Horn masih menatap layar monitor besar di depannya padahal orang-orang telah meninggalkan aula tersebut. Moeb masih menemaninya berdiri di atas panggung aula. Horn memperhatikan nama-nama yang tertera di monitor besar di depannya. Banyak sekali nama-nama yang asing karena mereka semua menggunakan nama inisial. Disamping itu ada status, jumlah biaya kerusakan, dan keterangan kapan terakhir terlihat. Sesekali tabel yang ditampilkan berpindah dan menunjukan nama-nama yang melakukan kerusakan yang lebih kecil. Horn menemukan inisialnya di deretan nama-nama pertama. Ia tidak tahu mengapa harga kepalanya cukup tinggi.
"Kau bisa beraktivitas seperti biasa lagi sekarang..…" kata Moeb memecahkan konsentrasinya pada tabel. "…sekarang hari kerja, aku tidak bisa menjelaskan berbagai peraturan organisasi padamu hari ini. Intinya kau tidak boleh memberitahu siapapun tentang kita kecuali memang sesama anggota. Jika kau mau berdiskusi tentang organisasi atau mantra gunakanlah nama-nama inisial yang telah kau dapatkan."
Horn menyeringai "Aku bahkan tidak memiliki pekerjaan atau aktivitas untuk dikerjakan…."
"Tentu kau punya…." sebuah suara menggema di aula memecah percakapan mereka berdua.
"Carm…..eh… The Red?"
Carmen dengan tangan dilipat mendekati mereka berdua ke atas panggung aula. Senyum datarnya mendarat di pandangan Horn.
"Maaf aku melewatkan upacara peresmian keanggotaanmu The Purple. Aku tadi mendadak ada perlu. Sebagai gantinya, Sean….." Carmen menoleh pada Moeb "…Kau bisa kembali pada urusan meja-mu, biar aku yang menjelaskan aturan organisasi pada si anggota baru ini."
"Baiklah…. Dia milikmu seutuhnya. Pastikan dia paham aturan dan cara kerja The Ballot. Dan ingat kau verada di bawah pengawasanku!". Moeb berpaling meninggalkan Horn dan Carmen di panggung aula. Ia menyusuri jalan dimana Horn masuk tadi.
"Aku ingin menggunakan bungker untuk latihan dengan anggota baru ini?" pinta Carmen saat Moeb sudah agak memasuki lorong.
"Namanya Basement! ….Terserah kau saja! Dia sekarang partnermu…. Jangan minta aku menambah anggota lagi hanya karena kau butuh partner yang baru!" Ujar Moeb yang kemudian hilang ke dalam kegelapan lorong itu.
"Tentu saja Sean. Akan kujadikan dia Caster yang hebat...….. sialan". Horn dapat melihat raut kesal di wajah Carmen.
"The Red?"
Carmen memalingkan wajahnya yang masam pada Horn secara tiba-tiba.
"Ayo…. Ikuti aku. Kita akan menggali potensi mantramu lebih dalam lagi".
"Jadi... eerrrr…. namanya Moeb atau Sean?" tanya Horn seketika mereka pergi dari aula.
"Kau bisa menyebutnya Sean, Moeb, Russell, yah….. dia punya banyak nama kau seharusnya memanggilnya dengan nama yang ia sebutkan untukmu"
"Jadi namanya Moeb….."
"Bagiku dia Sean…."
"Mengapa dia punya banyak nama. Bukankah ia seharusnya punya inisial yang menggambarkan mantranya?"
"Aku tidak tahu… Ia hanya sebagai pengurus tertinggi organisasi. Ia mungkin hanya ingin organisasi ini tetap menjadi rahasia masyarakat."
"'Hanya?"
"Kurang lebih organisasi ini adalah sebuah sindikat para pembunuh. Melenyapkan nyawa orang, memusnahkan jasad orang, kita melakukan perkerjaan kotor dengan bersih. Bedanya kita menargetkan para Caster bukan orang-orang awam….. tidak sama tetapi konsepnya serupa."
"Jadi... bos perusahaan yang tewas beberapa waktu lalu dengan luka aneh itu?"
"Orang biasa seharusnya menjadi abu….. namun dia tidak"
"Jadi itu ulahmu?"
"Ya dan tidak….. Ya, jika kau menganggap itu ulah salah satu dari kita, para Caster. Tidak, jika kau menuduhku melakukannya. Aku seorang profesional, The Purple."
"Bukannya profesional juga terkadang melakukan kesalahan?"
"Itu bukan aku…. tapi aku tahu siapa yang memberikan luka seperti itu hingga menyebabkan dia tewas"
"Oh…"
Mereka'pun akhirnya sampai di sebuah ruangan hampa yang luas. Ruangan itu jelas tampak lebih luas dari aula yang sebelumnya Horn masuki, bahkan tampak seperti sebuah lapangan sepak bola namun yang benar-benar tertutup. Dari dinding lantai hingga langit-langit terbuat dari konkrit bewarna abu-abu kebiruan. Horn menyadari tembok di sekelilingnya tidaklah dibuat tegak lurus melainkan agak melengkung ke dalam saat masuk lewat pintu masuk yang memotong sisi miring ruangan tersebut. Ia juga melihat bahwa ruangan ini tidak hanya terdiri atas hamparan ini saja ia juga menemukan tribun yang mengindikasikan bahwa ada suatu jalan untuk mengakses ke lantai dua sebagai tempat penonton. Tempat ini lebih mirip sebuah arena daripada…
"Jadi ini basement?" tanya Horn sambil celingukan melihat-lihat ruangan luas tersebut.
