Dari SMP aku hanya menganggap dunia ini terdiri dari hitam dan putih.
Orang-orang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri sampai-sampai tidak ada dari mereka yang mau memperkenalkannya padaku.
Tapi apa yang ada di hadapanku ini…..
Aku belum pernah melihat semua ini sebelumnya.
Aku tidak mengerti, tapi menurutku ini sangat keren.
Semenjak hari itulah aku melihat warna yang berbeda dari dunia ini.
Dia yang memperkenalkanku dengan semua ini.
Dialah yang memperkenalkan kepadaku semua rasa ini.
Semenjak itu ada sesuatu dari dalam diriku yang terisi.
Rasanya sejuk, menyenangkan dan rasanya seperti aku sudah menantikan ini sedari dulu.
Musim panas tahun ini akan berbeda!
…..
Aku tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya namun kini aku yakin.
Tahun ini adalah musim panas yang paling cerah dan juga yang paling sejuk.
.....
Mengapa kau tersenyum melihatku seperti itu?
Hei….. wajahmu terlalu dekat…..
Hei-
....
Kau pasti bohong kalau kau tidak mengingikan dirinya'kan Horn?
…..
Benar…. Aku memang pembohong.
Pembohong besar.
"Ahahahaha...…. hahahahaha…" Horn tertawa sejadi-jadinya, Misa'pun melihatnya dengan heran, Beberapa pengunjung dan karyawan yang ada di sana ikut sesekali mengintip memperhatikan mereka. "Mengapa aku bodoh sekali!? SIALAN!" ia menggebrak meja dengan sangat kencang.
Horn segera menyesali perbuatannya barusan dan segera menyembunyikan wajahnya. Misa semakin prihatin dengan keadaan temannya itu.
"Kalau kau tidak mau bercerita lagi tidak apa, aku memahami perasaanmu." Ujar Misa segera menggenggam tangan Horn yang barusan digunakan untuk menggebrak meja.
"Kau tidak pernah tahu betapa busuknya si jalang itu, Misa."
"Tapi itu sudah bertahun-tahun yang lalu Horn, kau sudah bisa melupakan gadis itu sekarang."
"Dia masih menghantuiku Misa! Selama delapan tahun ini aku tidak bisa lari dari bayang-bayangnya!"
Hawa dingin'pun seketika menjalar dari tangan yang digenggam Misa. Ia tidak mau melepaskannya, ia malah mencoba menggenggamnya lebih erat.
"Persetan…." Umpat Horn. ia mengatur napas sekaligus mencoba menenangkan dirinya sendiri. Matanya tertuju pada tangan yang diremas-remas Misa., "Kau seharusnya tidak menyentuh tangan kotor itu Misa. Tangan itu penuh luka, kebencian, dan trauma dari orang-orang yang tidak bersalah. Sejauh apapun aku mencucinya tangan itu tetap kotor, tidak ada satu titik kebaikan'pun yang pernah terkandung di dalamnya.", Horn menatap Misa sinis.
Misa semakin meremas-remas tangan itu dengan lembut, "Menurutku tidak…". Misa mengangkat tangan tersebut lalu menempelkannya ke pipinya. "Kau telah menggunakan tangan ini untuk melindungi orang-orang yang kau kenal, orang-orang yang sekiranya kau pedulikan… The Red contohnya, nyawanya selamat berkat tangan ini, bahkan berkat tangan ini juga kau bisa merawatnya.", Misa menatap matanya lekat-lekat, "Manusia tidak terlahir jahat Horn, kejadian di masa lalumu hanyalah kecelakaan yang harus kau ambil pelajarannya, itulah bagaimana kita menjadi dewasa. Itulah bagaimana kita bisa berkembang."
Horn dapat merasakan kehangatan wajah Misa, ia berusaha sebisa mungkin untuk tenang dan tidak bergerak bertindak secara spontan. Misa dapat merasakan semua itu. Ketakutan, keraguan, dan kegelisahan semuanya terasa saat telapak tangan yang permukaannya sedikit kasar itu menempel pada wajahnya. Tangan Horn bergetar. Cemas jika Horn akan bertindak spontan ia menarik perlahan tangan itu ke tengah meja dan menggenggamnya dengan kedua tangannya. Dingin. Itulah yang ia rasakan pada tangan yang beberapa hari lalu turut menghabisi The Pink di festival.
"Aku berjanji akan menunjukanmu bahwa tangan ini bisa melakukan sesuatu yang baik, Horn. Dengan ataupun tanpa mantra."
"Aku tidak mau kau berjanji seperti ini Misa. Aku benci janji-janji…."
