"Ya! Bagus The Purple, seperti itu!"
Suara Misa yang menyeru bergema di basement siang itu. Ia menyemangati orang seperti pelatih tinju. Berbeda dengan orang di sebelahnya, The Red, sedang menyaksikan dengan seksama The Purple yang sedang sparing dengan salah satu puppet buatannya. The Red tidak bersuara sama sekali ia lebih memilih fokus memperhatikan dengan teliti di mana kesalahan The Puprle pada sparing yang berdurasi lima menit itu.
Pip-pip!
Waktu habis. Sekaligus waktu yang tepat Horn melepaskan serangan terakhir yang membuat puppet di hadapannya ambruk. Kini hasilnya sudah jelas, satu masih tegak berdiri satunya ambruk kini tinggal wasitnya yang menentukan keputusannya.
"Kau sangat luar biasa The Purple! Tak kusangka kau bisa selincah itu!" puji Misa sambil menyodorkan sebotol air mineral pada Horn.
"Terima kasih… aku juga kaget mengapa rasanya berbeda sekali…", mata Horn kemudian menangkap mata merah yang masih berdiri dekat tembok. "…bagaimana hasilnya?"
"Kau seharusnya bisa melumpuhkannya kurang dari semenit…. Tebakanku kau sengaja mengulur-ulur waktunya…"tanggap Carmen.
"Aku sedang menguji sejauh mana kemampuanku….."
"Aku mengerti…" potongnya, "…baiklah kau boleh istarahat selama lima menit sementara aku akan menilai apakah kau bisa belajar mantra hari ini.."
"Terima kasih bu guru" sahut Misa. Carmen tidak mempedulikannya. Misa kemudian mendekati Horn yang terduduk di lantai untuk mengajaknya mengobrol.
Carmen memeriksa arena yang barusan dipakai Horn kemudian memeriksa puppet yang menjadi lawannya. Wajah puppet itu sudah menjadi sulit dikenali karena banyak luka lebam di mana-mana terutama wajahnya. Sebenarnya Carmen tadi kurang memperhatikan gerakan-gerakan Horn sehingga ia'pun harus memeriksa bekas-bekas luka yang di dapatkan oleh puppet untuk meilhatkan bagian mana yang dominan Horn serang dan seperti dugaannya Horn lebih suka menyerang tubuh bagian atas yang akhirnya membuat sparing tadi lebih panjang, jika tadi ia menyeimbangkan keduanya pasti sparing barusan akan jauh lebih singkat karena serangan pamungkas jadi lebih mudah dilancarkan. Tetapi sejauh ini progress-nya sudah bagus mungkin inilah saatnya Horn belajar menggunakan mantra sihirnya.
Carmen'pun balik badan dan mendapatkan Horn dan The Puppet sedang mengobrol secara empat mata. Entah mengapa kini ia merasa terasingkan karena tidak diajak bicara oleh Horn. Hal ini terasa karena semenjak semalam Horn tidak banyak bicara dengannya.
Semalam Horn masuk ke apartemen yang sudah siap dengan hidangan makan malam dengan wajah gundah. Ia merasa ingin cepat-cepat mandi dan pergi tidur agar ia dapat melupakan kejadian malam itu.
Ia'pun telah melakukannya lagi!
Ia kembali membantai orang-orang yang bukan caster.
Apa yang harus ia katakan kepada Carmen?
Wanita itu pasti akan membunuhnya!
Horn tidak ambil pusing dengan pakaian compang-camping dan tubuh kotor penuh lumpur. Ia langsung mandi dan membuang pakaian yang ia kenakan malam itu. tidak lupa ia membersihkan jejak lumpur yang tinggalkan di lantai apartemen lalu pergi mengambil kasur dan tidur.
Carmen yang tengah duduk di ruang tengah menyaksikan semua itu. Horn tidak menyapanya, atau bahkan menyentuh makan malamnya. Ia melakukan kegiatan itu tanpa memedulikan kehadirannya. Carmen merasa masa bodoh karena menurut prinsipnya pada caster kelas ultimate seperti Horn harus dilatih dengan metode keras seperti dirinya. Namun entah kenapa rasa itu berubah saat kejadian pagi tadi.
Horn membatu menatap jaket biru yang selama ini selalu ia pakai kemana-mana yang kurang lebih telah menjadi identitasnya selama Carmen mengenalnya. Jaket itu menjadi sulit dikenali karena terbakar hangus dan terkena lumpur. Horn mematung dan menatap kosong kurang lebih 30 menit di tempat ia membuangnya semalam. Carmen yang melihatnya'pun akhirnya penasaran dan menanyainya.
