Cuaca di Dockstown petang itu cukup berangin. Hari yang mulai gelap membuat banyak pekerja keluar menyudahi shift mereka untuk pergi ke tempat yang mereka sebut rumah. Beberapa dari mereka ada yang berjalan kaki, ada yang naik bus, lalu ada pula yang naik sepeda atau kendaraan pribadi mereka masing-masing, semuanya menggambarkan status ekonomi mereka. Terkadang mereka berpapasan berkali-kali di jalan dengan orang yang sama, tetapi saking banyaknya wajah yang mereka temui di jalan untuk menghafal satu wajah saja menjadi sulit. Cruce de Margarita adalah persimpangan ramai yang berada di tengah jantung Dockstown. Persimpangan ini terdiri dari lima cabang jalan dan memisahkan empat arah distrik sekaligus. Tidak heran banyak layar iklan di gedung-gedung yang berdiri di sekitarnya dalam upaya menyihir orang-orang yang berlalu lalang di bawahnya untuk membeli produk-produk tersebut. Namun pada petang itu iklannya bukan lagi tentang pasta gigi, bukan lagi tentang asuransi melainkan sebagian wajah wanita dengan mata merah sehabis menangis yang memenuhi layar dan terlihat seperti sedang mencari pertolongan pada orang-orang yang melihatnya. Suara wanita yang terdistorsi'pun bergema dari iklan aneh tersebut.
"Horn Bactack…. Teganya kau….."
***
"...….."
"Sepertinya bukan Horn Backtack lagi sekarang, tapi The Purple…. Bagaimana harimu The Purple?"
"Apa maumu?"
"Apa yang aku inginkan? Kau seharusnya sudah tahu…."
"Jika kau mengingikan adikmu, dia sudah mati dan dia tidak akan pernah kembali, Tapi jika kau menginginkan nyawaku seharusnya kau menangkapku bukan dia!" Ujar Horn geram.
"Tebakanmu tidak sepenuhnya salah namun sepertinya kau memang mengenal wanita ini Horn. Aku penasaran penasaran bagaimana dengan wanita lainnya yang pernah kau temui. Kau sakiti lebih tepatnya mungkin." Scarlett menyeringai. "Aku sudah tahu semuanya…. Aku tahu bagaimana hubungan kalian berdua. Aku tahu apa yang telah kalian lakukan belum lama ini."
Horn menatap Carmen dan layar TV secara bergantian. Sekarang hanya dia yang dapat mendengar Scarlett, ia berusaha tetap tenang. Carmen kemudian memeriksa keadaan sebenarnya lewat balkon untuk mencari tahu seberapa besar skala anomali ini terjadi.
"Apa maksudmu?"
"Jangan pura-pura bodoh Horn Backtack, bukankah kau mampir ke suatu tempat sebelum datang ke apartemen busukmu itu? Aku tahu kau tidak sendirian. Aku melihat semuanya. Dari restoran China itu kulihat kau dan wanita ini berciuman layaknya sepasang kekasih, lalu kalian melanjutkannya di sebuah hotel bukan begitu…? Apakah pacarmu The Red tahu semua ini? Kurasa tidak."
"Aku tidak mengerti apa maksudmu dan lepaskan saja wanita itu!"
Scarlett tertawa.
"Jadi kau masih seperti itu…. Mau berapa banyak wanita yang ingin kau sakiti Horn, aku, wanita ini, atau The Red? Atau wanita lain yang nanti kau temui? Kau menyakitiku hingga lukanya selalu membekas sampai saat ini, dan kau tahu apa? Kau menyakitiku lagi, Horn. Kau tega membunuh adikku satu-satunya hanya untuk mendapatkan uang bayaran itu…"
"Kau keliru…. Aku bahkan tidak tahu bahwa itu dia…"
"Omong kosong! Aku melihatnya sendiri di rekaman CCTV yang dihapus itu! Kau menembaknya tepat di kepalanya tanpa keraguan sedikit'pun. Begitukah kau membenci diriku, Horn? Begitukah kau membenci seluruh bagian dari hidupku sekarang?" Scarlett mengacungkan sebuah pisau dapur yang besar ke kamera, "Kau telah menghancurkan apa yang beharga bagiku, jadi akan kuhancurkan apa yang beharga bagimu…"
Carmen mengintip, melihat wajah Horn yang makin geram. Bahkan Ponsel yang terhimpit tangan Horn mulai mengeluarkan suara retakan.
