Chereads / Red Hustle: Revenge of The Dark-Hearted / Chapter 14 - [Bab 13] Sihir yang Berantakan

Chapter 14 - [Bab 13] Sihir yang Berantakan

"Oh…. Jaketmu berbeda dari yang dibeli kemarin. Kapan kau membelinya The Purple?" sambar The Puppet saat mendekati Horn yang sudah menunggu kedatangannya dari tadi.

"The Red yang membelikannya." Jawabnya.

"Hm… tak kusangka The Red memiliki selera yang bagus. Itu terlihat cocok denganmu The Purple."

"Sungguh? Kupikir juga begitu." Horn terdiam sebentar sebelum menghela nafas yang sangat panjang.

"Ada masalah?"

"Tidak, hanya saja aku merindukan jaket lamaku….". Jaketnya telah dirusak dan dibakar oleh cani, sekelompok cani merampoknya pada malam itu dan mencuri jaketnya, setelah kurang lebih tidak menemukan apa-apa jaketnya dibakar dan mereka mengeroyok Horn yang tidak melawan sama sekali, begitulah yang Horn katakan pada Misa dan Carmen tentang bagaimana jaket kesayangannya bisa sirna. Jaket yang diberikan bibinya saat natal terakhir sebelum kematiannya menjemput. Jaket murah yang sama persis yang dimiliki bibinya. Awalnya Horn membencinya namun entah mengapa lama kelamaan ia mulai menyukainya terutama setelah kematian bibinya yang membuat jaket itu menjadi satu-satunya barang pemberian dari bibinya yang dikenal sangat hemat. Kini jaket itu kurang lebih sudah menjadi sampah.

"Sudahlah… semua barang akan bernasib sama kok jika memang sudah waktunya. Bagaimana kalau kita segera mulai latihannya? Ngomong-ngomong di mana The Red?"

"Dia tidak datang hari ini. Sedang sakit…"

"Sakit? Sakit apa?"

"Demam… semalam ia tidur dengan pakaian yang masih basah. Sepertinya dia habis hujan-hujanan tanpa membersihkan diri terlebih dahulu."

"Ah… kasian sekali.. semoga ia cepat sembuh, apa mungkin aku seharusya mampir ke apartemenmu untuk menjenguknya?"

"Ti-tidak usah… katanya besok juga sembuh. Besok juga ia akan kemari, lagipula tidak ada yang menarik di apartemen kami…"

"Kami? Hoo… menarik…" gumam The Puppet. "Baiklah jika itu maunya mari kita mulai latihan untuk hari ini The Purple.."

"Kau harus selalu ingat The Purple, bagaimana sihir yang kita keluarkan sangat dipengaruhi dari pikiran kita karena pikiran kita menyatu dengan mantra. Sihir yang baik adalah sihir yang bersih dan bertitik pusat tetapi hal ini juga di pengaruhi dari jenis mantra sang pengguna. Kita akan melewatkan mind control terlebih dahulu karena hal tersebut dapat kau pelajari secara tidak langsung nantinya. Mari kita uji ulang tabirmu yang kemarin sangat tidak stabil tersebut."

Horn mulai mengatur nafas dan memejamkan matanya agar pikirannya fokus. Ia berusaha membuat sebuah ruangan berbentuk persegi untuk mengurungnya dengan mengaktifkan mantra. Perlahan di sekilingnya muncul garis-garis bewarna ungu yang kemudian bersambung dan membangun sebuah kubus yang menelan tubuh Horn di dalamnya.

"Baik cukup! Berjalanlah secara perlahan dari tabir tersebut." Perintah The Puppet. Horn keluar dengan mata tertutup dari kubus ungu tersebut. "Ok sekarang buka matamu dan usahakan kau tidak menghancurkan tabirnya."

Horn membuka matanya dan yang ia liat sebuah kubus besar yang jelek bewarna ungu. Warna ungunya sangat tidak merata dan dinding-dindingnya tidak halus bahkan kardus-kardus di sebuah gudang penyimpanan'pun masih lebih bagus dari kubus sihir yang dibuatnya ini.

"Hup-hup tahan Horn! Jangan dilepas terlebih dulu tabirnya. Sekarang kau lihat tabir ini yang tidak kalah buruknya seperti kemarin... yah aku masih bisa memakluminya. Yang kumaksud adalah pembiasan penggunaan mantra! Selama ini kau menggunakan mantra selalu secara spontan nah untuk itu walau hasilnya buruk kau berhasil mengendalikan mantramu itu! Nah sekarang kau boleh hancurkan tabirnya."

Sesuai perintah Horn menghancurkan tabir kubus yang tidak enak dipandang tersebut.

