"Kau mau membawaku ke mana?"
"Sudah kubilang ini kejutan. Kau nanti juga tahu sendiri"
Bus yang Horn dan Carmen tumpangi tengah melewati sebuah terowongan. Setibanya di muara terowongan, cahaya matahari menyeruak masuk dan menunjukan pemandangan yang sebelumnya disembunyikan oleh kegelapan terowongan. Horn kini dapat melihat pantai St. Lewis dari balik jendela bus. Pantai St. Lewis sendiri adalah sebuah pantai artifisial atau buatan manusia yang ditujukan untuk pariwisata. Pantai ini selesai dan dibuka untuk umum pada 15 tahun yang lalu dengan lama pembangunan selama dua tahun. Tujuan awalnya pantai ini dibangun adalah sebagai destinasi alternatif dari daya tarik pantai Pedrafa di timur Ouro yang pada saat itu masih sangat terbatas transpotasinya. Hingga kini sudah banyak perubahan dan penambahan di sektor sarana dan prasarana di pantai ini.
Salah satu daya tarik pantai tersebut adalah adanya taman hiburan yang terletak di atas dermaga. Bianglala dan roller coaster-nya adalah salah dua wahana yang terkenal karena menyuguhkan pemandangan laut biru yang indah
Seumur hidupnya, Horn belum pernah kesana. Ini kali pertamanya ia melihat pantai St. Lewis makanya ia merasa sangat asing dengan rute bus yang Carmen tempuh. Belum lagi kondisi penumpang bus saat itu cukup padat.
"Jadi kita akan bersenang-senang di pantai, tapi bukannya kita gak bawa baju renang?"
Carmen mendengus. "Kau memang penuh dengan pikiran kotor, Horn. Sudahlah ikuti aku saja….".
Tidak lama dari percakapan itu Carmen berdiri dan menyuruh Horn bersiap untuk turun. Mereka'pun turun di stasiun bus St. Lewis lalu menuju trotoar. Horn mengikuti langkah Carmen dari belakang sebelum langkahnya terhenti setelah orang yang diikutinya berhenti.
"Jangan jalan membelakangiku begitu, kau kini terlihat seperti membuntutiku. Ayolah jalan di sebelahku, kita ini'kan teman." Kata Carmen setengah membalikkan badan. Horn terdiam sebentar sebelum akhirnya menuruti permintaannya. Mereka akhirnya jalan bersebelahan menyusuri area dalam pantai yang khusus untuk pejalan kaki.
Horn tadi terkesiap saat Carmen membalikan badan. Rambut pendek merahnya terlihat berkilau terpantul sinar matahari. Kepalanya yang menutupi matahari membuat wajahnya berbayang namun mata merahnya berhasil menembus bayangan itu dan dengan mantap menatap langsung pada matanya. One-shoulder t-shirt putihnya juga telah mengekpos bahu kanannya menampilkan kulit putih eksotis Carmen yang tertabur melanin. Rok flanel selutut dan seikat jaket di pinggangnya yang ikut terhempas walau sedikit, semuanya menghipnotis Horn walau hanya dalam hitungan detik. Seketika ia lupa gadis cantik di depannya adalah gadis yang pernah membuat tubuhnya seperti keju Swiss.