"Namanya bungker!" Carmen menirukan bagaimana Moeb membentaknya beberapa saat yang lalu. Lalu ia tersenyum "…memang tidak cocok disebut basement karena aula tadi juga sudah di bawah permukaan tanah. Tempat ini sama tuanya dengan perpustakaan ini. Dulu sebelum menjadi perpustakaan tempat ini menjadi tempat penyimpanan hasil bumi untuk masyarakat. Karena takut terjadi wabah kelaparan akibat cuaca ekstrim para pengurus bahan makanan membangun sebuah ruangan lewat saluran bawah tanah untuk menyelundupkan beberapa karung gandum dan jagung untuk berjaga-jaga. Akhirnya mereka ketahuan, ditangkap, diturunkan dari posisi mereka dan dihukum mati oleh pejabat setempat. Tempat ini juga digunakan sebagai bunker rahasia selama perang dunia dan akhirnya direnovasi oleh pemerintah untuk dijadikan sebuah perpustakaan negara."
"Kau tahu betul tempat ini…."
"Akan mudah jika kau sering kesini karena ceritanya dari mulut ke mulut"
Horn tidak menemukan sesuatu lagi kecuali sebuah meja kayu yang panjang dan sebuah koper hitam di atasnya yang berada di tengah ruangan tersebut. Carmen mendekati kedua objek tersebut, sedangkan Horn mendekatinya dari belakang.
"Jadi…. kita disini untuk apa?"
"Menjelaskan peraturan organisasi, melatihmu, dan menjelaskan cara menggunakan mantra yang baik dan benar. Tapi pertama-tama…." Carmen berbalik menghadap Horn. "….. lepas dulu jaketmu".
"Hah….kenapa?"
"Lepas dan taruh saja di lantai…. kau akan mengetahuinya nanti. Kita akan mulai latihannya sekarang"
"Ok…." Horn'pun melepas jaket yang dikenakannya dan menaruhnya di lantai ruangan tersebut. Mereka'pun berhadapan lagi.
"Sekarang serang aku"
"Tidak…."potong Horn cepat. "Aku tidak mau menyerangmu lagi atau bahkan mencobanya."
"Kenapa?"
"Waktu itu'kan di situasi yang berbeda. Kau tidak pernah merasa terancam saat orang lain tiba-tiba ingin tinggal di rumahmu hah?"
"Baiklah aku paham….. tapi The Purple ini adalah latihan. Kini anggap aku instrukturmu. Ketika aku memintamu untuk menyerangku, tanpa ragu kau harus menyerangku dengan cara apapun yang kau suka"
"Aku tetap tidak mau melakukannya….."
"Kenapa?"
"Aku hanya tidak mau melakukannya…"
"Apakah karena aku seorang wanita?"
"...…"
"Baiklah The Purple. Anggap saja aku ini dirimu yang sangat kau benci, ok? Bayangkan saja…. Cobalah serang dirimu ini.."
"…Ba-Baiklah…." Horn mengambil ancang-ancang dan mencoba melesatkan tinjunya ke wajah Carmen.
Carmen dengan satu-dua gerakan Horn telah berhasil dilumpuhkan. Horn terbaring di lantai dengan salah satu tangannya dipelintir ke belakang. Carmen melepaskannya lalu menepuk-nepuk tangannya seakan-akan dia telah membersihkan sesuatu. Kedua tangan Horn terasa seperti terikat, Horn mencoba meregangkannya dan ia mendengar suara kerincing besi beradu yang familiar. Dia diborgol.
"Hei… apa-apaan ini…..lepaskan benda ini!"
"Pertama….. gerakanmu terlalu mudah terlihat. Dari gerakan pertamamu saja aku sudah tahu kau akan berbuat apa…. Yang kedua kuda-kudamu sangat payah…. dalam satu hentakan saja kau dapat dilumpuhkan dengan mudah…. Yang terpenting…. Kau masih tampak ragu dalam menyerang…..Hmm... The Purple coba serang aku lagi."
Carmen membantu Horn berdiri dengan kedua tangannya yang diborgol. Carmen membuat jarak.
"Bagaimana aku bisa menyerangmu tanpa tangan ini?"
"Berpikirlah kreatif... kau bisa… yah… menggunakan kaki, gunakan mantramu, atau apalah intinya jangan ragu. Ada jutaan kemungkinan dalam cara menyerang seseorang."
