Chereads / Red Hustle: Revenge of The Dark-Hearted / Chapter 21 - [BAB 20] Sentuhan

Chapter 21 - [BAB 20] Sentuhan

Sore hari yang cerah, langit yang mulai kemerahan, diikuti dengan suara anak-anak yang masih berada di lapangan sedang berlatih. Allison Highs tengah mempersiapkan calon penerus pemain utama mereka yang akan lulus tidak lama lagi. Para pemain kelas dua mulai dibentuk secara intensif dan tahun depan adalah tahun terakhir mereka. Para pemain dari kelas satu bukanlah orang-orang yang baru lagi di sini, para pelatih mulai bersikap keras terhadap mereka karena nantinya merekalah yang akan menjadi ujung tombak untuk turnamen tahun depan. Para pemain kelas satu perlahan mulai mendapatkan sorotan atas bakat mereka di posisinya masing-masing. Ada yang si pelari cepat, si tangan kilat, dan si pemukul hebat. Mereka semua sedang berlatih tanding melawan kakak kelas mereka, tetapi si tangan kilat dari kelas satu tidak di sana. Bola yang dipukul oleh Diego 'el fierro', dari kelas dua, mengenai bahu lalu memantul mengenai area matanya. Bola yang melesat hampir seratus kilometer per jam itu sukses membuatnya tersungkur dan memaksanya harus ditandu ke ruang kesehatan sekolah. Di ruang kesehatan ia hanya dapat melihat dengan satu mata setelah dokter mensterilkan mata yang terkena bola dan membuatnya sulit dibuka. Tidak hanya itu area sekitar matanya juga berdenyut-denyut seperti matahari musim panas yang akan datang tidak lama lagi. Ia menutup area matanya yang masih berdenyut dengan tangan namun rasa nyerinya sama sekali tidak berhenti. Seketika tirai partisinya terbuka, membuat satu partisi diwarnai warna kemerahan khas langit sore yang juga terpantul dari rambut merah sang perawat yang masuk sambil membawa handuk dan baskom berisi air dingin. Si tangan kilat terpukau atas apa yang ia lihat. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya setelah perawat itu datang dan mengompres wajahnya. Sentuhan dari handuk basah dan tangan dingin si perawat seketika menghentikan rasa nyeri di wajahnya. Mereka'pun saling bertukar pandang. Si tangan kilat bertanya-tanya apakah takdir yang mempertemukan mereka. Karena setelah pertemuan itu semuanya seolah telah berubah baginya.

Bukankah takdir itu maha benar bukan, Horn?

Horn tersentak dari lamunannya pada seorang gadis berambut merah bergelombang yang baru saja melewati restoran tempat dia berada. Ia lagi-lagi mengingatnya, pertemuan itu, semakin ia mengingatnya terasa semakin menjengkelkan. Terutama jika ia kembali mengingat masa-masa kelamnya itu. Di saat ia tidak bisa kemana-mana. Ia hanya bisa bertahan hingga surat lulus dari sekolah biadab itu keluar dan melepas tali kekang yang selama ini menghentikannya untuk pergi. Ia sama sekali tidak pernah merasa tenang, selama itulah ia selalu merasa gelisah. Setelah insiden itu semuanya seakan berubah. Tidak pernah ada cahaya di siang hari baginya, tidak ada yang namanya dunia sisi yang aman di mana'pun dia berada. Semuanya hanyalah jebakan. Manusia hanya melihat dari siapa yang mereka anggap lebih berhak dan sistem demokrasi sudah mewujudkan hal itu.

Horn menarik napas dalam-dalam, mencoba memasukan semua aroma di restoran cina itu untuk menenangkannya. Entah mengapa ia hanya dapat menciumnnya sedikit, mungkin memang akibat ia merokok terlalu sering belakangan ini. Kopi lalu rokok. Kopi lalu rokok. Begitu berulang-ulang hingga akhirnya ia mati rasa dengan kedua hal tersebut.