"Ada masalah Horn?"
"Tidak…hanya… ah sudahlah... kau berangkatlah duluan, aku akan menyusul nanti…" jawabnya dengan senyum yang dipaksakan.
"Mau ku siapkan bajumu?"
"Tidak usah… aku baik-baik saja.."
"Baiklah.."
Carmen memang mandi dan berangkat duluan pagi tadi, meninggalkan Horn yang masih mematung memegangi puing-puing jaketnya. Carmen tidak bodoh, ia'pun mencoba memperhatikan apa yang terjadi jika ia berangkat lebih dulu. Ia memang keluar namun sebenarnya ia sedang menunggu di koridor untuk beberapa saat.
Carmen dapat mendengar isakan tangis dari dalam apartemen 7634. Ia tahu itu siapa, kini ia merasa agak kesal karena Horn malah menangisi sebuah jaket tua dan takutnya berimbas pada pengendalian mantranya. Suatu hal yang tidak masuk akal jika menangisi sebuah jaket! Namun Carmen teringat sesuatu ketika sepucuk pegangan pistolnya tertangkap oleh matanya. Sial! Jerit batinnya.
Melihat Horn selalu menyembunyikan sesuatu darinya mungkin adalah hal yang biasa baginya namun itu'pun ada batasnya. Lalu entah mengapa melihat Horn banyak berbicara pada seseorang membawa perasaan aneh padanya. Ia melihat ke mana Horn membukakan pintu hati miliknya.
Ada apa ini?
Bukankah seharusnya dia mempercayaiku?
Bukankah jika kita sudah mengenal lebih lama kita akan mengobrol lebih panjang?
Ini aneh..
"Bu guru~~…. Bagaimana hasil tes anak ini?" tanya Misa yang mengacaukan pikirannya. Carmen menatap Horn yang tidak mau menatapnya.
"Seharusnya kau lebih mencoba berusaha untuk melumpuhkan dengan cepat, The Purple. Jika kau terus mengulur waktu maka energimu juga akan lebih berkuras namun secara keseluruhan kemampuanmu sudah memenuhi ekspetasiku.."
"Jadi The Purple sudah bisa belajar mantra hari ini?" tanya Misa penasaran. Carmen mengangguk. "Hebat The Purple! Kini kau bisa belajar bagaimana menjadi caster yang sebenarnya!". Misa mengangkat lima jari ke udara dan mengisyaratkan Horn untuk membalas lima jari tersebut. Horn agak ragu-ragu untuk menanggapinya. Misa juga memberikan lima jari pada Carmen tetapi Carmen sekali lagi tidak menggubrisnya.
"Seharusnya aku mengajarkanmu dari mind control atau bentuk tabir sederhana dulu, ya?" kata Misa tidak sabaran pada Horn. "Tenang saja The Purple, kini kau tidak perlu masalah dengan lawanmu bukan? Karena kita masih punya…..puppet-puppet ini!" seketika puppet yang telah Horn hajar hingga tumbang berdiri di antara mereka berdua dengan wajah yang sudah segar tanpa luka.
Carmen memperhatikan keceriaan itu. Horn terkadang masih mengindahkan The Puppet, wajahnya tampak enggan dan malu-malu, tetapi kini mengapa Horn sama sekali sepertinya tidak berbicara dengannya. Apa ada yang salah? Tunggu… Mengapa aku malah menjadi memikirkan ini? Tanya batin Carmen.
Tidak bisa…. Ia jadi tidak bisa focus dalam melatihnya kalau begitu. Tempat ini terlalu menyilaukan baginya karena mereka berdua tampak saling mempercayai satu sama lain. Ia harus mempertahankan profesionalitasnya tetapi dalam kondisi seperti ini tapi bagaimana….
Ada satu cara!
"The Puppet…" Carmen menepuk bahu Misa. Ia'pun menoleh. "Sean tiba-tiba saja memanggilku jadi aku ada perlu, aku mau kau melatih pengendalian mantra dasarnya terlebih dahulu. Aku izin permisi…"
Horn melihat Carmen berjalan menjauhi mereka berdua dan menghilang dibalik pintu basement.
"The Red ke mana?"
"Ah… dia tiba-tiba saja ada urusan. Tapi tadi ia menyuruhku untuk melanjutkan latihanmu, mari kita mulai latihan mantramu The Purple."