"Ini janji yang untuk diriku sendiri Horn, kau tidak perlu memikirkannya. Aku ingin menunjukan bahwa kau bukanlah orang yang selama ini kau kira. Semua orang memiliki kesempatan." Misa menatap Horn lekat-lekat di mata ungunya.
"Mengapa ingin sekali membantuku?"
"Karena aku temanmu."
"...….."
"Jika kau butuh bantuan tentang apapun itu, hubungi aku. Jangan biarkan sebuah masalah yang tidak bisa kau selesaikan sendiri membebani dirimu. Kau harus tahu batasan-batasan dirimu sendiri." Misa meletakkan kembali tangan Horn ke atas meja makan. Mata Horn tidak pernah lepas dari bagaimana tangan itu diperlakukan oleh Misa.
Misa kemudian menuangkan poci berisi teh hijau itu ke dalam cangkirnya dan cangkir Horn yang sudah kosong, lalu ia menyeruput isi cangkirnya sendiri. Angin musim gugur seketika berhembus melewati jalan di mana restoran China itu berdiri. Sayup-sayup suara benda-benda terkena angin terdengar hingga ke dalam restoran, meskipun tidak terkena anginnya secara langsung, orang-orang di dalam restoran masih bisa merasakannya kekuatan angin itu hanya dari suaranya saja. Misa memperhatikan tumpukan daun-daun kering yang berterbangan saat angin itu berembus. Orang-orang di jalan kemudian perhatiannya tertuju seketika sesudah melihat langit yang makin menggelap. Tampaknya akan hujan, beruntung ia membawa payung kecil, pikirnya. Saat ia kembali memperhatikan meja tangan Horn masih berkutat tidak bergerak di tengah meja. Ia terdiam walau sesekali mengepal-ngepal, mengetuk-ngetuk sampai akhirnya pemiliknya memutuskan untuk menarik tangan itu ke dekapannya.
"Aku ingat ada satu hal yang baik dari tangan ini…" Horn terdiam sebentar, "…Aku tidak tahu apakah itu baik atau tidak tetapi dulu aku sempat menyukainya. Tangan ini adalah pelempar cepat yang sangat dibutuhkan pada olahraga bisbol, dulu aku mahir dalam melempar, kau ingat bahwa aku ini pernah jadi atlet sekolah?"
"Ya."
"Dari situlah keretakannya muncul. Aku dengan gadis itu." Horn menutupi mulutnya, "Setelah nonton bioskop bersama kami menjadi lumayan dekat. Dia beberapa kali mengajakku bermain ke rumahnya di beberapa kesempatan, di sanalah aku kenal dengan keluarganya. Terutama adiknya. Adiknya ternyata sering berada di rumah, cukup berbeda dengan apa yang ia deskripsikan padaku waktu itu. Keluarganya sangat menyukai film, katanya setiap akhir pekan mereka akan duduk bersama dan memutar sebuah film di ruang keluarga. Sebuah keluarga yang bahagia memang. Ia juga beberapa kali meminjamkanku beberapa VHS tape untuk kutonton di rumah. Aku juga sempat kenal dengan ibunya, dia orang yang baik. Kami banyak menghabiskan musim panas tahun itu bersama-sama sambil menonton film dan mengkomentarinya bersama-sama," Horn tersenyum meski agak dipaksakan. "Kenangan manis memang. Seperti kata orang-orang lama, dunia serasa milik berdua terutama kami setiap harinya menggunakan Bahasa Inggris jadi jarang ada orang yang mengerti bahasa kami.
"Pada seminggu sebelum akhir libur musim panas para atlet diminta untuk latihan sebagai persiapan turnamen antar sekolah tahun itu. Otomatis aku menjadi sulit bertemu dengannya lagi. Saat itu juga aku tidak memiliki ponsel, yang kupunya hanyalah telepon rumah meski begitu aku juga jarang berada di rumah jadi aku jarang berkomunikasi dengannya. Mungkin karena aku jarang berbicara jadinya sulit bagiku hanya sekedar menelpon nomornya terutama lagi bibiku sangat ketat soal masalah biaya telepon membuatku enggan untuk sekedar menghubunginya. Hubungan tanpa status kami berlanjut sampai tahun ajaran baru dimulai."
Horn memandangi jalanan yang mulai tertutupi daun-daun kering yang bertebaran, "Terdengar lucu setiap kali teman sekelasku menanyakan apakah kami pacaran tapi dengan cepat langsung kujawab 'tidak' tetapi buktinya setiap ada kesempatan kami selalu pulang bersama-sama." Horn menyeringai menghadap jendela.
"Jadi apa yang terjadi….?"
