Chereads / Red Hustle: Revenge of The Dark-Hearted / Chapter 9 - [Bab 8] 2 in 1

Chapter 9 - [Bab 8] 2 in 1

Jauh di provinsi bagian timur Ouro tepat saat tengah hari dimana anak-anak di sekolah dasar akan kembali ke rumah mereka masing-masing. Ada yang di jemput oleh orang tua mereka, ada yang naik jemputan dan ada juga yang pulang sendiri entah itu berjalan kaki atau dengan kendaraan lainnya. Salah seorang anak pulang dengan berjalan kaki. Langkahnya sangat cepat. Tampaknya ia sedang terburu-buru dan dari raut wajahnya ia seperti merasa kesal. Ketika ia melihat nomor rumahnya di blok itu, segera ia memotong halaman dan masuk ke dalam rumah dengan membanting pintu.

"Sam bagaimana sekolahmu?". Anak bernama Sam itu tidak membalas pertanyaan ibunya dan langsung pergi menuju kamarnya. "…Sammy?"

Wanita yang sudah menginjak tiga puluhan itu mengejar anaknya yang sudah lebih dulu menutup kamarnya. Wanita itu mengetuk secara perlahan pintu yang sudah terdekorasi dengan tulisan 'Happy big 7'. ia mecoba memanggil anaknya lagi dari balik pintu.

"Sam, ada apa? Apa ibu boleh masuk?". Wanita itu memutar kenop pintu yang ternyata tidak terkunci. Secara perlahan ia memasuki kamar dimana ia menemukan anak laki-lakinya itu sudah terbaring di atas kasur dan menutupi dirinya dengan selimut.

"Sam, ada apa? Kau tampak kesal…" ujar wanita itu lalu mengambil sebuah bangku dan duduk tepat di sebelah kepala anaknya. Sam langsung memutar badan. "Ada masalah di sekolah'kah? Kamu bisa bercerita pada ibu.."

Sam mengabaikannya.

"Hei…." Ibu Sam pindah duduk ke sisi tempat tidur. "Malah tidak akan selsesai jika kau pendam. Yang ada malah dendam. Ibu tidak mau kamu memendam sebuah masalah... itu tidak menyelesaikan apapun…". Sam masih tidak bergeming. "Ceritakan saja Apa yang kau alami, ibumu ini akan mendengarkannya" Ujar ibu Sam sambil mengusap-usap rambut lurus putranya dengan lembut.

"Ibu guru….. menuduhku menyontek saat ulangan…" Ujar Sam yang mulai terisak. "Padahal nama Sam di kelasku banyak…. Tapi kenapa bu guru menuduhku padahal aku tidak menyontek sama sekali. Teman-teman sudah memberitahunya bukan Sam diriku tetapi tetap saja aku harus mengerjakan sisa ulangan tadi di luar...". Sam terdengar menangis dari balik selimutnya. "Kenapa harus aku…! Padahal'kan yang menyontekkan bukan aku!..uhuhu…"

Melihat kondisinya putranya yang dituduh oleh gurunya membuatnya khawatir akan kondisi mentalnya. Ia mencoba menenangkannya dengan menepuk dan mengusap-usap tubuhnya. Sam masih terisak-isak atas apa yang menimpanya. Ibunya tahu, Sam akan mencoba terlihat kuat di mata orang lain tetapi ia tahu persis bagaimana isi hati dari anaknya. Ia mencoba menanggung itu semua namun itu tidak baik. Ia harus berbuat sesuatu untuk kedepannya.

"Ibu akan berbicara dengan gurumu besok atas kejadian ini. Siapa nama bu gurunya?"

"Mrs. Oliver.."

"Mrs. Oliver…. Besok ibu akan ngomong dengan beliau dan masalah ini akan selesai, tapi janji kau tidak boleh menangis dan menumpat seperti ini lagi..". Sam mengangguk. Ibunya tersenyum melihat bahasa tubuhnya itu. Wanita itu mulai ikut merebahkan dirinya di samping anaknya sambil memandang langit-langit kamar yang sedikit kotor oleh sarang laba-laba. Sekilas tampaknya ia mendapatkan suatu ide untuk menghibur anaknya.

"Hei Sam…. Coba sebutkan nama lengkapmu…" Ujar ibunya. Sam yang sedikit kebingungan'pun menjawab.

"Huh….uuuhhhhh…. Sam Hornet Backtack?"

Ibunya tersenyum walau wajah mereka tidak berhadapan.

"Bagaimana kita mengganti nama panggilanmu agar kamu tidak tertukar dengan anak lainnya.". Sam tampak tertarik mendengarnya. "Tidak hanya itu, ibu akan lebih mudah mencarimu jika kau menghilang di tempat belanja…..". Sam kembali menarik selimutnya setelah mendengar pernyataan kedua itu.