"Tabir berguna untuk membatasi jarak pengeluaran sihir agar tidak mengundang para caster lain untuk mendekat. Tabir dapat memanipulasi apa yang ada di dalamnya seperti suara dan keberadaan orang di dalamnya itu sebabnya tabir sangat krusial dalam pertempuran para caster. Saat kau membunuh kolegamu dan cani saat itu, kau telah menggunakan mantra tanpa memasang tabir sama sekali, akibatnya esensi atau aura dari mantramu meluap-luap dan mengundang para caster untuk mengetahui keberadaanmu. Akan kucontohkan bagaimana bentuk tabir yang baik."

Misa menempelkan tangannya di dagu untuk beberapa saat lalu kembali melipat tangannya di dada.

"Sudah!"

"Sudah?" tanya Horn keheranan.

".. iya… sudah.." jawab Misa sambil mengangguk-angguk.

"…tapi aku tidak merasakan apapun."

"Itulah sebenarnya bagaimana bentuk tabir yang baik. Tidak terdeteksi ketika pengeluarannya dan juga kehadirannya. Akan kuperlihatkan sedikit bentuknya padamu.", Horn secara perlahan dapat melihat di sekeliling basement tertutupi suatu selaput yang amat tipis bewarna bening.

"Itu?" tanya Horn tidak percaya.

"Tepat…"

"Setipis itu?". Misa mengangguk. Horn menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Seperti yang sudah kubilang ini butuh pembiasaan dan membuat tabir serapih ini bahkan butuh latihan bertahun-tahun hingga kau benar-benar bisa secara halus mengeluarkan sihirnya. Lihat, practice makes perfect, cobalah terus The Purple kusarankan kau terus-terusan membuat tabir kubus hingga kubus itu terbentuk sempurna."

Misa membelakangi Horn yang akan memulai membuat tabirnya lagi. Horn memusatkan pikirannya berharap mantranya akan sebanding dengan pikirannya dalam membuat tabir kubus. Yang ia tidak tahu selama ini Misa sedang menahan auranya agar tidak meluap dari basement. Memang tidak ada yang akan datang ke basement tersebut hari itu selain mereka tetapi ia ingin mengetahui seberapa besar luapan aura Horn jika mantranya sedang digunakan.

Hanya membuat tabir saja sudah membuat Misa kewalahan akan aura Horn yang terus meluap apabila mantranya digunakan. Mantranya terlalu kuat untuk sepantaran caster superior sepertinya. Horn tampaknya masih belum mengerti bagaimana cara melihat aura seorang caster. Bahkan untuk auranya sendiri yang terbilang sangat kuat sehingga sulit ditutupi. Inilah mengapa sesi latihan mantra kemarin terbilang lebih singkat dibandingkan bela diri yang dilatih oleh Carmen. Misa mencoba menekan auranya agar tidak keluar atau bereaksi dengan lingkungan sekitar namun itu harus dibayar dengan sejumlah energi yang besar pula.

Saat Horn membunuh para cani di taman, Misa menyadari bahwa mantra Horn juga bisa berinteraksi langsung dengan lingkungannya. Hal ini membuatnya berasumsi bahwa auranya juga akan bereaksi serupa sebagai sebuah rambatan sihir. Misa sendiri takut apa yang terjadi jika membiarkan aura itu meluap keluar dari basement atau yang lebih parah jika mantra Horn mengambil alih kesadarannya. Nyawanya akan menjadi taruhannya.

Sangat sulit untuk kelas superior melawan kelas ultimate bahkan hanya sekedar menjaga aura seorang ultimate hanya dengan menggunakan tabir butuh usaha mati-matian. Situasi ini sungguh sangat merepotkan karena Carmen tidak berada disana, selain untuk menahan aura Horn, Carmen seharusnya dapat mengajarinya apa yang seharusnya para caster ultimate dapat lakukan, sialnya hari ini ia harus menanggung bebannya sendirian.

"Hm… ? ah The Red! Kau sudah baikan!?" sapa Misa setelah melihat dua orang berambut merah dan ungu tengah berlatih di basement. "Kau sudah baikan?" tanyanya lagi pada Carmen yang sedang mengawasi Horn. Mereka berdua'pun disuguhkan pemandangan tabir kubus bewarna ungu yang sama sekali tidak sempurna dan sangat berantakan. Carmen mendengus.

"Apa ini bentuknya masih persis seperti kemarin?" tanya Carmen yang tidak memperdulikan pertanyaan Misa.

"Yap… bentuknya masih seperti yang kemarin" jawab Misa dengan mantap.

"Astaga… itu bentuk tabir paling buruk yang pernah kulihat!"

Horn sudah selesai membuat tabir lalu menunjukannya pada mereka berdua dengan sedikit bangga.

"Bagaimana?"

Carmen memegangi dahinya yang tidak pusing sedangkan Misa tersenyum datar kepadanya, Horn tahu apa maksudnya.

"Buat lagi!", suruh Carmen. Horn kemudian membuat lagi sebuah tabir dengan kualitas yang sama.