Horn sama sekali tidak fokus. Ia tidak mencoba membayangkan Carmen sebagai dirinya atau orang lain yang ia benci. Pokoknya ia tidak bisa. Horn mengambil waktu untuk berpikir sejenak bahwa dia harus apa. Bagaimana ia harus menyerang tanpa melukai lawannya. Ia memperhatikan Carmen dari atas hingga bawah dan menemukan titik yang cocok. Kini ia berlari mencoba menerjang target bagian tubuh tersebut.
"Bodoh…" Carmen memutar kakinya ke depan dan membiarkan Horn melewatinya. Horn meleset dari targetnya. Carmen dengan kuat menyikut punggung Horn begitu ia meleset saat menerjangnya. Horn terjungkal ke meja yang ada di belakang Carmen.
"Sudah jelas sekali kau mengincar bagian bawah tubuhku…. Serangan menerjang seperti tadi di ruangan seluas ini adalah taktik menyerang yang paling lemah. Dan sudah kubilang padamu JANGAN RAGU UNTUK MENYERANGKU!". Carmen mengangkat Horn dan memaku rantai borgolnya dengan sebuah paku tembak yang entah ia dapat dari mana pada permukaan meja sehingga kini tangannya terikat dengan meja.
Carmen mengeluarkan pistol dan menodongkanya pada kepala Horn untuk membuat keadaan semakin mencekam.
Kepala Horn terasa sakit. Mungkin tadi kepalanya terbentur meja. Kini kepalanya terasa seperti ditekan ke permukaan meja oleh sesuatu berbentuk silindris.
"Kini nyawamu terancam, The Purple….. Apa yang akan kau lakukan?"
"Carme….. The Red jangan langsung latih aku seperti ini. Aku mohon padamu"
"Bagaimana bisa kau memohon pada orang-orang gila yang mengincar nyawamu?"
"Aku tidak mau menyakitimu karena latihan ini The Red!" Horn meronta.
"Ini adalah latihan simulasi. Bagaimana bisa kau membiarkan orang lain menyakitimu tanpa memberikan perlawanan!?" bentak Carmen.
"Aku hanya tidak ingin menyakitimu lagi!!"
BUGH!!
"Bodoh…" ujar Carmen setelah mendaratkan pukulan dengan pegangan pistol. Carmen langsung berdiri dan mengosongkan satu magasin pistol yang penuh untuk melubangi tubuh Horn.
"Akan kujadikan catatan untuk pelatihanmu selanjutnya…Sekarang....". Horn masih sadar namun ia terkena shok setelah 12 peluru kini bersarang di tubuhnya. Jarak tembakannya lebih dekat daripada saat ia menembak dadanya waktu itu. Pandangannya kabur. Walaupun begitu ia dapat menangkap bahwa Carmen sedang membuka isi koper yang semula di atas meja.
"….Mini-Uzi. Submachine Gun buatan Israel. Berpeluru 9mm parabellum. Dengan Fire rate 900 peluru per menit, cocok untuk menguji ketahanan tubuh seorang caster kelas Ultimate sepertimu". Horn melihat Carmen sedang membidik ke arahnya dengan senjata itu.
Dededededeedededededetttt…!!!!
Carmen mengisi amunisinya.
Dededededeededededededededededtttt…!!!!
Carmen mengisi amunisinya lagi.
Drededededeededededededededededededetttt…!!!!
Carmen berhenti.
Horn tidak tahu sudah berapa banyak peluru yang ditembakkan, atau sudah berapa banyak lubang yang bertambah di tubuhnya. Tubuhnya lemas, sakit, kupingnya berdengung hebat dan kepalanya pening. Saking lemasnya ia memutar bola matanya saja sangat sulit, ia mencoba melihat ke bawah.
Merah….
Semuanya darah….
Ia telah membuat sebuah kubangan dari darah dirinya sendiri. Carmen mendekati dirinya yang kurang lebih sudah seperti mayat. Carmen menyentuh darah yang tercecer di lantai dan menjilatnya. Ia jongkok agar jarak pandangnya sama dengan Horn. Tidak ada ekspresi di wajahnya.
"Sudah mau mati? Aku pernah mengalami yang lebih parah dari ini dan itu semua adalah serangan mantra….". Horn tidak bergeming, ia tetap dalam posisi menjadi mayat. "… Aku melakukan ini agar kau dapat menjadi seorang Caster yang hebat. Aku tahu ini berat….. tetapi ini lebih baik daripada kau belajar secara meraba-raba. Mungkin kau berpikir apa gunanya bela diri dalam penggunaan mantra….. Kau nanti akan paham jika kau sudah berhasil menguasai mantramu. Sekarang akan kujelaskan peraturan sederhananya The Society selagi kau tutup mulut…." Carmen menaruh koper ke atas meja dan duduk di atasnya memunggungi Horn. "Kau mendengarkanku?"
Horn mengangguk sedikit padahal telinganya masih berdengung.
