Maksudmu?" tanya Allena.
"Ya, mari kita punya anak," ucap Nio dan Allena pun lagi-lagi terdiam.
Perlahan Allena melepaskan pelukannya, dia beralih menuju kursi bar dan duduk di samping Nio, di mana kini posisi keduanya berbanding terbalik. Namun, sesaat kemudian pandangan keduanya bertemu. Senyuman pun tersungging di bibir Allena.
"Apa yang membuatmu membahas ini? Apa hari ini kamu bertemu dengan anak-anak?" tanya Allena.
Nio menghela napas. Dia berpaling dan menyandarkan kedua sikunya di meja bar. Pandangannya mengarah pada pajangan di depannya. Di sana, tepatnya di dinding terlihat cukup ramai. Hampir semua dinding itu di hiasi oleh lukisan-lukisan.
"Tidak, aku tak bertemu anak-anak, tapi aku menginginkan seorang anak," ucap Nio dan kembali menoleh ke arah Allena.
Allena menatap Nio dengan seksama, dia merasa aneh karena tiba-tiba Nio menginginkan seorang anak. Padahal, sebelumnya keduanya sudah sepakat bahwa tak akan memiliki anak dulu. Karena itu juga Allena pun akhirnya selama dua tahun ini selalu rutin memakai alat kontrasepsi.
"Kamu tahu 'kan, aku belum siap untuk itu," ucap Allena seraya menuangkan minuman di atas meja ke dalam gelas bekas Nio. Dia lantas menenggak minuman itu dan Nio hanya diam memperhatikan Allena.
Setelah itu, Nio menjebikan bibirnya seraya mengangkat bahunya. Kemudian dia memutar kursi menghadap Allena.
"Katakan padaku, apa lagi yang membuatmu tak siap? Sebelumnya, kamu mengatakan bahwa kita perlu waktu bersama layaknya pasangan yang berpacaran, aku pikir semua itu memang tak ada salahnya. Aku pun setuju, bukan? Tapi, Allena. Pernikahan kita sudah dua tahun berlalu, aku merasakan rumah ini mulai terasa hampa," ucap Nio.
Allena yang tengah memainkan gelas kosong di tangannya lantas langsung menoleh menatap Nio.
"Apa aku saja tak cukup bagimu? Kenapa kamu berpikir rumah ini hampa, sedangkan aku tak pernah sedikit pun berpikir begitu?" ucap Allena merasa tak suka mendengar apa yang Nio katakan.
Allena lantas akan turun dari kursi bar.
"Tidak, bukan begitu maksudku," ucap Nio seraya menahan Allena agar tetap duduk.
Allena pun tak jadi turun dari kursi bar.
"Dengarkan aku, Allena. Aku pikir, anak adalah sosok yang setiap pasangan harapkan, bukan? Apa kamu tak merasa kesepian? Apa kamu tak ingin di rumah ini ada keberadaan anak-anak yang memanggilmu mami?" ucap Nio seraya menatap Allena.
"Tentu saja ingin, tapi tidak dalam waktu dekat. Nio, apa kamu pikir menjadi orangtua semudah yang mungkin kamu pikirkan? Banyak hal yang harus kita pertimbangkan, bukan? Di tengah kesibukan yang kita jalani sekarang, aku pikir sekarang bukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah anak. Ketika aku bisa sepenuhnya menjadi istri yang hanya diam di rumah, maka saat itu kamu boleh menuntut anak dariku!" ucap Allena terdengar jelas sekali bahwa Allena tak suka membicarakan masalah ini.
Nio menghela napas panjang seraya mengusap wajahnya. Dia lantas turun dari kursi bar.
"Istirahatlah, kamu pasti lelah. Aku akan memeriksa beberapa pekerjaan dulu sebentar. Setelah itu, aku akan menyusulmu," cap Nio dan mendaratkan kecupan di kepala Allena. Nio tak ingin bertengkar dengan Allena. Allena jelas mulai kesal dan itu terdengar dari nada bicaranya.
Nio pun meninggalkan Allena dan pergi menuju ruang kerjanya di lantai yang sama dengan kamarnya.
Sementara itu, Allena justru terdiam. Reaksi Nio terlihat tak keberatan atas penolakannya untuk memiliki anak dalam waktu dekat. Tapi, Allena sebenarnya menyadari bahwa Nio merasa kecewa atas tanggapannya soal apa yang Nio katakan.
Sekali lagi Allena menuangkan minuman dan menenggaknya. Setelah itu, dia turun dari kursi bar.
'Aku penasaran, apa sebenarnya yang membuatnya tiba-tiba membahas anak?' gumam Allena di tengah langkahnya menuju kamar.
Sebelum memasuki kamar, Allena melihat pintu ruang kerja Nio terbuka. Sepertinya benar, Nio memang sedang bekerja. Allena yang tak ingin menambah masalah pun, lantas memasuki kamarnya. Dia memilih membersihkan tubuhnya sebelum istirahat.