"Hahaha… ibu hanya bercanda….. Hei…." Ibunya menarik-narik selimut yang menutupi tubuhnya menggodanya untuk menatapnya. "Bagaimana menurutmu? Kamu mau dipanggil apa?" tawar ibunya.

"Sammie?". Sam menggeleng.

"HB?". Tidak menurut Sam, ia benci nama inisial singkatan.

"Reyes Jr…. hahaha… ayahmu dulu ingin sekali menyebutmu seperti itu karena kalian sangat mirip katanya…" Ibu bercanda lagi.. batin Sam. "Oh bagaimana dengan ini…" Ibunya terdengar berpikir sejenak.

"Ah… bagaimana dengan Horn (Tanduk)…. Bagus bukan?"

Horn nama panggilan yang sangat berbeda dan terdengar sangat gagah juga spesial. Sam memutar tubuhnya ke hadapan lalu dengan malu-malu ia mengangguk-angguk atas saran nama panggilan dari ibunya itu. Ibunya tersenyum sambil mencubit gemas pipi anaknya.

"Baiklah habis ini, jika ayah sudah pulang bilang padanya untuk memanggilmu Horn, Horn.."

"Horn…"

"Horn… Horn hei! Ini sudah pagi! Kau tidak masuk angin tiduran di bawah lantai begitu?"

"Huh….ahh…" Setengah sadar Horn merespon suara yang telah membangunkannya pagi itu. Ia menggaruk-garuk badannya yang tidak gatal dan melihat ke sumber suara.

"Ah… Carmen… yo… jam berapa ini?" Tanya Horn sambil melirik ke arah balkon.

"6:30...….hmm… Horn apakah kau menangis?"

"Hah? Ah…" Horn menyeka pipinya yang ternyata basah karena air matanya. Lagi-lagi ia mendapati dirinya terbangun dengan deraian air mata tetapi mengapa? Horn mencoba tidak mau memikirkannya. Horn duduk bersandar di dinding yang memisahkan dirinya dengan kamarnya. Carmen duduk di sebelahnya.

"Apa ada yang mengganggumu? kau cukup mengingau tadi saat aku mencoba membangunkanm…." Tanya Carmen.

"Tidak ada…. Mungkin hanya mimpi buruk".

"Mungkin kau bisa bercerita kepadaku…. Kita adalah teman sekarang.."

"Aku tidak punya sesuatu untuk diceritakan"

"Kau bukannya bercerita banyak semalam…?"

"Benarkah? Itu mungkin cerita yang berbeda, aku tidak punya apa-apa untuk diceritakan untuk saat ini"

"Oh…."

Mereka saling tolak pandang. Horn mengamati langit langit pagi lewat kaca balkon sedangkan Carmen memandang kosong lantai di depannya sambil memeluk lutut. Mereka berdua duduk di kasur yang Horn gelar di ruang tengah, sama seperti semalam mereka tengah berada di objek yang sama yaitu kasur, namun tidak semenegangkan seperti kejadian itu.

Hening.

Mereka berdua berada di mana pikiran akan mengalir seperti sungai-sungai kecil, dan seperti tumbuhan ilalang-ilalang dibawa menari oleh angin. Mereka berdua terbawa pada suasana pagi yang tenang itu.

Matahari sudah menyingsing di langit Ouro. Cahayanya kini sedang mengetuk-ngetuk setiap pemukiman yang jendelanya masih tertutup tirai menyoraki bahwa aktivitas di hari ini akan dimulai. Semua orang tentunya akan bereaksi bermacam-macam. Ada yang langsung bangun, ada yang setengah sadar, dan ada yang ingin menambah waktu tidurnya, semua memiliki sapaan tersendiri kepada 'pagi hari'.

Horn mendapati dirinya sudah terbangun dan duduk bersama teman wanita satu apatemennya. Suasana pagi hari telah membisukan mereka berdua untuk memasang panca indra mereka merasakan sejuk dan hangatnya suasana pagi hari. Apartemen murah ini memang memiliki panas yang luar biasa ketika siang hari sehingga momen seperti ini tidak boleh disia-siakan. Horn menoleh pada Carmen yang masih memeluk lututnya.

"Kau tidak memberitahuku kau orang Skotlandia." Tanya Horn memecahkan keheningan.

"Kau…. memperhatikan gaya bicaraku?"

"Orang Skotlandia memiliki aksen yang dikatai khas di berbagai negara. Kau bisa mendengar perbedaan bahasa Spanyol aksen biasa dengan aksen orang Skotlandia. Bahkan bahasa Inggris kita dibilang jauh berbeda dengan orang-orang Britania."