"Jangan kau berani-berani menyentuhnya…"
"Atau apa? Kau akan memukulku? Membunuhku? Aku tahu setiap bagian akhirnya…" Scarlett menancapkan pisaunya ke paha Misa membuat Misa mengerang kesakitan. "Laki-laki sepertimu selalu menganggap kekerasan adalah jalan keluarnya."
Dicabutnya pisau itu lalu ia menebas-nebaskan-nya pada paha Misa. Scarlett juga menjambak, bahkan memotong rambut panjang Misa. Beberapa tinju keras juga mendarat ke wajah Misa hingga lebam memenuhi wajahnya. Sebuah sayatan pisau juga menyobek kulit wajah Misa. Beberapa jarum suntik disiapkan Scarlett untuk melukai tubuh Misa, bak bermain permainan dart ia melempar suntikan itu ke tubuh Misa sebagai papan target. Misa mengerang, menjerit, hingga tubuhnya terlalu lemah untuk bereaksi dengan suara.
Horn melihat itu semua di layar TV-nya. Semua itu siaran langsung. Tubuhnya bergetar melihat kesadisan gadis yang dikenalnya delapan tahun lalu kepada salah satu temannya. Ia kehabisan kata-kata, begitu'pun Scarlett yang sepertinya kehabisan alat permainannya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah revolver dan mengisi salah satu silinder pelurunya. Suara hammer yang ditarik membuat mata Horn berdelik ngeri. Selongsong dingin itu menatap kepala Misa.
"Jangan.."
"Kau tahu Horn, aku pernah memberikanmu ketenaran sebelumnya tapi kau tidak pernah berterima kasih padaku. Akan kuberikan lagi padamu tapi yang ini akan kuberikan secara gratis."
"JANGAN LAKUKAN ITU!"
Dor!
"Horn!"
Carmen menyahut begitu mendengar suara pecah dari dalam. Ia'pun mendapati Horn berlutut terperangah di depan TV. Layar TV di hadapannya seketika rusak setelah ia refleks melemparkan ponselnya. Meski rusak separuh layar TV tersebut masih menampilkan siaran langsung penyiksaan… bukan, pembunuhan Misa oleh Scarlett Foster. Ponselnya terpantul dan jatuh tepat di hadapan Horn yang sedang berlutut. Sebuah tawa terdengar dari ponselnya yang panggilannya masih tersambung itu.
"Meski aku melakukan ini… aku bukan dirimu, Horn, aku bukan seorang pembunuh."
Terdengar suara napas berat disertai erangan tipis dari balik panggilan itu. Suara yang cukup menyebutkan Misa masih hidup.
"Terserah kau mau menemukanku atau apa, itu'pun kalau kau masih punya nyali." Katanya dengan nada bisik-bisik.
"Katakan saja padaku, di mana kau berada?"
Terlihat senyum puas di setengah layar TV yang sudah rusak tersebut.
"Mana aku tahu….. kau harus mencariku seperti dulu kau mencariku."
Tawa sinis Scarlett kemudian membanjiri panggilan itu dan panggilan beserta siaran TV'pun terputus begitu saja. Horn masih berlutut tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi. Horn mematung menatap ponselnya.
"Horn?"
Ini semua salahmu….
"…Horn…. yang barusan itu hanya gertakannya saja..."
Ini tidak akan terjadi jika kau tidak meminta ketemuan dengannya hari ini.
".. Itu hanya jebakan, dia membeberkan sesuatu yang lebih besar tentangmu di luar sana."
Dia menderita akibat ulahmu. Dia menganggap semua janjimu itu benar adanya.
".. Horn…"
Dan semua penderitaan tidak perlu itu…. akan berbekas sepanjang hidupnya… Semua penderitaannya itu adalah salahmu.
Salahku...?
Bukankah tadi kau sudah berjanji padanya Horn…?
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHH!!!!!!!!!!!!"