Sementara itu di ruang kerja Nio, Nio justru hanya duduk di kursi kerjanya. Tatapannya mengarah pada layar laptopnya yang mati.
Dia kepikiran ucapan Allena yang mengatakan bahwa ketika Allena sepenuhnya menjadi istri yang hanya diam di rumah, maka saat itulah Allena siap membahas saol anak.
Nio terkekeh seraya mengusap wajahnya. Dia menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Tatapannya kini tertuju pada bingkai pernikahannya yang ada di atas meja. Lagi-lagi dia pun tersenyum ketika menatap wajah cantik Allena saat memakai gaun pernikahan. Allena tampak tersenyum bahagia di foto yang diambil secara candid oleh seorang photograper saat di resepsi pernikahannya dua tahun lalu.
"Benarkah begitu? Jadi, kapan kamu akan menjadi istri yang hanya diam di rumah? Seorang Allena? Hem... Aku bahkan tak yakin itu akan terjadi. Alasanmu sungguh konyol!" gumam Nio seolah dirinya tengah berbicara di hadapan Allena.
Entah mengapa, Nio pun tak mengerti tiba-tiba ketika pulang dari kantor saat petang tadi, dia merasakan rumah itu terasa begitu sunyi.
Nio berpikir, rumah sebesar itu hanya ada dirinya dan Allena, juga para pekerja yang tinggal di dalamnya. Ada sesuatu yang rasanya mulai terasa hampa. Dan anak tiba-tiba terlintas di pikiran Nio. Karena itu, Nio membahas masalah anak dengan Allena.
Bukankah sebagai suami Allena, adalah wajar jika Nio membahas perihal anak dengan Allena? Tak di sangka jawaban Allena seperti itu membuat Nio justru ingin tertawa. Nio bahkan tak yakin bahwa suatu saat Allena benar-benar akan menjadi seorang istri yang hanya tinggal di rumah.
Lantas, bagaimana dengan perusahaan keluarganya? Jelas-jelas Allena pewaris satu-satunya yang akan mengambil alih bisnis keluarganya.
Setelah duduk cukup lama duduk di ruang kerjanya, Nio pun memutuskan pergi ke kamarnya.
Sesampainya di kamar, Allena terlihat duduk bersandar di tempat tidur. Dia sudah memakai kimono tidurnya, tetapi rambutnya tampak sedikit basah. Sepertinya, Allena tak mengeringkan rambutnya dengan benar.
Nio pun pergi ke kamar mandi, dan setelah itu naik ke tempat tidur.
"Kenapa tak tidur?" tanya Nio.
"Aku ingin tidur, tapi aku tak bisa karena kamu belum kembali," ucap Allena.
"Sekarang aku sudah kembali," ucap Nio.
"Apa kamu marah padaku?" tanya Allena seraya menoleh dan menatap Nio.
Nio tersenyum menatap Allena.
"Tidak," ucap Nio.
Allena menghela napas dan mendekati Nio. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Nio, tangannya menggenggam tangan Nio dan mengusap punggung tangan Nio.
"Jangan menggodaku, Sayang. Kamu sedang berhalangan," ucap Nio.
Allena tak mengiraukan ucapan Nio. Matanya kini menatap lekat wajah tampan Nio. Sungguh, dia mencintai pria di sampingnya itu, dia bisa memberikan apapun untuk Nio, tetapi saat ini tidak untuk masalah anak. Meski begitu, Allena tetap merasa sedikit tak enak hati pada Nio.
"Sayang, aku mencintaimu, dan kamu tahu itu 'kan?" tanya Allena.
"Ya, tentu saja. Lalu?" tanya Nio menatap Allena bingung.
"Apa kamu kecewa atas jawabanku atas masalah tadi? Apa kamu marah padaku?" tanya Allena.
"Tidak, untuk apa aku marah?" tanya Nio.
"Sungguh?" tanya Allena memastikan.
Nio mengangguk, membuat Allena tersenyum.
Allena lantas mencium bibir Nio, dan Nio menyambutnya dengan senang hati. Allena terkekeh setelah ciuman keduanya berkahir dan dirinya tak sengaja melihat ke celana Nio, tampak bagian intim Nio sepertinya menegang.
Nio yang menyadari tatapan Allena mengarah pada bagian intimnya pun lantas menutup wajahnya.
"Ayolah, sudah kukatakan jangan menggodaku," ucap Allena.
Nio tersentak ketika Allena mengecup pipinya.
"Kamu mau?" tanya Allena tepat di depan wajah Nio. Jarak wajah keduanya begitu dekat.
Nio lantas mengerutkan dahinya.
"Aku sudah tak berhalangan," ucap Allena seraya tersenyum.
"Benarkah?" tanya Nio dan senyuman tersungging di bibirnya.
Allena mengangguk dengan cepat, dia beralih duduk di pangkuan Nio ketika Nio menarik tangannya.
"Kamu cantik, Sayang," ucap Nio dan keduanya pun berciuman.