"Mungkin Sean sudah menjelaskan beberapa hal padamu…..Pertama kau tidak boleh meng-ekspos organisasi ini ke publik, atau tentang mantra, atau tentang kekuatan sihir. Kau tidak boleh sembarangan merekrut Caster untuk menjadi anggota The Society atau menjadi partnermu. Kau juga tidak boleh sembarangan membunuh ah….. aku salah menyebut istilahnya…. melenyapkan… seorang Caster yang ada di The Ballot. Kau harus meregistrasi terlebih dulu pada Gustavo (Staf) yang mengurusi The Ballot, Leopold. Tenang kau adalah partnerku jadi kau akan melihat Leopold sering-sering. Melenyapkan seorang golongan awam juga merupakan perbuatan 'dosa' disini. Dengan begitu harga kepalamu bisa langsung naik seperti saham dan orang-orang langsung berburu. Jika kau takut pada mereka…. kuberi tahu satu hal. Kau ini kelas Ultimate. Dan orang-orang disini sebagian besar adalah Superior. Mereka seringkali tidak cukup nyali untuk melawan kelas Ultimate seperti kita…. Tetapi aku kecewa padamu….. Aku ingin melihatmu seperti waktu itu awal kita bertemu atau saat kejadian setelahnya yang tidak pernah kau ceritakan itu padaku ... katanya kau menyerang dan membasmi tanpa ragu…."
Horn kini pelan-pelan menoleh pada Carmen yang duduk di belakang kepalanya.
".…Kau tidak mau menceritakannya padaku?"
".…Kau….. Uhuk….!!" Horn batuk dan mengeluarkan dua butir peluru dari mulutnya. "...tahu?"
"Satu organisasi bahkan tahu bahwa kau itu pelakunya. Kau kira akan mudah memasukanmu ke organisasi walaupun hanya dua korban mantra? Kau malahan menambahnya dan mempersulit prosesnya hingga negosiasi yang sangat panjang. Salah satu anggota melaporkan kejadian itu. Ia memberikan buktinya, dan membereskan sisa-sisa yang kau tinggalkan. Ia bilang aura mantramu meluap-luap hingga radius dua kilometer sehingga ia harus memeriksanya, ketika ia tahu ia berurusan dengan seorang Ultimate, ia lebih memilih untuk melaporkannya untuk dipajang di The Ballot. Aku tidak mau menanyakan insiden itu dan lebih memilih menunggumu untuk bercerita. Tapi hingga saat ini aku tidak pernah mendengarmu menceritakan tentang insiden itu bahkan setelah aku mengatakan kejadian percobaan bunuh dirimu terdengar normal kau masih belum menceritakannya padaku….."
Carmen berdiri ke atas koper dan membungkuk hingga wajahnya tepat di depan wajah Horn.
"Mau bercerita?". Horn mendapati senyuman datar milik Carmen yang kini dilihatnya terbalik. Horn hanya menatap datar kepadanya sebelum memalingkan wajah.
"Tidak mau? Oh…. Terserah kau saja….." Carmen menjatuhkan kunci borgol di antara kedua tangan Horn. Ia turun dari meja lalu mengitari Horn agar tidak terkena genangan darah "…. Mulai besok beginilah keseharianmu…. Datang ke perpustakaan kota dan berlatih denganku untuk memaksimalkan kekuatan fisikmu…..Tadinya aku ingin kau berlatih dengan permulaan simulasi 'keadaan nyawa yang terancam'. Tetapi dari saat aku memintamu untuk menyerangku sampai nyawamu di ujung tanduk, kau selalu ragu. Aku memintamu untuk tidak memandang siapa aku dalam latihan simulasi ini. Jangan takut melukaiku. Jangan takut menyerangku untuk latihan selanjutnya. Dan…. Yang tadi itu uji ketahanan rasa sakit…"
Horn perlahan melepaskan borgol yang mengikat kedua tangannya lalu membenarkan posisi duduknya untuk mengambil nafas.
"Lihat….. kau tidak mati dengan serbuan ratusan peluru barusan. Tidak mungkin aku membunuh orang yang ingin kutolong bukan? Aku yakin lubang-lubang di tubuhmu sudah menutup sekarang…..sini..". Carmen menarik lengan long shirt kotak-kotaknya dan menjulurkan tangannya. ".. Kubantu kau bangun….."
Horn mengibas-ngibaskan tangannya tanda ia menolak lalu ia memberi isyarat untuk Carmen menunggu sejenak agar ia dapat menenangkan dirinya. Setelah mengatur nafasnya, tangan Horn yang penuh darah menggapai tangan Carmen yang kemudian menariknya berdiri.
Tubuhnya masih terasa sakit. Kurang lebih hampir mirip seperti saat keseringan tidur di lantai. Begitu ia bangun ratusan peluru jatuh dari tubuhnya menuju kubangan darah yang mulai menggumpal. Carmen mengambilkan jaket milik Horn juga membereskan koper senjata berwarna hitam barusan. Horn hampir kehilangan keseimbangan saat berdiri, namun ia berhasil menjaga tubuhnya berdiri.
"Ayo… aku akan memeriksa luka-lukamu agar kau bisa pulih lebih cepat, kita ke pusat kesehatan perpustakaan. Kau bisa berjalan?"
"….Iya.."
"Ini baru permulaan The Purple...… baru permulaan kau akan segera terbiasa nanti ketika sudah di lapangan….."