***
'Horn Bactack….. teganya kau…..…. Di sini temanku sedang terbaring lemah setelah merasakan bertubi-tubi bogem mentah dari laki-laki bernama Horn Bactack. Kutemukan wajahnya penuh luka dan tubuhnya penuh lebam. Dia bilang laki-laki ini tiba-tiba saja memukulinya setelah mendapatkan apa yang ia inginkan. Aku tidak tahu di mana dia sekarang tapi dari apa yang kudengar, dia sekarang tinggal bersama pacarnya. Horn Bactack jika kau mendengar atau melihat ini aku meminta pertanggung jawabanmu atas apa yang kau perbuat pada temanku, anda adalah laki-laki bukan seorang banci. Beraninya anda memukul perempuan! Aku tidak tahu apa yang ada pikiran anda, Horn Backtack, tapi bukankah tugas laki-laki untuk melindungi dan menyayangi wanita? Yang kuinginkan hanyalah pertanggung jawaban atas apa yang kau perbuat….. jangan lupa anak di dalam kandungan temanku itu juga anak keturunanmu… terima kasih."
"Dia telah berbuat hingga sejauh itu.." Ujar Carmen menarik ponselnya dari hadapan Horn, "… Kupikir kau tidak bisa lebih pintar dari itu."
"Lepaskan aku…" pinta Horn meronta-ronta dengan tangan terborgol dan di silangkan ke teralis.
"Tidak…. Itulah yang sebenarnya dia inginkan. Mempermalukanmu di depan orang banyak, apa kau tidak lihat dia juga telah memperlihatkan wajahmu di video itu? Jika aku melepasmu kau bisa jadi tontonan panas lalu dengan kepala bebalmu kau akan mengamuk dan membuat organisasi kewalahan."
"Itu tidak akan terjadi…. Lepaskan aku… biarkan aku menyelamatkan Misa..."
Sebuah tinju mendarat keras ke wajah Horn.
"Jangan membuatku memukulmu untuk ketiga kalinya. Apa kau sadar tadi baru saja kau hampir menghancurkan tempat ini. Bisakah kau menggunakan otakmu sebentar saja?! Bukan kau saja yang resah ingin keluar sana untuk mencarinya tapi aku'pun juga. Jangan bertindak egois sok pahlawan seenak jidatmu. Dia merencanakan semua ini matang-matang hanya untuk menjebakmu agar orang-orang mengenalmu sebagai Horn Backtack yang dia maksud. Dia tahu apa kelemahanmu, dan kau malah membiarkan itu terlihat. Sekarang dinginkan kepalamu….. berpikirlah!" Carmen mencengkram kepala Horn lalu menggoyangkannya. Ia menatap tajam ke mata Horn. Horn kemudian menggertak melepaskan cengkraman itu.
Mereka'pun hening dalam keadaan saling menatap.
"Lepaskan aku… biar aku yang mencarinya." Ujar Horn tajam.
"Astaga….. apa kau paham bagaimana posisimu sekarang?"
"… aku tahu!" potong Horn, "…Aku paham… Jangan menganggapku seperti anak kecil. Ini pernah terjadi padaku sebelumnya, OK?!"
"Kalau begitu katakan padaku, apa kau tahu di mana dia berada sekarang?"
"Aku akan menemukannya."
"Ke mana? Ke sekolahanmu yang dulu? Ke plaza? Ke perpustakaan kota? Caster ilusi seperti dia bisa berada di mana-mana, ke mana pertama-tama kau akan mencarinya?"
"Carmen, aku akan menemukannya, aku janji…." Ujar Horn yang sedang berusaha tenang.
Terlihat raut frustasi di wajah Carmen melihat percakapan ini tidak menemukan titik terangnya. Ia'pun pergi ke kamar lalu keluar dengan pakaian 'berburu' lengkap.
"Aku yang akan pergi menemukannya, akan kubunuh wanita itu untukmu."
"Carmen… jangan…" cegah Horn.
"Aku masih memiliki hutang budi pada The Puppet saat melatihmu, dan kau tahu apa…. Seperti yang sudah kuduga….. pola pikirmu tidak berubah sama sekali."
