Bau apek dan hawa lembab yang memenuhi ruangan itu bukanlah lagi menjadi sebuah keluhan baginya. Ruangan itu memang sudah disulap menjadi tempat khusus untuknya bekerja selama berjam-jam. Di balik kabel-kabel yang terurai ke mana-mana dan beberapa monitor yang disusun secara acak, duduk seorang wanita dengan rambut panjang merahnya yang anggun. Bersama kepulan asap rokok dia tampak sedang menyaksikan sesuatu. Begitu pentingnya dia tidak berhenti menatap ke arah monitor tersebut, meskipun tiba-tiba ada sebuah selongsong besi dingin menekan bagian belakang kepalanya. Wanita yang duduk di depan monitor itu'pun tertawa.
"Sudah kutebak kau bisa langsung menyadarinya, The Red."
"Cukup basa-basinya…."
"Atau apa? Kau mau membunuhku? Melenyapkanku hanya membuatmu melanggar kode etikmu di dalam organisasi." Balas Scarlett dengan senyum licik di wajahnya.
"Bagaimana dengan kau sendiri…. Organisasi telah memerintahkan kita untuk bungkam selama dua pekan tetapi kau malah menyulut perhatian publik dengan aksimu sendiri."
"Kau hanya tidak mengerti The Red….. orang berdarah dingin sepertimu tidak akan pernah mengerti. Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang beharga terutama lagi jika dia juga ikut tumbuh besar bersamamu. Menghabiskan waktu bersama dengan bermain, menonton TV, semua keceriaan itu meski tidak bisa kudapatkan lagi sekarang namun aku masih bisa ceria hanya dengan melihat wajahnya. Tragisnya lagi yang membunuh adikku adalah orang-orang yang selama ini mempercayaiku."
"Jadi mengapa kau mengincar The Purple? Kau juga tahu pelenyapan adikmu adalah perintah. Kau tidak bisa menyalahkannya begitu saja." Bantah Carmen.
Scarlett tertawa kecil.
"Aku muak dengannya! Dia mendapatkan apa yang seharusnya menjadi milikku sedangkan setiap apa yang kuraih, apa yang kucapai dihancurkan begitu saja olehnya!"
"Jadi kurang lebih ini adalah dendam pribadi…" kata Carmen sinis.
"Jadi dia menceritakannya padamu?" Scarlett menoleh hingga kedua mata mereka saling bertemu.
"Kurang lebih seperti itu."
Tampak dari satu layar seorang pria menyusuri lorong-lorong gelap rumah sakit itu sedang mencari petunjuk. Mata mereka berdua terpaku pada pria yang masih mencari titik terang rumah sakit terbengkalai tersebut. Scarlett tampak menekan sebuah tombol.
"Dia laki-laki yang menyedihkan." Ujar Scarlett.
"Memang..."
Pria itu masuk ke dalam sebuah ruangan yang lampunya sedang menyala.
'…kau menemukanku lagi.'
"Kau tampak lebih menyedihkan, dia membawa dirinya sendiri demi menghadapi penderitaannya sedangkan kau menggunakan kloningan artifisial hasil mantramu hanya untuk sekedar menatap wajahnya. Sebegitukah besarnya nyalimu The Oracle?"
Scarlett tersenyum mendengarnya.
"Aku penasaran dari apa yang kudengar kau sudah lama tinggal satu atap dengan Horn, The Red. Tapi dari apa yang kulihat sepertinya dia malah berkencan dengan The Puppet. Apa kau ada masalah dengan itu, The Red?"
"Dia hanya kolegaku tidak lebih…"
Scarlett melirik sebuah proyektor yang memperlihatkan tubuh Misa yang sudah lemas tak berdaya.
"Apa kau tidak iri ingin diselamatkan seperti dia, The Red?"
***
"Lepaskan dia."
"Mengapa terburu-buru? Kita masih punya waktu untuk minum teh. Aku sudah menyiapkan teh Darjeeling kesukaanmu."
"Jangan bercanda…. Aku tidak ada waktu untuk itu..." kata Horn tanpa mengalihkan pandangannya pada Misa yang terbaring di meja belakang Scarlett.
"Kita bisa menyewa proyektor lalu duduk bersama sambil menonton film kesukaan kita... Di sana…." Scarlett menunjuk pada salah satu dinding yang dilapisi keramik "…seperti di masa lalu."
"Tidak ada kata 'kita', sekarang lepaskan dia."
Wajah Scarlett berubah dari senyum menjadi datar.
"Aku bertanya-tanya apa saja yang wanita ini lakukan kepadamu sampai-sampai kau sangat ingin menyelamatkannya?" Scarlett menghisap rokoknya dalam-dalam, "Kau begitu mencintainya bukan? Kau telah berubah Horn Backtack. Aku bahkan sampai penasaran bagaimana kau bisa menemukanku di tempat ini."
"Hanya sebuah tebakan beruntung."
"Benarkah? Kau dulu selalu menungguku di depan pintu ruang kesehatan, kau dulu selalu menunggu sampai semua tugasku di dalam selesai. Wajah polos itu masih tergambar di ingatanku hingga saat ini. Apa kau tahu ini di mana?" Scarlett melihat ke sekeliling ruangan, "Tempat ini dulunya adalah rumah sakit swasta St. Roben, rumah sakit yang megah dan menjadi tempat banyak orang berobat. Namun karena seringnya terjadi kasus malapraktik di tempat ini membuat reputasinya hancur begitu saja, akhirnya tidak ada orang yang mau berobat di sini lagi. Properti ini akhirnya dijual namun sampai sekarang tidak ada yang mau membelinya. Sebelumnya, properti juga ini dijual namun bukan atas nama bangunan rumah sakit melainkan sebuah gedung apartemen. Gedung apartemen itu kemudian dirubuhkan akibat gempa beberapa tahun yang lalu. Tepat di apartemen nomor 14 itu, ada apartemen keluarga Foster, keluargaku. Kita pernah di duduk berdua di depan TV di ruang tamu. Tepatnya di sinilah ruangan itu. Kita pernah menghabiskan musim panas kita di sini. Menonton film, memasak popcorn…"
"Jadi apa maksudmu?" potong Horn.
