Chereads / Red Hustle: Revenge of The Dark-Hearted / Chapter 22 - [BAB 21] Si Tangan Dingin

Chapter 22 - [BAB 21] Si Tangan Dingin

"Cowok memang suka membahayakan diri mereka dari hal-hal yang bodoh, ya. Itulah mengapa ada rumor yang mengatakan umur laki-laki lebih pendek dari perempuan."

"....."

"Jangan sok keren di hadapanku. Aku tahu kau satu angkatan denganku."

"Apa aku mengenalmu?"

"Ayolah… kau sudah hampir setahun di sini apa kau tidak kenal dengan anak-anak angkatanmu sendiri?"

"Apa kau tahu kepalaku rasanya seperti berputar-putar saat ini?"

"Astaga... Maafkan aku, akan kuberikan kau aspirin.", gadis itu pergi dan kembali beberapa saat kemudian dengan dua butir pil bewarna putih di tangannya.

"Aku benci obat-obatan…"

"Well… tuan pembenci obat, mau tidak mau anda harus meminum obat ini agar rasa sakit di kepala batumu itu menghilang atau akan kupanggilkan kepala bagian kesehatan, Ms. Adler, untuk menyuntikan obat ini ke urat nadimu, kau pilih yang mana?" Tanya gadis itu tersenyum masam.

"Apa tidak bisa dengan cara yang lebih konvensional, kompres dengan es batu atau apalah?"

"Sayang sekali tuan banyak minta, kami, bagian kesehatan kehabisan es karena klub anda mengambil sebagian besar jatah es kami."

"......"

"Kau memang tidak banyak bicara huh? Tenang, aku tidak akan membiarkan rasa sakit kepalamu menggebu-gebu begitu saja."

Di saat itulah tangan itu menyentuhnya.

Di saat itulah tangan itu meredakan setiap denyutan dan panas dari keningnya.

Tangan itu menyembuhkan keduanya.

Tangan itu terasa dingin, sedingin es.

"Bagaimana, lebih baik?"

"....ya."

"Mau kesentuh lukamu itu supaya tidak sakit lagi?"

"Tidak usah, rasa sakitnya sudah menghilang..."

"Jangan sok melindungi harga dirimu seperti itu, aku pernah merawat anak kelas tiga yang lukanya lebih parah darimu.", perawat itu menekan handuk yang mengompres mata kiri si tangan kilat.

"Ouw...!"

"Lihat? Kau berlagak di depanku. Anak-anak atlet suka seperti itu di depan perempan."

"Aku bukan atlet...."

"Tentu saja kau atlet, buktinya kau berlatih dengan anak-anak itu." Gadis perawat itu membuka handuk yang menutupi mata kiri si tangan kilat yang menghitam lalu kemudian menyentuhnya seakan tangannya itu adalah handuk untuk mengompres, "...merasa lebih baik?"

"...."

"Mengapa kau tidak minum obatmu, apakah pelatihmu melarang meminum obat-obatan apapun? Ayolah ini bahkan bukan steroid."

"Aku diajari untuk tidak terlalu tergantung pada obat-obatan, manusia jatuh sakit ketika mereka kelelahan jadi pada dasarnya yang mereka butuhkan adalah istirahat."

"Jadi saat kau kesakitan ketika sebuah bola menghantam wajahmu itu artinya kau sedang kelelahan begitu?"

Si tangan kilat tertawa, "Mungkin jika benar, akan ada banyak orang sakit setelah latihan ini berakhir."

Sang perawat ikut tertawa, "akan kubillang ini semua salahmu jika hal itu benar-benar terjadi."

Mereka tertawa bersama dan sore hari yang seharusnya kian hari makin panas itu'pun kini berubah menjadi sejuk.

"Boleh aku tahu siapa namamu?"

Gadis perawat itu tersenyum padanya.

"Scarlett..."