"Turnamen itu…. memakan waktu dan tenaga. Aku sendiri kehabisan cara untuk bisa terus bersamanya. Setidaknya pada tahun itu kelasku berada di seberang kelasnya, namun intensifitas pelatihan inilah yang memakan sebagian besar waktu luangku. Aku lebih sering menghabiskan waktu di lapangan berlatih dengan para atlet daripada bersamanya. Di babak penyihan kami menang tipis dari sekolah luar yang sama-sama sekolah swasta, semenjak dimulainya turnamen itulah aku menjadi jarang berada di kelas atau sekolah karena kami harus bertanding dan berlatih. Progres kami cukup bagus menang berturut-turut walau tidak ada yang clean sheet. Hingga suatu ketika kudengar dari teman atletku jika kami berhasil memenangkan turnamen ini maka akan ada kemungkinan beasiswa bagi para atlet seperti kami jika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Aku yang tidak tahu apa-apa hanya bisa ikut senang dan mencoba tidak mengacaukan pertandingan-pertandingan selanjutnya. Aku memberitahu bibiku soal ini dan ia menjadi sangat kegirangan.
"Selama masa-masa turnamen itu aku mencoba sebisaku untuk tetap berhubungan dengannya. Berbicara, menyapa atau mungkin untuk jalan bareng, tetapi nyatanya tidak bisa. Aku seperti menjauh darinya meskipun kami beberapa kali berpapasan dan bercakap-cakap dengan Bahasa Inggris. Tim bisbol kami'pun pergi ke semifinal pada akhir tahun itu, menyisakan liburan musim dingin pertandingan semifinal dan final-nya. Saat liburan musim dingin itulah aku mencoba kembali mendapatkan perhatiannya lagi.
"Kami mengobrol seperti biasa lagi, tertawa bersama lagi seakan tidak terjadi apa-apa di antara kami. Semuanya normal. Semuanya baik-baik saja. Hubungan kami membaik. Aku bercerita banyak tentang apa saja yang terjadi di pertandingan-pertandingan itu. Dia tersenyum mendengarnya. Dia pernah berkata ingin melihat bagaimana permainan bisbol itu berlangsung. Aku mengiyakan, karena kupikir dia ingin menyemangatiku saat aku bertanding," Horn melirik tatapan Misa, "Aku salah."
"Liburan musim dingin berakhir dan kami kembali bertanding di semifinal. Ada dua ronde pertandingan di semifinal itu, di salah satunya dia datang dan dia tidak sendiri. Saat terdapat kiss cam salah satu pasangan yang tersorot adalah dia. Gadis itu. Berulang-ulang kali aku mencoba memastikan itu benar-benar dia. Dia datang bersama seseorang yang familiar bagiku setelah masuk ke klub bisbol. Pedro. Si batter kurang ajar yang saat latihan yang menurut dia tidak sengaja memukulkan bolanya tepat ke wajahku saat itu. Dia juga yang membuatku bertemu dengannya di ruang kesehatan saat musim semi tahun lalu. Dia menciumnya di kiss cam itu. Di hadapan orang banyak, termasuk diriku yang sedang bermain di bawah sana. Bodohnya aku kehilangan konsentrasi setelah itu, namun beruntungnya kami berhasil menang tipis. Kami mendapat libur latihan seminggu sebelum latihan kembali sebagai persiapan untuk pertandingan final. Sebelum aku dapat menanyainya rumor itu sudah tersebar luas. Gadis itu katanya punya pacar baru. Pedro. Namun saat aku mendapatkan kesempatan untuk menanyainya dia hanya menjawabnya bahwa dia dan Pedro hanyalah sebatas teman…."
"Gadis itu…."
"Yap…. Tentu saja dia berbohong padaku. Namun di minggu tanpa latihan itu dia meminta bantuanku." Horn memperbaiki posisi duduknya, "Entah apakah Pedro sedang sibuk belajar atau melakukan hal-hal bodoh lainnya, entahlah, ia malah meminta bantuanku. Tentu aku senang mendengarnya saat itu…"
'Hey… bisa menemaniku sore ini?'
....?
'Kemarin kulihat ada lomba fotografi di majalah ****, bisakah kau menemaniku mencari foto yang bagus?'
'Kenapa aku?'
'Sudah lama kita tidak jalan-jalan bersama'kan? Sekalian untukmu buat refreshing…'
"….Kupikir kesempatannya bagus, dan ternyata memang benar. Baik dari kami berdua menikmati menyusuri jalan-jalan kota Dockstown saat itu. Kami mengobrol, bercanda, mencari-cari objek yang bagus untuk ditangkap oleh kamera miliknya. Melihat-lihat hasilnya bersama setibanya kami kembali ke apartemenya. Prosesnya sungguh melelahkan. Kami mendapatkan banyak gambar yang bagus tetapi menurutnya semua foto yang diambilnya kurang otentik, entah aku tidak mengerti apa maksudnya hingga sekarang, lalu ide itu muncul begitu saja."