"Ulangi lagi!", suruh Carmen. Horn lagi-lagi membuat tabir kubus dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Carmen lalu memintanya mengulangi lagi. Tetapi walaupun sudah berkali-kali Carmen memintanya membuat tabir yang baik dari sebelumnya, kualitasnya masih sama berantakannya seperti yang pertama. Melihat hal ini tidak hanya membuat Carmen frustasi tetapi Horn juga merasakan hal yang sama.

"Katakanlah The Purple, di mana letak kesulitannya dalam membuat tabir tersebut? Siapa tahu kita dapat menemukan solusinya.." timpal Misa yang menyadari kondisi psikologis kedua orang ini menjadi memburuk.

"Aku bisa melakukannya! Aku bisa! Aku bisa membuat yang lebih bagus..!" bentak Horn dengan nada meninggi.

"Tidak The Purple, kita istirahat dulu..", perintah Carmen.

"Tidak… belum! Aku masih belum membuat yang bagus! Aku sebenarnya bisa! Aku tahu aku bisa!" bantah Horn.

"The Red… aura ini.."

"Iya…. Ini menjadi berbahaya. Mantranya ingin mengambil alih dirinya…" Ujar Carmen yang juga menyadari aura Horn mulai meluap banyak dari tubuhnya. "… kita harus membujuknya."

Carmen dan Misa mendekati Horn yang sedang berulang kali membuat tabir yang kualitasnya sama. Sesudah ia menghancurkannya ia akan segera membuatnya lagi namun sayangnya tidak ada peningkatan sama sekali dari segi kualitas, hal ini membuat Horn menjadi frustasi.

"The Purple! Sudah cukup! Kau sudah berusaha dengan baik hari ini! Kau berhak istirahat!" kata Misa setengah teriak karena tubuh Horn diselimuti aura yang tebal.

"Horn! Sudahlah! Tidak ada gunanya jika kau memaksakan mantra seperti itu, yang ada kau akan terpengaruh olehnya!" ujar Carmen mengingatkan.

"Kalian tidak mengerti! Aku benar-benar bisa membuat tabir yang bagus! Mantra sihir ini seharusnya benar-benar dapat melakukannya!"

"Kau harus mengenal batasan dirimu The Purple! Kini kau mencapai batasnya, kau harus berhenti untuk sementara untuk mengenal batasanmu dan merencanakan caranya nanti untuk melampauianya! Cukup The Purple!" timpal Misa.

"Aku yakin aku bisa!"

"Tidak untuk hari ini!" kata Carmen.

"Aku bisa…!"

"Cukup Horn kau tidak bisa …!"

"Aku…."

Horn tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena ada sesuatu yang melilit pinggangnya.

"The-The Puppet?"

"Cukup… kau tidak mesti memaksakan dirimu saat berlatih sihir." Misa mempererat pelukannya. "Kau sudah melakukan yang terbaik, kau sudah menunjukan kemajuan, dan kau juga sudah kelelahan, jadi latihanmu harus diakhiri di sini. Kumohon mengertilah, mantra sangat bergantung pada kekuatan mental dan pikiran penggunanya, dan jika kau paksakan penggunannya maka akan ada imbas baliknya kepadamu. Kumohon… kau sudah di ambang batas kesabaranmu. Jadi kau harus berhenti untuk hari ini… masih ada hari berikutnya."

"Te-tetapi tenggat harinya!? Carmen dan aku akan..." tanya Horn sambil mencari wajah Carmen.

"Semua akan baik-baik saja…. Percayalah padaku. Tidak usah terburu-buru…". Ujar Misa dengan tenang dan penuh kasih sayang.

Horn memegangi kepalanya dan kemudian terduduk di lantai. Kepalanya sakit karena menggunakan mantra di luar kemampuannya. Misa ikut duduk dan mengusap-usap punggung Horn sambil berkata.

"Sudahlah… sudah berakhir.. kau bisa beristirahat sekarang.."

Carmen hanya dapat mematung melihat pemandangan itu. Untuk sekian kalinya ia merasa terasingkan oleh kedua caster tersebut. Matanya kesialauan melihat mereka berdua berdekatan seperti itu. Horn adalah partner kerjaku bukan? Tetapi mengapa? Kita sekarang sepertinya terasa sangat jauh? Mengapa Horn sangat mempercayai The Puppet?

Ck!

Sialan, lagi-lagi aku memikirkannya.

Beberapa hari ke depannya secara perlahan Horn belajar untuk membuat tabir dengan baik. Dengan mengkosongkan pikiran dan focus mendeskripsikan bentuk tabir yang diinginkan, seharusnya mantra akan mewujudkannya dengan baik. Tetapi tetap saja, mereka bertiga selalu dihadiahi tabir kubus bewarna ungu dengan bentuk yang tidak sempurna.