Matahari bersinar sangat terik siang itu. Bersama hempasan angin laut, keduanya memberikan suasana pantai yang semestinya. Tidak lupa aroma air laut yang khas juga ikut menyahut orang-orang di sekitar bahwa kau sedang berada di pantai! Daun pohon-pohon kelapa yang berjejer tampak seperti melambai-lambai pada orang-orang yang tengah berlalu lalang di bawah mereka. Burung-burung camar beserta pasir-pasir pantai yang putih juga ikut berterbangan dan menandai orang-orang yang berada di pantai dengan sedikit mengotori pakaian mereka. Tampak orang-orang sedang sumringah berlari dan bermain di atas hamparan pasir putih. Pasir-pasir putih itu ikut berterbangan ketika seorang pemain voli memberikan sebuah servis yang kemudian berhasil membobol pertahanan tim lawannya. Orang-orang berpakaian minim tampak berbaring berjejer seperti ikan asin memperebutkan cahaya matahari. Mereka ingin pamer tampil eksotis setelah berjemur seharian di pantai. Anak-anak sampai orang dewasa juga tidak kalah ingin mencicipi bagaimana rasa dan sensasi berenang di air laut, terutama di sumbernya yang asli. Seringkali mereka terhempas kesana kemari akibat ombak-ombak laut yang kecil namun juga mematikan. Para penjaga pantai dengan tubuh gagah mereka sedang mengawasi apa yang terjadi di daerah kekuasaan mereka. Tidak boleh ada yang hanyut, tidak boleh ada yang merasa sedih setelah berada di pantai ini, semuanya harus bergembira, oleh karena itu terkadang mereka mengarahkan teropong mereka ke arah yang salah sebagai bentuk kegembiraan mereka.
"Sepertinya aku harus lebih berhati-hati saat mandi…" ujar Carmen memecah keheningan. Horn langsung salah tingkah dan menoleh ke arahnya.
"Apa maksudmu barusan?"
"Bukan apa-apa. Hanya mengingatkan diriku sendiri."
Horn terdiam sebentar hingga ia sadar bahwa itu jebakan. Carmen ternyata mengamati ke mana matanya berkeliaran di pantai tersebut, walau sebenarnya ia barusan sedang mengamati keindahan pantai St. Lewis termasuk dengan para pengunjungnya.
"Mungkin jika aku rajin bersih-bersih, aku bisa menemukan 'barang-barang unik' di kamarmu." Ujar Carmen lagi.
"Tidak ada yang namanya 'barang-barang unik' di kamarku…."
"Hm….. mungkin barang-barang itu sudah kau pindahkan saat kau masih ku suruh menetap di apartemen…" kata Carmen seolah tidak mendengarkan.
"Tidak pernah ada barang semacam itu di apartemenku….!"
"Hm… kudengar laki-laki memang suka perempuan ber-dada besar, apa benar begitu, Horn?"
"Kenapa kau tanyakan hal itu padaku..?"
"Kau'kan laki-laki…." jawabnya singkat.
"...."
"Jadi karena itu kau ingin dekat dengan The Puppet?"
"Tentu tidak lah!!" bantah Horn.
Dengan tatapan jijik Carmen berkata, "Setelah ini tampaknya aku harus berhati-hati agar tubuhku tidak dieksploitasi oleh orang mesum yang tinggal seatap denganku.."
"Siapa juga yang mau mengeksploitasi tubuhmu?" sanggah Horn.
"Oh Jadi benar kau memang suka wanita berdada besar."
"A… a. ah sudahlah… lupakan!" kata Horn kesal.
Ia sudah terkena jebakan Carmen dua kali. Ia'pun jadi malas berbicara dengannya lagi. Carmen tersenyum lebar melihat ekspresi Horn yang sedang jengkel dibuatnya.
Mereka'pun melewati sebuah panggung yang ditutupi tirai. Tirai tersebut bahkan menutupi hingga ke area di depan panggung sehingga berbentuk persegi panjang. Terdengar alunan musik yang suaranya yang sengaja dikecilkan. Sepertinya akan ada sebuah konser yang digelar di sana. Mereka'pun melewati deretan pagar kayu yang ikut membatasi akses ke area panggung tersebut.
"Konsernya sore ini lho…." sahut Carmen. "Beruntung aku sudah membeli tiket untuk kita berdua.", Carmen menyerahkan selembar tiket pada Horn.
"'How Your Summer Should be Ended'? Apa ini?"
Carmen tampak menyembunyikan tawa dengan menutupi mulutnya.
"Jangan mentertawakan aku, aku tahu kau juga berdarah Skotlandia!" dengus Horn kesal.