Carmen tertawa kecil mendengarnya.

"Itu fakta, bukan? Keluargaku dari keduanya dari Skotlandia dan menghabiskan banyak waktu untuk memahami bahasa Spanyol tanpa menarik aksen kami ke dalamnya."

"Kau tahu… Ibuku berasal dari Skotlandia dan ayahku adalah orang Spanyol Ouro…. Tampaknya mereka berdua telah memberikan aksennya masing-masing kepadaku.". Mereka berdua tertawa kecil sebelum suasana menjadi hening kembali.

"Hei… aku turut berduka cita…"

"Tidak apa-apa, Horn. Kejadiannya juga sudah lama sekali."

Mereka berdua sekali lagi digandeng oleh keheningan. Carmen meratap melihat lantai yang belum disapu dari kemarin. Horn memalingkan wajahnya untuk menghadap langit pagi sejenak sebelum ia melihat Carmen yang masih dalam posisi yang sama.

"Kau baik-baik saja?"

"Uhhh....Aku tidak terlalu tahu… tampaknya aku mengalami hangover. Kepalaku masih terasa pening…."

Tentu saja kau semalam minum lima dari enam kaleng bir yang ada di kerat tahu! Kata Horn dalam hati. Horn tidak tahu harus berkomentar apa.

"Minumlah segelas air…" Sarannya.

"Bisakah kau mengambilkannya untukku….."

"Bukannya kau tadi bisa berjalan sendiri membangunkanku?"

"... itu terjadi secara spontan…..Ugh…. Aku benar-benar dalam kondisi yang buruk…. aku minta tolong Horn…. kumohon…." minta Carmen tanpa merubah posisi duduknya. Dengan berat hati ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke dapur. Saat ia melewati Carmen, ada sesuatu yang menarik kausnya.

"...Aku minta air yang hangat….." Kata Carmen berbisik saat tangannya berhasil menarik kaus Horn.

"Okay.." jawab Horn dengan nada sedikit kesal. Ia lalu melanjutkan perjalanannya ke dapur untuk memanaskan air.

Dapur masih kotor akibat sisa pesta semalam. Horn segera membersihkanya sembari menunggu air panasnya siap. Beberapa ungut kecoa bermunculan di lubang wastafel. Ini sudah menjadi tontonan yang biasa jika ada kecoa yang hidup di daerah kumuh seperti ini. Horn tidak kaget karena selama kurang lebih 14 tahun tinggal di lingkungan seperti ini telah membuatnya beradaptasi tidak takut dengan kecoak. Ia kembali berfokus membersihkan piring-piring sisa pesta semalam dan membiarkan air-nya menghanyutkan kecoa yang berusaha unjuk diri ke permukaan. Semuanya sudah bersih sisa air hangat yang dipesan Carmen.

CUUUUUUSSSSS...!!

Ketel airnya telah bersiul, tanda airnya sudah siap dan begitupun dirinya yang sudah membereskan sisa peralatan makan kemarin. Ia menyiapkan dua cangkir teh yang ia beli kemarin ber-merk Twinings, tidak lupa ia juga menyediakan segelas air putih hangat untuk Carmen. Ia menaruh semua itu ke atas meja kecuali air putih hangat yang langsung ia berikan ke hadapan Carmen, Horn kembali duduk di sebelahnya.

"Terima kasih…" Carmen langung meneguk air hangat di gelas itu seperti baru saja ia melihat air di gurun pasir. Langsung habis. Ia mengatur nafasnya sebentar lalu mendongak ke arah langit-langit. "…. Aku bekerja hari ini…. Aku akan memberitahukan atasanku tentangmu dan akan kupastikan kau mendapatkan pekerjaan dan simpatinya.."

"Jadi….. hari ini aku harus apa?" tanya Horn ragu.

Carmen melepas bandonya yang sudah terlalu lama terpasang di rambutnya. Rambut lurus pendeknya terurai berantakan menutupi wajahnya sebagian setelah ia menggaruknya sedikit karena gatal. Setelah rasa gatalnya hilang ia menyisir rambutnya ke samping menggunakan tangannya.

"Kau menetaplah disini…. jangan keluar.... aku akan menyuruhmu keluar kalau aku sudah mencapai kesepakatannya....ok?"

"Uh… kenapa begitu?". Horn tanyanya.

"Kau masih belum bisa mengontrol sihirmu….. dan aku khawatir kau akan diburu dengan mudah jika kau keluar dari area Shovel atau bahkan dari sini."

"Kau sering menyebutkan 'aku akan dengan mudah diburu'… memang siapa yang mau memburuku?" Horn penasaran. Carmen berdiri sambil menghela nafas yang berat lalu melangkah menuju kamar Horn.