"Maksudku…. Kita dulu pernah punya kemewahan itu tetapi lihat diri kita sekarang. Kita saling mengacungkan pedang ke leher kita masing-masing."
"Yang lalu biarlah berlalu… sekarang serahkan dia dan aku akan menghilang dari kehidupanmu."
Scarlett menyeringai.
"Menghilang?! Kau tidak akan bisa menghilang dariku Horn. Akulah yang selama ini membantu menghapus rekam jejakmu! Rekaman CCTV di Rodriguez Mart atau rekaman siaran langsung yang hilang di konser kemarin kau pikir itu ulah siapa?!" Scarlett mematikan rokoknya, "Aku bahkan tahu rekam jejak ilegalmu di Shovel saat membantai lusinan cañí. Kau tidak bisa lari dariku Horn Backtack. Aku akan selalu ada di sana mengawasimu, ditambah lagi satu kota sudah tahu wajahmu."
"Sifatmu memang tidak pernah berubah, Scarlett. Caramu'pun masih sama."
"Karena Ini tidak adil, Horn, bagaimana bisa kau masuk ke dalam organisasi secepat itu sedangkan aku harus bersusah payah memasukan adikku ke dalam organisasi yang setiap kali aku mengajukannya selalu ditolak. Dia satu-satunya keluargaku yang bisa kulindungi, tapi akhirnya aku terlambat. Perjuanganku sia-sia. Kau pikir bagaimana perasaanku melihat adikku sendiri diburu oleh para kolegaku sendiri? Melihat dirinya yang seperti bukan dirinya. Kau terus mengacau, Horn. Kau terus-terusan mengacaukan rencana dalam hidupku dan sekarang aku tidak punya apa-apa lagi! Apa tidak cukup sekali saja kau mengacaukannya?"
"...…."
Scarlett menodongkan sebuah revolver kepada Horn.
"Kau memukulku…."
"...sekali."
"…Berkali-kali! Tapi rasa sakitnya tidak sama seperti saat kedua orang tuaku berpisah. Pengobatan akibat luka yang kau timbulkan itu telah memunculkan segalanya. Semua permasalahan itu yang seharusnya bisa dihindari jika kau tidak semena-mena menggunakan tangan itu untuk menghajarku." Scarlett menunjuk-nunjuk tangan kanan Horn dengan revolver di tangannya.
"Kau ngelantur….!" Bantah Horn, "…Kau yang memancingku selama ini. Kaulah yang mempermainkanku selama ini, kau mencari gara-gara karena kau bertindak sesukamu. Foto itu seharusnya tidak ada di majalah itu karena aku sudah memintamu sebelumnya, tapi kau tidak mendengarkanku, kau bilang yang penting kau memenangkan kontes bodoh itu. Lalu kau bilang Pedro adalah teman namun kau menciumnya saat di pertandingan. Tidak sepenuhnya ini adalah salahku! Apa kau tahu saat kau tidak ada, Pedro bersama teman-temannya memukuliku setiap hari di kamar mandi sekolah sampai ia lulus? Aku jadi penasaran ke mana Pedro setelah ia lulus, apakah dia tetap bersama pacarnya yang sedang sakit itu?"
"Diam!"
Dor!
Sebuah timah panas menembus bahu Horn namun Horn masih tegak berdiri. Scarlett dengan tangan bergetar berusaha menyeimbangkan revolver yang berada di genggamannya.
"Kau tidak berubah sama sekali….. Kau tidak pernah memahami perasaan perempuan, Horn Backtack!" Air mata mulai membasahi mata Scarlett, "Dia tidak pernah kembali lagi, dia pergi kuliah ke Lisboa dan tidak pernah menanyai kabarku lagi. Aku sendirian menghadapi rencanaku yang satu per satu runtuh. Kamera yang selalu kubanggakan, Papaku melemparnya untuk menyerang Mama. Apalagi yang kupunya? Baju-baju kostumku? Mamaku menjualnya semua untuk dirinya sendiri. Aku tidak memiliki apa-apa lagi untuk dibanggakan!"
"Apakah kau pernah mempertimbangkan perasaanku?! Apa kau tahu jenis lubang neraka yang kulewati setelah kau pergi?!" Horn menatap tajam Scarlett yang terdiam seribu bahasa, "Kurasa tidak. Berarti kita impas."
"Tidak, jika dihitung dengan kematian adikku."
"Kematian adikmu adalah perintah organisasi! Kau tidak berhak menyalahkanku atas pemburuannya!"
"Tidak…"
Dor!
"…Kau yang membunuhnya. Kau, The Red dan wanita ini, semuanya terlibat atas pemburuan adikku." Ujar Scarlett sambil menarik kembali hammer revolvernya.
Horn memegangi dadanya yang baru saja ditembus oleh peluru, "Bunuh aku kalau begitu… Kalau memang itu akan membuatmu lebih baik."
Scarlett kemudian membidik kepala Horn. Ia berusaha memantapkan revolvernya dengan tangan yang semakin bergetar ketika Horn perlahan berjalan mendekatinya. Dengan tangan diangkat, Horn menandakan dia tidak akan melakukan perlawanan apa-apa.
Horn semakin dekat dengan revolver yang ada di tangannya. Genggamannya sudah semakin licin karena keringat. Scarlett mencoba mengumpulkan keberaniannya untuk menembak orang yang bertanggung jawab atas hancurnya semua rencana yang dia impikan di masa depan. Horn menatap matanya, bukan…. Melainkan selongsong revolver yang diacungkan padanya. Horn tidak peduli jika harus membayangkan peluru yang keluar dari selonsong itu akan menembus kepalanya. Karena jika ia mati oleh Scarlett sekalipun, sekiranya ia telah menebus dosa terbesarnya.
Click!
"Sialan…!" Scarlett menurunkan revolvernya. "Apa kau tidak pernah belajar bahwa kau punya orang-orang yang peduli denganmu?!" setetes air mata menitik keluar dari mata Scarlett.