"Maaf tuan Horn, aku dibesarkan dengan bahasa Spanyol, lalu kemudian bahasa Inggris."
"Katakan saja apa ini?" tanya Horn yang sudah tidak nyaman digoda terus oleh Carmen.
"Itu festival! Apa kau tahu festival, Horn? Di mana orang-orang bersenang-senang dengan apapun yang ada di sana, seperti jajanan, permainan dan lain sebagainya. How Your Summer Should be Ended sendiri adalah festival tahunan yang memperingati berakhirnya musim panas yang di dalamnya ada konser, atraksi kembang api, dan acara-acara lainnya. Tepatnya festivalnya digelar di sini, di pantai St. Lewis, atau lebih tepatnya lagi di area taman hiburannya yang letaknya di atas dermaga." tutur Carmen.
Horn terpukau melihat tiket masuk yang berkilau bewarna oranye terang, sangat menyimbolkan warna musim panas. Baru kali ini ia merasakan masuk ke dalam sebuah festival besar, walau dulu ia sendiri pernah menggelar sebuah festival di sekolah walau konsepnya tidak jelas, bahkan menurut Horn sendiri kurang berkesan.
Tangan Horn terasa ditarik, seketika tarikan itu memecahkan lamunannya. Ternyata yang menariknya adalah Carmen. Tangan gadis itu menggenggam lengannya. Gadis berambut merah'pun itu tersenyum padanya.
"Jadi, Sam Hornet…. Mau menghabiskan waktu bersamaku?
Horn bersama sang gadis berambut merah memasuki gerbang taman hiburan yang beralih fungsi menjadi pintu masuk festival How Your Summer Should be Ended. Area taman hiburan itu sangat luas dan memiliki tiga area. Yaitu area di atas dermaga, lalu sebelah kiri dermaga dan sebelah kanan dermaga. Area sebelah kiri adalah tempat masuknya sekaligus lahan parkir bagi kendaraan. Area di atas dermaga adalah tempat pusat hiburan penuh dengan wahana dan permainan sedangkan di area sebelah kanannya sedang digunakan untuk konser sore ini.
Antriannya cukup panjang, meski begitu mereka tidak butuh waktu lama untuk bisa masuk. Sebuah gelang bewarna oranye diberikan kepada masing-masing mereka sebagai tanda pengunjung festival. Mau tidak mau mereka harus mengenakannya.
Area di dalam festival ternyata sangat ramai. Suara decitan roda dan jeritan yang sebelumnya hanya kedengaran dari luar, kini langsung terlihat sumbernya saat roller coaster yang berada di atas mereka lewat dengan sangat cepat. Dari kejauhan terlihat seorang anak kecil dengan girang menunjuk-nunjuk roller coaster tersebut namun dari raut pria yang di sebelahnya tampak ia menolak keinginan anaknya karena memang belum cukup umur. Semerbak bau parfum tiba-tiba saja melintas dan mengalihkan Horn pada sepasang kekasih yang melewati mereka dengan es krim di tangan mereka. Bau vanili es krim itu tercampur sempurna dengan bau parfum gadis yang mengenakan open shoulder blouse itu. Horn mendapati penampakan antrean panjang lainnya di festival tersebut Bau vanili yang sama kini menguat dan setelah melewatinya ia tahu bahwa mereka menginkan suatu yang esensial di hari yang cukup panas ini, es krim. Tidak hanya es krim, beberapa wahana juga nampak mengalami penumpukan pengunjung hingga menghasilkan antrean yang cukup panjang. Beberapa stand permainan berhadiah juga cukup ramai, kebanyakan dari mereka ingin unjuk gigi lalu memberikan hadiahnya kepada orang yang sedang bersama mereka. Kebanyakan dari mereka yang datang ke festival ini adalah pasangan muda-mudi, walau ada juga yang berupa keluarga atau'pun kelompok-kelompok sahabat dekat yang ingin menghabiskan waktu bersama. Wajah mereka ceria, mereka tampak tersenyum dan tertawa bersama. Mungkin karena mereka sedang mendapati waktu bersenang-senang mereka dengan baik. Mungkin nanti Horn bisa senasib dengan mereka.