"ide…?"
'Ah… tidak banyak cewek yang mau melakukan ini tapi aku ingin sekali menunjukkan hasil-hasil karyaku padamu.'
Sretttt…..
"Kau tahu mengapa adiknya bisa menjadi seorang idola padahal dia laki-laki?" tanya Horn pada Misa tepat menatap tajam pada matanya. Misa menggeleng pelan.
"Itu karena dia sering mendandaninya seperti itu dan merusak otaknya. Di lemarinya terdapat banyak sekali kostum-kostum aneh. Semuanya buatan dia. Dan….." Horn tidak mau melanjutkan kalimatnya. Misa langsung menangkap kebisuan itu.
"Jangan bilang kau…"
"…Kukira itu hanya untuk lelucon saja. Di hari itu juga dia memperkenalkanku pada benda ini." Horn melempar sebuah kotak ke atas meja, "Dia membeli sebungkus rokok pada hari itu dan kami merokok berdua di dalam kamarnya dengan jendela terbuka." Horn mengantongi sekotak rokok yang dilemparnya, "Sekolahku sangat ketat terhadap peraturan rokok terutama para atlet yang terkenal dicap bandel terhadap rokok. Budaya kami mengharuskan saling menutupi untuk menjaga nama baik antar sesama atlet supaya bebas dari pelanggaran rokok atau klub kami akan ditangguhkan oleh sekolah. Di hari itu dia yang membuatku memilih racun untuk diriku sendiri. Dan dia mengambil momen itu untuk urusannya pribadi."
'Bagaimana rasanya?'
'Aneh… aku masih bingung mengapa orang-orang begitu menyukainya.'
'Lidahmu masih belum terbiasa berarti..'
'Mungkin tidak akan pernah…..'
Ckrik!
'Hey kau memotret apa!?'
'Ah foto yang ini bagus sekali… tenanglah ini hanya foto dirimu.'
'Hapus foto itu! Aku tidak mau difoto dalam kondisi seperti ini.'
'Tapi ini sangat unik Horn…'
'Hapus foto itu, yang barusan kau ambil.'
'Baik… baik…. Tidak perlu membentak seperti itu.'
"Lalu dia tidak menghapusnya…." Tanggap Misa.
Horn mengangguk.
"Bagian paling buruknya adalah majalah yang ia kirimkan itu adalah majalah remaja yang beredar di media Spanyol dan Ouro. Itu artinya wajahku terpampang di dua negara yang berbeda. Dia menamai foto itu Fenenino del Macho, sebuah nama yang memalukan bagi laki-laki manapun yang tidak mau wajahnya ditampilkan seperti itu. Tentu banyak pertanyaan di benakku pada hari itu. Minggu itu adalah minggu yang melelahkan penuh dengan latihan demi memenangkan turnamen tahun itu lalu di saat bersamaan rumor kedekatannya dengan Pedro semakin kuat. Hari itu hari rabu. Dulunya hari favoritku….Terlalu banyak kejutan pada hari itu."
Di lorong sekolah Allison Highs semua mata tertuju padanya. Rahangnya mengeras, tangannya terlihat geram menggenggam sebuah kertas, dan langkahnya juga cepat. Kini semua orang tahu wajahnya dari mading pagi itu yang tidak biasanya ramai.
"….Lihat siapa yang hari ini sedang berpura-pura senang memakai seragam laki-laki…. Fem-boy."
"…Aku tidak tahu ada atlet yang kebanyakan minum susu soya."
".. bukankah dia anak atlet yang ada di majalah itu…."
Ia sama sekali tidak memelankan langkahnya. Ia tahu harus ke mana meski berbagai pertanyaan di dalam kepalanya membuat perjalanan singkat itu menjadi sangat panjang.
Apa yang dipikirkannya?
Mengapa dia melakukannya padaku?
Apa dia tahu bagaimana konsekuensinya padaku?
Semua pertanyaan itu bergemuruh di dalam kepalanya. Yang ia inginkan adalah jawaban. Jawaban yang selama ini menghantuinya sejak pertandingan semifinal.
Beberapa anak-anak menahan tawa saat melihatnya sedang masuk ke dalam kelas mereka. Disanalah orang yang dicarinya berada duduk dengan senyum tanpa dosa mengobrol sambil dikelilingi teman-temannya.