Horn hanya diam melihat Scarlett menahan air matanya. Baginya urusannya dengan Scarlett sudah selesai. Tidak ada pertumpahan darah lagi. Tidak ada kontak fisik. Hanya ada satu orang yang perlu diselamatkan.
"Minggir…"
Scarlett bergeser memberi Horn jalan. Horn tidak berusaha menenangkan Scarlett sama sekali. Ia sudah tidak peduli dengannya, yang ia pedulikan hanyalah wanita yang terbaring lemas di hadapannya.
Bip!
Terdengar sebuah blinker yang berbunyi saat itu juga Scarlett tersenyum.
DOR!
Seketika isi kepala Horn Backtack terburai ke mana-mana.
***
Brak!
Carmen seketika membanting kepala Scarlett ke meja di hadapannya lalu menahannya di sana.
"Ada apa The Red? Mengapa kau marah sekali?!" tanya Scarlett dengan wajah yang ditekan ke permukaan meja. Scarlett dengan jelas dapat melihat Carmen berusaha menyembunyikan wajah geramnya.
"..."
Carmen menatap salah satu monitor yang memperlihatkan Scarlett yang satunya sedang mengeluarkan pisau dan kemudian menusuk-nusuk tubuh Horn yang tidak berdaya berulang kali.
"Sebegitukah kau benar-benar membencinya?" Tanya Carmen datar setelah melihat perbuatan kloningan The Oracle.
"Bah…! Pertanyaan macam apa itu The Red?! Bukankah seharusnya engkau mempertanyakan perbuatanmu sendiri saat ini?" tanya The Oracle balik sambil menyeringai.
"Diam!"
"Ada apa? Apa kau takut kehilangan dirinya? Kulihat dengan mataku sendiri kalian para Ultimate tidak mati dengan mudah meskipun dihujam luka separah itu! Lihat luka-luka yang ada di tubuhmu, orang biasa pasti sudah tewas. Mengapa kau sekhawatir itu The Red?"
"Kau…." The Red semakin menekan kepala The Oracle, "Aku atasan-nya! Kalau kau macam-macam dengan-nya berarti kau juga berurusan denganku!"
The Oracle menatap The Red sambil semakin menyeringai.
"Welcome to the club, The Red."
Click!
Sebuah suara gemerincing yang familiar tiba-tiba masuk ke telinga The Red. Sontak ia tahu harus bereaksi apa.
"Bajingan!"
BUM!
Sebuah granat yang disembunyikan di bawah meja'pun meledak dan menghancurkan seluruh peralatan yang ada di sekitarnya. Beruntung The Red sigap setelah mendengar suara pin yang tertarik sebuah tuas, meski begitu ia tidak cukup jauh menghindarinya sehingga sebagian baju yang dikenakannya rusak terkena dampak ledakan. Dengan tangan yang tadinya melindungi wajah kini ia mendapati tidak ada tubuh Scarlett di tempat dia duduk barusan.
"Sialan…" umpat The Red sambil menarik sebuah potongan besi yang menancap di tangannya. Ia baru sadar itu jenis mantra yang mirip dimiliki The Puppet.
Sadar sudah tidak ada apa-apa lagi di sana The Red'pun berniat mencari sang caster yang asli ke ruangan lain di gedung rumah sakit yang megah tersebut. Baru saja ketika ia berjalan menuju lorong tiba-tiba terdengar suara klik lainnya. Dalam hitungan mili sekon lantai yang diinjaknya meletus, menghempaskan The Red beserta material bangunan lainnya ke udara lalu membawanya jatuh ke lantai-lantai selanjutnya yang berada di bawah. Tubuh The Red mendarat keras di lantai terakhir dari gedung tiga lantai tersebut. Basement.
The Red sempat tidak sadarkan diri akibat benturan antara kepalanya dengan lantai basement. Ia baru saja hampir terkubur hidup-hidup setelah beberapa bongkahan material yang ikut menyusul kejatuhannya. Beruntung kepalanya selamat. Air dari sprinkler yang menyala membuatnya tetap tersadar di balik puing-puing tersebut. Perlahan ia mengumpulkan tenaganya untuk menggeser reruntuhan yang menimpa tubuhnya. Tidak butuh waktu lama untuk membuat The Red kembali berdiri dengan kedua kakinya.
"Kau sudah tahu semua ini tidak akan membunuhku The Oracle! Usahamu hanya sia-sia!" Teriak The Red pada parkiran basement yang sepi nan gelap tersebut. The Red kemudian mengeluarkan pistolnya, bersiap apabila ada sesuatu yang tiba-tiba muncul dari kegelapan.
'Mengapa harus terburu-buru The Red, filmnya'kan baru saja dimulai!? Aku punya screenplay yang bagus untuk skenario seperti ini....' Ujar The Oracle melalui speaker, 'Kesatria naga yang menyelamatkan tuan putri! Seorang kesatria yang diutus sebelumnya telah tumbang, akankah kesatria selanjutnya dapat menyelamatkan tuan putri?! Selanjutnya.....'
Area parkiran basement di hadapan The Red seketika memunculkan garis-garis laser bewarna merah kemudian dalam sekejap mata kini seluruh area parkiran yang kosong tu telah berubah menjadi area pemakaman.
'Makam terkutuk penuh undead! Bagaimana sang kesatria bisa melewatinya!?'
Musik mencekam'pun diputar oleh The Oracle lewat speaker. Batu-batu nisan yang berdiri di area tersebut menampakan tangan-tangan yang berusaha keluar dari makamnya sendiri. Mayat-mayat hidup bangkit dari dalam kuburnya lalu menatap The Red lekat-lekat. Basement itu benar-benar berubah. Suasananya. Langit-langitnya. Bahkan aromanya dibuat serasa seperti tanah pemakaman.
The Red tidak tinggal diam. The Oracle ingin bermain-main dengannya. Mau tidak mau ia harus mengikuti alur permainannya demi menemukan The Oracle yang asli. Ia meregangkan tubuhnya bersamaan saat undead-undead itu menghampiri dirinya. Begitu dirasa sudah cukup ia'pun melesat lalu meninju seorang undead di depannya.