Teman main Horn hari ini adalah bukan seseorang yang asing baginya. Seseorang yang ia kenal kalem dan di lain sisi juga berbahaya. Pekerjaan kotornya selalu ia selesaikan dengan rapih dan direncanakan secara matang. Saat pekerjaannya itu dimulai raut wajahnya akan berubah dingin meski rambut dan matanya selalu membara. Cipratan darah para target yang mengenai wajahnya sudah bukan apa-apa lagi baginya. Bercak-bercak darah yang sering menempel di tubuhnya seakan menyatu bagai riasan seragam yang secara tidak langsung menggambarkan pekerjaan kotornya tersebut. Dia akan menghangat ketika pekerjaannya sudah selesai, tapi jangan lengah dulu, dia bisa saja tiba-tiba berubah pikiran jika ada sesuatu yang dianggapnya kurang. Walau di tempat dan waktu ini dia menghangat tetapi kita tahu, sebuah api tidak bisa kita peluk. Sulit diprediksi. Kita tidak pernah tahu kapan ia akan berkobar hebat karena ukurannya masih kecil. Dan kau akan tamat saatapi itu diam-diam melingkarimu dan melahapmu karena kau lengah.
Horn tidak pernah tahu apa rencana Carmen sebenarnya. Dari rencananya pindah tempat tinggal, lalu pekerjaan tak lazim, kemudian hingga festival ini, setiap rencana yang Carmen buat terdengar seperti dibuat secara spontan. Gadis ini penuh dengan tanda tanya. Ada maksud apa di balik semua ini. Bahkan tujuan menolongnya saja masih abu-abu bagi Horn. Memang ia sudah tidak punya pilihan lain oleh karena itulah saat ini ia hanya bisa mengikuti ekornya. Dia itu...
"…Nah, kau mau main yang mana dulu Horn?"
"...."
"Ada apa Horn, ada sesuatu yang aneh di wajahku?"
"…Ah tidak ada….." Horn langsung salah tingkah "… ngomong-ngomong mengapa kau membawaku ke ujung dermaga?"
Rambut Carmen yang tertiup angin laut tampak ingin menyembunyikan wajah antusiasnya, "Tidak ada apa-apa…. Aku hanya ingin memperlihatkanmu pemandangan laut di sini.", Carmen memandang perairan disusul oleh Horn yang mencoba menangkap apa yang mata Carmen tangkap. Carmen tersenyum puas. Sesuatu yang belum pernah Horn lihat sebelumnya. Matanya seakan tidak mau lepas pada pemandangan laut biru di hadapannya, "….. indah bukan?", tanyanya pada Horn.
Horn tidak menanggapi pertanyaan tersebut. Sudah tidak perlu ditanya lagi karena jawabannya sudah sangat jelas. Pemandangan laut saat itu begitu biru bagai lukisan indah yang jadi dalam sekejap mata. Matahari masih tinggi di cakrawala dan masih melukiskan langit biru. Garis-garis laut yang terbentuk oleh ombak terlihat seperti guratan-guratan di atas kain lecek. Terlihat beberapa yatch sedang berlabuh di atas kain biru tersebut. Mereka beserta karang-karang yang tengah berdiri gagah di pesisir pantai mencoba bertahan dari gelombang-gelombang pasang laut. Orang-orang di dermaga juga diterpa angin laut yang bertiup cukup kencang yang membawa sedikit material garam. Laut juga tidak mau kalah berusaha menyampaikan salam pada orang-orang di dermaga dengan percikan-percikan air asin yang menabrak tiang-tiang beton. Namun dari semua orang yang ada di dermaga hanya si gadis berambut merah yang tampak sangat senang disapa oleh laut. Senyumnya sama sekali tidak turun. Bukan senyuman formalitas, bukan juga senyuman menindas yang sering ia gunakan, tetapi sebuah senyum senang karena dapat pergi ke tempat yang ia sukai. Sesekali ia menata pinggiran rambutnya yang tertiup angin laut dan menampakan mata merah akibat mantra miliknya itu.