Dia mengebrak meja gadis tersebut memperlihatkan isi kertas itu padanya.
"Kita harus bicara sekarang…."
"Kau tidak harus mengebrak meja untuk mengajak seseorang bicara.."
"Aku ingin kita bicara di tempat yang lebih privat…"
'Dia seperti banci, ingin mengatakannya di tempat yang tertutup..'
"Kenapa tidak di sini saja…"
"Kau pikir ini lucu!? Menjual wajahku untuk ditertawakan orang-orang? Apa kau tahu apa lakukan?"
"Mereka tidak menertawakanmu, Horn. Sudahlah…. Mereka sedang mengapresiasimu.."
"Dengan mempercayai rekayasa dari hasil kameramu yang fana itu, begitu? Aku harus ditertawakan dari awal aku menginjakan kaki di sekolah ini mulai dari hari ini..?!"
"Itu bukan fana, itu masterpiece. Lelucon itu tidak berlangsung lama Horn, seminggu kemudian lelucon itu pasti sudah basi."
"Lelucon? Jadi ini semua lelucon dengan memampang wajahku seperti itu di majalah nasional? Kau sudah gila..!"
"Jangan bicara seperti kau tahu semuanya! Aku berhak memenangkan penghargaan sebagai fotografer remaja terbaik bulan ini akibat foto itu. Ini semua berkat kerja kerasku sendiri."
"Kerja kerasmu sendiri? Aku menghabiskan waktu istirahatku untuk membantu mencarikanmu foto yang bagus tetapi kau malah memilih foto yang itu?! Kenapa?"
Gadis itu menyeringai.
"Bukankah itu gunanya teman Horn? Kau adalah teman terbaikku, tidak ada orang yang mau membantu dan mendukungku lebih baik daripadamu."
...
"Kau…. Menggunakanku..."
"Akan kubagi uang hadiahnya yang akan kuambil sore ini dengan adil denganmu, bagaimana? Setuju?"
"Kau…. Ini bukan masalah uang Scarlett!!" Horn mengebrak meja lagi.
'Hei berbuat baiklah padanya.'
Horn menatap siswa itu dengan sinis tanpa sadar kelas sudah sangat ramai.
"Jadi apa maumu!?" Scarlett membalas gebrakan itu.
"Hapus foto itu dari majalah dan ganti dengan fotomu yang lain. Aku tidak peduli kau berhasil menang atau tidak dengan foto lainnya yang terpenting wajahku tidak ada di sana atau…"
"Atau apa? Mereka mencetak edisi revisi hanya karena wajah bodohmu terpampang di sana? Mereka tidak akan melakukannya Horn, dan aku juga tidak mau kehilangan poin penting di dalam portofolio-ku. Terima saja kenyataanya."
Raut wajah Horn melunak.
"Apa kau tahu apa yang telah kau perbuat padaku?"
"Tentu aku tahu…" Scarlett mendekatkan mulutnya ke telinga Horn, "ini hanyalah sebuah langkah untuk mewujudkan salah satu mimpiku. Aku bahkan tidak peduli apa yang akan terjadi padamu, Horn, tapi aku menghargai apa yang telah kau lakukan untukku selama ini. Aku punya mimpi, sedangkan kau tidak. Orang yang punya ambisi akan melakukan segala cara untuk bisa menggapai ambisinya, mengerti?" Ia menarik wajahnya yang menyeringai. Horn mematung dan menatap kosong pada kertas majalah yang terbuka di atas meja.
"Pedro benar tentangmu. Kau terlalu naif Horn Backtack. Kau seperti anjing yang mengejar bola hanya untuk mendapat pujian majikannya, bukan begitu Horn?"
….
"Jadi dia jadi atlet untuk pamer doang, wajar sih dari tubuhnya saja tidak cocok memakai jersey."
"Ada Horn Backtack di sini? Coach Alberto ingin bertemu denganmu."
"Horn?...."
...
Aku…. Kenapa?
'Sepertinya dia memiliki koleksi Barbie yang lebih lengkap daripada dirimu.'
'Apakah ada Horn Backtack? Kau tadi dicari wali kelasmu Ms. Lopez.'
'….. Horn!?'
.....
!!
'Horn hentikan itu!!'
'Akan kusebar lewat MySpace biar kulihat bagaimana reaksi mereka.'
Kenapa bisa jadi begini?
Tangan ini…..
"Horn!"
Tangan itu tertahan di udara. Di dalam genggamannya ada pisau runcing yang siap menikam tangan yang satunya lagi dan sebuah tangan yang lebih mungil berhasil menahan tangan itu melakukan aksinya, namun wajah pemilik tangan mungil itu tampak sekali menahan air matanya. Matanya sembab. Ia bahkan tidak mampu menatap tatapan kosong dari mata lawan bicaranya.