Tembus.
Seperti dugaannya semua ini hanyalah ilusi tembus pandang. Ia tidak bisa mengenai atau'pun menyerangnya, tapi mungkin seperti ilusi tubuh cloningan The Oracle yang sebelumnya, ilusi semacam ini mungkin dapat disentuh dengan cara tertentu. Yang terpenting sekarang bagaimana caranya dia untuk melanjutkan ke tahapan berikutnya. Hanya disinari sinar rembulan yang palsu nan redup di ujung area ternyata terdapat sebuah gerbang keluar. The Red tahu ada semacam elevator atau tangga lainnya di tempat seperti rumah sakit ini, namun sepertinya The Oracle mau menuntunnya ke sana. Kalau begini seharusnya mudah hanya tinggal langsung menuju jalan keluarnya.
Klik!
Langkah The Red terhenti setelah mendengar suara klik barusan. Seketika ia berusaha tidak bergerak sedikit'pun atau mengangkat kakinya. Para undead yang melihatnya berhenti langsung mengerumuninya. Tiba-tiba sebuah undead melompat ke punggungnya, berusaha untuk menumbangkan The Red.
The Red dengan bantuan mantranya kemudian melempar jatuh undead yang sempat hinggap di punggungnya. Undead-undead lainnya'pun semakin dekat. Dengan pistolnya ia menembak mundur para undead yang mendekatinya. Namun jumlahnya sama sekali tidak berkurang, undead-undead itu semakin lama semakin mengepungnya. Kondisi ini tidak ideal karena ia harus terus-menerus menggunakan mantra di mana kondisi tubuhnya belum seratus persen. Belum lagi efek serangan mantra milik The Purple di apartemen belum lama membuatnya merasakan sakit di sekujur tubuhnya setiap kali menggunakan mantra. Jika dia berbuat nekat dengan melepas kakinya ia belum tentu bisa bertahan di ranjau setelahnya, belum lagi ia tidak tahu apakah ranjau yang dipasang di basement rumah sakit ini dapat menimbulkan reaksi berantai jika salah satunya meledak atau tidak.
Tidak…
Masih ada cara itu.
The Red tahu apa resikonya, namun ia tidak memiliki pilihan. Lebih baik tenaga ini digunakan untuk kabur daripada untuk perkelahian yang tidak perlu.
Undead-undead tersebut mulai meraih tubuh The Red untuk dijadikan santapan, namun begitu tangan-tangan lunglai mereka meraih salah anggota tubuhnya, tangan mereka menjadi terbakar. Dari ujung kepala hingga kaki The Red memang tampak tidak ada yang berubah namun bagai api tenang yang transparan, tubuh The Red berubah sifatnya menjadi seperti itu. The Red sedang berkonsentrasi sambil menahan rasa sakitnya. Binatang-binatang merayap yang sedang mendaki tubuhnya satu-persatu tumbang terbakar. Undead-undead lainnya masih tidak berpikir panjang untuk mencoba meraih target mereka. Transformasi The Red sudah hampir ke ujung kakinya dan seluruh undead mulai menghimpit dirinya.
BUM!
Ranjau darat yang diinjaknya meledak akibat tekanan pada pegasnya menghilang. Formasi para undead tampak kacau balau akibat debu yang ditimbulkan ledakan barusan. The Red segera memanfaatkan momen ini untuk segera melesat pergi ke gerbang keluar area pemakaman tanpa memikirkan apa yang ia injak. Setiap langkahnya terasa menyakitkan. Seluruh luka di tubuhnya seakan bangkit lagi di setiap detik ia menggunakan mantra miliknya.
Hampir sampai, gerbang keluar itu sudah berada di hadapannya. The Red harus menahan rasa sakitnya.
Sayang kakinya tergelincir akibat rasa sakit yang sudah tidak tertahankan lagi. Salah satu kakinya kembali normal lalu menginjak ranjau menyebabkan ranjau tersebut aktif, tanpa pikir panjang ia langsung melontarkan dirinya dengan bertopang pada kaki tersebut ke lorong tangga yang ada di hadapannya. Ranjau tersebut seketika meledak begitu kaki The Red terhempas dari tutupnya.
'Bravo! Aku akhirnya mendapatkan scene yang menarik!' Ucap The Oracle lewat speaker, memberi The Red selamat.
"Cukup omong kosongnya The Oracle, tunjukan wujud aslimu dan bagaimana kau mendapatkan alat-alat ber-standar militer itu?"
'Apa maksudmu The Red? Bukankah organisasi memberi kita kebebasan membeli barang-barang apapun dengan uang yang kita peroleh?'
"Semua itu barang ilegal bukan?"
'Hmph…. Aku tidak bisa mengatakannya kepada orang yang setiap hari membawa pistol bersamanya.' Nada The Oracle terdengar mengejek, 'Tetapi yang terpenting kau harus melewati scene selanjutnya.'
Speakernya'pun mati
"Cih.." The Red menggerutu dan berharap percakapan barusan berlangsung lebih lama untuk memberinya waktu istirahat. Tubuhnya terasa mau hancur dan hal itu membuat dirinya menggigil. The Red mengepalkan tangannya, menguatkan dirinya melewati tangga yang menuju lantai pertama.
Begitu pintu yang mengarahkannya pada lorong lantai pertama dibuka, semerbak angin berhembus melewati kulitnya. Ia belum melihat adanya perubahan di lorong tersebut, namun suara angin yang bertiup kencang cukup mewarnai suasana lorong rumah sakit yang gelap dan menakutkan tersebut. Hanya ada suara angin dan langkah kakinya di lorong tersebut. Banyak kamar-kamar kosong dengan pintu yang terbuka atau'pun tertutup. Memeriksanya satu-satu adalah pekerjaan yang berat bagi satu orang apalagi di rumah sakit sebesar ini. Ia masih memikirkan di mana kira-kira The Oracle bersembunyi. Bagian rumah sakit mana yang sekiranya cocok untuk bersembunyi.
Sreg!