"Aku akan menjawabnya nanti, akan terlalu berat bagimu untuk memahaminya jadi ikuti saja kata-kataku tadi, The Purple." Carmen menghilang dibalik pintu dan sesaat kemudian keluar lagi sambil membawa sehelai handuk di pundaknya. "Aku pinjam kamar mandimu" Ujarnya menghilang menuju lorong kamar mandi.

"Terserah". Horn mengalihkan perhatiannya dengan menyeruput teh yang telah ia buat. Sudah agak dingin, namun kehangatannya masih ada disana. Horn mengangkat matras yang ia duduki dan membawanya ke dalam kamar. Di dalam kamar ia mendapati koper kulit milik Carmen tengah terbuka lebar. Ia mengintip sedikit apa isinya mungkin ada yang lebih menarik dari pakaian-pakaian wanita, pikirnya. Sebuah objek bewarna hitam terpampang jelas tergeletak di atas permukaan baju-baju, dari melihatnya saja sudah terlihat tidak asing terutama jika kau sering menonton film-film action. Sebuah pistol. Horn tidak tahu pasti apakah itu pistol yang sama digunakan oleh James Bond, tapi yang jelas beberapa hari yang lalu pistol itu hampir membunuhnya. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya lagi. Di jaring-jaring koper terdapat sebuah foto dua gadis yang kondisinya sudah agak kusam. Horn bisa menebak sedikit bahwa salah satunya yang terlihat lebih muda dan cemberut adalah Carmen, dan salah seorang lagi dengan wajah yang lebih dewasa dan oriental adalah sahabat Carmen yang ia bilang sudah tiada. Horn tidak terlalu memperhatikan koper itu lebih lanjut. Ia segera mengambil sekotak rokok beserta korek api gasnya dan kembali duduk di ruang tengah.

Rokok segera ia nyalakan, Horn melayangkan pikiran kosongnya melalui kepulan asap-asap rokok. Tak berapa lama berselang suara percikan air di kamar mandi berhenti dan Carmen keluar ditutupi handuk setengah telanjang.

"Jangan kau berani-berani menoleh atau mengintip!" ketus Carmen.

"Kau bahkan lupa ada laki-laki di apartemen ini" Balas Horn. Horn memang tidak berniat untuk mengintip sama sekali. Pertama jika ia mengintip ada dua kemungkinan, ia tidak akan melihat Carmen dengan sama lagi atau dia akan membunuhnya di tempat, dan alasan yang kedua adalah atas setelah apa yang terjadi semalam. Ia tidak mau berada di tengah keadaan serba canggung lagi. Mereka mungkin terlihat akrab namun kenyataannya belum terlalu mengenal satu sama lain, jika kejadian ini sering terjadi akan merusak hubungan pertemanan mereka dan ia akan kehilangan kesempatan pekerjaan itu.

Carmen agak lama berada di kamar Horn. Namun tidak lama berselang ia keluar dengan mengenakan setelan pakaian berupa blazer hitam yang diisi kaus bewarna putih lengkap dengan celana panjang bewarna krem. Berbeda dengan pakaian yang ia pakai kemarin kali ini Carmen terlihat sangat tomboy.

"Ingat apa kata-kataku tadi, Horn, jangan kau berani untuk keluar saat ini. Ini bertujuan karena aku ingin membantumu" ujarnya saat hendak keluar di depan pintu apartemen.

"Carmen?"

"Ya?" Carmen menoleh.

"Tidak minum teh dulu?" ujar Horn sambil menunjuk teh yang sudah ia buatkan untuk Carmen. Carmen tidak menghiraukannya dan langsung membuka pintu.

"Carmen tunggu sebentar!"

"Apa lagi!?"

"Bukankah kau bekerja dengan jubah yang waktu itu?"

Carmen menghela nafasnya lalu menjentikan jarinya. Seketika seluruh pakaian Carmen berubah seperti saat Horn berjumpa dengannya untuk pertama kali. Jubah hitam.

"Bagaimana?"

Horn manggut-manggut melihat transformasi yang terjadi dalam sekejap mata. Carmen menjentikkan jarinya lagi lalu pakaiannya berubah kembali seperti semula.

"…Akan kujelaskan semuanya padamu setelah kesepakatannya selesai. Aku janji!" Carmen dengan sedikit membanting pintu keluar dari apartemen lalu menghilang di koridor.

Horn sekali lagi dihadapkan bahwa ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti instruksi Carmen. Masih banyak pertanyaan yang melayang di kepalanya. Ia masih belum mengerti mengapa sihirnya bisa mengontrol dirinya secara setengah sadar. Terlebih lagi bagaimana bisa masih ada sihir di abad ke-21, bukannya itu hanyalah mitos abad pertengahan?