"Dia sudah pergi…. Dia sudah tidak ada di sini….. dan dia tidak akan kembali…. jangan salahkan semua itu pada dirimu. Semuanya sudah berlalu Horn." ujar Misa lembut. Pisau di tangan kiri Horn'pun terjatuh dari tangannnya lalu berdentang mengenai piring di atas meja.
"… Mereka bilang perbuatanku itu kejahatan tapi aku menamainya keadilan." Kata Horn datar, "Dia mengambil apa yang coba kuraih dalam sekejap lalu aku'pun berbuat sama…. Namun mereka bilang aku yang sepenuhnya salah." Horn menggeleng-geleng, "Aku memukulnya Misa. Sangat keras…. Tubuhku bergerak dengan sendirinya."
"Sudah cukup Horn…."
"Setelah itu aku kehilangan segalanya. Jabatanku sebagai atlet, beasiswa itu, teman-temanku, bahkan kemampuan untuk percaya kepada siapapun…. Dia mengubahku…" Horn menatap pisau yang tergeletak di meja, "Dia menunjukkan siapa diriku sebenarnya…. Seorang pecundang yang ternyata hanya berani memukul perempuan tidak memiliki masa depan, dan berotak rendah. Dan setelah itu…. hidupku hanya sebuah lubang neraka. Aku diskors dua bulan setelah kejadian itu, dan mereka tidak pernah lupa atas apa perbuatanku. Mereka menyalahkan diriku atas kegagalan memenangkan turnamen tahun itu. Di Ijazah terakhirku mereka bahkan menilai kelakuanku 'D minus', padahal selama setahun setelahnya aku hanya diam saja menunggu keluar dan lulus dari sekolah itu. Tidak lama kemudian bibiku jatuh sakit lalu meninggal dunia. Sisanya hanyalah cerita yang sama-sama menyebalkannya."
"Cukup…. jangan bercerita lagi..."
"Kau benar Misa, berbagi cerita membuat kita merasa lebih baik, bukan?"
Misa hanya bisa diam.
"Jangan kasihani diriku Misa, aku benci dikasihani…" Horn memanggil pelayan untuk memberikan struk mereka berdua, ia'pun membayar semua tagihannya. "Anggap saja ini salah satu rasa terima kasihku. Aku sudah selesai di sini." Horn menyelipkan pisaunya kembali kemudian bangkit dari tempat duduk. Ia menuju pintu keluar saat berpapasan dengan bangku Misa sebuah tangan menarik tangan kanannya.
"Di luar dingin… mengapa terburu-buru?"
"Aku teringat ada seseorang yang harus kujaga saat ini."
"Lihat… kau tidak seburuk yang gadis itu katakan…"
"Aku lebih menyebutnya penebusan dosa…"
"Apa yang terjadi jika aku yang berada di posisinya sekarang?"
"Aku akan menjagamu, dan tidak akan kubiarkan kau terluka sedikit'pun…"
Misa tersenyum mendengarnya, ia'pun memeluk Horn dari belakang.
"Lihat… kau ini orang baik Horn…. biar kutunjukan kebaikanmu yang lainnya…"
"Contohnya?"
"Contohnya…" Misa'pun berbalik ke hadapannya lalu menciumnya.
Angin berhembus cukup kencang pada petang itu. Sayangnya jaket yang dikenakan Horn tidak cukup tebal menghalau udara dingin yang melewati tubuhnya. Ia memutuskan untuk membeli rokok terlebih dahulu sebelum pergi ke tujuan utamanya yaitu apartemen yang disebutnya rumah. Ia menghisap asap tembakau itu dalam-dalam agar tubuhnya hangat. Namun sia-sia, rasa dingin ini tidak akan berakhir sebelum ia sampai ke gedung apartemennya. Setidaknya ia merasakan sesuatu dari rokoknya.
Sesampainya di gedung ia tidak langsung masuk ke dalam apartemennya. Apartemennya kurang lebih sudah bebas rokok semenjak Carmen ikut menempatinya. Ia'pun menunggu di luar sampai rokoknya benar-benar habis. Tidak terasa sudah tiga batang ia habiskan hanya dalam sekali perjalanan pulang. Horn'pun masuk ke dalam apartemennya yang masih terang tersebut. Sebuah alat yang memancarkan cahaya juga masih menyala di sana.
"Kukira kau sudah tidur."
"Kukira kau sudah diculik…" balas Carmen, "Bagaimana dengan kabar anginnya?"