Carmen dan Horn akhirnya pergi meninggalkan tempat itu dengan meninggalkan meja rusak dan kubangan darah. Kini Carmen tahu bagaimana kemampuan bertarung Horn, tetapi yang ia tidak tahu ada seseorang yang selama ini mengamati mereka di tribun dengan senyum penasarannya.
Setelah hari latihan pertama yang berat bagi Horn, Carmen kini dengan profesional mengajari Horn di hari-hari latihan berikutnya. Horn perlahan-lahan diajari gerakan-gerakan bela diri juga bagaimana cara mengaplikasikannya yang benar. Mereka berlatih seharian penuh dengan sesekali beristirahat makan siang. Ruang bawah tanah perpustakaan kota sangat ramai dengan adanya mereka berdua berlatih. Entah bagaimana Carmen mendapat matras untuk digunakan di bawah sana sebagai alas. Walau tidak banyak namun cukup untuk menggelar latihan bagi kedua orang tersebut.
Latihannya terdiri dari gerakan-gerakan, peregangan, pelatihan stamina, dan uji ketahanan. Latihannya intensif, namun Horn dapat mengikutinya dengan baik. Ia tidak mau memikirkan apa-apa. Di apartemennya sendiri tidak ada yang bagus. Terbukti ketika Carmen mengirimi TV LCD ke apartemennya kemudian yang ia lihat di TV ternyata hanyalah hal-hal yang bodoh. Pada akhirnya ia merasa bosan. Jadi lebih baik ia kemari.
Sesekali ada satu-dua Caster yang turun menyaksikan mereka berdua berlatih. Entah apa yang mereka harapkan dengan melihat dua orang Caster yang berlatih bela diri. Namun yang paling membuat mereka tercengang adalah ketika dimulainya uji ketahanan. Horn dalam posisi tidak menentu akan diuji ketahanan tubuhnya. Seringkali Carmen langsung memborgol tangannya ketika ia lengah tanpa memberitahu akan pergantian sesi lalu menembaki tubuhnya. Atau saat insting Horn sedang kuat ia berhasil menghindar dan Carmen akan menembak sambil mengejar kemana ia berlari. Carmen menikmati pengejaran itu. Jika Horn jatuh karena terkena tembakan ia akan menghampirinya dan menghabiskan peluru untuk hari itu untuk melubangi tubuh Horn.
Pada minggu-minggu awal Horn sudah langsung ambruk ketika tubuhnya ditembus ratusan peluru. Bayangkan saja ratusan peluru itu ada yang berhasil menembus ataupun bersarang di tubuh Horn. Walaupun ia berhasil selamat dari serbuan peluru panas tersebut tetapi rasa sakit yang ia dapatkan tentu saja sangat hebat. Tetapi pada beberapa minggu kemudian ia tidak langsung ambruk, Carmen terkesan melihatnya.
"Tampaknya besok-besok aku harus membawa kaliber yang lebih besar…" ujar Carmen.
".….Ahhhrgg…..sudah cukup.....ugh….darimana kau dapat senjata-senjata itu….!?" tanya Horn bersimbah darah. Ini bukan pertama kalinya ia bertanya seperti itu.
"Butuh perawatan? Perawat merah siap membantu lho….." goda Carmen sedikit. "Tampaknya kau butuh kaus baru lagi, The Purple"
"Ini gara-gara kau tahu! Ini sudah hampir sebulan aku harus….ugh… membeli kaus baru setiap hari gara-gara ini!" Horn meludahkan sebutir peluru. Horn duduk bersandar pada dinding basement.
"Hm…. Ngomong-ngomong sudah berapa lama kita sudah latihan seperti ini?" tanya Carmen.
Horn mengatur nafasnya.
"Entahlah…..Aku lupa….."
".. tepatnya sudah tiga minggu lewat lima hari. Tidak terasa, bukan? Kau memiliki progress yang bagus The Purple."
"..benarkah?"
"Hampir….." jawab Carmen sambil membereskan senjatanya. "…kita akan berganti ke pengendalian sihir dan mantra besok. Itu'pun jika….. kau berhasil menyelesaikan tes terakhirnya. Kusarankan kau tidur lebih awal malam ini. Untuk hari ini cukup sampai disini."
"Tunggu dulu… kau mau kemana? Bukannya ini masih terlalu siang?"
"Bukan urusanmu…." Carmen menutup koper senjatanya lalu berjalan pergi dari tempat itu. "Aku akan kembali saat makan malam, aku masih ada urusan disini."
"Senang mengetahuinya…." Horn'pun berdiri sekaligus menumpahkan ratusan peluru yang barusan bersarang ditubuhnya. Horn celingukan melihat sekitarnya.
Baru kali ini ia menyadari bahwa ruangan itu sudah berkali-kali terkena peluru tembakan. Seharusnya banyak lubang-lubang bekas peluru yang masih terpajang disana. Namun entah kenapa tidak. Bekas darah, keringat, bahkan lubang bekas peluru seakan-akan langsung lenyap pada keesokan harinya. Mungkin ada petugas atau Caster yang mengurusi tempat ini, pikir Horn.