Sesuatu tiba-tiba saja bergeser. Lagi-lagi ada yang aneh dengan lantainya. Tiba-tiba ada sesuatu yang meletus dan melesat di hadapannya. Beruntung benda tersebut meleset mengenai bagian vital-nya walau sayangnya batang hidungnya sedikit tergores. Meski begitu luka itu sembuh dalam sekejap.
Dari ujung lorong lainnya terlihat sebuah pintu elevator yang terbuka. Area itu disinari cahaya lampu yang remang-remang. Namun tampak dari kejauhan tampak The Oracle sedang berdiri menatap The Red dengan penuh senyum dengan seseorang yang terduduk di kursi roda yang dituntunnya. Orang itu memiliki kepala yang miring ke samping dan menampakan sebuah bekas luka berupa lubang yang besar dikepalanya. Benar. Orang yang dibawanya adalah The Purple.
Tidak lama berselang pintu elevator tertutup kembali dan melenyapkan pandangan The Red pada targetnya. Ia dengan cepat mengejar ke arah elevator tersebut namun setelah mengambil beberapa langkah panjang ia terjungkal. Kaki kirinya berusaha menahan sisa tubuhnya untuk berada di level yang sama. Akibat lorong yang terlalu gelap itu, The Red tidak dapat mengetahui apa yang dilewatinya namun akibat terlalu ceroboh ia hampir jatuh di lubang yang bisa saja menjadi akhir dari hidupnya.
Dari sinar rembulan yang remang-remang ia dapat melihat apa yang ada di bawah sana. Sama seperti area basement sebelumnya dataran di bawah lubang tersebut juga dipenuhi ranjau darat. The Red membawa dirinya naik kembali. Ia mengatur napasnya sejenak untuk membaca situasi.
Di antara dirinya dan elevator tersebut ada sebuah lubang dan lurusan yang lumayan panjang. Ia sudah tahu apa yang ada di lubang ini namun tidak dengan sisa lurusan-nya. Lagi-lagi ia harus bermain dengan kartu yang ada di tangannya. Bermain dengan pilihan apa yang ia punya. Jika The Red tidak ingin terkena serangan ia harus mengubah sifat tubuhnya menjadi api sekali lagi tetapi tampaknya itu tidak mungkin, tubuhnya sudah berada di ambang batas. Tapi dia bisa menggunakan intuisi dan refleks yang dimilikinya untuk menghindar, namun dengan tubuh seperti itu juga dia tidak dapat bergerak dengan lincah. Yang mana yang lebih baik…
Tampaknya mustahil bisa melewati rintangan ini tanpa terluka namun kemungkinan selamatnya bukan nol besar.
The Red mengambil ancang-ancang lalu berlari secara diagonal menuju salah satu sisi dinding. Dengan memanfaatkan momentum yang ada dia menekan kakinya ke dinding yang berdiri secara vertikal tersebut dan melewati setengah dari lubang di tengah lorong tersebut. Begitu momentumnya hampir habis ia segera melontarkan dirinya ke depan. Ia selamat. Meski begitu ia harus bergelantung di tepian dan menarik dirinya ke atas. Sekarang sisa lorongnya.
The Red tidak pikir panjang ia hanya mengandalkan intuisi dan instingnya. Apa yang bergerak dan apa yang terdengar semuanya adalah informasi yang berharga. Anak-anak panah dan tombak-tombak ilusi muncul begitu The Red maju menerjang ke arah elevator. Kanan. Kiri. Atas. Ia dapat merasakan semua gerakan-gerakan itu berkat latihan-nya di masa lampau. Semuanya terasa berirama, The Red menikmati setiap gerakan menghindar yang ia lakukan. Terakhir ada sebuah balok kayu besar yang mengayun cepat ke arahnya, sekejap ia melompatinya seperti atlet senam lantai yang melewati kuda-kuda pelana.
Ia berhasil. Ia sampai ke depan elevator. Sekarang ia harus naik ke lantai tiga di mana biasanya ruang operasi berada. Kemungkinan terbesar di sanalah The Oracle yang asli berada saat ini. Tinggal beberapa langkah lagi The Red pasti akan menemukan targetnya.
Stab!
Setidaknya jika ia tidak menurunkan akan rasa waspadanya, anak panah itu tidak akan menancap di dadanya. The Red segera membakar panah tersebut dari tubuhnya lalu melangkah memasuki elevator.
Darah mulai mengalir dari luka di dadanya. Lukanya tidak langsung menutup karena tercipta akibat mantra The Oracle. Meski lukanya akan menutup lagi tetapi tetap saja rasa sakitnya tetap sama. The Red kemudian dengan kesal memukul tombol lantai nomor tiga. Ia memegangi dadanya yang sakit dan beberapa kali batuk darah. Elevator itu segera menutup dan membawanya naik ke lantai yang ia tuju.
'Selamat kau berhasil menuju ke scene selanjutnya, The Red! Boleh kutahu kau ini sedang berjuang untuk siapa!?' Ujar The Oracle dari speaker elevator.
"Diam!"
'kau meneriakiku lagi, kau ini tidak seru ah… aku butuh dokumentasi untuk karyaku ini..' tanggap The Oracle, 'Oh benar juga…. Bagaimana jika aku membuatmu menjerit?'
Begitu The Oracle menyebut itu pintu elevator yang tadinya sedikit terbuka kemudian menutup dengan keras. Seluruh tombol di dalam elevator kemudian tertekan sendiri dengan cepat. Elevator itu kemudian bergerak naik sebentar namun tiba-tiba terdengar ada seseorang yang menjatuhkan sesuatu ke atas kabin seperti batu. The Red tahu tidak mungkin itu adalah batu, dalam hitungan detik bagian atas kabin meledak dan menghancurkan tali penyangganya sehingga kabin beserta seisinya terjun bebas ke bawah. The Red tidak dapat berbuat apa-apa ia merasakan selama beberapa detik berada di tengah-tengah udara sebelum akhirnya grafitasi menariknya kembali ke bawah.