Horn menyalakan sebatang rokok dan mulai melayang-layangkan pemikirannya di antara kepulan asap. Sayangnya semua pemikiranannya tampak menemui titik buntu. Ia tidak mengerti mengapa sihir masih ada di zaman modern yang konon serba canggih ini? Terlebih lagi apa yang akan ia lakukan di apartemennya seharian?

Horn tidaklah asing dengan kondisi berada di apartemen seorang diri. Sejak kecil ia diasuh oleh bibinya Edith di apartemen kumuh tersebut. Hampir setiap hari bibi Edith bekerja sebagai pegawai di mall GMD sehingga sebagian besar waktunya ia habiskan sendirian. Ia pindah ke apartemen tersebut karena ayahnya terkena penyakit misterius dan ibunya terpaksa bekerja ke Skotlandia untuk biaya pengobatan ayahnya. Ibunya nanti juga akan merawat ayahnya disana, atau seperti itulah yang bibi Edith selalu katakan mengenai ke mana kedua orang tuanya.

Suatu hari ketika sepulang dari bekerja beberapa tahun yang lalu. Ia menemukan ponsel-nya bibi Edith yang ketinggalan tergeletak di meja. Horn yang penasaran langsung membuka kunci flip phone tua itu dengan mudah. Ia mencari riwayat pesan untuk menemukan kebenaran akan keadaan ibunya. Seringkali ia ragu apakah bibi Edith jujur atau berbohong karena tampaknya ia selalu menyembunyikan sesuatu darinya. Horn mencari hingga riwayat paling lama untuk menemukan petunjuk namun tiba-tiba saja.

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA PONSELKU!?" Teriak bibi Edith saat seketika memasuki apartemen. Edith tampak ingin merebut ponsel itu dari Horn.

"Aku mau mencari ibuku, memang apa lagi!?" balas Horn dengan nada yang lumayan tinggi.

"Ibumu sedang bekerja di Inggris sana, Horn aku yakin dia akan mengirimi kabar padamu sebentar lagi…."

"AKU TIDAK BUTUH ALASAN PALSUMU LAGI DIMANA IBUKU SEKARANG!?" mata Horn dipenuhi kemarahan terhadap bibinya yang selama ini sudah mengasuhnya.

Edith menatap mata itu lekat-lekat, mata yang persis seperti milik saudarinya. Edith selalu takut jika Horn tahu tentang apa yang seharusnya tidak diketahuinya. Tidak boleh, ia masih ada hutang budi pada Hannah, ibu Horn, dan cara membayarnya hanyalah mengasuh Horn hingga ia mandiri dan menjauhkannya dari rahasia itu.

"Horn…. Maafkan aku"

Horn tidak mengingat apapun setelah permintaan maaf itu. Hanya saja begitu ia tersadar ia sudah tidak berada di apartemen lagi tetapi di sebuah gang dan di depannya seseorang yang mengenalnya dengan baik sudah bersimbah darah karena dadanya tertusuk oleh sesuatu yang tidak bisa ia kenali. Edith tengah berada di antara hidup dan matinya. Nafasnya satu-satu. Horn tidak tahu mengapa hal ini terjadi. Horn'pun memapah tubuh bibinya yang melemah, ia menggenggam tangannya yang masih hangat. Edith melihat wajah keponakannya yang mulai samar dan terus-terusan meminta maaf dan Horn tidak tahu harus menanggapi apa.

"Horn…maafkan aku.... aku…..ughhh.. sudah berjanji pada ibumu untuk melindungimu… bagaimanapun juga... Aku tahu kau ingin bertemu dengan ibumu tapi aku juga sama…..Haahhhhaaaaa….. kau… matamu itu sangat mengingatkanku padanya... pada akhirnya aku maih belum bisa membayar hutangku pada..... ibumu…..aghhh.... Maaf Horn tapi ini untuk terakhir kalinya….." Edith menggenggam lengan Horn dan tidak lama setelah itu ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Air mata Horn mengalir deras dan emosinya meluap-luap. Di gang itu hanya terdengar tangisan kesedihan yang sangat pilu hingga mengundang orang-orang disekitar yang mendengarnya datang dan membantu Horn mengurus jenazah bibinya. Horn menolak otopsi jenazah dan hanya ingin jasad bibinya dimakamkan secepat-cepatnya. Ia sempat di interogasi polisi namun karena bukti-bukti yang kurang memadai tidak ada investigasi lanjutan. Saat itu ia tidak memiliki uang yang banyak jadi ia hanya bisa mengistirahatkan bibinya di makam gereja setempat. Horn sangat sedih tetapi ia tidak mau menangis di hari dimana bibinya masuk ke liang lahat. Ia bertekad akan menemukan ke mana ibunya sebenarnya dan membalas perbuatan orang yang telah membunuh bibinya. Tetapi itu hanyalah keinginan terbesarmu saat itu'kan, Horn? Horn…..? Horn!