Carmen'pun memutar kenop pintu lalu seketika sambaran listrik masuk menyengat ke dalam tubuhnya. Rasa sakit bagaimana bekas luka-luka itu lahir muncul kembali. Hanya dalam hitungan detik Carmen merasakan semua rasa sakit itu. Tubuhnya merasakannya lagi, sengatan listrik itu membangkitkan rasa sakitnya dan membuat tubuhnya lumpuh. Ia'pun ambruk dengan sengatan listrik masih berkutat di tubuhnya.
"Maafkan aku…." Horn membebaskan kedua tangannya begitu borgol itu terlepas saat Carmen ambruk ke lantai. Horn segera mengambil apa yang ia butuhkan lalu menghampiri Carmen yang tubuhnya masih mengalami tremor. "Maafkan aku…. Aku tahu kau ingin membantuku tapi ini masalah pribadiku dengannya…. Jangan menghalangiku…"
"Persetan… Wanita itu benar tentangmu... kau hanya tahu cara menyakiti wanita…" Carmen berusaha melawan gertakan giginya, "Satu pertanyaan sebelum kau pergi….. Apa benar kau dan The Puppet sudah sampai sejauh itu…?"
Horn memandang datar mata Carmen yang masih berdelik itu, sebelum akhirnya bangkit berdiri.
"Ya…"
Ia'pun meninggalkan Carmen yang tergeletak di atas lantai apartemennya.
***
Apa itu menjadi dewasa Horn?
Memecahkan masalahmu sendiri tanpa bantuan orang lain?
Menyimpan semua emosimu agar tidak terlihat oleh siapapun?
Atau…. Jujur pada perasaanmu sendiri?
Yang mana yang benar?
Kau juga harus memutuskannya sendiri, bukankah itu juga bagian dari dewasa?
Lihat dirimu…. Kau berjalan di tengah jalanan yang ramai. Kau tahu, orang-orang di sini tampaknya sudah tahu wajahmu.
Bahkan dengan kupluk itu mereka sepertinya masih bisa mengenalimu.
Hmph…..?
Hei….
Kau mengabaikanku ya?
Memang kau tahu di mana gadis itu bersembunyi?
Aku tahu…..
Apa kau hanya menghibur dirimu dengan sok-sok-an mencarinya padahal kau tidak tahu harus ke mana?
Bukan itu….
Wanita di apartemenmu benar Horn, kau tidak seharusnya keluar…. Biarkan dia menyelesaikan semuanya untukmu. Dengan begitu semua masalah selesai bukan?
Tidak semudah itu….. aku masih ada urusan dengan gadis itu.
Ah… gadis itu lagi. Dia hanya masa lalu Horn….. Yang lalu bukankah harus dibiarkan berlalu? Oh tidak…. Kini aku yang menghiburmu.
.....
Ada apa dengan gadis itu Horn? Jelas-jelas kau tahu bagaimana motifnya jika kau kau mengikuti permainannya.
Dia mengambil sesuatu yang beharga dariku….
Beharga? Benarkah? Memang ada apa di antara kau dan wanita yang didekapnya itu? Bukankah dia hanya wanita yang tiba-tiba muncul di hadapanmu dan menawarkan acara makan siang yang canggung?
Bukan….. dia adalah temanku.
Teman? Ah…. Aku sudah lama tidak mendengar kata-kata itu darimu Horn. Apa begitukah kenyataannya?
Diam….
Kapan terakhir kali kau memiliki teman Horn…. tunggu, biar kuingat-ingat….. sepuluh tahun lalu? Sembilan.? Delapan? Apa yang terjadi selanjutnya?
...…
Bagaimana dengan rasa temanmu yang ini? Apakah rasanya mirip restoran China yang kau datangi tadi siang atau aroma manis hotel cinta setelahnya? Apa yang kau sukai darinya? Kulitnya? Desahannya? Ceritakan padaku…..
Diam…..!
Aku hanya meminta kejujuranmu kudengar kau sudah berubah… dari siapakah yang kudengar kabar itu ya? Kudengar kau baru saja menyakiti orang yang memuji kemajuanmu yang sedikit itu?
Diam…! Jangan menanyaiku lagi….! Hentikan!
…..
…
..
…
..
Kuyakin tembok itu sangat kuat sampai-sampai masih berdiri kokoh meski dibentur oleh kepalamu.