Carmen mencoba berasumsi apa yang terjadi pada Horn. Hampir semua caster yang ia kenal atau temui rata-rata dapat mengeluarkan tabir dengan sendirinya, dan biasanya bentuk-nya sangat bagus. Ini bentuk sihir paling dasar. Ada yang aneh dengan karakteristik mantra Horn. Apa memang mantra Horn tidak dapat membuat tabir yang bagus? Atau apakah ini karena kondisi mentalnya yang masih tidak stabil? Selama ini ia mencoba berhubungan secara verbal dengan Horn untuk membangun kemampuan sosialisasinya, apakah belum cukup? Apakah The Puppet yang membantunya juga belum cukup?

Sudah hampir seminggu tidak ada kemajuan. Bentuk tabirnya masih sama. Walau begitu jam pelatihan Horn semakin bertambah hari demi harinya. Ini termasuk kemajuan yang bagus, pikir Carmen. Kondisi mental dan pikiran Horn sedang dalam situasi yang baik dan membuatnya semakin dapat berinteraksi dengan mantra. Ini harus dipertahankan.

Misa selalu memperhatikan Horn dan menyemangatinya. Tidak lupa ia memuji dan memberi masukan kepadanya. Carmen sibuk menganalisis progress Horn dan mencoba memperhatikan bagaimana mantranya bekerja. Konsep mengeluarkan sihir semuanya identik. Kekuatan pikiran di otak manusia mengontrol semuanya dan mantra hanyalah penyalur untuk menjadikan pikiran kita menjadi energi sihir. Mantra menyesuaikan energi dalam pikiran kita dengan jenis mantra yang ada di kepala kita. Tetapi mantra memiliki kelemahan yang fatal yaitu sangat rakus untuk menelan kesehatan mental penggunanya sehingga tidak jarang para caster menjadi gila karenanya.

Tampaknya tidak ada pilihan lagi bagi Carmen.

"Sudah cukup, The Purple…" katanya pada Horn yang masih mengulang-ngulang bongkar-bangun tabir. "…Kita akan belajar persenjataan sekarang."

"Senjata bukanlah aspek yang terpenting ketika dalam pertarungan antar caster. Semua caster sebenarnya dapat menyerang langsung dengan bentuk-bentukan sihir mereka, tetapi untuk menjaga energi dan kewarasan, bentuk sihir dirambatkan pada objek-objek yang familiar dengan sang caster. Ambil saja contohnya aku." Carmen mengeluarkan pistol dari sakunya.

"Sebenarnya aku bisa menyemburkan sihir api melalui telapak tanganku agar lebih efisien aku menggunakan pistol sebagai rambatannya. Akan kutunjukan padamu. The Puppet!" sahut Carmen.

"Aku tidak mendengar kata tolong darimu.." balas Misa.

"Tolong siapkan puppet-nya…"

"Dengan senang hati bu guru" sahut Misa yang lansung memunculkan dua puppet di depannya.

Carmen lalu mendemonstrasikan jika sihirnya dikeluarkan langsung dari tangan. Ia'pun menyemburkan api dan membakar salah satu puppet yang ada hingga menjadi abu.

Misa'pun bertepuk tangan.

Kemudian ia membidik pistolnya ke puppet yang masih berdiri ketakutan melihat kawannya hangus menjadi abu. Sebuah peluru api melesat dari moncong pistol dan mengenai dada si puppet. Dalam sekejap nasib puppet tersebut sama seperti puppet sebelumnya. Menjadi abu.

"Impresif!" sahut Misa.

"Lihat perbedaannya The Purple. Jika aku mengeluarkannya langsung dari tangan, apinya akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mengenai target. Tapi jika aku menyimpan sihirnya di peluru dan melesatkannya melalui pistol maka sihirnya akan lebih cepat mengenai target sehingga akan lebih mudah untuk melenyapkannya…"

"Aku masih kaget kau berbicara tentang efisiensi sementara mesin cuciku harus bekerja dua kali lebih banyak setiap minggunya…"

"Hoho…"

"Jangan membahas masalah lain kemari. Sekarang aku harus tahu kau paham atau tidak..?"

"Sangat jelas aku paham."

Carmen menghela nafas panjangnya. Ia'pun membuka koper hitam yang sejak hari-hari kemarin tidak ia buka lalu menunjukan isinya pada Horn.

"Pilihlah yang sekiranya kau suka. Yang sekiranya sesuai dengan gaya-mu." ucapnya lagi.

Koper itu berisi senjata-senjata portable untuk pertahan diri terdiri dari pisau-pisau lipat, taser, baton bahkan pistol. Horn tampak kebingungan memilih senjata apa yang seharusnya ia gunakan. Misa juga ikut melihat kumpulan senjata-senjata yang banyak tersebut dan mengambil sebuah taser dari dalam koper.

"Boleh kusimpan ini?" tanyanya sambil menunjukan taser tersebut pada Carmen.

"Ini bukan pasar malam bodoh…beli saja sendiri di eWay atau Ahazon aku yakin kau bisa mendapatkan taser yang murah-murah." Ketus Carmen.