Untuk pertama kalinya Horn dapat melihat mata merah membara itu padam. Api yang ada di dalamnya kini padam setelah pemandangan laut biru telah memenuhi matanya. Bibir mungil itu tersenyum ke arah laut bukan ke arahnya. Di saat itu juga ia ingin sekali melihat wajah senjanya Carmen yang terlalu dini pada siang itu.
"Kau tahu Horn. Sebelum insiden itu terjadi, dulu aku tinggal di daerah pesisir pantai Pedrafa. Aku sering bermain ke pantai untuk menghilangkan rasa kesedihanku selama berada di rumah. Dan ternyata hingga saat ini hal itu masih berhasil. Aku….. ah.. ha… ha… .. aku begitu sangat merindukan laut. Mungkin sudah bertahun-tahun aku sudah tidak melihat pemandangan seperti ini. Rasanya seperti memaafkan diriku sendiri. Terakhir kali aku ke laut berdua bersama Dorothy, dan kini aku bersamamu di sini." Carmen menoleh pada Horn, "Aku tahu aku telah membuat keputusan yang benar, kau adalah partner yang baik The Purple."
"Cih… kau berlebihan, aku baru saja bekerja selama seminggu. Aku bahkan menghambat investigasim…."
"Bukan begitu Horn…." potong Carmen "…Aku berterima kasih kau telah mau mempercayaiku selama ini. Aku tahu sangat sulit bagimu mempercayai orang asing seperti diriku, belum lagi latihan-latihan intensif yang tidak biasa selama dua bulan penuh itu pasti sangat berat untukmu, bahkan pernah aku berpikir kau tidak dapat menyelesaikannya dalam dua bulan. Tetapi nyatanya kau berhasil. Kau ternyata benar-benar menginginkan pekerjaan itu. Kau bahkan bersedia memberiku tempat tinggal baru dan segala yang kau punya. Jika kita tidak bertemu pada hari itu mungkin aku sudah tidak harus bagaimana lagi. Aku mengajakmu kemari karena ingin berterima kasih atas semua itu…"
"Tidak.. tidak… Jangan sebutkan hal itu lagi. Aku juga berhutang banyak padamu kau tahu? Aku bahkan jauh dari kata impas.."
"Ah.. aku tahu kau akan berkata seperti itu….. kau memang mirip denganku…" gumam Carmen, "…setidaknya ucapan terima kasihku tersampaikan…", Carmen membalikan tubuh. Matanya menyusuri sekitar sebentar lalu sadar akan sesuatu. "Hey Horn, banyak orang-orang di sini bersenang-senang, kau tahu? Mengapa kita tidak?"
"Kau yang menuntunku ke ujung dermaga bukan?"
"Ah… maaf tadi aku sudah tidak sabar ke ujung dermaga untuk melihat laut, tetapi tenang saja aku sudah menyiapkan yang terbaik di akhir. Jadi, Horn. wahana apa yang ingin kau naiki lebih dulu?"
Tubuh Horn terombang ambing ke kanan dan kiri. Kereta roller coaster itu sangat cepat seakan membelah angin laut. Rodanya berdecit, sedang berusaha agar tetap pada relnya. Mulai dari jalur tanjakan curam, meliuk-liuk hingga sebuah loop sukses memacu adrenalin para pengendara yang ada di atas kereta. Beberapa kali orang-orang yang berada di bawah mereka menunjuk-nunjuk kereta yang sedang melaju tersebut karena terlihat sangat menyenangkan. Sudah tiga kali putaran dan kini harus ganti giliran karena semua yang mengantri di sana ingin merasakan sensasinya.
"Bagaimana wahananya, Horn?" tanya Carmen begitu keluar dari kereta.
"Beruntung tadi siang aku tidak makan banyak…."