Hari itu hujan juga turun membasahi dataran Ouro. Di pusat kota Carmen menulusuri deretan pertokoan yang memiliki kaca yang megah. Ia sudah tidak mengerti apa yang terjadi pada hatinya, yang ia tahu adalah tubuhnya telah menginstruksikannya kemari. Tempat yang dijelajahinya adalah salah satu area pertokoan busana yang cukup terkenal di Dockstown.
Carmen dihadapkan pada sebuah pintu kaca, dengan mantap ia membuka pintu tersebut dan masuk bersama tubuhnya yang basah terkena hujan. Salah satu pegawai di sana menghampirinya dengan senyum ramah.
"Ada yang bisa kami bantu? Sedang mencari trend busana apa?"
"Jaket.. di mana aku bisa menemukannya?"
"Untuk laki-laki atau perempuan?" tanya-nya lagi ramah.
"Laki-laki.." jawab Carmen singkat.
"Sebelah sini…" sang pegawai'pun menunjukkan area yang menjual beragam jaket untuk laki-laki.
Carmen langsung menyerbu jaket-jaket berwarna biru yang tergantung di sana. Ia mencari jaket yang mana sekiranya sesuai.
Tidak bukan ini….
Bukan ini…
Bukan ini...
Tidak ada yang cocok!
Carmen langsung melengos keluar dari toko dan menyambar toko busana yang ada di seberangnya. Hasilnya'pun sama, tidak ada yang cocok menurutnya. Ia'pun keluar lagi dan mencari toko busana lainnya yang ada di pusat kota. Ia mencoba mencari toko dengan barang yang terbaik di antara yang terbaik di kota Dockstown. Masih tidak ada yang cocok! Bagaimana ini!?
Hatinya merasa tidak tenang mengingat ia sudah enam kali mencari di toko-toko di pusat kota tetapi ia tidak menemukan sesuatu yang cocok. Ia harus memutar otak. Namun otaknya sulit berfungsi dikarenakan hatinya yang kacau. Nafasnya memburu dan langsung pergi menuju toko selanjutnya.
Ada sebuah thrift shop yang cukup besar di penghujung blok. Carmen memasuki toko tersebut yang ternyata sangat hawanya sangat dingin. AC di toko itu tidak diatur ulang dengan cuaca yang terjadi di luar, sehingga Carmen menjadi sangat menggigil ketika masuk ke dalam.
Ia celingukan mencari untuk bagian jaket. Setelah ketemu, matanya langsung memburu jaket-jaket berwarna biru. Namun anehnya kini matanya terasa berat. Tidak boleh! Jangan sekarang! Kata batinnya. Kondisi toko yang sepi karena hari kerja membuat seorang pegawai wanita langsung menghampirinya. Carmen terduduk di bangku begitu pegawai itu sampai ke keberadannya.
"Butuh dicarikan sesuatu nona?"
"Tolong…. Carikan aku jaket-jaket bewarna biru. Jaket apa saja yang ada di toko ini aku tidak peduli.. intina bewarna biru."
Pegawai itu langsung beraksi ketika Carmen menginstrusikannya. Carmen terduduk memegangi kepalanya yang mulai terasa pusing dan berat. Beberapa menit kemudian pegawai itu kembali lagi dengan sejumlah jaket di tangannya. Carmen langsung melihat-lihat hasil pencarian sang pegawai. Ia mengacak-acak satu persatu jaket-jaket tersebut namun tetap saja tidak ada yang cocok menurutnya kini ia mulai merasa sangat frustasi karena pencariannya terasa sia-sia.
"Argh!!" jeritnya di tengah toko yang sedang sepi pengunjung tersebut. Suaranya menggema dan berhasil mengagetkan pegawai yang berada cukup jauh darinya. Beberapa pegawai mulai mendekati Carmen untuk mengecek apakah Wanita ini baik-baik saja. Carmen menyadarinya dan mengisyaratkan pegawai wanita di sampingnya untuk mengusir para pegawai yang berdatangan tersebut.
Para pegawai itu akhirnya kembali ke pos mereka masing-masing. Carmen masih tersungkur dan tertunduk di lantai. Sang pegawai wanita mencoba membujuknya.
"Apa ada yang salah dengan pakaiannya nona?" tanyanya dengan nada lembut.
Carmen terdiam beberapa saat.