"Ah.. ayolah… aku tidak paham dengan alat-alat pertahanan diri seperti ini. Kau tahu tidak belakangan ini mulai banyak pelaku begal payudara yang berkeliaran di jalanan Dockstown. Kau enak The Red, sangat kecil kemungkinannya kau akan jadi korban para begal payudara tersebut…"

"J-jadi maksudmu!!?" protes Carmen dengan nada meninggi. Ia'pun memicingkan matanya setelah menyadari bahwa dada Misa jauh lebih besar darinya. Tangannya'pun mengepal dengan kuat.

"Bu-bukan begitu maksudku… kau ini'kan bisa beladiri… jadi sangat mustahil para pelaku dapat melancarkan aksinya kepadamu… begitu….". ngeles Misa.

Carmen mendengus kesal lalu meregangakan tangannya. "Terserah kau saja. Ambil saja kalau kau mau.", Carmen akhirnya mengalah.

Ia'pun dihadapkan pada Horn yang matanya masih memilih senjata apa yang cocok untuk dirinya. Yang mereka berdua tidak tahu Horn sebenarnya kehilangan konsentrasi setelah percakapan yang sangat menyinggung tadi. Dia memang seharusnya tidak mendengarkannnya, namun berhubung pendengarannya berfungsi, percakapan itu tidak bisa lepas begitu saja dari otaknya.

Sudahlah! Kini ia harus memilih senjata yang cocok untuknya. Horn sangat suka mengayunkan tangannya karena dia dulunya seorang pitcher di sekolahnya. Tangannya terbilang sangat gesit karenanya Mr. Rodriguez pernah memujinya karena ia sangat cekatan. Mungkin pilhannya jatuh terhadap baton karena cara penggunaannya penuh mengayun. Tetapi ia ingat mantranya juga bisa membuat proyektil kristal yang ditembakan. Seharusnya ada senjata yang bisa membuatnya lebih efisien. Pistol? Tidak. Horn tidak mau mengantungi benda itu seperti para polisi. Matanya'pun menemukan sesuatu ketika ia mengacak-ngacak tumpukan pisau.

"Ini benda apa?" tanyanya sambil menunjukan sebuah gagang persegi panjang yang dilapisi kayu pernis berbentuk silindris.

Carmen mengambil dan mengingat-ingat benda apa yang Horn tunjukan itu. Setelah memutar-mutarnya akhirnya ia ingat.

"Oh…. Ini.. ini pisau dua bilah" jawab Carmen sambil mendemonstasikan bagaimana mengubah benda persegi panjang itu menjadi pisau dua bilah. Ia membuka bagian atasnya terlebih dulu lalu bagian bawahnya. Mata Horn berbinar-binar seperti anak kecil melihat mainan yang bagus di mall. Carmen memberikannya lagi pada Horn. Ia'pun mencoba mengayunkannya, melipat bilah yang dibawahnya lalu di buka lagi lalu mengayun ayunkannya lagi seperti sedang menebas sesuatu. Ia'pun mengangguk-angguk lalu berkata pada Carmen.

"Aku suka ini… aku pilih yang ini"

Carmen manggut-manggut, "Pilihan yang menarik…"

Selain tabir semuanya tidak ada yang masalah pada Horn. Ia'pun berkembang dengan pesat berkat pisau yang ia pilih saat itu. Pisau itu sangat berguna sebagai rambatan sihirnya serta menjaga kondisi mentalnya saat menggunakan mantra secara terus menerus.

Horn munggunakan pisau itu sebagai dua senjata yang berbeda. Yaitu pedang dan panah. Jika ia mau menyerang langsung dengan sihir dalam jarak dekat maka cukup membuka satu bilah dan menjadikannya sebagai pedang, lalu jika ia ingin menyerang untuk jarak jauh cukup ia buka bilah yang satunya dan dengan rambatan sihirnya maka jadilah sebuah busur dan apabila ia ingin menembakannya tinggal menggabungkannya dengan sihir yang baru sebagai anak panah. Terdengar mudah namun nyatanya itu'pun perlu pembiasaan dan penyesuaian.

Carmen'pun mengajari Horn poin-poin dalam beladiri menggunakan senjata terutama dengan pisau. Horn pelan-pelan belajar bagaimana menyerang menggunakan senjata tajam dengan benar. Ia'pun juga belajar memanah dan membidik di basement itu. Yang menjadi permasalahan terbesarnya adalah pisau itu posisi kedua bilahnya sama sekali tidak sejajar dan mengakibatkan proyektil yang dilepaskan menjadi tidak akurat. Horn mencoba berkali-kali bagaimana sifat dari senjata barunya tersebut. Memang sulit untuk membaca arahnya, tetapi Horn mencoba mengaris bawahi cara penggunaanya dengan membidik lebih ke kanan karena proyektilnya seringkali mengarah terlalu ke kiri.