Horn mengambil jaket birunya dan menutupi luka-luka di tubuhnya yang mulai menutup. Perhatiannya teralihkan ketika ia melihat ke arah tempat ia menaruh jaketnya lagi.
Sebuah boneka kertas lipat sedang berdiri dan bergerak sendiri. Tampak ada seseorang yang mengendalikannya dan sepertinya boneka itu tempak menunjukan sesuatu.
'….Perhatikan? ….Tengok?.... Ke arah tribun?...'
Horn seketika menoleh ke arah platfom basement. Ia melihat seorang wanita berambut panjang yang disisir ke samping tampak mengisyaratkan Horn untuk bertemu dengannya di luar.
Horn menemukan wanita itu di lorong perpustakaan. Ia mengenakan cardigan bewarna cokelat muda dengan dalaman putih beserta sebuah rok midi kotak-kotak hitam. Rambutnya bewarna hitam pekat. Pada bagian lehernya sendiri dihiasi dengan sebuah kalung bewarna silver. Ia mengenakan sepatu flats wanita bewarna hitam dan dari tampangnya ia tampak seperti pengajar atau sekeretaris sebuah perusahaan karena jelas wajahnya sangat berwibawa.
"Ayo kita cari tempat untuk mengobrol.." ajak wanita itu dengan semangat.
"Apa aku mengenalmu? Maaf, tetapi ada pepatah yang mengatakan jangan pernah mau mengikuti orang asing yang mengajakmu"
"Ah… maafkan aku…... berhubung kita masih di perpustakaan panggil saja aku 'The Puppeteer', atau disingkat 'The Puppet' juga tidak apa-apa. Apa kau sedang sibuk saat ini?"
"Iiyyyaaa... dan tidak. Aku hanya ingin langsung pulang"
"Ayolah The Purple hari bahkan belum gelap, sekarang baru pukul…." The Puppet memeriksa arloji yang bersembunyi di balik lengan kardigannya. "…15:36! Bagaimana dengan makan-makan di restoran cepat saji di area sekitar sini? Kau bisa sekalian memesan hidangan makan malammu disana. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu The Purple."
"Jika kau ingin berbicara padaku kenapa tidak sekarang disini saja?"
"Ini perpustakaan The Purple, ingat? Obrolan kita bisa saja mengganggu para pembaca yang sedang serius."
The Puppet memiliki poin disana. Tapi ada benarnya juga. Horn tidak perlu repot-repot menghidangkan makan malam. Walau biasanya ia menghidangkan makanan sederhana seperti kacang, telur atau jagung tapi mungkin untuk hari ini ia bisa makan sesuatu yang berbeda. Dengan senyum manisnya, The Puppet menunggu jawaban Horn.
"Baiklah…."
Mereka berdua'pun keluar dari perpustakaan kota menuju ke sebuah restoran cepat saji. Walau sempat ditanya oleh The Puppet, di mana Horn ingin makan tetapi ia jawab 'terserah', sehingga The Puppet merekomendasikan sebuah restoran cepat saji yang menjadi tujuan mereka saat ini.
The Puppet memperhatikan Horn melihat-lihat restoran tersebut seakan-akan takjub seperti anak kecil. Walau euforianya tidak seperti bocah tetapi dari gelagat Horn yang memperhatikan restoran itu dari sudut ke sudut telah membuatnya seperti anak kecil.
"Kau belum pernah ke sini?" tanya The Puppet setelah mereka duduk di tempat yang sekiranya pas untuk mereka berdua.
"Entahlah…. Orang bawah sepertiku bagaimana bisa pernah masuk ke sini."
"Ehhhh.... Memangnya kau tinggal dimana?"
"Shovel"
"Hm…Daerah yang unik ya..?"
Horn tersenyum "….Sangat unik"
The Puppet kemudian mendengar pelayan memanggil namanya untuk pengambilan makanan mereka.
"Ms. Misa!!?"
The Puppet'pun langsung mengambil dan menaruh pesanan makanan mereka ke atas meja lalu membuka isinya.
Horn tidak mau kalah ia juga mengambil pesananannya yang sudah ada di meja. Ia memesan sebuah burger deluxe dan kentang goreng lengkap dengan segelas soda porsi sedang. Ia mengambil gigitan pertamanya pada burger yang masih hangat itu. Rasanya membuat ekspresi wajah Horn berubah. The Puppet melihat kejadian ini langsung menyeringai.
"Gimana….. enak?"
Horn hanya mengangguk-angguk. Gigitan demi gigitan membuat burger itu habis dan lenyap dari genggamannya. Ia'pun meneguk minuman sodanya, lalu mengambil nafas sejenak sebelum melemparkan pertanyaan pada orang di seberang mejanya.
"Jadi…. Namamu Misa?" tanya Horn ketika The Puppet sedang menyendok sup jagung.
"Ehmm….." responnya sambil mengangguk. "…..Kau sendiri?"