Apa kau merasakan rasa sakitnya?
Tentu saja tidak….
Bukan yang di kepala…. Tapi di tempat yang lain…. Entah mengapa di dadaku terasa sesak…
Kau lupa aku tidak memiliki tubuh'kan Horn?
....
….
Sepertinya aku mulai paham….
?
Aku pernah merasakan hal ini sebelumnya…. Aku ingat aku benci rasa ini.
….
Rasa yang sama pernah datang kepadaku delapan tahun lalu…
Hmph…Ya, tapi kau masih naif juga pada akhirnya.
Ya… Aku sedang jatuh cinta.
...
Di saat itu juga aku tidak tahu harus bagaimana. Apa yang harus kulakukan saat ini.
Di saat aku mencoba menjaga semuanya, menjaga apa yang telah kubangun, tetapi pada akhirnya aku malah merusak semuanya.
Aku bodoh…
…..
…
Kau tahu Horn, semua orang diberikan kesempatan kedua untuk memperbaiki apa yang terjadi di kesempatan pertama.
Cih…. Kau jadi terdengar seperti dirinya.
Bukankah itu yang kau sukai darinya? Dia memberikan kata-kata motivasi meski kau merasa tidak butuh, memberimu bahan bakar semangat meski dunianya sendiri sudah terasa rumit. Kau iri padanya, bukan?
….
Itulah yang kau suka darinya bukan, Horn Backtack?
...
Pergilah… dia sedang menunggumu. Kau harus tetap mencarinya. Aku tahu ini sulit tapi kau pasti bisa melakukannya tanpa menumpahkan setetes darah lagi.
….?
Carilah dia seperti dia mencarimu, seharusnya mudah bukan?
Tunggu dulu….
***
"Mamaku memang memiliki bakat bisnis dari kecil. Saat masih kecil ia pernah menjual penghapus pensil warna-warni ke teman-teman sekolahnya. Tidak hanya itu dia juga pandai merias dan mendandani teman-temannya, tidak jarang ia bercerita sering mendandani teman-temannya yang ingin pergi berkencan. Dari situlah ia bermimpi membangun sebuah usaha, setelah berkuliah dia berfokus membangun bisnis tata riasnya. Disanalah dia bertemu Papa, selama masih menikah mereka menganggap pertemuan mereka itu lucu nan ajaib. Teman papaku minta dicarikan penata rias untuk pesta pernikahannya lalu dia merekomendasikan Mama. Padahal mereka belum pernah bertemu atau saling kenal, Mama bahkan belum memiliki seorang pelanggan saat itu. Papaku bilang ia tidak tahu ke mana harus mencari penata rias, dia bilang saat itu hanya melihat iklannya di koran harian. Mereka secara tidak langsung bilang dengan bangga 'itu adalah cinta pada pandangan pertama' kepadaku. Ketika mereka bercerai semua anggapan romatis itu berubah. Mereka bilang pertemuan itu hanyalah kebetulan belaka, secara tidak langsung aku dilahirkan dan dibesarkan secara kebetulan saja oleh mereka berdua. Aku mewarisi bakat mereka berdua, Mamaku dengan mudah dapat mengajariku cara menjahit dan mendesain baju, sedangkan Papaku mengajariku tentang fotografi. Begitu aku ditanya oleh salah seorang guruku di sekolah dasar 'Scarlett, kau ingin menjadi apa nanti', di sanalah aku berpikir dan akhirnya bermimpi untuk bisa berkeliling dunia. Aku bertanya kepada Mamaku bagaimana caranya aku bisa keliling dunia, ia menjawab 'Mungkin dengan menjadi pramugari akan cocok'. Semenjak saat itu aku berusaha keras mewujudkan mimpi itu. Aku menjaga pola makanku, olahraga secara rutin, begitu adikku lahir aku tidak tahu apakah aku bisa lebih bahagia lagi. Kedua orang tuaku'pun semakin giat bekerja untuk kami, sampai-sampai jarang sekali aku melihat kedua wajah mereka. Satu-satunya hiburanku saat itu hanyalah adikku, ia memiliki wajah yang sangat mirip denganku. Mungkin karena aku sering merasa jenuh aku terkadang mendandani adikku sendiri. Kebiasaan