"Ayolah barusan adalah wahana pertamaku juga, mungkin kau akan terbiasa setelah beberapa kali menaikinya."
"Yeah… mungkin. Ke mana lagi selanjutnya?"
Mereka berdua akhirnya melanjutkan mencoba wahana lainnya. Mereka mulai mencoba wahana ekstrim lainnya seperti kora-kora, hysteria, dan sky swinger. Carmen tampak tidak bermasalah menaiki semua wahana tersebut, malah ia tampak kegirangan seperti anak kecil, berbeda dengan teman mainnya yang wajahnya mulai memucat.
"Bisa kita injak rem terlebih dahulu?" ujar Horn setelah turun dari sky swinger.
"Kenapa?"
"Aku merasa tidak enak badan setelah wahana-wahana tadi…"
"Baiklah, kau beristirahat dulu di sana.." ujar Carmen menunjuk sebuah bangku kosong. "… tunggu di sini. Aku akan membawakanmu sesuatu." Setelah itu ia pergi menghilang tertelan lautan manusia lainnya.
Hari menyenja. Sudah pukul tiga sore tetapi orang-orang yang datang semakin banyak. Mungkin mereka menghindari panas matahari yang menyengat. Kini setelah duduk beberapa menit rasa mual Horn perlahan mereda. Mulutnya masih terasa pahit akibat mual juga terasa masam karena belum merokok seharian. Ia sangat ingin merokok saat ini, tetapi sayangnya tempat ini bebas asap rokok.
Horn mencoba mengalihkan rasa merokoknya dengan membuka ponsel. Ia jadi teringat kontak yang ia kirimi pesan pagi tadi. Misa.
'Maaf ternyata aku tidak bisa ikut denganmu. Aku tiba-tiba punya urusan hari ini..'
Misa'pun membalas:
'Tidak apa-apa, Horn, tadi aku juga tiba-tiba ditelepon sekolah. Yah... mau bagaimana lagi. Well… Semangat bekerja, Horn! 😉'
Horn langsung menutup ponselnya begitu sadar apa yang dilakukannya itu bodoh. Mengingat Misa tidak dapat ke taman hiburan ini karena ada panggilan tugas yang mendadak sedangkan dia bisa pergi ke taman hiburan tersebut. Ia tidak mau ada rasa bersalah karena ini murni kebetulan. Carmen sendiri tidak bilang ia mau ke mana. Ia merasa seperti sudah mengkhianati Misa karena Misa-lah yang awalnya mengajaknya kemari…. Ah Sudahlah. Akan membingungkan jika terlalu dipikirkan.
Angin laut tidak ada henti-hentinya berhembus ke segala arah, tetapi sayangnya ia tidak bisa kemana-mana. Ia harus menunggu sampai Carmen kembali. Seorang bapak-bapak berbadan gempal tiba-tiba saja duduk di sebelahnya. Tidak menyisakan bangku panjang itu untuk orang ketiga. Di saat itu juga Carmen datang dengan dua tangan penuh dengan es krim.
"Bagaimana keadaanmu Horn?" tanyanya sambil memberikan sebuah es krim dari tangannya.
"Lebih baik… terima kasih. hey maaf tempatmu.." Horn memberi isyarat menunjuk pada bapak-bapak disebelahnya. Carmen melihat bapak-bapak itu sedang asyik dengan ponselnya.
"Tidak apa-apa… tempat seperti ini memang melelahkan kok. Dia berhak mendapatkannya." Carmen kemudian melewati Horn dan mendekati pagar pinggiran dermaga. "Hey… Mengapa tidak melihat pemandangan yang ada di sana? Di sana cukup bagus.."
Horn mengikuti lalu berdiri di sebelahnya. Tubuh Carmen condong bersandar pada pagar dan sesekali memakan es krimnya. Di depannya adalah pemandangan suasana pantai yang penuh dengan lautan manusia. Burung-burung camar tampak beriringan terbang menembus cakrawala tetapi ada juga yang mencoba mengais sisa-sisa makanan manusia di tempat-tempat sampah. Orang-orang terlihat sedang berenang di kain biru lalu juga ada yang masih berjemur namun anehnya pemandangan itu agak terganggu dengan adanya tenda hitam besar yang masih berdiri di sebelah mulut dermaga.