Misa ikut andil membantu pelatihan itu dengan membuat puppet sebagai target latihan Horn. Mulai untuk ditebas, dipanah, maupun ditusuk, puppet-puppet itu hanya bisa pasrah menerima tugasnya.

"Ah…. Hari ini panas sekali…" desah Misa di hari yang terik itu. Karena masih musim panas belum usai seringkali suhu di basement sangat panas walaupun sudah dilengkapi pendingin ruangan yang mumpuni. Tetapi tetap saja jika alam sudah berkata lain, manusia bisa apa?

"Hmph…!" Horn tiba-tiba saja memalingkan wajahnya dari Misa.

"Ada apa The Purple?" tanya Misa yang merasa seperti dijauhi Horn karena sesuatu. Ia'pun mendekati Horn yang tidak mau berkontak mata dengannya. "Hey ada apa The Purple? Apa ada yang aneh dariku?"

Horn menggeleng tanpa suara. Ia ingin segera kembali pada latihannya tetapi Misa menghalanginya.

"Hey ada apa sih?"

Jadi kondisinya seperti ini. Pada hari itu Misa mengenakan kemeja putih yang diselimuti blazer hitam tak dikancing. Karena Misa mengenakan kemeja yang agak ketat, otomatis lekukan tubuh depannya sangat terlihat, belum lagi di suasana panas itu ia banyak berkeringat yang membuat kemeja putihnya tembus pandang. Horn menyadari hal itu dan tidak mau melihatnya. Entah mengapa setelah percakapan dua wanita dengan topik yang mengganggu itu, ia baru menyadarinya bahwa Misa memiliki lekuk tubuh yang bagus. Jelaslah fakta ini berbahaya baginya! Ia tidak mau keceplosan membanding-bandingkan bentuk tubuh Misa dengan wanita yang tinggal seatap dengannya, Carmen. Untung saja Carmen tidak pernah menanyainya tentang masalah tubuhnya itu di apartemen. Bukan bermaksud merendahkan, tetapi memang, karena dari dulu tubuh Carmen yang kurus itulah membuat lekuk-lekuk tubuhnya menjadi kurang terlihat. Ini dapat dibuktikan pada foto lama Carmen yang Horn temukan di kopernya, bahwa Carmen memang sejak muda memiliki tubuh yang kurus dan berimbas pada pertumbuhan bagian-bagian tubuh kewanitaannya.

"Hey ada apa…. Kok kamu kayak menghindar begitu?" tanya Misa yang mengejar wajah Horn yang selalu kabur dari pandangannya. Carmen yang melihat tingkah laku mereka berdua'pun mendekat dan menyadari bagian dada Misa yang terekspos.

"Huh… kau memang tidak tahu malu The Puppet.." dengus Carmen.

"Huh.."

"Lihat bagian dadamu…!"

Misa'pun melihat bagian yang Carmen minta yang kemudian membuat dirinya tersenyum lebar. Ia'pun menutup bagian dadanya dengan mengkancingkan blazer hitamnya

"Ah…. Aku jadi malu jika dilihat seperti itu…. fufufu... Aku lupa The Purple adalah laki-laki yang sudah besar.."

Horn masih menghindari kontak mata dengan Misa.

"Sudahlah… jangan menganggu konsentrasinya lagi. Cepat buatkan dia puppet yang lain untuk simulasi!" tegur Carmen.

"si.. si! Baiklah bu guru!"

"Baiklah…. Mari kita lakukan. Jika kau membuatku terpukau berarti kau lulus dan layak untuk bekerja mulai besok." ujar Carmen pada Horn. "Sengaja aku memilih hari minggu agar The Puppet dapat memaksimalkan mantranya untuk simulasi ini… nah aku dan The Puppet akan mengawasimu dari atas podium, dan kau... yah kau pasti sudah tahu apa yang harus kau lakukan."

Carmen dan Misa'pun pergi naik podium meninggalkan Horn seorang diri di tengah basement. Carmen melipat tangannya dan melihat Horn dengan tatapan sinis.

"Silahkan kau mulai jika kau sudah siap, The Puppet…. Tolong" kata Carmen pada Misa.

"Heh….. baru kali ini ku dengar kau meminta tolong The Red. Baiklah jika itu maumu akan kubantu dengan maksimal." Misa'pun duduk di lantai podium dan memejamkan matanya.

Horn yang berada di tengah sedang melihat-lihat kondisi di basement yang tampak agak aneh. Banyak sekali kantung sampah. Bahkan dapat dibilang seluruh bagian bawah dinding tertutupi oleh kantung-kantung tersebut. Dia tahu mantra The Puppet dan ini tidak bagus.

"MULAI!"