itu masih kulakukan sampai saat dia mau masuk SMP. Dari sana aku mulai ada sesuatu yang aneh di keluargaku. Papa pulang terlalu malam, Mama pulang terlalu pagi, atau seringkali mereka berdua tidak ada saat akhir pekan. Aku berpikir positif, mungkin mereka sedang mencari nafkah untuk kami berdua. Sementara aku diabaikan, aku mencari perhatian lain, aku mencari motivator yang lain. Aku'pun berpacaran. Saat aku duduk di bangku SMP aku seringgonta-ganti pacar. Bisa dibilang aku memiliki banyak musuh karena kebiasaanku tersebut, tapi aku berencana mengubah situasinya saat naik ke bangku SMA. Begitu naik tingkat di sanalah aku menemukannya, anak yang lugu, naif dan sok pemberani. Mata lebamnya saat itu kurang lebih membuatnya mirip seperti anak-anak culun di film-film China. Aku melakukan pekerjaanku di ruangan kesehatan sebagaimana mestinya, lalu keesokan harinya dia mengejarku. Aku tidak tahu apa yang dikejarnya jadi aku mencoba meladeninya. Kami menghabiskan waktu bersama, menonton film bersama, mengomentarinya dan begitu kebersamaan itu tumbuh ia tiba-tiba saja menghilang. Aku kembali sendirian. Begitu dia kembali, aku mencoba menghiburnya tetapi dia malah membalasnya dengan memukulku berkali-kali hingga telingaku ini tidak dapat mendengar apapun lagi. Harapanku meraih mimpi pupus. Pramugari tidak boleh mempunyai riwayat penyakit yang berkaitan dengan pendengaran. Belum lagi dokter yang merawatku salah memberi obat dan membuat luka di dalam telingaku semakin parah. Aku'pun berulang kali berobat hingga aku muak dengan suasana rumah sakit. Lucu sekali. Padahal dulu aku sering berada di ruang kesehatan sekolah saat itu. Papa dan Mamaku akhirnya bertengkar hebat, meski saat itu aku tidak bisa mendengarnya tapi aku bisa merasakannya. Uang yang diberikan keluarga Horn juga tidak dapat membantu banyak karena dari apa yang kutahu Papa selama menyelundupkan uang untuk seligkuhannya yang sedang hamil tua. Mama tidak tinggal diam, dia sudah muak dengan semua ini. Semua jerih payahnya terasa sia-sia dan akhirnya memutuskan bercerai. Dia memberi hak asuhku kepada Papa yang kurang lebih bagiku terlihat seperti orang asing dengan keluarga kecil barunya. Aku? Menurut Papa aku hanyalah beban. Aku ingin mencoba membantu ekonomi Papa dengan menjual baju-baju yang pernah kubuat, namun Mama menolak memberikannya. Dia bilang semua bahan yang kupakai itu miliknya, jadi itu semua adalah hak miliknya. Aku tidak tahu lagi kepada siapa aku harus marah. Kepada Papaku? Mamaku? Adikku? Diriku? Atau dia yang memukulku? Begitu tidak menemukan jalan keluarnya, aku memutuskan kabur dari tempat Papa untuk mencari pekerjaan. Dan…. disinilah aku menjadi seorang reporter berita malam yang penontonnya bisa kau hitung menggunakan jari."
Scarlett menghisap rokoknya dalam-dalam meresapi setiap zat dan rasa yang dirasa ia butuhkan untuk tubuhnya.
"Sudah lama aku tidak bercerita panjang lebar seperti ini kepada seseorang. Kru berita malam jarang sekali mengajakku mengobrol." Mata Scarlett mengamati tubuh Misa yang tergeletak lemas di sebuah meja operasi.
"Mungkin sama seperti yang pernah dikatakan Mr. Heredict, kebaikanmu hanya berlaku untuk satu hari tetapi dosamu berlaku untuk selamanya…" Scarlett menghisap rokoknya lagi, "..Bukankah begitu, Horn?"
Horn sudah berdiri di ambang pintu ruangan operasi dengan wajah gusar. Scarlett tersenyum kepadanya.
"Kau berhasil menemukanku lagi…"