Tok…tok….tok!

"Horn Backtack! Aku menagih tagihan sewamu bulan ini! Aku tahu kau di dalam!"

Ah…Mrs. Allen sudah jatuh tempo ya? Horn segera mengambil dompetnya yang ia letakkan di jaket yang tergantung di belakang pintu kamarnya. Ia mengambil beberapa pecahan 10 Rod sisa dari pemberian Carmen kemarin lalu segera membukakan pintu.

"Ya ini….." ujarnya saat menyodorkan uang kepada wanita yang sudah berumur lebih dari setengah abad tersebut. Mrs. Allen manggut-manggut dan menghitung uang yang dibayarkan Horn.

"Bukankah kau bekerja hari ini, tuan Horn?"

"Kau peduli aku bekerja atau kau peduli jika aku tidak membayar sewa?"

"Jangan kasar begitu, anak muda. Aku hanya bertanya." Mrs. Allen memasukan uang yang diberikan Horn kedalam suatu amplop dari tas yang dibawanya. "Apa kau benar baik-baik saja, Horn?"

"Maksudmu?"

"Aku masih takut kau akan bertindak gegabah lagi seperti waktu itu. Jika bibimu masih ada, aku yakin dia benar-benar sedih melihat tindakanmu itu. Apa kau butuh teman untuk mengobrol, Horn?"

"Tidak Mrs. Allen aku baik-baik saja. Sudahlah…"

"Hm…..?" Mrs. Allen tiba-tiba mengendus-ngendus seperti anjing pelacak yang sedang menemukan sesuatu dari kamar Horn. "Tuan Horn. Sudah hampir setengah abad aku mendapatkan insting ini... tapi kau… sekarang punya….. pacar?"

"Hah…? Tidak…"

"Hehehe…." Nenek-nenek itu terkekeh "walau kau pikir aku sudah tua tetapi daya penciumanku sama sekali tidak berubah. Kau tidak bisa menyembunyikannya tuan Horn. Nah…. seperti apa dia rupanya? Apakah Cantik? Kau harus memberitahuku atau tidak dia tidak diperbolehkan berkunjung di apartemen ini"

"Ah sudahlah… kau kemari hanya menagih uang sewa doang 'kan?" Ujar Horn sambil mengibas-ngibaskan tangannya.

"hahaha.. aku hanya bercanda. Aku senang jika kau benar-benar punya pacar. Sayang sekali bibimu tidak bisa menemukan pujaan hatinya hingga akhir hidupnya, tapi aku yakin dia akan senang jika melihat keponakannya kini sudah besar dan punya pacar hehehe... Baiklah Horn, aku permisi dulu.." Mrs. Allen pergi dari pintu apartemen Horn ke apartemen sebelahnya. Horn menutup pintunya lumayan keras.

"Hah... dasar nenek-nenek tukang gosip"

Horn telah melakukan segalanya agar ia tidak bosan. Merokok, bermain dengan ponsel, melihat pemandagan berdebu dari balkon semuanya ia lakukan seharian itu. Tidak terasa hari sudah gelap dan Carmen belum juga kembali. Atau mungkin dia tidak kembali ke apartemennya dan memutuskan untuk menetap di tempat lain? Atau tinggal disini hanyalah sebuah kedok yang ia buat-buat? Entahlah. Tapi semua pakaiannya masih berada di kamarnya. Dia masih belum mengerti arti 'membantu' yang selalu dikatakan Carmen. Ia mengambil sebatang rokok lagi dan menghisapnya secara perlahan. Sontak ia juga mengecek sisa berapa batang yang tersisa di kotak rokok yang dibelinya beberapa hari lalu. Tidak banyak. Tampaknya ia harus keluar untuk membeli beberapa kotak lagi karena selagi uangnya masih banyak.

Horn tiba-tiba mendengar langah seseorang dari ujung lorong. Langkahnya sangat cepat dan terburu-buru. Suara itu bersambung hingga ke depan pintu apartemennya dan seketika.

BRAK…!

"Horn apa yang sudah kau katakan!?" Carmen yang muncul dari balik pintu dan membantingnya segera menyambar dengan pertanyaan tersebut. Horn yang masih tidak mengerti hanya bisa bereaksi sedikit.

"Hah?"