Scarlett Foster

"Dia adalah gadis yang pintar di sekolah, ramah, baik dan penuh ambisi. Dia selalu bermimpi ingin menjadi pramugari, tapi anehnya dia masuk klub tenaga kesehatan sekolah." Horn melipat tangannya, "mungkin itulah yang akan kukatakan pada diriku saat aku pertama kali melihatnya.

"Aku bertemu dengannya di latihan musim semi pada masa-masa akhir tahunku sebagai anak baru. Setelah tiga tahun sekolah menengah yang membosankan aku berinisiatif untuk mengubah masa-masa SMA-ku menjadi gemilang, jadi sedari masuk aku mencari kegiatan klub yang sekiranya cocok untukku. Lalu kupilih Baseball. Dan cukup kau ketahui Misa, untuk orang yang jarang bahkan sulit berbicara sepertiku sangat sulit untuk bisa memahami bahasa pergaulan mereka. Para atlet itu….. aneh. Tetapi aku tidak menyerah begitu saja dan akhirnya aku mendapat sorotan karena kelincahan tanganku. Mereka menyebut orang-orang dengan tangan sepertiku sebagai 'si tangan kilat'."

Horn menunjukan tangan kanannya pada Misa, "Tangan yang dibanggakan sekaligus yang membawa malapetaka."

"Jadi, gadis itu....bagaimana ceritanya kalian bisa dekat?" tanya Misa.

Horn butuh beberapa saat untuk menjawabnya, "Aku tidak tahu…" jawabnya, "… mungkin semua itu adalah kebetulan, secara ajaib dia di sana menangani partisiku saat aku cedera ketika berlatih. Sebuah bola yang terpukul mengenai bahu dan mata kiri-ku dan aku harus ditandu ke ruang kesehatan. Dia yang mengobati luka-lukaku dan dari sanalah kami bertemu dan saling kenal. Hingga akhirnya kami berteman akrab. Jika dia tidak ada di sana mungkin ceritanya bakalan berbeda."

Misa mendekatkan tubuhnya ke meja, "Kau jatuh cinta padanya." Tukasnya.

"Tidak, itu tidak benar…"

'Ada perlu apa kau menungguku di pintu ruang kesehatan atlet mata satu?'

"Kau pasti tidak bisa menghilangkan bayang-bayang wajahnya setelah dia mengobatimu'kan?"

"Tidak juga….."

'Aku..umm.. hanya ingin menyapa tapi mungkin karena aku takut mengganggu tugasmu di dalam jadi... aku menunggumu untuk keluar…"

"Akui saja…."

Mata mereka bertemu menyertakan wajah masam mereka masing-masing.

'Hanya itu?'

"Yeah…. Kurang lebih…" Horn memalingkan pandangannya, "Aku sangat benci diriku yang dulu. Terlalu bodoh…. terlalu naif…dan lugu."

'Apa kau kosong hari minggu ini?'

Di sanalah dia menunggu, di bangku taman plaza dekat GMD adalah tempat mereka memutuskan untuk bertemu. Tiga puluh menit lagi film mereka akan diputar dan tuan putri yang ditunggu-tunggu juga belum datang padahal ia sudah menunggu di sana juga lebih dari tiga puluh menit yang lalu.

Apakah dia telah ditipu?

Apakah dia telah ditolak mentah-mentah?

Jika keduanya benar lebih baik ia pergi ke dalam sendirian atau….....

Pulang.

Orang-orang di plaza terlihat berlalu lalang dengan ponsel-ponsel mereka membuat seorang remaja yang sedang mengalami pubertas dan bosan ini sangat ingin memilikinya sebuah. Bentuk mereka sekarang keren nan beragam, dan juga sudah dapat digunakan untuk mendengarkan musik terlebih lagi juga dapat menghubungi orang-orang yang sekiranya perlu dihubungi. Mungkin jika ia minta ke bibinya sekarang yang ia dapatkan pasti ponsel Motorola yang masih ada antena-nya yang membuatnya kurang lebih terlihat seperti para pekerja tambang saat menelpon.