"….Tidak…. hanya saja aku sedang mencoba mencarikan yang terbaik untuknya tetapi hingga kini aku masih belum menemukannya. Aku sudah mencari di berbagai toko sepenjuru kota tetap saja aku tidak menemukannya." Carmen mulai terisak karena frustasi, "…bagaimana bisa dia bisa tahu apa yang terbaik untukku tetapi aku tidak dapat memberikan yang terbaik untuknya? Bagaimana bisa ia tahu diriku sebelum aku mengetahui dirinya? Ini aneh! Ini tidak mungkin aku kalah darinya, sialan!"
Sang pegawai yang tidak terlalu mengerti apa yang terjadi padanya'pun bertanya. "Jadi sebenarnya untuk apa anda membutuhkan jaket tersebut?"
Carmen mendengus, "Aku secara tidak langsung menghancurkan barang beharga miliknya berupa jaket. Aku tidak tahu harga sebenarnya di balik benda tersebut dan saat ini aku hanya ingin menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik. Aku tidak tahu mengapa semuanya terasa sangat tidak pantas padahal aku sanggup membelinya…"
"Boleh aku tahu berapa umurnya?"
"Mungkin…. 23-24 tahun.."
"Baiklah tunggu sebentar di sini…" sang pegawai menyuruhnya untuk menunggu di bangku dan kemudian memilah jaket mana yang sekiranya cocok untuk deskripsi umur tadi. Carmen tidak bersuara. Badannya menggigil dan lemas, tubuhnya juga basah, dia butuh kehangatan.
"Ini…. aku menyempitkan pilihannya jadi dua pilihan ini. Akan lebih mudah jika seperti ini bagaimana? menurut anda yang mana yang bagus?"
Carmen melihat kedua pilihan jaket warna biru tersebut. Yang pertama sebuah hoodie biru navy yang diiringi dengan warna oranye di bagian kupluk dan lengan lalu satu lagi adalah sebuah jaket berbahan parasut. Mata Carmen menemukan sesuatu yang ia sebut kesempurnaan. Jaket biru navy ini cocok! Ini akan pas untuknya!
"Aku ambil yang ini" ujarnya sambil menunjuk jaket tersebut. Dengan senang Ia'pun berhasil membeli jaket tersebut dan berusaha melindunginya dari derasnya hujan. Kondisi terlalu ramai ia tidak dapat mengenakan mantel hujannya disana. Ah.. tepatnya ia terlalu bersemangat ingin memberikan hadiahnya itu sampai lupa mengenakan mantel hujannya.
Carmen kemudian berjalan menuju sebuah halte bus dan masuk ke bus yang akan mengantarkannya pulang. Hujan masih turun. Padahal masih di musim panas, tetapi tidak apalah ia sudah mendapatkan penggantinya jaket Horn yang rusak, batinnya. Tidak terasa bolak-balik belanja telah mempercepat waktu begitu saja. Hari sudah berada di awal kegelapan. Penumpangnya sudah tidak sepadat petang tadi terbukti pada bus yang ditumpangi Carmen hanya ada dia seorang.
Bus itu akan membawanya dengan rute dari pusat kota dengan tujuan terjauh di Shovel. Carmen sudah merasa lega di sana. Selain jaket ada lagi yang sudah ia beli. Sempurna. Ini pertama kalinya ia membelikan seseorang selain sahabatnya The Doll. Tapi kali ini entah kenapa rasanya sangat berbeda. Ia sangat seperti tidak sabar untuk memberikannya.
Bus berhenti di square yang mana terdapat banyak café dan tempat makan lainnya. Carmen memeperhatikan apa yang bisa ditawarkan dari kaca bus yang basah itu. Dan sesuatu itu adalah yang mengganggunya selama seharian ini.
Horn dan The Puppet terlihat sedang duduk berhadap-hadapan di sebuah café. Mereka tampak asik mengobrol di sana. Dan anehnya Horn mengenakan jaket yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Apakah Horn membelinya sendiri atau…..
Tidak…..
Carmen ingin sekali turun dan menginterupsi mereka berdua tetapi akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan karena sudah terlalu banyak yang terjadi untuk hari ini. Kini setelah melihat pemandangan itu ia hanya ingin cepat-cepat pulang dan pergi tidur.
Bus berhenti di halte dekat apartemen no. 7. Gadis rambut merah itu memasuki apartemennya dan menuliskan sebuah nota di tas belanjanya sebelum pergi tidur. Tubuhnya terasa berat, pikirannya lelah, dan kepalanya pusing. Cara yang paling ampuh untuk mengusir itu semua hanyalah dengan pergi tidur.