"Wanita tua yang di bawah tiba-tiba saja menyapaku dan bilang 'Hoho… selamat datang pacar tuan Horn', apa maksudnya itu!? Kau bicara yang tidak-tidak ya!?". Horn sudah tahu masalahnya sekarang.

"haaah...Mrs. Allen…." Gumamnya. Horn kemudian menjelaskan percakapannya dengan Mrs. Allen pagi tadi dan Carmen menyimaknya dengan seksama. Carmen bernapas agak lega dan langsung duduk bersandar di lantai. Tubuhnya masih menggunakan pakaian yang ia kenakan pagi tadi. Rambutnya agak berantakan mungkin pekerjaannya memang berat walau Horn tidak terlalu tahu pekerjaan yang dimaksudnya seperti apa.

"Kupikir kau berkeliaran keluar Horn. Kau membuatku khawatir…"

"Kau tidak perlu mengkhawatirkanku, ayolah"

"Jika kau tidak ada, bagaimana aku bisa menolongmu"

"Apa yang selalu kau maksud menolongku? Dan… emm.. bagaimana dengan kesepakatan yang kau bilang itu?"

"Yah…" Carmen menjetikan jari dan seketika rokok yang dipegang Horn padam. "Kami belum mencapai kesepakatannya…. beri aku waktu lagi untuk bernegosiasi…". keduanya hening untuk beberapa saat. Wajah Carmen terlihat lelah, ia'pun berdiri dan masuk kamar.

"Aku mau mandi… dan Horn.." Carmen menoleh pada Horn yang berusaha menyalakan rokoknya lagi. "Jangan menyalakan api di dekatku jika kau tidak mau ikut terbakar…"

Hari-hari selanjutnya, keseharian Horn hanyalah menetap di apartemen sambil ngerokok atau'pun memaninkan ponselnya. Seluruh bahan makanan kini dibeli oleh Carmen setelah pulang dari sesuatu yang ia sebut 'pekerjaan'. Waktu kapan Carmen pulang juga seringkali tidak menentu. Kadang ia tepat jam enam atau terkadang hingga tengah malam dan tidak jarang pula ia kelupaan membeli barang dan bahan makanan yang sudah ditulis oleh Horn. Horn bersi keras agar dia saja yang membeli bahan makanan karena pasalnya dia tidak melakukan apapun seharian di apartemen. Carmen menolak dengan alasan seperti sebelumnya.

"Aku tidak mengizinkanmu. Terlalu berbahaya bagimu untuk pergi keluar sana. Bersabarlah sedikit lagi.."

"Kenapa? Ayolah….. di sini membosankan. Aku tidak punya sesuatu untuk dikerjakan, aku tidak terbiasa dengan ini…."

"Jadi…. Kau ingin kembali ke minimarket itu?"

"Hey… bukan itu maksudku"

"oh….Jadi, semua usahaku untuk membantumu jadi sia-sia... huh...?"

"Hey bukan begitu….."

Carmen mengeluarkan sebuah pistol yang muncul entah darimana dan menodongkannya tepat pada dahi Horn.

"Aku membiarkanmu hidup karena aku berniat menolongmu, tapi jika kau memang tidak ingin...well... Sudah tidak ada alasan lagi aku membiarkan seorang Caster sepertimu hidup... bagaimana menurutmu?"

Horn membeku di tempat sambil menatap pistol yang tengah mengancam nyawanya. Dari laras pendek pistol tersebut muncul sebuah cahaya kemerahan yang terang-padam meronta-ronta hampir keluar. Ini pertanda buruk.

"Aku akan memberimu uang untuk bersenang-senang jika kau mau keluar apartemen sekarang atau kau bisa menetap disini sampai aku kembali lagi nanti malam, bagaimana?... sekarang pilihanmu...." Carmen dengan senyum sinisnya menyodorkan seikat uang tunai di tangan satunya tanpa menurunkan pistolnya.

Keputusan sulit antara dirinya ingin keluar sebentar dari tempat yang sudah lama menjadi penjara baginya, atau mengikuti perintah Carmen untuk tetap tinggal disana sampai 'kesepakatan' itu selesai. Nafsunya ingin sekali keluar bersenang-senang dengan uang yang banyak di tangan tetapi….. melihat dari raut wajah Carmen. Itu adalah raut wajah saat pertama kali ia bertemu dengannya. Dia tidak main-main.

"Cih…. Aku mengerti..... aku akan tinggal…"

Carmen menurunkan pistol dan melemparkan uang di tangan satunya pada Horn.

