Chereads / Red Hustle: Revenge of The Dark-Hearted / Chapter 15 - [Bab 14] Janji di Hari Minggu

Chapter 15 - [Bab 14] Janji di Hari Minggu

"AH!"

Ia'pun terbangun kaget. Nafasnya memburu. Tubuhnya merinding ngeri. Matanya'pun langsung kelayapan memeriksa apakah ada yang misterius di tempat makan cepat saji tersebut.

"Mimpi buruk lagi, Horn?", tanya wanita yang duduk di seberangnya.

Horn mengatur nafasnya yang memburu. Ia akhirnya merasa lebih tenang setelah melihat wajah Misa yang tidak hangus seperti yang ada di mimpinya. Ia'pun memegangi kepalanya yang tidak pening.

"si… lagi-lagi…" ia'pun segera menoleh ke arah jendela yang menyuguhkan pemandangan langit malam. Ia berharap pemandangan itu akan segera menenangkannya.

"Nasi gorengmu sudah keburu dingin lho…" kata Misa sambil memperbaiki posisi kacamatanya.

"Uh-huh…. Beri aku waktu sebentar..."

Mereka berdua'pun hening. Untuk beberapa saat Horn akhirnya kembali menghadap Misa dan melahap nasi gorengnya yang sudah menunggu 30 menit yang lalu untuk dimakan. Horn tampak melahap nasi goreng itu dengan sangat cepat. Misa memperhatikan itu.

"Kau terlihat sangat lelah Horn…."

"Begitukah…?" tanya Horn dengan mulut penuh nasi.

Misa melepas kacamatanya, "Kantung matamu menghitam dari terakhir aku bertemu denganmu minggu lalu…. Ceritakanlah... apa kau memiliki kesulitan pada minggu pertamamu bertugas? Dari mantramu atau The Red mungkin?"

Horn berhenti sejenak sambil memandangi nasi gorengnya yang tinggal sedikit. "Well… aku tidak tahu… tapi sepertinya aku saja yang masih belum terbiasa dengan workflow-nya. Semenjak latihan terakhir itu, organisasi langsung meminta kami untuk melenyapkan banyak caster liar yang ada di beberapa titik Dockstown. Kau tahu ternyata kami bukan memburu satu atau dua caster tetapi beberapa kelompok caster kelas menengah dan rendah. The Red sangat antusias sekali dengan pekerjaan ini… yah…. Buktinya dialah yang paling banyak melenyapkan mereka semua. Huh… Sangat sulit untuk mengikutinya…."

"Kapan terakhir kali kau mendapatkan tidur yang cukup, The Purple?" tanya Misa mengerenyitkan dahi.

"Hm…..entahlah…. semenjak hari pertamaku itu aku selalu mendapatkan mimpi buruk dan jam tidurku menjadi sangat tidak teratur setelah itu…. tampaknya aku mengalami paranoid."

"Paranoid? Apa ada sesuatu yang kau khawatirkan?"

"Well…. Yang terbaik kulakukan adalah untuk tidak memikirkannya lebih lanjut dan membiarkannya lewat begitu saja…" Horn berusaha menghindar.

Misa dapat melihat kebohongan di mata Horn. "Aku paham. Kuhargai keputusanmu untuk tidak membicarakannya, The Purple…", ujar Misa yang langsung menyelipkan kembali kacamatanya dan kembali menatap layar laptopnya.

Horn yang sudah selesai makan kemudian meneguk minumannya berupa jus lemon. Ia berusaha menenangkan dirinya dari pikiran-pikiran yang tidak perlu terutama mimpinya barusan ketika ia melihat Misa dibakar hidup-hidup di tangan Carmen.

Kondisi mereka berdua di apartemen tidak jauh berbeda seperti ketika masa-masa latihan, hanya saja mereka kini selalu bersama kemana-mana. Mereka mengitari dan menyelidiki ke berbagai penjuru Dockstown untuk melenyapkan target-target yang diminta organisasi.