Gadis berambut merah itu berjalan menyeberangi jalan. Ia beserta beberapa orang lainnya menghilang ke tepi jalan yang lain. Lonceng pintu restoran sontak berbunyi, ada seorang pengunjung yang datang dan dari postur hingga wajahnya tampak tidak asing bagi Horn. Hanya saja setelan musim gugurnya membuatnya tampak berbeda. Misa. Horn ingin mengangkat tangan tapi baru setengah terangkat Misa sudah menemukannya lebih dulu. Ia melepas mantel musim gugurnya di bangku lalu duduk di hadapan Horn. Senyum khas ala pengajar masih melekat di wajahnya.

"Tiba-tiba sekali kamu meminta ketemuan di pertengahan minggu seperti ini? Kau sudah memesan?" tanya Misa memulai obrolan. Horn belum memesan apapun sedari duduk menunggu di sana. Ia meminta Misa untuk menyamakan pesanan seperti miliknya. Misa memesan Lomi dan teh hijau, ia juga menambahkan mapo tahu sebagai hidangan sampingan untuk dinikmati berdua. Setelah itu mereka kembali pada topik utamanya.

"Aku sempat heran kau mau makan siang di sini." Ujar Misa.

"Kenapa?"

"Biasanya orang yang jarang makan di restoran akan lebih memilih restoran yang dibilang enak oleh orang-orang apalagi jika restoran cina semacam ini. Kau dengar restoran ini dari mana?"

"Asal saja… aku hanya menginginkan suasana baru."

"Dengan bau dan lagu berbahasa yang belum pernah kau ketahui sebelumnya?"

Horn baru menyadari restoran itu memang menyetel lagu mandarin bahkan semenjak sebelum ia duduk belum lagi bau merica dan rempah-rempah lainnya yang melayang di tempat itu. "Mungkin juga iya…. Kau pernah bilang suasana baru dapat membantu seseorang."

"Itu berarti kau ada masalah sekarang…"

Horn tidak menjawab dan jawaban itu perlu ditunda setelah pelayan membawakan pesanan mereka. Mereka menghabiskan hidangan mereka masing-masing. Horn seketika mengerenyitkan kening ketika ia menyantap hindangan khas tionghoa tersebut, tetapi ia tetap mencoba memakannya hingga habis. Misa memperhatikannya menghabiskan semangkuk Lomi tersebut hingga tetes kuah terakhirnya.

"Hambar bukan?" tanyanya.

Horn malu-malu mengangguk setuju

"Makanya tadi kubilang restoran semacam ini kau harus tahu rekomendasinya dari seseorang. Kau seharusnya bisa tanyakan hal ini kepadaku. Makan ini supaya selera makanmu tidak hilang sepenuhnya." Ujar Misa menyodorkan mapo tahu. Sepotong tahu yang terendam kecap itu dimasukan ke dalam mulut Horn. Kali ini benar-benar ada rasanya. Pedas, manis dan asam itulah rasa yang seharusnya menjadi ciri khas setiap masakan di restoran cina.

Setelah selesai makan mereka sama-sama meneguk teh hijau yang ada di atas meja. Baru saja Misa ingin meminumnya, Horn sudah lebih dulu meletakan cangkir teh yang sudah kosong ke atas meja. Mata mereka bertemu.

"Kau tampak gelisah dari biasanya..." Ujar Misa setelah menaruh cangkir tehnya yang tinggal setengah, "…Dan kau lebih bau rokok dari biasanya, ada apa?"

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan…"

"Kau beberapa kali terlihat seperti melamun, tidak seperti Horn yang kukenal."

"Kau berarti belum mengenalku lebih jauh."

"Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Tidak biasanya kau tiba-tiba mengajakku ketemuan di siang hari terutama di pertengahan minggu seperti ini."

"Tidak ada apa-apa, aku hanya ingin meminta maaf kepadamu atas peristiwa di festival kemarin. Aku sama sekali tidak menduga itu semua berubah menjadi malapetaka…"

"Maksudmu bertemu denganku?"