Seketika saja kantung-kantung sampah itu menghilang dari pandangannya dan mulai bermunculan orang-orang dengan senjata yang beragam. Mereka tampak marah dan benci pada Horn. Horn tahu itu ilusi dan Horn juga paham ini adalah simulasi. Carmen pernah bercerita tentang kondisi bagaimana pertarungan caster yang seringkali tidak seimbang membuat ia berakhir luka-luka walau pada akhirnya ia berhasil memenangkan pertempuran tersebut dengan melenyapkan semua lawannya. Sama seperti saat ia dikeroyok oleh para cani, kasusnya tidak kalah jauh berbeda, tetapi di saat itu Horn dalam keadaan setengah sadar akibat mantranya yang mulai mengambil alih pikirannya. Kini ia dalam keadaan waras seutuhnya dan harus melenyapkan para puppet yang bakal menyerang ini. Ia tidak boleh menyerahkan kewarasannya pada mantranya sendiri walau mereka sudah berdamai.

Horn'pun mengeluarkan pisau dua bilahnya dari kantong dan bersiap-siap jika ada puppet yang mulai menyerang. Tiba-tiba saja di belakangnya dengan pentungan baseball sebuah puppet mencoba menyerangnya yang langsung ia lumpuhkan dan tusuk dibagian lehernya. Semua puppet-pun menggila dan mulai berbarengan menyerang Horn dengan senjata-senjata mereka.

Sebuah baton berayun tepat di depan wajahnya, lekas ia menggenggam tangan sang puppet dan menggorok lehernya. Dua buah pisau'pun meluncur tepat ke arah wajahnya yang refleks, Horn menutupi wajahnya dengan tangan yang sudah dirambati sihir kristalnya. Pisau-pisau itu'pun terpental dan jatuh entah di mana. Di sebelah kanannya tiba sebuah puppet yang hendak membacoknya dengan golok, untungnya berhasil ia alihkan arahnya dan akhirnya mengenai puppet yang ada di seberangnya. Horn dengan segera menusuknya berulang kali dengan sihir agar tubuhnya cepat hancur.

Horn kemudian merasakan seusatu yang berat menghujam bahunya. Ia melirik sebentar ternyata sebuah golok. Langsung saja ia berbalik untuk menendang puppet yang membacoknya tadi dan melempar balik golok yang menancap di bahunya.

Sadar di belakang tubuhnya ramai, ia'pun menunduk dan berbalik arah sambil mengayunkan pisaunya yang sudah menjadi pedang sihir. Tiga puppet tumbang sekaligus dalam satu serangan tersebut.

Horn sadar bahwa ia akan terkepung jika ia terlalu lama tidak memindahkan pusat penyerangannya. Ia'pun punya ide dengan menapakan kakinya ke wajah sebuah puppet ia'pun dapat melompat sangat tinggi dan kesempatan ini tidak ia sia-siakan. Sebuah anak panah sihirnya ia tembakan ke tengah lantai yang mengakibatkan sihir di dalam anak panah tersebut merambat di lantai dan menyengat seluruh puppet yang ada di lantai dengan sengatan listrik. Begitu Horn turun ia langsung menebas para puppet yang masih tersetrum oleh sihirnya itu. Kini hanya dia seorang diri yang masih berdiri di lantai basement.

Ternyata belum simulasinya belum sama sekali selesai. Sebuah kapak dengan cepat melayang ke arahnya. Ia sempat berlindung dengan tangannya namun tidak sempat untuk mengeluarkan sihirnya. Tangannya'pun terluka parah dan darahnya'pun menetes.

"Cih…!" desah Horn mendapati luka itu sangat mempengaruhi gerakan tangannya.

Tiba-tiba ada sesuatu yang menariknya ke bawah dan itu ternyata adalah sebuah puppet yang dirambatkan lewat lantai. Misa tidak pernah menunjukan sihir yang seperti ini! Katanya dalam hati. Ia'pun terperangkap dan puppet-puppet lainnya'pun datang untuk menyerangnya. Puppet itu tidak mau melepaskannya, cengkramannya terlalu kuat! Ia harus berbuat sesuatu! Tangannya sedang tidak bisa digunakan saat ini! Mungkin ia tadi terlalu bergantung pada kekuatan tangan Carmen sengaja mengecohnya dan sekarang hanya ada satu yang dapat ia perbuat saat ini.

"I-itu…." mata Carmen terbelalak dengan apa yang lakukan Horn. "…. Jadi ternyata itu fungsinya!", seketika ia paham apa yang sedang Horn lakukan.

Horn mengeluarkan tabir yang biasa ia buat untuk melindunginya. Tubuhnya seketika diselimuti tabir kubus yang tidak sempurna itu.

Para puppet yang menyerangnya tidak dapat mengenainya dan malah mengenai tabir yang dibuat Horn. Tabir itu pecah dan isinya berupa aura menyebar ke seluruh basement sekaligus melenyapkan para puppet yang menahan maupun menyerangnya. Tubuh mereka ditumbuhi kristal-kristal ungu sebelum akhirnya meletus berkeping-keping.