Selama pemburuan caster-caster tersebut, Carmenlah yang selalu memimpin. Dari penyelidikan, pencarian hingga pada pembantaian beserta pelenyapannya seakan telah menjadi tugas utama Carmen. Horn selalu kalah jumlah korban darinya ketika mereka menghadapi sekawanan caster liar. Carmen juga sangat berbeda ketika berada di lapangan, Ia menjadi jauh lebih kalem dan tenang, juga sangat sistematis. Carmen tahu bagaimana cara mengolah data dari petunjuk yang diberikan oleh organisasi dan menjadikannya kunci untuk menemukan target. Ia dapat mengerjakannya seorang diri dan metode yang ia gunakan juga sangat efisien. Bayangkan saja hanya dalam hitungan jam setelah diberi target beserta petunjuk oleh organisasi ia sudah berhasil melenyapkan target tersebut.

Horn selalu berpikir bahwa ia hanyalah penghambat dan pengganggu di dalam system pengerjaan Carmen yang cepat dan akurat tersebut. Beberapa kali ia merepotkan Carmen karena mantranya tidak bekerja semestinya. Simulasi yang diberikan Carmen saat masa-masa latihan ternyata sangat berguna tetapi tetap saja realita berbeda dengan simulasi.

Kini mereka selalu menghabiskan waktu makan siang bersama di luar bukan di apartemen lagi. Walau begitu mereka tidak banyak mengobrol. Permen loli rasa apel pasti ada di dalam mulut Carmen saat makan siang. Terkadang Horn ingin membuka topik pembicaraan lain tetapi wajah Carmen selalu masam dan tampak tidak puas atas kinerja Horn. Horn bisa apa? Kurang lebih dari posisinya Carmen-lah yang mempekerjakan Horn. Meskipun status tim mereka di bawah naungan organisasi tetapi tetap saja posisi Horn berada di bawah naungan Carmen yang artinya ialah adalah beban baginya.

Mimpi-mimpi buruk itu tidak menambah baik kondisi mental Horn. Horn membutuhkan istirahat. Ia perlu tidur. Hanya sekali-dua kali terlelap sebentar, mimpi buruk itu'pun muncul dan membuatnya tidak bisa tidur hingga malam berganti pagi. Mimpi-mimpi buruknya'pun cukup beragam namun entah mengapa isinya selalu menggambarkan Carmen saat membantai para caster. Penuh kekerasan, penuh darah dan isi tubuh manusia, namun dengan tatapan dinginnya ia lenyapkan semua itu dengan api yang selalu berkobar sesuai kemauannya. Yang paling parah adalah yang barusan.

Saat latihan terakhir itu Misa sangat menyanjungnya dan mengajaknya makan di luar, tetapi Carmen hanya berwajah datar dan menyatakan bahwa dirinya lulus dan layak. Ia tidak ikut ke restoran itu padahal kata Misa, ia sudah mengajaknya namun katanya ia memiliki alasan membuat laporan untuk atasan. Mungkin tentang progress dirinya, pikir Horn. Ia ingat saat itu hari berakhir dengan baik. Ia dan Misa mengobrol banyak dan entah mengapa itu menjadi pengalaman yang menyenangkan baginya. Sepulangnya ia mendapati Carmen yang menegaskan bahwa ia dapat mulai bertugas setelah pengarahan langsung dari organisasi di keesokan harinya. Namun entah mengapa dengan mimpi-mimpi itu seakan mengubah akhir ceritanya.

Ia tidak bisa terus-terusan hal memikirkan ini. Ia harus terus maju dan membantu Carmen dalam melenyapkan target-targetnya. Hanya itu yang ia bisa lakukan untuk saat ini!

Horn butuh pengalihan. Ia mengalihkan pikirannya dengan menatap wajah Misa yang tampak tidak seperti biasanya. Ia meatap matanya lekat-lekat. Misa tidak mengindahkannya dan tetap menatap layar laptop.

"Aku tidak pernah tahu kau memakai kacamata…." Ujar Horn yang teriringi suara celetukan keyboard. Misa menangkap kata-kata Horn.

"Benarkah…? Mungkin kau selama ini kau tidak melihatku sedang memakai lensa kontak jadi saat kacamata ini kau jadi begitu kaget…" tanggap Misa tersenyum tanpa mengalihkan pandangan.

"Aku tidak kaget…. Hanya saja kau jadi terlihat sangat berbeda…"

"Apakah aku mengingatkanmu pada seseorang?" Misa melepas kacamatanya.