"Bukan itu maksudku…." Horn memandangi bibir Misa yang masih terbaluti lipstick, "…. Aku tidak tahu bahwa target kami berada di sana. The Red bahkan sama sekali tidak memberitahuku apa rencananya pergi ke festival itu. Pada akhirnya..." Horn memalingkan wajahnya, "…. Kami merepotkanmu pada tugas yang seharusnya bukan untukmu, jadi izinkan aku meminta maaf dan berterima kasih untuk itu."

Misa tersenyum. Lipstick itu membuat senyumnya benar-benar keguruan namun juga sensual, tetapi Horn samar-samar mengingat kembali bibir yang menyentuh bibirnya pada malam itu. Misa'pun tertawa kecil, "Tidak apa-apa, Ini salahku juga karena aku telah berbohong mengatakan padamu bahwa aku tidak jadi pergi ke festival itu. Kau tidak perlu memberiku apapun, aku sudah sangat senang bisa membantumu, lagipula organisasi juga akan membayar tiap-tiap orang yang terlibat dalam sebuah perburuan."

".. dengan total kerusakan separah itu? Kau tahu kerjaan kita hampir diliput oleh TV nasional kemarin."

"Well… beruntungnya sehabis insiden itu badai angin langsung datang sehingga organisasi dengan mudah bisa membuat alibi. Tidak ada korban orang awam yang harus cacat. Lalu mengenai seorang gadis dari personil grup yang terbunuh itu menurutku itu sangat disayangkan, media malah mengangkat hal itu dan mengaitkannya dengan desas-desus perseteruan antara dia dan targetmu kemarin, siapa namanya…." Misa mengingat-ingat. Horn enngan menjawabnya, "..Ah…Sakura Re:Star. Di beritanya mengatakan ia menghilang setelah insiden kecelakaan di konser kemarin, dari pihak keluarganya'pun tidak ada yang tahu di mana keberadaannya, semua orang di media menjadi bertanya-tanya dan ingin mendengar tanggapannya tentang kecelakaan kemarin karena ada beberapa orang beranggapan bahwa perseteruan ini sudah terlalu panas hingga Sakura akhirnya menyewa seseorang untuk menyabotase panggung. Ini hanyalah isu, mungkin berapa hari lagi mereka akan menjalankan sebuah konferensi pers."

"Kau memang suka update berita."

"Ya begitulah…. Tontonan sehari-hari di ruang guru. Masih lebih baik daripada opera sabun."

"Bagus untukmu berarti.."Horn meminta pelayan membawakan air putih untuknya.

"Bagaimana dengan kondisi Carmie, apakah luka-lukanya ada perkembangan?" Tanya Misa sambil menyesap kembali teh hijaunya.

"Carmen… yah… ia pulih dengan cepat seperti yang ia bilang. Aku harus berterima kasih lagi padamu karena telah membantuku menutup luka-lukanya."

"Jujur aku benar-benar kaget melihat luka-lukanya, tubuhnya yang kurus itu membuatku berpikir ia benar-benar kehabisan darah. Tetapi aku salut. Dia adalah wanita yang tangguh. Dia tidak takut melawan sesuatu yang belum pernah ia lawan sebelumnya."

Horn terdiam. Ia melihat komparasi itu lagi, sesuatu yang tidak ingin dilihatnya.

"Horn?"

"Aku punya sebuah pertanyaan untukmu…." Kata Horn. Mata mereka bertemu, "….sebesar apa pengorbanan yang kita butuhkan untuk menggapai sesuatu?"

"Maksudmu?"

"Apa yang akan kau taruhkan untuk mendapatkan sesuatu yang kau inginkan?"

"Yah… itu tergantung kepada siapa yang kau tanya dan apa yang kau inginkan. Semakin dewasa aku memahami bahwa tidak semuanya dapat kuraih dan semakin umurku bertambah aku lebih banyak bersyukur atas apa yang sudah kuraih selama ini."

"Kau tidak pernah berharap menginginkan sesuatu?"

"Tentu saja pernah. Aku selalu mengidam-idamkan untuk menjadi seorang profesor, tetapi saat ini aku tidak memiliki biaya untuk mendapatkan gelar PhD-ku. Lagipula aku juga masih harus memprioritaskan biaya pendidikan adikku dan menghidupi ibuku."