Hantaman-nya begitu dahsyat. Debu-debu yang bersemayam selama bertahun-tahun di lorong kabin elevator tersebut berhamburan ke mana-mana. Semuanya tampak gelap dan kotor. Di bawah sana kabin tersebut tampak tidak terbentuk lagi, tampaknya The Oracle juga memasang ranjau darat di dasar lorong elevator. The Red dengan jantung masih berpacu kencang melihat bagaimana kabin elevator itu hancur. Beruntung ia selamat saat tubuhnya mengudara akibat turbulensi sesaat ia mengubah sifat tubuhnya menjadi sifat api dan berhembus ke lantai yang ia tuju. Meski begitu ia melihat dengan jelas bagaimana kabin itu meledak dengan dia masih di dalamnya. The Red belum pernah merasakan kengerian seperti ini. Tapi yang terpenting saat ini dia berada satu lantai yang sama dengan The Oracle.
The Red'pun melanjutkan pencarian-nya di lantai tiga. Tidak disangka ia sendiri mendorong dirinya hingga sejauh ini. Untuk siapa memangnya? Horn? The Puppet? Sedari awal The Oracle memang tidak mengincarnya bukan? Mengapa dia mau melakukan ini semua? Untuk apa? Pemikiran itu sempat terlintas di kepala The Red setelah ia berhadapan sebuah lorong yang berlubang di tengahnya. Lubang itu sangat panjang jadi tidak mungkin bisa dilewati dengan menerjangnya. Dari kejauhan ia dapat melihat sebuah ruangan yang lampunya sudah menyala. Itu dia! Ujar dirinya sendiri di dalam hati.
The Red memutar otak untuk mendapatkan jalur alternatif menuju ruangan yang berada di ujung. Ia menyadari sesuatu bahwa di sisi kanan dan kirinya adalah ruangan. Jika dia beruntung seharusnya tidak akan sulit untuk merubuhkan salah satu dinding bangunan lapuk ini. Ia membuka pintu yang paling dekat dari lubang tersebut. Dari apa yang ia baca ruangan itu bertuliskan laboratorium. The Red kemudian membuka pintu geser yang sedikit macet tersebut.
Ruangan lab itu gelap. Tirainya ditutup rapat dan penuh sesak dengan meja-meja permanen yang dilapisi keramik putih. The Red perlahan menyusuri laboratorium itu khawatir ia menyenggol sesuatu yang berbahaya. Dari dalam sana ia dapat melihat koridor yang ada di luar karena di dalam terlalu gelap. The Red menjentikan jarinya yang kemudian sepucuk api'pun muncul dari ujung jarinya. Dengan api sekecil itu ia mencoba menerawang apa yang ada di laboratorium tersebut. Sungguh berbeda. Ia pernah memasuki sebuah laboratorium sekolah sebelumnya namun tidak dengan laboratorium sungguhan seperti lab rumah sakit ini. Tidak ada poster-poster anggota tubuh. Tidak ada terngkorak palsu. Semua dindingnya bersih hanya dilapisi cat meski meja-meja di sekitarnya dipenuhi debu.
The Red tahu ke mana ia akan melangkah. Pintu laboratorium yang satunya sudah ada di depan mata. Namun saat ia berjalan menuju pintu keluarnya seluruh ruangan tiba-tiba saja berubah. Dinding-dinding bewarna putih kini berubah menjadi dinding batu ala benteng abad pertengahan. Meja-meja permanen tersebut kini berubah menjadi meja-meja kayu. Pintu yang tadinya pintu geser kini menjadi pintu kayu besar yang ditarik. Terkunci. Pintu itu tidak bergerak sama sekali saat The Red mencoba untuk menggesernya atau'pun menggesernya. Suara berdehem dari sebuah speaker'pun sampai ke telinga The Red.
"Kau mau ke mana The Red? Aku tahu kau kelelahan setelah melewati berbagai rintangan sebelumnya…" The Red memutar badan mencari sumber suaranya, "Kau tahu apa? Karena aku baik, aku memiliki sebuah obat yang dapat menghilangkan rasa sakitmu. Rasa penatmu. Rasa muakmu. Dan obatmu juga memberimu kesegaran untuk tubuhmu. Tapi aku lupa yang mana ramuan itu karena aku tidak sengaja mencampurkan tabungnya dengan tabung-tabung ramuanku yang lain…."
"Apakah dengan meminum ini dapat membuka pintu itu?" tanya The Red.
'Entahlah tetapi pintu itu tidak akan terbuka jika tidak ada salah satu ramuan itu yang digunakan…' Speakernya kemudian mati dan sebuah lampu menyala menyoroti sebuah rak yang berisikan lima tabung reaksi.
Di lima tabung tersebut ada yang warnanya mirip. Ada yang bening, kekuningan, keabu-abu-an. Hal yang pertama kali The Red pastikan ternyata bukan isi dari kelima ramuan tersebut melainkan apakah bisa dia mengambil rute ke sisi ruangan yang ada di seberang. Ternyata pintu yang ia masuk barusan dikunci. Secara visualnya dibuat sama seperti pintu yang satu lagi.
"Mantra CGI brengsek!" umpat The Red.
Sekarang ia harus berurusan dengan cairan. Meski lelah ia tidak bodoh. The Oracle tidak akan memberinya air mineral atau air elektrolit. Semuanya jelas-jelas jebakan. Dia pernah belajar beberapa zat tidak bewarna yang nyatanya mematikan dan sering digunakan untuk menjebak atau membunuh orang. Zat seperti sianida atau halotana adalah beberapa zat yang sering ditemukan pada pembunuhan sembunyi-sembunyi. Dua cairan bening, satu kekuningan dan dua lagi bewarna keruh. Mungkin yang dimaksud The Oracle adalah dengan membuatnya mirip dengan larutan elektrolit yang sering dijual di minimarket, tetapi dengan kondisi konflik seperti ini mungkin dia ingin membunuh The Red dari dalam tubuhnya.
The Red mencium satu persatu ramuan yang ditawakan The Oracle. Ada yang tidak berbau. Ada yang anyir. Ada pula yang….. The Red seketika menarik hidungnya dari ujung tabung dan segera menyiram kenop pintu keluar dengan cairan yang baru saja diciumnya.