"Nah…. Entahlah.... Mungkin aku pernah melihat pelanggan yang sepertimu. Tetapi yang aku tahu kau tidak mungkin jalan-jalan ke Shovel hanya untuk pergi ke sebuah minimarket.."

Misa tertawa mendengarnya.

"Setidaknya aku tahu Shovel tidak seburuk yang orang bicarakan…"

Mata dan perhatian Misa kembali pada laptop yang berada di hadapannya. Horn cukup penasaran apa yang Misa sedang lakukan terutama jika dilihat-lihat lagi Misa juga membawa setumpuk berkas.

"Kau sedang apa? Kau tampak lebih sibuk dari biasanya…" tanya Horn. Misa mengerenyitkan dahi.

"Bukankah kau sudah menanyakan itu beberapa waktu yang lalu?"

"Benarkah? Aku lupa.." balas Horn dengan wajah tak bersalah.

Misa menghela nafas panjang, "Ini adalah input nilai anak-anak di sekolah. Tepatnya seminggu kemarin mereka sedang dalam ujian materi tingkat bawah. Jadi kemarin adalah tahun ajaran baru dan di sekolahku itu setiap awal semester selalu diadakan ujian yang materinya berasal dari materi kelas saat sebelum mereka naik. Katanya sih agar anak-anak dapat kembali fokus belajar dan tidak terpaku terlalu lama pada pengalaman liburan mereka kemarin selama musim panas. Yah… ini sekolah swasta…. Apa boleh buat."

"Oh… sekolah swasta ya…."

"Aku mengajar cukup banyak kelas jadinya berkas yang harus kukerjakan juga banyak. Aku mengajar IPA di kelas dua dan tiga, dan juga matematika di kelas lima. Guru matematika kelas enamnya sendiri adalah guru tertua di sana, dan beliau juga seorang biarawati….."

Horn manggut-manggut.

"Yah… berkas ini sudah hampir selesai. Tadi seharian aku mengerjakannya di sekolah tapi karena aku mempunyai janji di malam minggu ini jadi aku membawa sisanya kemari….. dan yap! Selesai!!" Misa segera meregangkan tubuhnya di kursi.

"Ah… leganya….. hm? Ada apa Horn" tanya Misa setelah mendapati Horn tidak ada henti-hentinya menatap matanya.

"Aku punya tebakan kalau matamu rusak karena sering menatap layar computer itu.."

Misa tertawa kecil sambil tangannya membereskan laptop beserta berkasnya yang ada di atas meja. "Tidak juga Horn… beberapa orang dikarunai mata yang sangat kuat untuk menahan pancaran sinar layar, ada juga yang tidak. Buktinya kau bekerja di minimarket itu menatap monitor berjam-jam saja matamu masih sehat-sehat saja'kan?". Horn mengangguk-angguk setuju mendengar pernyataan itu. "Lagipula aku sudah menderitanya sejak aku masih kecil dan lucunya seluruh keluargaku mengenakan kacamata."

Misa meletakan dagunya di atas kedua tangannya dan melihat mata Horn lekat-lekat.

"Kau punya mata yang bagus Horn."

Horn agak tersentak mendengar kata-kata itu. ia merasakan seperti ada déjà vu ketika kalimat itu keluar dari mulut Misa tetapi dari siapa? Ia tidak bisa mengingatnya tetapi ia tahu betul pernah mendengarnya.

"Kau baik-baik saja Horn?" tanya Misa melihat Horn tampak terkejut.

"Iya..... bukan apa-apa....", sanggahnya langsung.

Misa menghabiskan jus alpukat yang sudah tinggal sedikit. Keheningan menyelimuti mereka berdua dan sepertinya mereka sudah tidak ada topik lagi untuk dibicarakan. Ini menandakan pertemuan mereka malam itu harus diakhiri.

"Apa besok kau sibuk, Horn?"

"Entahlah... mengapa?"

"Well..... Aku hanya ingin mengajakmu pergi ke karnaval. Apa kau pernah ke sana?"