"Dengan menjadi Spell Punisher, bukankah semudah itu kau bisa mendapatkan uang yang lebih banyak?"

"Kau baru saja meremehkan bidangku, Horn." Misa tersenyum masam, "…tidak semudah kedengarannya menjadi guru dan tidak semudah itu melepas profesiku begitu saja hanya untuk pekerjaan berupah yang lebih besar, dan sebenarnya sudah lama aku bermimpi untuk bisa menjadi seorang guru. Menjadi seorang guru bisa bisa disetarakan dengan profesi lainnya yang memiliki etos yang tidak boleh dilanggar, sama seperti polisi dan para dokter, kami diperhatikan dari ujung kepala hingga mata kaki dan bertanggung jawab untuk ribuan generasi yang mendatang. Setiap generasinya adalah tantangan baru dan cerita yang berbeda. Dan niatku masuk organisasi adalah untuk melindungi diriku sendiri beserta adikku yang sama-sama merupakan caster. Bayaran dari organisasi itu menurutku hanyalah bonus saja. Bagiku pribadi ada hal lain yang lebih penting daripada uang itu sendiri, Horn."

Horn mengangguk-angguk setuju, "Aku paham maksudmu."

"Bagaimana denganmu Horn, apa ada sesuatu yang ingin kau gapai? Mimpi atau Cita-cita mungkin?" kata Misa balik bertanya.

Horn terdiam cukup lama sampai akhirnya air yang diteguknya membuatnya kembali bersuara. "Aku tidak tahu….." katanya, "… untuk hidup sampai saat ini saja menurutku adalah sebuah prestasi. Aku tidak tahu apa yang ingin kuraih, setidaknya dulu aku pernah memiliki mimpi yang ingin kuraih tapi jika sekarang aku mengingatnya kembali semuanya menjadi mustahil…" Horn memain-mainkan jarinya di atas meja, "….mungkin yang terbaik untukku saat ini mengikuti ke mana organisasi akan pergi sampai akhirnya aku melakukan suatu kesalahan dan pada akhirnya dieksekusi."

Misa menampakkan ekspresi khawatir diwajahnya, "Kau tidak bisa mengatakan kau tidak memiliki harapan lagi, Horn. Semua orang selalu memiliki harapan."

"Kau benar…. Bekerja menjadi Spell Punisher dan menjadi kolega The Red adalah satu-satunya harapan terakhirku untuk terus hidup."

"Bukan itu yang kumaksud tapi…"

"Pilihan apa lagi yang kupunya!? Siapa lagi yang mau mempekerjakan seseorang dengan riwayat kelainan mental dan berpendidikan hanya setara SMA!?" Horn meledak. Ia membentak lawan bicaranya tepat di depan wajahnya, sesuatu yang pernah ia lakukan sebelumnya. Ia menenangkan dirinya, mengatur napas dan memperbaiki posisi duduknya. "Maafkan aku atas kelancanganku."

"Tidak apa-apa, aku mengerti perasaanmu." Jawab Misa yang kemudian meneguk habis teh hijaunya.

Terjadilah keheningan di antara mereka berdua. Tiga kalau kau mau menambahkan restoran cina yang sepi pengunjung tersebut. Misa meminta air putih kepada pelayan dan segera meminumnya. Ia menatap Horn yang kini menunduk enggan berkontak mata dengannya. Ia memperhatikan setiap inci dari tubuhnya. Mata yang berkantung hitam, gelagat yang gelisah, tangan yang dikepal erat di atas meja dan bau rokok yang amat menyengat dari tubuhnya, semua bercerita kepadanya. Pria ini mencoba menghadapi masalah dengan caranya sendiri, cara yang selama ini menurutnya ampuh, tetapi sekarang sudah tidak lagi. Cara-cara itu sudah tidak mempan untuk mengusir masalahnya yang sudah terlalu besar kali ini.