Ia sendiri sedikit ragu dengan penampilannya. Hoodie dengan bawahan jins bukan kombinasi yang buruk bukan? Ini masih terlihat trendi. Ia ingin sekali memakai hoodienya yang baru dari hadiah natalnya kemarin tetapi ia pasti akan terlihat konyol karena ukurannya masih kebesaran.

Sebuah kilatan merah datang memasuki pandangannya. Gadis yang ditunggunya'pun akhirnya datang. Ia mengenakan kaus putih yang dibaluti cardigan bewarna hijau, kali ini rambutnya tidak diurai seperti saat di sekolah melainkan diikat ponytail. Shortpants denimnya benar-benar membuatnya terlihat lebih tinggi karena menunjukkan kaki-kakinya yang panjang dan di ujungnya sudah terdapat hightops sneakers yang terbuat dari kanvas. Gadis ini tampaknya sudah bersiap untuk apa yang akan terjadi pada hari ini.

Ia mengingat-ingat apa yang telah ia baca di kafe internet beberapa hari yang lalu tentang bagaimana cara berkencan dengan seorang gadis.

'Tetap bersikap natural, dan berilah pendapat tentang penampilannya.'

"Kau terlihat bagus….. aku suka gaya rambutmu.", jangan lupa senyuman kecilnya Horn.

"Terima kasih… Aku minta maaf, apa kau sudah lama menungguku di sini?"

'Meskipun dia yang salah kau tidak bisa menyalahkannya sepenuhnya'

"Tidak… aku juga baru saja sampai."

"Ayolah, kau mencoba melindungi dirimu lagi…. Hey, Aku minta maaf tadi adikku ada masalah jadi aku perlu membantunya." Scarlett merapikan rambutnya, "Jadi hari ini…. Kita akan nonton apa?"

Dia telah menepis poin nomor dua, jadi ia perlu poin yang terakhir.

'Siapkan film terbaik untuk menonton bersamanya.'

"Star Wars.."

"Kau mengajak kencan seorang gadis dengan menonton Star Wars?!" tanya Misa tidak percaya.

"Apa? Jangan menghakimiku seperti itu, kau pikir aku paham tentang dunia perfilm-an saat layar televisiku setiap harinya dipenuhi acara opera sabun? Mengapa kau menjadi skeptis seperti itu?"

"Aku pernah punya teman kuliah yang selalu membicarakan Star Wars setiap saat dan aku tidak pernah mengerti satu'pun dari perkataannya." Misa menggeleng, "Tapi setidaknya….. gadis itu….. dan kencan pertamamu….. dan juga Star Wars….. itu sulit dipercaya." Kata Misa masih mencoba menghubungkan itu semua.

"Ajaibnya dia memang suka dengan Star Wars. Dia tahu segalanya tentang Star Wars karena dia pernah menonton seri film-filmnya dan juga membaca komiknya. Dan kau tahu apa…. Dia memang tahu tentang banyak hal."

"Star Wars… whew….bagus, aku pernah menonton Star Wars sebelumnya tapi beruntungnya untuk episode yang baru ini aku belum. Katanya ini menjadi episode penutup dari seri trilogy prekuel film Star Wars."

"Tunggu… Jadi ada sekuel-nya?"

"Kau mengajakku menonton Star Wars yang baru itu'kan? Jadi secara urutan ceritanya, film yang ini menjadi film Star Wars yang ketiga yang episode pertamanya tayang pada tahun 1999 lalu, tetapi pengarangnya, George Lucas sudah membuat film mainline ceritanya dari episode empat sampai enam terlebih dahulu dari tahun 1977 sampai 1983."

"Jadi ini sebenarnya film lawas?"

"Sulit menjelaskannya kepadamu sekarang, tapi kau pasti akan terkesan setelah menontonnya, nanti akan kuceritakan bagaimana sinopsinya di dalam. Ayo…"

Mereka'pun jalan berdampingan ke dalam GMD dan langsung menuju area bioskop. Horn merasa canggung untuk berjalan di sampingnya. Terutama ini masih terasa sangat baru baginya, berjalan berduaan dengan seorang gadis di tempat ramai seperti ini. Tenang Horn, kalian berdua hanya teman'kan?