CESHH...
Kenop itu'pun meleleh. Tidak salah lagi cairan bening itu adalah cairan asam. The Red dengan sekuat tenaga menendang pintu geser itu dan membebaskannya dari bau asam yang menyengat seketika tutup tabung itu dilepas. Ia melihat ruangan yang tersinari lampu itu lagi. Tinggal lurus saja!
'Tak kusangka kau dapat melewatinya hingga sejauh ini The Red' Ujar The Oracle lewat speaker, 'Tetapi kau terlalu lamban! Ritualnya persembahan tuan putri saja sudah dimulai!'
Gedung itu seketika bergetar. Koridor gelap itu tampak seperti berdenyut-denyut sehingga membuat ruangan serasa menjauh. The Red tanpa pikir panjang berlari menuju ruangan itu namun tiba-tiba ia jatuh tersandung oleh tangan hitam yang muncul dari kegelapan.
Tangan-tangan hitam yang lain'pun mulai bermunculan di dinding, ingin meraih tubuh mungil The Red. The Red merasa mengingat sesuatu atas tangan-tangan tersebut. Ia'pun segera bangkit dan berlari melewati koridor yang semakin menyempit. Tangan-tangan tersebut berusaha menggapai tubuhnya, melambatkan tubuhnya agar bisa dikonsumsi hidup-hidup oleh koridor yang lapar tersebut.
Sedikit lagi! The Red dapat merasakan secercah cahaya yang dipantulkan dari sela-sela pintu ruangan tersebut. Tangan-tangan hitam itu'pun juga semakin ganas. Mereka akhirnya berhasil menangkap kaki The Red. The Red kemudian kembali menggunakan mantra miliknya untuk mengubuh sifat tubuhnya menjadi api agar terlepas dari genggaman tangan-tangan hitam.
"Uhuk..!" The Red terbatuk dan mengeluarkan darah dari mulutnya. Ia sadar ia tidak dapat menggunakan mantranya lagi. Tubuhnya kembali normal lagi namun kali ini tubuhnya semakin sulit untuk digerakan. Tangan-tanan itu telah mengunci pergerakannya. Penglihatannya semakin gelap gulita. Tangan-tangan itu'pun saling menyatu dan melahap The Red hidup-hidup. Ruangan terakhir itu semakin gelap. Tangannya mencoba meraih gagang pintu tersebut namun ia gagal meraihnya.
'Cut!! Game over!'
***
Scarlett tersenyum puas. Kini dalam melempar satu batu dia mendapatkan tiga burung sekaligus. Semua orang yang terlibat pada pembunuhan adiknya kini sudah lenyap. The Puppet akan ia habisi dengan membiarkannya kehabisan darah. The Red akan ia habisi dengan meremukan tubuhnya lumat-lumat. Lalu The Purple. Si tangkapan besar. Dia bisa mendapatkan banyak keuntungan jika melaporkan kejahatan The Purple yang terjadi beberapa bulan yang lalu. Jika dibandingkan kejahatannya yang dilakukannya malam ini, pembunuhan masal itu jelas lebih parah. Peringkatnya di The Ballot juga tinggi, dengan uang sebanyak itu dia bisa melanjutkan hidupnya yang baru. Pergi dari Ouro lalu menghilang.
Rencana itu sempurna! Mungkin ia bisa membangun studio film dengan uang sebanyak itu atau usaha lainnya. Menjadi pengusaha terkenal, dan diliput majalah internasional. Tapi jangan di sini. Ia harus menon-aktifkan mantranya dengan keluar dari Ouro. Amerika! Setelah membereskan ini ia harus mendapatkan uang untuk pergi ke Amerika dan memulai lagi semuanya dari nol.
Scarlett senyum-senyum sendiri. Ia mengeluarkan pistol CGI dengan mantranya dan menodongkannya ke arah jantung Horn yang masih berdetak meskipun kepalanya sudah terburai akibat jebakan tembakan shotgun sebelumnya. Scarlett tersenyum melihat Horn yang sudah tidak berdaya.
"Terima kasih, Horn. Ini adalah hadiah termanis yang pernah kau berikan untukku."
Dor.!
"Ugh.." Scarlett mengerang karena tembakannya meleset. Ada seseorang yang membelokkan tangannya.
"Sudah kubilang kau tidak bisa membunuhku dengan mudah, The Oracle..." Ujar sosok yang menahan tangannya. Scarlett terkejut mendapati The Red menodongkan sebuah pistol tepat di dagunya.
"Bagaimana bisa kau masih hidup! Tubuhmu bahkan penuh dengan luka!?"
"Mantramu itu…." The Red memperlihatkan mata merahnya pada The Oracle, "…busuk. Sangat lemah sampai-sampai aku harus berakting demi audiensmu yang sedari dulu memang tidak ada."
The Oracle tampak ketakutan melihat mata sinis The Red.
"Kau tahu…? Skenariomu boleh juga tetapi premisnya terlalu busuk! Terlalu banyak efek-efek yang tidak perlu sehingga membuatnya ceritanya tampak terlalu menjadi fiksi. Tidak rasional bahkan untuk sebatas genre fantasi. Orang-orang biasa saja bisa tahu itu hanyalah editan! Tidak nyata!", The Red menekan dagu The Oracle dengan pistolnya, "Kau tahu mengapa film modern sekarang busuk!? Mereka terlalu sering menggunakan CGI sehingga efek-efek manual yang lebih natural hilang begitu saja dan tentunya film-film tersebut kehilangan kesan yang organic dan juga kehilangan kesan menyatunya karakter dengan latar. Apa kau paham?"
"Tidak…"
"Cih…. Kau yang bermain dengan ilusi bahkan tidak memahaminya. Sudah cukup dengan ilusi. Akan kutunjukan bagaimana cara membuat film yang bagus."
The Red seketika menghilang dari pandangan The Oracle. Tiba-tiba seluruh pandangan The Oracle gelap dan hanya menyisakan dirinya di sebuah ruangan yang gelap gulita. The Oracle kebingungan melihat apa yang baru saja terjadi. Dia sekarang berada di antah berantah padahal beberapa saat sebelumnya ia tepat di ruangan operasi. Ia merasa buta dan tidak tahu harus bagaimana.