"Pemandangan yang indah bukan, Horn? Terutama yang menggunakan bikini di sana.."
"Berhentilah menggodaku…"
"Aku hanya bercanda….. kau tidak mencoba es krimmu, Horn?"
Horn melahap sedikit es krim cone vanilla yang ada di tangannya. Ekspresi wajahnya menceritakan semuanya.
"Ini enak. Es krimnya lembut sekali berbeda dengan yang ada di toko."
"Tentu saja….. es krimnya di produksi langsung dari mesin es krim sehingga saat dikemas kompresi dan suhunya pas saat langsung dihidangkan." ujar Carmen. "… ngomong-ngomong Horn… aku baru teringat sesuatu setelah kata-katamu tadi. Jika kau ingin membeli makanan atau jajan kau akan ke mana? Ke minimarket itu'kah?" tanya Carmen penasaran.
"Well… kau sudah menebaknya. Sebenarnya mengambil barang dagangan itu tidak boleh, tetapi mau bagaimana lagi karena kami bekerja di tempat seperti itu kami juga seringkali butuh jadi kami 'mengambilnya'. Barang-barang itu akan dicatat lalu gaji kami akan dipotong sesuai harga dari barang-barang yang kami ambil. Kurang lebih bentuknya seperti membeli secara tidak langsung."
"… ah… aku mengerti sekarang seperti pencurian yang diperbolehkan…."
"Itu bukan pencurian, Carmen, itu hanya sebuah prosedur."
"Bukannya sama saja seperti kau boleh mengambil apa saja yang milik majikanmu namun pada akhirnya upahmu dipotong senilai barang tersebut. Aku yakin ada beberapa catatan yang tidak sesuai dengan realitanya."
"Terserah kau saja…. Intinya aku sudah terbebas dari catat mencatat barang ataupun uang di tempat terkutuk itu.."
"Kau tidak merindukan tempat kerjamu yang lama?"
Horn menghela nafas cukup panjang mendengar pertanyaan tersebut. "Tidak sama sekali…. Mungkin memang sudah saatnya aku harus pergi dari tempat itu. jika bukan karena kecelakaan itu atau'pun bertemu denganmu aku mungkin tidak akan berada di sini sekarang.."
"Sekarang kau malah menyebutkan hal itu sebagai kecelakaan atau kebetulan… bagaimana jika itu merupakan takdir?"
"Takdir?"
"Ah… sial.. kita malah jadi ngobrol masalah takdir atau apalah itu. Kita di sini'kan mau bersenang-senang." Carmen menarik diri dari pagar. "Bagaimana jika kita bermain permainan yang ada di sini, Horn? Ada banyak permainan di sini dan kita akan lihat siapa yang paling banyak menang. Yang menang boleh meminta apapun dari yang kalah."
"Apapun..?" tanya Horn ragu.
"Yah jangan seperti mansion atau jam rolex mewah….. sesuatu yang mungkin-mungkin saja Horn seperti pertanyaan atau tantangan semacam itulah…. yah intinya katakan saja apa yang kau inginkan dariku…. Itu'pun jika kau menang…"
"… tunggu… jika aku kalah….."
"Aku tahu apa yang kau pikirkan… tenang, aku tidak akan memintamu yang aneh-aneh kok. Aku janji." ujar Carmen sambil mengangkat jari kelingkingnya. Wajah Carmen tersenyum menjanjikan tetapi Horn masih saja ragu menerimanya.
"O…ok baiklah. Aku terima tantanganmu." jawab Horn menerima janji kelingking itu setelah berpikir sejenak.
"Baiklah ayo ikuti aku…"
Takdir Huh? Kata-kata yang tidak asing.