"Horn"
"Horn The Purple dan Misa The Puppet disini huh? Kuharap aku mempunyai rekan sepertimu, Horn. Namun sayang tampaknya The Red telah mendapatkan lagi mainan yang ia cari selama ini. Kelihatannya kau dan The Red sangat dekat….. aku sering memperhatikan kalian latihan di basement….. kau tampak sangat mempercayainya... apa kalian sedekat itu?"
"Kau memperhatikan kami berdua?"
"Yah…. Kurang lebih…. Aku melihat bagaimana kalian berkomunikasi. Berlatih fisik dan juga gerakan-gerakan bela diri yang aku sendiri kurang memahaminya, juga melihat kau bersimbah darah dari tembakan senapan-senapan itu."
"Kau memperhatikan semuanya?"
"Tidak semua…. Hanya latihanmu saja…"
"Jadi….?"
"Izinkan aku berkomentar disini. Kau setidaknya sparing di akhir sebelum kau dibuat berdarah-darah oleh The Red dengan senapan-senapan itu. Aku paham maksud The Red untuk sparing denganmu ketika sudah diajari teori bela diri, agar kau bisa mengkombinasikannya saat simulasi. Tapi The Red terkadang memperpanjang, terkadang juga memperpendek waktu sparingmu. Kau tahu kenapa? Aku selalu memperhatikan gerakanmu dan aku bisa lihat ekspresi The Red saat sparing dengan jelas. Horn...." Misa menunjuk tepat ke wajah Horn. "Kau selalu ragu saat menyerangnya!"
"Huh?!"
"Akui saja…. Kau tampak tidak masalah dalam menahan serangan fisik dari The Red. Tetapi saat kau mencoba membalasnya kau selalu meleset, seakan-akan kau mencari cara ter-aman untuk menyerangnya, bukan begitu Horn?"
"Apa maksudmu memberitahuku hal itu?"
"Aku tahu kau berlatih keras untuk menjadi seorang Caster yang hebat tapi…. Aku masih melihat ada keraguan pada dirimu, jadi... aku menawarkan solusi padamu untuk mengatasinya dan ini akan membantumumu dalam mempelajari mantra…"
BRAK!!
"CUKUP AKU TIDAK BUTUH OMONG KOSONG BANTU-MEMBANTUKU LAGI! MENJAUHLAH DARIKU!!!" bentak Horn, geram.
Horn cepat-cepat meninggalkan Misa tanpa mengucapkan selamat tinggal. Ia tidak mengambil makanan yang ia pesan untuk dibawa pulang. Ia tidak peduli. Ia sudah merasa tersinggung akan ucapan Misa yang seakan-akan usahanya selama ini tidak ada gunanya. Ia beberapa kali menerobos lampu merah pejalan kaki yang membuat mobil yang ingin lewat terpaksa berhenti dan mengklaksoninya. Ia masa bodoh. Ia hanya ingin segera kembali ke apartemennya dan segera tertidur di lautan emosinya.
Malam itu Carmen menemukan Horn sudah berbaring telungkup di kasur yang ia letakkan di luar kamar. Ia tidak menemukan makanan yang sudah siap jadi terpaksa ia membuatnya sendiri. Sebenarnya tidak masalah siapa yang membuat makanan karena mereka biasanya saling bergantian dalam membuat makanan sebulan ini. Carmen sangat menyukai roti isi buatan Horn, namun ia sendiri tidak tahu apa yang Horn suka dari menu masakannya.
Malam itu Carmen ingin melepaskan penatnya sebentar di depan TV bersama semangkuk sereal. Walau sedikit tidak sopan karena Horn tepat di sebelahnya sedang tertidur namun apa boleh buat, apartemen itu kecil. Jadi harus saling maklum-memaklumi. Ia'pun tidak menyetel TV keras-keras agar Horn tidak terganggu. Setelah serealnya habis ia kemudian mencucinya bekas mangkuknya. Segera Carmen mandi dan berganti pakaian. Setelah bolak-balik keluar masuk kamar, Carmen menyadari Horn benar-benar sudah terlelap. Tidak biasanya ia tidur jam segini. Ini masih jam 9, pikirnya. Mungkin Horn benar-benar mengambil saran darinya tadi siang.
"Well....kuharap hasilnya tidak mengecewakan, Horn"
Horn berusaha untuk fokus. Tidak memikirkan apa-apa adalah hal yang terbaik yang bisa ia perbuat. Di depannya sudah ada Carmen sedang berdiri memasang taping pada kedua tangannya. Horn melihat-lihat ruangan itu sekali lagi. Kosong. Tidak ada matras kali ini. Tidak ada pengunjung. Sepi. Hanya ada mereka berdua dan sebuah koper yang selalu menemani mereka di latihan yang sudah-sudah. Ah dia tahu apa isinya.
Carmen sudah selesai memasang taping. Kedua mata mereka'pun bertemu.
"Kau sudah siap…..? durasinya hanya lima menit. Peraturannya mudah…." Carmen meregangkan tangannya ke atas, "… kau hanya perlu menyerangku dengan totalitas selama lima menit."
"Hanya itu?"