"Mereka katanya sedang mengurusnya, semua caster masih diminta dispensasi sampai kasus ini surut... dari media sendiri juga tidak memperkirakan kerusakan di festival sebagai olah campur tangan manusia melain'kan hanya dampak bencana alam biasa. Tetapi bagusnya kasus personil Re: Star yang kau bunuh berhasil menjebak nama The Pink sebagai tersangka akibat beberapa skandal di belakang panggung mereka."
"Sejauh ini skema-nya masih bagus.."
"Mereka juga baru memberikan dua puluh lima persen dari bayaran pemburuan The Pink untuk kita berdua, katanya dana untuk menyumpal media masih menjadi prioritas."
"Itu sudah biasa…" kata Carmen dengan mata masih tertuju ke TV, "Boleh kutahu siapa saja Gustavo yang barusan kau temui?"
"Aku hanya bertanya pada salah satu Gustavo yang ada di The Ballot, tapi mereka tidak memberitahu nama mereka."
"Bagus…." Carmen bangkit dari sofa yang baru dibeli beberapa hari yang lalu kemudian mengambil sebotol bir dari kulkas, "Kau harus lebih berhati-hati terhadap ketika berurusan pada para Gustavo, siapa yang kau tanya, dari siapa yang kau dapat, mereka dipilih pasti bukan karena sembarang faktor. Pasti ada dari mereka yang mengawasi kita secara diam-diam. Terutama…. Organisasi tidaklah transparan pada struktur menyeluruhnya, kita yang sebagai anggota hanya dapat meraba-raba siapa yang merupakan Gustavo siapa yang bukan. Kita tidak tahu apa dan bagaimana mereka bisa naik jabatan menjadi Gustavo, yang jelas mereka pasti punya kekuatan tersendiri."
"Mantra?"
"Kekuatan tidak serta merta mantra, Horn, tapi bisa juga yang lainnya."
Carmen kembali tiduran di sofa sambil menonton TV. Ia menonton sebuah film yang sedang disiarkan di sebuah stasiun TV. Horn memperhatikannya dari bawah karena dia duduk di lantai. Rambut merahnya. Hidungnya. Bibirnya. Mengingatkan dia dengan gadis yang terus menghantuinya hingga sekarang. Melihat kebiasaannya menonton film seperti ini membuka kembali lembaran-lembaran memori lama yang terus terulang di kepalanya. Dari awal mereka bertemu. Saat mereka dekat. Saat mereka mulai renggang. Hingga puncaknya kejadian itu. Horn tidak pernah memaafkan gadis itu sebagai mana ia tidak pernah memaafkan dirinya sendiri atas pukulan itu. Horn memperhatikan perban-perban di badan Carmen yang sedang menggunakan tanktop perlahan mulai berkurang. Lukanya luar biasa cepat sekali menutup bersih.
"Ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Carmen tiba-tiba memecahkan isi pikiran Horn.
"Tidak.... bagaimana keadaan lukamu?"
"Sebagaimana mestinya. Beberapa luka sudah cukup menutup jadi perbannya kubuka saja karena gatal. Rasanya tidak nyaman memakai perban terus-menerus." Jawab Carmen terus terang.
"Oh.."
"Kau lebih bau rokok dari sebelumnya, Horn. Ada apa? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Carmen yang membuat Horn bertanya-tanya apakah bau rokok di tubuhnya memang menyengat atau memang dia tidak dapat menciumnya.
"Tidak ada…"
"Aku sempat terheran-heran mengapa orang-orang sangat menyukai rokok. Kupikir alcohol saja menurutku jauh lebih enak rasanya." Kata Carmen sambil meneguk bir.
Horn tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Kita memilih racun favorit kita Carmen, mau rokok ataupun alcohol sama-sama merusak diri kita. Alcohol membuatmu mati rasa sedangkan rokok membuatmu sadar. Tapi rokok itu jujur, ketika kau membutuhkannya dia akan memberikan rasa di mulut namun ketika kau sudah dibatasnya rasa itu berhenti, itu tandanya mulutmu sudah cukup dengan rokok. Bahkan rokok ini lebih jujur dari diriku sendiri."
"Kau merokok bahkan saat tidak dapat merasakan rasanya?" Carmen menyeringai, "Kau membuang-buang uang, Horn…" Carmen memain-mainkan botol bir di depan wajahnya lalu menoleh pada Horn, "Bisakah aku mendapatkan Horn yang jujur tanpa rokok?"
Horn tertawa kecil. Sejenak ia berpikir apakah Carmen seharusnya tahu tentang masa lalunya dengan gadis ini. Carmen juga mengalami kerepotan saat melatihnya akibat trauma yang dialami Horn terhadap gadis ini, mungkin ia perlu tahu sekarang.