"Aku di sini kalau kau ingin bercerita…" Kata Misa sambil mengenggam tangan Horn yang masih mengepal di atas meja. Misa mengelus tangan kurus itu dengan sentuhan jari-jarinya yang lembut dan hangat.

Horn mulai membuka diri dengan menampakan setengah wajahnya dan memperhatikan bahwa kulit mereka bersentuhan. Ia mengingat kembali malam festival itu. Di mana saat bibir mereka bertemu, di mana Horn menemukan kehangatan yang belum pernah ia temukan di mana'pun sebelumnya, kini'pun juga sama, kehangatan itu kembali. Ia sebenarnya ingin menanyakan seberapa ingat Misa mengenai malam festival kemarin, apakah ia masih ingat dengan ciuman itu ataukah memang The Pink yang mempengaruhinya?

"Keluarkan apa yang ingin kamu keluarkan dan simpan apa yang ingin kamu simpan." Ujar Misa tersenyum masih dengan mengelus tangan Horn. Horn memperhatikan setiap elusan lembut itu menyusuri tangannya. Setelah beberapa saat ia menarik tangannya dan mencegah Misa mengelusnya lebih lama lagi.

"Ini masalah lamaku…" Horn menghela napas cukup dalam, "…Bertahun-tahun lamanya aku mencoba untuk melupakannya entah bagaimana ingatan itu selalu kembali lagi."

Misa mengangguk untuk mempersilahkannya meneruskan cerita.

"Kau ingat saat aku menghajar The Red di basement? Aku berhenti karena tiba-tiba saja teringat kejadian itu, lalu gantian dia yang menghajarku habis-habisan. Dan pernyataanmu itu tentang aku selalu menghindar untuk menyerang itu sama sekali tidak salah. Karena aku pernah membuat hidup seorang gadis berubah akibat tangan ini." Horn menunjukkan tangan yang dielus Misa sebelumnya, tangan kanannya. "Karena itulah aku sebenarnya merasa keberatan untuk dilatih olehnya, terutama saat kami sedang berlatih bela diri. Aku takut suatu hal yang tidak diinginkan terjadi seperti yang pernah kulakukan dulu, aku membuat luka yang selamanya akan berada di sana. Setelah kejadian masa lalu itu aku benar-benar menjauhkan diriku dari berkomunikasi dengan wanita."

"Bukankah kau yang mengeksekusi The Pink, The Purple?"

"Dialah adik laki-laki dari gadis ini. Dia sudah mengenaliku sebelumnya jadi kubungkam dia sebelum menyebut nama gadis itu di hadapanku.

"Dia seorang trans?!"

"Kau tahu, setiap kali aku melihat The Red terluka parah atau babak belur seperti kemarin itu aku selalu merasa seperti ditarik oleh mesin waktu untuk menyaksikan kejadian itu berulang kali. Setiap kali ia terluka aku merasa akulah yang patut disalahkan. Aku merasa tidak dapat melindunginya atau mungkin akulah akar masalahnya yang menyebabkan dia terluka. Rasa bersalah itu masih menghantuiku meskipun aku tahu dia bukanlah orang yang sama yang aku lukai bertahun-tahun yang lalu."

"Dan The Red tidak menyalahkanmu atas luka-lukanya bukan, Horn?"

"Tentu saja tidak. Ia paham luka-luka yang ia dapat merupakan bagian dari risiko yang ia ambil. Tetapi kemiripannya itulah yang membuatku seringkali kembali mengingat gadis ini."

"Mirip?"

"Mungkin tidak jika dilihat dari postur tubuh mereka, tetapi mereka sama-sama berambut merah dan jika kuingat lagi kurasa bentuk wajah mereka sama. Dan gadis ini….."

'Mau kusentuh luka itu supaya tidak sakit lagi?'

"… adalah perempuan terbusuk yang pernah kutemui sepanjang hidupku." Wajah Horn tampak geram dan ia segera meminum air untuk mereda amarahnya.

"Tapi…" sanggah Misa, "…Kalau kau yang mengubah hidupnya apa yang mendorongmu berkata seperti itu?"

"Karena dia telah merubah hidupku juga."