"Apa yang kau lakukan padaku The Red!?" tanya The Oracle pada ruangan hampa tersebut.
Tiba-tiba suara raungan mesin terdengar dari balik punggungnya.
"The Red?" ia berbalik dan menemukan seorang pria besar bertopeng dengan gergaji mesin di tangannya. Ia'pun mundur dan mencoba membuat pistol dengan mantranya.
Tidak bisa. Ia tidak dapat menggunakan mantranya. Apa yang terjadi?
Punggungnya terasa menyentuh sesuatu. Dinding. Ia terpojok. Pria besar itu memainkan gergaji mesin-nya sehingga membuatnya terlihat menakutkan. The Oracle terpojok ia tidak bisa ke mana-mana sebelum ia ingin lari gergaji mesin itu dihujamkan ke perutnya dan sang pria besar itu memutar mata rantainya sehingga perut The Oracle tercabik-cabik. Isi perutnya'pun terburai. Tubuh beserta gergaji si pria besar berlumuran darah namun itu tidak menghentikannya. Gergaji mesin itu menembus tubuhnya dan membuat sebuah lubang yang cukup dalam di dinding. The Oracle yang masih dalam keadaan sadar merasakan rasa sakitnya disertai adrenalin yang mengalir deras di dalam darahnya. Gergaji mesin itu'pun kini bergerak naik. Memotong torsonya secara perlahan lalu dan satu hentakan sang pria besar berhasil membelah tubuh bagian atas The Oracle dengan gergaji mesin kebanggannya.
The Oracle ambruk. Ia sempat tidak sadarkan diri. Begitu ada pecutan yang mengenai pahanya ia kembali tersadar bahwa ia masih hidup. Namun kali ini ada yang aneh. Banyak keramaian di depannya. Banyak orang-orang yang bersorak sorai menginginkannya mati. Kaki dan tubuhnya tidak dapat digerakan. Semuanya dikunci. Kepalanya berada di sebuah balok kayu yang telah dilubangi. Ia tahu apa ini! Ia sempat meronta-ronta dan….
Splat!
Kepalanya berpisah dengan tubuhnya ia sempat melihat tubuhnya sendiri tanpa kepala untuk beberapa saat. Penglihatannya'pun kabur dan kesadarannya mulai hilang. Tiba-tiba saja sebuah kejut jantung membuatnya tersadar. Ia memperhatikan langit-langit sulit terlihat akibat lampu meja operasi. Dengan kondisi lemas ia mencoba menggerakkan tubuhnya yang ternyata diikat ke ranjangnya.
Dengan panik ia menoleh ke kanan dan kiri, ia'pun mendapati seorang dokter yang sedang memunggunginya.
"Ah… Scarlett kau sudah bangun… kami barusan sangat khawatir akan kondisimu jadi terpaksa kami mengikatmu di ranjang." Kata dokter yang wajahnya ditutupi oleh masker dan memakai jas lab tersebut. "Kau sudah tidak perlu takut karena kami sudah menemukan solusinya."
"Apa… apa yang sebenarnya terjadi…." Tanya Scarlett yang matanya masih berdelik liar.
"Bagaimana caranya menyebutkannya ya….. aku.. takut…jika…."
"Huegh…." Perut Scarlett tiba-tiba terasa aneh. Seperti ada yang mencoba mencabiknya keluar. Dari perutnya mulai ada seperti tonjolan-tonjolan yang seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari inangnya.
"Gawat, inangnya mulai bereaksi lagi!" sang dokter kemudian mengambil sekepal pil dan memasukannya secara paksa ke mulut Scarlett yang sedang mengeluarkan busa. Anomali yang ada di perut Scarlett semakin menjadi-jadi. Perut Scarlett menggembung seakan ia sedang mengandung seorang anak. Scarlett menjerit sejadi-jadinya.
"Suster siapkan suntikannya!"
Perut Scarlett kemudian tercabik terbuka seperti kelopak bunga yang mekar. Sebuah monster yang bersisik dan memiliki kepala seperti serangga itu lahir dari perut Scarlett dengan tubuh yang masih dipenuhi cairan ketuban. Scarlett semakin menjerit menjadi-jadi. Bayi monster itu merangkak ke dekapannya sambil dengan suara yang terbata-bata.
"Ma…ma... ma.. ma...… ma…. Mama…"
"KYAAAAAHHHHHHHHHHH...!!!!!"
Sekumpulan dokter'pun datang dan menyaksikan kengerian itu.
"Sudah tidak ada waktu lagi. Kita harus menyuntik mati specimen ini! Ini demi masa depan umat manusia!"
Seorang dokter'pun membawa sebuah suntikan besar yang sudah diisi dengan cairan khusus.
"Maaf Scarlett jika sudah begini sudah tidak ada cara lain." Dokter itu mengangkat jarum suntiknya. "Kami harus melenyapkanmu beserta inangmu."
Jarum suntik itu melesat ke leher Scarlett yang berdenyut akibat jeritannya yang tidak ada henti-hentinya. Sebelum jarum itu menyentuh kulit putih Scarlett sebuah tangan menghentikan tangan dokter tersebut.
"Itu tidak perlu…"
Sang dokter penyuntik'pun kaget dan ruangan operasi itu seketika berubah menjadi ruangan operasi terbengkalai yang sebelumnya Scarlett datangi. Tidak ada monster di perutnya, tidak ada pembunuh bergegaji mesin dan tidak ada orang yang dieksekusi guillotine. Semuanya hanya ilusi. Dan tangan si dokter berubah kembali menjadi tangan kurus milik The Red.
"… Horn..."
Di depan Scarlett yang menggigil akibat syok, Horn berhasil menghentikan Carmen yang hampir melukai Scarlett dengan suntikan. Kedua mata mereka bertemu namun ada amarah yang besar terkandung di dalam tatapan Horn.
"Sudah kubilang kau tidak usah ikut campur!"