"Hm… sepertinya belum pernah….. tapi aku tidak tahu apakah aman jika caster ultimate sepertiku ke tempat ramai seperti itu…"

"Ah.. jangan dipikirkan Horn. Caster ultimate sepertimu tidak ada yang berani melawan lho…. Lagipula kau'kan sudah menjadi bagian dari organisasi, berarti kau sudah berada di bawah perlidungan. Nah…. Karena kebetulan aku juga belum pernah ke sana makanya aku mengajakmu. Setidaknya aku ingin ke sana bersama orang yang kukenal.."

"Mengapa tidak adikmu saja?"

"Dia lagi sedang banyak tugas… Dia juga sudah sering pergi main ke karnaval bersama teman-temannya. Lagipula…bukannya lebih menyenangkan pergi ke karnaval yang sama-sama belum punya pengalaman?" kata Misa sambil mengaitkan tasnya di bahu.

"Apa kita sudah selesai? Aku takut jika kemalaman akan menganggu waktu istirahatmu Horn." tanya Misa setelahnya.

"Kupikir iya…." Mereka'pun lekas beranjak dari tempat duduk mereka. "…Kau seharusnya tidak perlu mengkhawatirkan aku, tidur sebentar saja bagiku sudah cukup."

"….Jangan paksakan dirimu Horn. Tubuh dan pikiranmu berhak mendapatkan istirahat." Kata Misa sambil tersenyum manis pada Horn.

Horn mengikuti Misa yang pergi keluar. Mereka'pun berhenti di depan restoran untuk berpisah karena mereka pulang berlawanan arah.

"Hubungi aku saja besok jika kau benar-benar bisa ikut Horn dan juga sampaikan salamku untuk The Red", timpalnya lagi.

Mereka'pun berjalan berlawanan arah. Horn pulang berjalan kaki menuju halte bus. Ia melihat jam dari ponselnya yang ternyata sudah tepat pukul 10 malam. Rasa penatnya sudah tidak terasa lagi karena ketidurannya tadi di restoran benar-benar membuatnya merasa segar. Bus yang membawanya kembali ke Shovel datang. Ia'pun naik dan duduk sambil melihat jalanan malam yang masih agak ramai.

Sudah hampir sebulan lebih ia 'berkencan' dengan Misa. Setiap malam minggu ia harus menemaninya makan malam di tempat yang ditulisnya lewat pesan singkat. Horn menganggap setiap malam minggunya sebagai pelarian dari Carmen yang selama ini selalu mendorongnya di apartemen ataupun saat bekerja, Misa seakan-akan adalah wadah yang tepat untuk bercerita atau hanya untuk sekedar duduk di dekatnya. Horn entah mengapa merasa nyaman juga aman. Dia tidak mungkin akan menodong dengan sebuah pistol dan meledakkan isi kepala seseorang.

Menurut Horn, membuat perjanjian dengan Misa adalah keputusan yang tepat. Misa telah memberinya dukungan moral kurang lebih selama sebulan ini terutama saat masa-masa sulitnya saat berlatih mantra. Ia telah menemukan kepercayaan dirinya lagi berkat Misa. Juga tanpa puppet Misa, Horn akan terus berada di bawah lingkaran setan yang dibuat Carmen ketika latihan. Misa adalah orang baik dan Horn telah berhutang banyak padanya. Sekarang Misa malah mengajaknya ke sebuah karnaval. Mungkin Horn seharusnya menerimanya. Huh….kalau Carmen mana mungkin mengajaknya ke tempat itu, batinnya.

Bus Horn berhenti di halte Shovel. Ia menyalakan rokok dan berjalan menuju apartemennya di gedung nomor tujuh. Ia'pun pergi naik ke lantai nomor enam lalu masuk ke dalam apartemennya. Seketika seseorang berwajah hitam legam menoleh padanya yang masih berada di pintu masuk.

"Kau mengagetkanku!" desis Horn.

"Kenapa? Kau belum pernah melihat orang memakai masker sebelumnya, huh? .... kau dari mana saja?" tanya Carmen yang sudah mengenakan piyama tidur.

"Cari angin…"

"Apa kau tidak menemukan angin sore tadi dan berujung menunggu hingga malam?"

"Sudahlah aku bukan anak kecil yang harus ditanya kenapa malam-malam begini baru pulang." Sanggah Horn sambil melepas alas kakinya.