"Jadi bagaimana perkembangan lukamu itu, kau tidak mengalami masalah penglihatan'kan?" tanya Scarlett saat menuju bioskop.

"Kurasa tidak, penglihatanku masih normal-normal saja belakangan ini meski luka memarnya memang terkadang masih terasa."

"Kau beruntung, Horn. Banyak luka-luka akibat kecelakaan semacam itu bisa mengakibatkan kerusakan organ secara permanen jika memang tidak beruntung. Kau bisa saja kehilangan penglihatanmu atau bahkan bola matamu."

"Itu mengerikan.."

"Berjanjilah kau bermain dengan aman setelah ini meskipun itu sepertinya mustahil."

"Akan kuusahakan nanti…. Terima kasih sebelumnya sudah mengobatiku."

"Tidak usah repot-repot berterima kasih kepadaku, itu tugasku sebagai seorang staff medis di sekolah. Mungkin jika kau benar-benar mau berterima kasih kau bisa mengajak Ms. Adler untuk nonton sekarang."

"Sepertinya tidak bisa.."

"Aku hanya bercanda Horn... ayolah."

"Ok.."

Mereka akhirnya mengantre untuk masuk ke studio, namun untuk sebuah premiere film sekelas Star Wars antreannya ternyata cukup panjang. Horn melihat koridor-koridor bioskop yang gelap namun juga tersinari lampu-lampu yang menyoroti poster-poster film yang akan datang. Scarlett di sebelahnya tampak tenang memperhatikan antrean di depan mereka.

"Horn…" kata Scarlett "..boleh aku bertanya padamu?"

"Tentu, tanyakan saja."

"Apa kau bisa bahasa Inggris?"

"Maksudmu?"

"Kudengar nilai bahasa Inggrismu bagus, apa kau fasih dalam berbahasa Inggris?"

"Well…. Ya.."

"Apa kau keberatan jika kita bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris saja?"

"Well… terserah kalau itu maumu."

"Thank you very much, Horn. I appreciate it."

Tiket mereka disobek oleh petugas dan mereka'pun masuk. Horn telah mengatur tempat duduk di atas sedikit agak memojok ke kanan. Dari apa yang ia baca tempat memojok itu bagus untuk kencan dan benar saja, mereka bukan satu-satunya pasangan yang berkencan di bioskop itu hari itu. Mereka'pun menemukan tempat duduk mereka masing-masing kemudian langsung duduk di bangku merah menyala tersebut.

"Akhirnya aku bisa menyelesaikan serial film ini hari ini." Kata Scarlett pada dirinya antusias meskipun filmnya belum diputar.

Horn menatapnya dengan heran, "Jadi tentang apa barusan film ini?"

"Tentang pertarungan luar angkasa, sama seperti judulnya."

Horn memasang wajah bingung.

"Tonton saja dulu, nanti akan kuceritakan keseluruhan ceritanya.", begitu Scarlett mengatakannya film mereka'pun dimulai.

Horn mengajak Scarlett makan siang di salah sebuah restoran di dalam GMD setelah film mereka usai. Horn berusaha menyembunyikan ekspresinya setelah tangan kanannya masih terasa mati rasa walau sudah keluar dari studio bioskop. Suhu dingin bioskop ditambah tangan Scarlett yang sedingin es telah membuatnya tidak bisa focus pada paruh ketiga film. Scarlett tiba-tiba saja mengenggam tangan kanannya dan membuatnya membeku di tempat. Sepertinya ia harus membuat dirinya sendiri mencair. Mereka memesan makanan di salah satu restoran Jepang, Horn memesan semangkuk ramen sedangkan Scarlett memilih menu makan siangnya dengan nasi beserta tempura. Tidak lama setelah mereka selesai dengan pilihan makan siang mereka, Scarlett'pun membuka topik.