"Carmen.." Carmen menoleh, "Boleh aku bercerita sesuatu padamu? Ini tentang gadis itu.."
Carmen tidak menolak tapi tidak juga mengiyakan, ia sama sekali tidak menyela sedikit'pun cerita Horn. Ia menyimak meskipun pandangannya tertuju pada layar TV. Bahkan bir di tangannya sampai habis tidak tersisa. Horn'pun selesai bercerita bagaimana tangannya dapat melayang keras ke wajah gadis itu.
"Kau bodoh…" komentar Carmen.
"Memang…"
"Kalian berdua ….. sama-sama dibutakan satu sama lain."
Horn tidak berkomentar.
"Ke mana gadis itu sekarang?"
"Aku tidak tahu… begitu aku kembali dari skors yang kudengar keadaan keluarganya menjadi tidak harmonis bahkan orang tuanya sampai bercerai, setelah itu dia pindah sekolah. Semenjak itulah aku tidak pernah mendengar kabarnya lagi."
"Tetapi yang kemarin itu adiknya mengenalmu…."
"Sudah kubilang aku tidak tahu lagi soal dia atau keluarganya, itu hanya kebetulan saja karena kami sempat saling mengenal…"
"Setelah mendengar ceritamu akhirnya aku paham mengapa adiknya seperti itu. Dia telah mencuci otak adiknya, sungguh disayangkan…" Carmen memandangi langit-langit. "Menurut di mana dia sekarang?"
"Aku tidak tahu, mungkin dia sudah bekerja lalu menikah dan memiliki banyak anak di suatu tempat, lalu dia meminta cerai karena suaminya tidak becus bekerja atau hanya sekedar mengurusi kemauannya."
Carmen tertawa "Tebakanmu terlalu lembut atas apa yang dia telah perbuat padamu." Terjadi keheningan sebentar, TV di hadapan mereka seakan di ajak berdialog sendiri sampai akhirnya Carmen buka suara, "Horn… apa kau masih menyukai gadis itu?"
Horn terdiam sebentar, "Tidak."
"Kau bohong…"
"Aku tidak berbohong…. Kau dengar sendiri apa yang telah ia perbuat padaku."
"Kau benar.." tanggap Carmen, "Kau sudah berubah sekarang. Tapi kau masih belum bisa lari dari bayang-bayangnya..."
Horn tidak menanggapi pernyataan itu. Lebih tepatnya tidak menyangkal.
Carmen mematikan TV lalu bangkit dari sofa. Ia melakukan peregangan sebelum kembali ke kamarnya. Ia mengambil matras dan selimut lalu memberikannya pada Horn yang masih duduk bersandar di lantai.
"Aku merasa lelah…" ujar Carmen memberikan kedua benda tersebut.
Tiba-tiba ponsel Horn berdering menandakan ada sebuah panggilan masuk. Lalu tiba-tiba ponsel Carmen yang terletak di dalam kamar juga ikut berbunyi, kemudian ada suara deringan telepon lainnya yang terdengar di satu gedung apartemen itu. Tidak hanya itu suara deringan telepon berbunyi di mana-mana sejauh telinga Horn dapat mendengar. TV apartemen Horn menyala sendiri dan menampilkan tampilan grafis garis-garis merah dan kabut-kabut pekat. Di tampilan TV itu tampak dua pasang mata yang terbelalak ngeri akibat kesakitan. Horn bangkit dari duduknya untuk menganalisis lebih dekat. Ia tampak familiar dengan mata coklat yang warnanya hampir tersamarkan itu. begitu kamera menyorot bentuk rambutnya di dahi, ia kemudian sadar siapa yang ada di dalam siaran TV tersebut.
Misa!
Kemudian siaran berpaling pada sebuah mata yang bukan milik Misa. Horn lupa ponselnya masih berdering sedangkan Carmen sudah buru-buru mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan anomali ini. Tidak ada suara orang, yang ada hanyalah suara erangan wanita yang disiksa.
"Horn angkat panggilannya!"
Horn tersentak lalu seketika mengangkat panggilan tersebut.
Dari balik ponsel itulah suara dan gambar di TV menjadi sinkron. Ia mendengar suara yang tidak ingin didengarnya meski sudah lama tidak mendengarnya. Ia mendengar tawa menyeringai sang pemilik mata itu dan melihat beberapa uraian rambutnya. Ia tahu siapa di sana. Dia telah menemukan hantunya kembali. Si gadis delapan tahun lalu. Scarlett Foster.
'Lama tidak berjumpa….. Horn Backtack.'