"Huh… Aku cuma takut kau akan menambah korban lagi Horn."

"Aku sudah bisa mengontrol mantraku, ingat? Kau seharusnya memberiku lebih banyak ruang untuk bergerak…"

"Kau bisa atau tidak, tidak menutup kemungkinan kau tidak akan melakukannya bukan, The Purple?"

"Aku tidak sepertimu…."

"Sepertiku?"

"Membunuh orang dengan membabi buta dengan mantra dan melenyapkan jasad mereka dari permukaan bumi ini.."

"Bukankah sudah kubilang memang begitulah pekerjaannya? Dan kau sendiri yang setuju dengan pekerjaan ini. Mungkin suatu saat kau akan mengerti bahwa Caster liar tidak dapat kembali lagi atau diselamatkan jadi singkatnya….. mereka harus dilenyapkan…" kata Carmen dengan senyum yang tertutup masker hitam di wajahnya.

"Cih aku tahu itu…"

Horn kemudian duduk bersandar di dinding seberang Carmen. Carmen tengah asyik menonton film akhir pekan di salah satu stasiun TV Ouro, Horn hanya bisa nimbrung nonton di sana karena remotnya sudah dikuasai oleh Carmen. Carmen tampak serius menonton hingga menimbulkan keheningan.

"Horn…. boleh kutanyakan sesuatu padamu?" tanya Carmen memecahkan keheningan antara mereka. Horn tidak menoleh pada Carmen namun ia menyimak pertanyaannya.

"Apa kau dan The Puppet dekat?"

Horn cukup terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi dengan cepat ia segera sembunyikan wajah kagetnya. Untuk menutupi rasa kagetnya ia'pun kembali bertanya pada Carmen.

"Kenapa kau bertanya demikian?"

"Ah… aku tidak tahu…. Tapi tampaknya semenjak The Puppet ikut membantu latihan mantramu kau jadi sangat dekat dengannya. Sebenarnya aku hanya penasaran. Yah…..sebagai teman satu atapmu dan partner kerjamu aku hanya ingin memastikan apa yang terjadi dengan kalian. Waktu latihan dulu sering aku lihat kalian sering mengobrol banyak atau .... jangan-jangan kalian sedang berkencan?" Carmen menatap tajam tepat ke mata Horn. Horn membalasnya dengan ekspresi yang jelas-jelas membantah pernyataan itu.

"Tidak… kami hanya berteman…."

"Begitukah? Hm... Tapi kini aku baru tahu kau punya karisma yang berbeda di mata wanita yang jauh lebih tua darimu. The Puppet yang baru kau kenal saja bisa seakrab itu bersamamu. Seleramu boleh juga Horn… mungkin Mrs. Allen juga termasuk…."

"Maksudmu!?" jerit Horn membantah.

Carmen tertawa.

Mereka'pun melanjutkan menonton film bersama. Jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Suasana jalan raya di luar'pun sudah sepi. Sebagian besar lampu-lampu apartemen sudah dimatikan menandakan penghuninya tidur dan beristirahat. Tetapi mereka berdua tidak. Lampu masih menyala dengan televisi masih bising. Film yang ditonton Horn sedang bagus. Horn seakan tidak mau beranjak dari TV-nya hingga tiba-tiba layar TV-nya padam.

"Kau sebaiknya tidur Horn. Seminggu ini pekerjaan kita sangat berat…." Ujar Carmen pada Horn yang duduk dengan lutut ditekuk, ia masih terkejut menatap layar televisi yang tiba-tiba mati.

"Nah…..aku sudah tidur tadi siang. Kini aku jadi susah tidur." Jawab Horn sambil mengambil remot yang dari tadi disembunyikan Carmen. Carmen pergi mencuci muka lalu mengambilkan kasur milik Horn dan menaruhnya di luar kamar. "Terima kasih…", kata Horn begitu ia mendapatkan kasurnya.

"Ah... iya Horn aku lupa. Kau besok tidak kemana-mana'kan?" tanya Carmen di ambang pintu kamarnya.

"Memangnya kenapa?"

"Aku punya sebuah kejutan untukmu.."

Horn tidak pernah mengerti apa yang ada di dalam pikiran Carmen.