"Jadi… bagaimana dengan Star Wars?" tanyanya dengan bahasa Inggris.

"Kuakui itu film yang sangat keren, aku suka efek-efek-nya, tetapi aku tidak terlalu paham dengan alur ceritanya."

"Mungkin kau harus menonton semua serinya supaya kau paham, well kau masih tertinggal lima seri lagi."

"Ayolah… ceritakan saja padaku alur ceritanya, aku bukan orang yang suka menonton film."

Scarlett mengacungkan jari telunjuknya pada Horn lalu menggoyangkannya, "U..uh.. kau harus menonton semua serinya terlebih dahulu baru kau bisa memintaku meringkas semua ceritanya."

Horn memberikan senyuman masam.

"Tapi mungkin kalau kau kosong dan punya waktu aku bisa mengajakmu menonton di rumahku. Ayahku benar-benar pecinta Star Wars ia bahkan punya yang bersi Blu-ray-nya."

"Akan kuterima itu sebagai undangan…"

"Mungkin seharusnya aku merekomendasikanmu film yang lebih ringan…. Seperti film Constantine yang baru saja rilis awal tahun ini, kau tahu siapa aktornya? Keanu Reeves!"

"Keanu, siapa?"

"Kau tidak tahu Keanu Reeves? Itu yang jadi Neo, protagonis film The Matrix."

"The Matrix?"

"Kau bahkan tidak tahu The Matrix, Horn?"

"Tidak…. aku bahkan jarang menonton TV sekalinya kutonton pasti tidak ada film yang diputar atau seringkali ketika sedang ada film bagus tiba-tiba saja diubah menjadi opera sabun."

"Apa orang-orang di rumahmu menyebalkan Horn?"

"Well…. hanya ada bibiku yang sering pulang larut dan diriku, entah siapa dari kedua itu yang mau kau sebut menyebalkan."

"Bagaimana dengan dirimu saja?" Scarlett tersenyum.

Mereka berdua tertawa. Makanan mereka belum juga datang.

"Kalian hanya tinggal berdua? Boleh aku tahu ke mana orang tuamu?"

"Well…" Horn menolak menatap mata Scarlett, "Ibuku merantau bekerja kembali ke kampung halamannya di Britania, jadi ia menitipkanku pada bibiku sejak aku berumur sepuluh tahun dan ayahku sendiri sudah lama meninggal."

"Ah….. ibumu asli orang Inggris...." Scarlett mengangguk-angguk, "Kau pasti sering kesepian di rumah."

"Yah… tidak juga, aku sudah berteman baik dengan kesepian, sekarang aku merasa tidak apa-apa dengan masalah itu."

"Apa kau tidak pernah menghubungi ibumu lagi?"

"Bibiku adalah orang yang super hemat, telepon yang kami punya hanyalah ponsel miliknya dan hanya dia yang genggam. Natal kemarin saja ia membelikanku jaket yang ukurannya hampir tiga kali besar tubuhku, tapi ya…. Dia sering memberikan kabar dari pesan yang dikirimkan ibuku."

"Pasti rasanya tidak menyenangkan untuk selalu menunggu kabar baru'kan?" tanya Scarlett.

Horn hanya memberi senyum pada pertanyaan itu.

Makanan mereka akhirnya datang. Horn segera meminta sendok dan garpu pada pelayan sedangkan Scarlett langsung menyantap hidangan miliknya dengan sumpit kayu sekali pakai yang restoran itu berikan. Mereka berdua menyantap hidangan mereka masing-masing namun diselingin perbincangan.

"Jadi.. kau.. bagaimana keadaan rumahmu?" tanya Horn.