Carmen terbangun di keesokan paginya dengan sebuah sapu tangan di atas kepalanya dan sebuah kantung air di tubuhnya. Tubuhnya masih terasa lemas dan kini tenggorokannya sakit. Ia'pun melihat ke arah jam dinding yang menunjukan angka 6:30. Dia kesiangan menyiapkan sarapan. Sialnya tubuhnya menolak dan menyuruhnya untuk menetap di kasur. Badannya lembab dikarenakan kemarin ia tidur tanpa mengganti pakaiannya terlebih dahulu. Mood-nya menjadi sangat buruk setelah menyadari baju yang dikenakan mengeluarkan bau apak. Baru saja ia akan melangkah turun sambil berselimut tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya.
"Horn…" kata Carmen pelan.
"Maaf aku masuk tanpa mengetuk terlebih dulu. Kukira kau masih tidur…" kata Horn yang reflek memperkecil celah pintu.
"Tidak apa-apa.."
"Kau tidak pernah bilang ultimate bisa sakit…" Horn'pun mendekat dan duduk bersandar di lantai sebelah tempat tidur.
"Rasa sakit Horn, bukan penyakit"
"Terserah…. Apa kau sudah baikan? Apa-apaan semalam kau tidur begitu saja tanpa mengganti pakaian basahmu terlebih dulu. Aku mendekatimu setelah mendengar kau mengerang terus-menerus dan setelah kuperiksa ternyata kau mengalami demam. Dan…yah.. karena pakaianmu itu aku tidak bisa berbuat banyak aku hanya dapat mengompres dan memberimu sekantung air hangat."
"….Ku hargai usahamu Horn, terima kasih, sepertinya aku sudah mendingan…" Carmen tersenyum tipis.
"… Tidak masalah… Oh.. aku juga harus berterima kasih atas jaketnya. Aku suka warnanya. Tapi tak apa-apa buat ganti-ganti kebetulan aku juga baru saja membeli jaket yang baru kemarin…. nanti akan aku jaga dengan baik."
"oh…" tanggap Carmen datar yang tahu apa yang sebenarnya terjadi kemarin.
Dia melewatkan bagian pentingnya, batin Carmen.
"Jadi…. Bagaimana dengan latihanmu?" Carmen mencoba mengalihkan topik jaket itu ke topik yang lebih serius.
"Well…. Misa sedang mengajarkanku dalam membuat tabir dan ternyata tidak semudah yang kupikirkan.."
Carmen tidak membuat ekspresi, "Aku senang setidaknya kau membuat progress yang bagus, Horn."
Setelah kalimat itu untuk beberapa saat mereka berdua'pun diselimuti keheningan.
"Jadi hari ini kita latihan?"
Carmen menghela nafas panjang, "Sepertinya aku tidak dapat melatihmu dahulu jika kondisiku seperti ini. Hari ini kuizinkan kau berlatih pengendalian dasar mantra bersama The Puppet tanpa pengawasanku.." ujar Carmen dengan senyum sedikit dipaksakan.
"Bagaimana denganmu? Siapa yang akan merawatmu?"
"Aku akan baik-baik saja Horn. Ini hanya sebuah penyakit kecil, kita ini kelas ultimate, ingat? Aku tidak akan mati dengan penyakit seperti ini." Jawab Carmen dengan sedikit jengkel.
"Bukan begitu…tapi…"
"Pergilah Horn! Kau harus tetap berlatih karena aku tidak dapat mengulur kesiapanmu lagi….. apa kau tahu jika kau belum siap selama dua bulan ini artinya kau akan di-blacklist begitu'pun namaku. Kau paham'kan apa yang akan terjadi selanjutnya pada kita berdua?" Carmen tiba-tiba saja mengatakan apa yang seharusnya ia tidak katakan pada Horn tentang perjanjian tenggat waktunya.
Horn mematung.
Carmen terdiam sebentar setelah fakta itu keluar dari mulutnya. Pikirannya kini kacau balau, "Kumohon abaikan dulu kesehatanku untuk saat ini. Progress pengendalian mantramu itu yang terpenting. Kau harus tetap maju."
"Bukan begitu…." Sanggah Horn.
Carmen terdiam. Ia sudah tidak punya kata-kata lagi.
"…Misa mengajar di sekolah hingga siang hari jadi ia hanya bisa hadir saat lewat tengah hari."
"Jadi..?"
"Mungkin aku bisa merawatmu sampai siang nanti."
Pupil mata Carmen membesar mendengarnya.
"Yah…. Itu terdengar cukup bagus…"