"Jadi selama ini itu adalah jenis tabir yang berbeda! Aku baru tahu ternyata tabir The Purple tidak seperti tabir caster pada umumnya. Jadi begitu mengapa ia membuat tabir yang sama berulang kalinya karena memang begitulah keistimewaan mantranya! Walau tadi memang digunakan untuk melindungi penggunanya namun lebih tepatnya juga sebagai bom aura. Dan itu sama sekali bukan bentuk kubus itu adalah…."

Obelisk!!

Aura Horn melayang-layang di udara basement. Aura ungu tersebut sangat pekat sampai-sampai ia kesulitan untuk melihat apa yang di depannya. Kakinya sudah bebas, luka di tangannya mulai menutup. Ia belum mendengar aba-aba untuk menyuruhnya berhenti. Ia'pun melihat sekeliling untuk berjaga-jaga apabila tahu-tahu ia diserang lagi. Kemudian sebuah siluet kabur tiba-tiba muncul di hadapannya.

Segera ia menggenggam pisaunya dengan mantap dan menerjang ke arah siluet tersebut. Aura yang seakan menjadi kabut membutakan itu mulai membuka akhirnya membuka identitas asli dari siluet itu setelah pisaunya kurang lebih sudah berjarak satu senti dari leher targetnya.

"Ah….Tadi kuduga kau akan meneruskan perjalanan pisau itu di leherku The Purple….." ujar Carmen setelah mendapati Horn mematung dengan pisaunya masih berada di lehernya.

"Kau seharusnya memberiku aba-aba untuk berhenti bukan menaruhkan nyawamu di kondisi seperti ini…"

"Hmph…aku juga sedang menguji kewarasanmu sekarang The Purple. Aku takut kau kehilangan kendali lagi.."kata Carmen sambil menurunkan tangan kiri Horn yang masih menggenggam pisau bermata dua itu.

"Cih…!" dengus Horn melepaskan genggaman Carmen. "…Jadi bagaimana?"

"Aku sudah mencatat baik-baik karakteristik mantramu dan nyatanya mantramu bukanlah pembuat tabir pelindung yang baik. Caster yang baik harus menutupi jejak sihirnya tetapi mantramu tidak demikian…"

"Jadi bagaimana akhirnya? Apa aku harus belajar membuat tabir lagi?" tanya Horn dengan nada meninggi.

"Tidak usah….. keistimewaan mantramu memang mengeluarkan sihir yang berantakan. Itu adalah bakat sekaligus kekurangannya. Tetapi kekurangan itu dapat diatasi dengan satu hal…". Awan aura Horn dengan cepat menipis yang membuat jarak pandang di tengah basement membaik. Pada akhirnya hilangnya awan aura itu juga menunjukan apa yang ada di tangan kanan Carmen.

"Mi-Misa!? Apa yang...."

Bum!

Horn terpental oleh sihir api ledakan milik Carmen. Ia lengah dan terpental sangat jauh. Di tangan kanan, Carmen menarik rambut Misa yang kini kondisi tubuhnya sudah babak belur dan mulutnya disumpal kain. Misa tidak ada tandingannya melawan caster ultimate seperti Carmen. Mata Misa sudah basah berlinang air mata.

"Lepaskan dia The Red!" perintah Horn sambil merintih kesakitan. Serangan Carmen tadi sangat ampuh untuk melumpuhkannya, tepat di tengah dadanya yang kini memiliki sensasi terbakar yang sangat panas.

Carmen tertawa dan tidak mempedulikannya. Ia mulai mengalirkan sihirnya melalui tangan kanannya. Api merambat dengan cepat dari rambut hingga ujung kaki Misa yang membuatnya meronta-ronta dan menjerit kesakitan. Misa kini tengah dibakar hidup-hidup oleh Carmen.

"Hentikan kegilaan ini The Red!!" bentak Horn dengan gemetar melihat pemandangan di hadapannya.

"….. Kau membelanya? Ingat ini The Purple, kekurangan mantramu akan tertutupi jika kita selalu bersama. Dengan tidak adanya pengganggu seperti si hama ini kita akan menjadi sempurna! Tidak akan ada yang bisa menghentikan kita! Kita bisa menjadi apa'pun yang kita suka! Camkan ini baik-baik! Kau dan aku sama sekali tidak berbeda…. Kita ini sama The Purple. Kau dan aku!". Senyum Carmen merekah di tengah kobaran api yang semakin lebat. Jeritan melengking Misa dapat membuat siapa saja merinding mendengarnya

Horn melihat Misa semakin melemah hingga sauara jeritannya tidak terdengar lagi.

"Mi…sa…..?"

Misa dijatuhkan ke lantai karena rambutnya yang dijambak Carmen putus terbakar. Meski begitu tubuhnya masih terbakar dan ia sudah tidak bergerak lagi.

"MISAAA!!!"