"Cukup baik…" jawab Scarlett sambil mencelupkan sepotong tempura ke kecap, "Ayah dan ibuku bekerja. Terkadang mereka pulang malam terkadang juga salah satu dari mereka menetap di rumah secara acak. Aku dan adik laki-lakiku memang suka sering ditinggal kok. Dulu waktu aku masih kecil, saat kami sekeluarga masih tinggal di Espardica aku sering dititipkan oleh nenek kami di. Ayahku dulu lebih sering pulang larut dan ibuku sangat sibuk dengan urusan bisnis-nya. Barulah setelah aku baru masuk sekolah dasar orang tuaku memutuskan membeli rumahku yang sekarang, sebuah apartemen di daerah Bayhold. Tampaknya sekarang mereka punya waktu lebih untuk anak-anak mereka."

"Punya seorang adik pasti selalu membuat rumahmu ramai bukan?"

Scarlett tersenyum.

"Yah… dia sudah duduk di bangku SMP sekarang, jadi ia pasti akan lebih sering menghabiskan waktu dengan teman-temannya."

Horn menghela nafas.

"Waktu telah berubah.." ia menatap mangkuk ramen-nya yang sudah kosong. Ia mengangkat gelas lalu meminum teh lemon yang ia pesan sebelumnya, "…sama seperti orang-orang."

Cekrek..!

"Ah pose yang tadi bagus sekali! Tidak apa-apa, lanjutkan.."

"Apa itu?" tanya Horn penasaran.

"Ini kamera. Tepatnya kamera analog, kau bisa mengabadikan momen-momen penting dengan benda ini." Ujar Scarlett sambil menyodorkan kameranya pada Horn.

"Kau suka memotret?" tanya Horn sambil memutar-mutar benda yang jelas tidak murah tersebut. Karena takut merusak atau menjatuhkannya ia segera menyerahkannya kembali pada Scarlett.

"Ya kurang lebih begitu…. Aku sering melihat foto-foto yang mengagumkan dan terbaik di majalah punya ibuku. Ibuku juga suka fotografi dia bilang ia suka dengan mencoba mengambil kesan yang unik dari suatu objek dengan mengambil gambarnya dari sudut-sudut yang berbeda. Aku beberapa kali mencobanya dan akhirnya ketagihan."

"Mengapa kau tidak menjadi fotografer saja?"

"Aku sebenarnya sedang mengusahakannya saat ini. Aku sering mengunggah foto-foto hasil karyaku agar dilihat oleh perusahaan media majalah, siapa tahu mereka tertarik dan aku dipanggil. Tapi kata ibuku jadikan itu sebagai hobi saja lalu kejar mimpi lainnya yang lebih besar."

"Mimpi yang lebih besar?"

"Tentu saja, Horn…. kini aku bercita-cita menjadi seorang pramugari. Dengan menjadi seorang pramugari aku bisa keliling dunia dan mengambil foto-foto yang menggambarkan tanah yang baru saja kujejaki. Itulah mengapa aku belajar tentang tata cara melayani orang dan dasar penanganan medis dengan ikut menjadi tenaga kesehatan siswa. Aku juga perlu modal berbicara bahasa Inggris yang fasih, itu sebabnya aku memintamu untuk berbicara penuh dengan bahasa inggris. Agak sedikit memalukan memang padahal darah ayahku sebenarnya juga berasal dari Britania, tapi hey…. Aku jadi terbantu karena di Ouro jarang yang mau menggunakan bahasa Inggris, kebanyakan mereka menggunakan bahasa Spanyol atau Portugis."

"Tidak masalah.." Horn memberinya senyuman.

"Kau teman yang baik, Horn…" kata Scarlett, "Hey… mari kita abadikan momen hari ini sebagai awal dari pertemanan kita." Scarlett tiba-tiba saja pindah ke sebelah Horn dengan kamera di tangannya yang dihadapkan ke arah mereka berdua. "Senyum..!"

Cekrek!

"Horn apa kau baik-baik saja?"

"..."

"Horn?" tanya Misa sekali lagi.

Horn tampak menatap kosong tanpa arah. Tangannya masih memutar-mutar gelas yang airnya tinggal seperempat. Beberapa kali ia tampak mengatupkan bibirnya.

"Waktu berubah…. Begitu'pun orang-orangnya.."