"Bagus…" Carmen berbalik membuka pintu apartemen. "Dan… aku minta maaf sebelumnya jika aku membiarkanmu merasa bosan menetap seharian di apartemen ini …. Aku ada hadiah kiriman untukmu tunggu saja nanti... aku janji tidak akan membiarkanmu kebosanan lagi, Horn". Carmen meniggalkan Horn di ambang pintu menuju lift yang berada di koridor bagian tengah. Tapi sebelum punggungnya menjauh, Horn memanggilnya.

"Carmen....". Carmen menoleh dengan senyuman datar.

"Terima kasih…. Aku paham maksud 'diburu' sekarang…."

Carmen melanjutkan langkahnya menuju lift. Pintu lift'pun terbuka dan mengantarnya menuju lantai dasar. Carmen'pun keluar dari komplek apartemen dengan senyum puas di wajahnya.

Hidup bersama Carmen terasa sangat aneh bagi Horn. Carmen sangat bersi keras untuk membuat mereka berdua saling berkontribusi dengan cara memberi tahu siapa yang akan menyajikan menu jam makan pada hari itu. Horn sering kebagian membuat jatah makan siang, sedangkan Carmen biasanya sarapan dan makan malam. Walaupun siang harinya Carmen 'bekerja', namun anehnya Carmen pasti hadir di jam makan siang dan hadir di apartemen hanya untuk makan sebelum pergi 'bekerja' kembali.

"Aku penasaran di mana kau bekerja hingga kau bisa selalu sempat kemari..?"

"Kau akan tahu sebentar lagi, aku janji" jawab Carmen sambil mengambil sepotong nugget yang ada di atas meja.

"Apakah ada masalah dengan negosiasi kesepakatan yang kau sebutkan itu,? Belakangan ini kau suka pulang sangat larut…"

Carmen dengan wajah yang agak kusam menjawab, "Tidak ada masalah apa-apa, hanya saja memang prosesnya sebegitu Panjang, Horn…". Horn jelas telah memperhatikan kantung matanya yang menghitam.

"Kau baik-baik saja Carmen? Kau tampak tidak sehat, hey, jika kau lembur lagi kau tidak perlu memaksakan diri untuk menyiapkan menu untuk makan malam ini…."

Carmen belakangan ini suka pulang larut. Contohnya, walau pada pagi hari ia memberi tahu ia akan memasak untuk makan malam, tetapi jam pulangnya sungguh di luar didugaan dan terlalu larut. Horn bahkan pernah terpaksa memasak duluan untuk jatah makannya sendiri dan ia juga memberikan jatah seporsi untuk Carmen. Melihat kondisi Carmen yang seperti tersiksa oleh pekerjaannya sendiri membuat aturan jatah jam pemasak seperti pedang bermata dua. Horn tidak keberatan jika hanya dia yang menyajikan makan tiga kali sehari selama 'kesepakatan' itu belum terjadi.

Brak!!

Carmen menggebrak meja, "… Bagaimana aku bisa berterima kasih jika aku tidak memberikan kontribusi untuk apartemen ini!? Dan teman macam apa yang membiarkan temannya selalu menyediakan menu untuk makan? Aku tidak mau seperti itu!", bental Carmen yang langsung meneguk segelas air di atas meja. Horn dapat melihat urat kepalanya berkedut.

"Okee... kalau kau ingin berkontribusi, bisa tidak kita mencampur cucian kita?"

"Tidak.." Jawab Carmen singkat.

"Kenapa? sudah hampir seminggu cucian kita dipisah dan kita sudah mengeluarkan air dan listriknya lebih banyak daripada dipisah. Aku tidak bisa membayangkan seberapa bengkak tagihan bulan ini…"

"Aku tidak mau cairan rahasia yang ada di pakaian dalammu bercampur dengan pakaian-pakaian milikku. Dan jika kau mengalami masalah dalam urusan uang bilang saja kepadaku aku akan memberimu lebih….", kata Carmen sambil mendengus kesal. Moodnya sedang tidak bagus.

Makanan di meja telah habis. Horn mencuci sisa-sisa makan siang. Carmen masih terduduk di lantai dengan kepala di atas meja. Horn bertanya-tanya apakah Carmen tidak kembali bekerja, tetapi ia membiarkannya dan kembali focus pada cuciannya di wastafel.

"Hey Horn…. Jika aku tidak mendapatkan kesepakatan itu bagaimana? Kau mau ke mana lagi?" tanya Carmen dengan wajah masih menempel pada meja.

Horn agak terkejut mendengarnya. Ia tidak pernah menyangka Carmen akan bertanya seperti itu. "Well….. aku tidak tahu." Jawabnya, "Mungkin kau lebih tahu apa yang harus kau lakukan padaku.."

"Ah…. Begitu….. Baiklah kalau begitu..", Carmen'pun bangkit dan berjalan keluar apartemen.

"Kini aku tahu apa yang harus kulakukan…"