"Ya hanya itu…. Terserah kau mau menyerangku bagaimana. Tenang….. aku tidak akan marah meskipun disakiti olehmu karena... aku juga akan menyerangmu, cukup adil bukan?" Carmen mengangkat bahu. "Jika kau berhasil membuat terkesan kita akan lanjut ke tahap selanjutnya".
Mereka berdua berjalan ke tengah. Ada jarak sekitar lima meter di antara mereka. Carmen mengambil kuda-kuda, begitu'pun dengan Horn setelah melihat lawannya sudah siap.
"Siap?"
Horn mengangguk.
Mereka berdua'pun melesat ke titik tengah untuk melancarkan serangan pembuka. Masing-masing tinju berhasil dihindari oleh keduanya. Setelah itu Carmen langsung memutar tubuh untuk melancarkan sebuah tendangan yang mengarah pada kepala Horn. Horn berhasil menangkisnya lalu mendorong tubuhnya untuk melancarkan serangan sikut tetapi lengannya langsung ditahan oleh Carmen yang langsung menendang perutnya. Horn terdorong sedikit ke belakang, serangan barusan benar-benar menyakitinya. Carmen langsung menerjang dan menampar pipi kiri Horn dengan tendangan berputar. Dua serangan langsung mendarat dan salah satunya menggunakan tumit. Kuping Horn langsung berdengung.
Carmen dengan wajah yang mengintimidasi berdiri di depan Horn yang berusaha meraih kembali konsentrasinya. Kuda-kuda Horn goyah. Carmen mengambil kesempatan ini untuk meninju area torso Horn secara bertubi-tubi. Horn dapat merasakan tulang-tulang rusuknya bergetar selama serangan itu berlangsung.
BUGH!
Serangan berdebum kencang yang berasal dari dua bagian tubuh beradu. Horn berusaha menghindari serangan-serangan tersebut tetapi Carmen tidak mau melepaskannya begitu saja. ia tersudut. dan dinding di belakangnya sudah tidak jauh lagi. Mungkin karena sudah puas, Carmen meluncurkan hook kanannya yang membuat tubuh Horn terpental dan menabrak dinding di belakangnya. Horn tersungkur ke bawah dengan luka beserta nyeri di sekujur tubuhnya.
"Itu saja?.....kau masih punya sisa dua menit ….". Carmen memeriksa arloji. "… kupikir latihanmu sudah cukup tetapi hasilnya berkata lain….Ya sudah, Kalau kau merasa sudah selesai kita akan latihan fisik dan bela diri lagi untuk semingg -"
BUUGH!
Carmen terkena hantaman keras pada rahangnya yang mengakibatkan giginya tersentak dan tubuhnya terpental, namun beruntungnya ia berhasil mendarat pada kedua kakinya.
"Sialan… Sialan…. SIALAN!!" geram Horn.
Horn langsung menerjang Carmen dengan secepat kilat. Ia membenturkan kepalanya dengan kepala Carmen yang seketika membuat Carmen pening. Sebuah hook melesat ke pipi kanan Carmen seketika membuat bibirnya sobek. Horn mencengkram lehernya dan melemparkan tubuhnya ke salah satu ujung ruangan.
Diez...
Hanya beberapa saat ketika hendak bangkit, lutut Horn menyambar, membuat hidungnya mengeluarkan darah.
Nueve...
Horn mencengkram baju yang dikenakan Carmen dan mendorong tubuhnya hingga menghantam dinding.
Ocho....
Siete.....
Horn menendang perut Carmen beberapa kali hingga membuat terdengar tersedak.
Seis....
Cinco...
Horn menggampari wajah Carmen yang sudah penuh luka memar.
Quatro....
Horn mencekik leher Carmen dengan kedua tangannya sekuat tenaga. Carmen tampak berusaha mencari nafas setelah saluran pernapasannya disumbat oleh tangan Horn.
Tres...….
Dos......…
"Uu…ghhhhnnnn...….."
"Ahh....HAAAAHHHH…" Horn tiba-tiba histeris dan melepaskan cengkramannnya. Tubuhnya gemetaran. Carmen terduduk lemas sedangkan Horn menjerit-jerit histeris sambil terduduk menatap kedua tangannya di lantai.
"Ahhhhh...Hahhhhahhhhhhh...hah..hah" Horn terisak. Tidak jelas emosi apa yang membuatnya seperti ini. Nafasnya tidak beraturan, sedangkan Carmen mencoba mengambil udara sebanyak-banyaknya untuk paru-parunya.
Pemandangan aneh'pun terjadi. Seorang laki-laki yang sedang histeris dan seorang Wanita yang terkulai lemas babak belur. Basement menjadi penuh sesak karena isakan Horn. Ia tidak menangis, ia tampak sangat syok.
Carmen beberapakali terbatuk-batuk saat mengambil nafas. Luka-luka bonyok di wajahnya perlahan sembuh. Saat merasa tenaganya kembali, ia'pun bangkit. Ia melewati Horn yang masih tertunduk di lantai sambil memandangi kedua tangannya. Beberapa saat kemudian ia kembali tepat berada di depan Horn.
"....A-aku minta maaf...." mohon Horn.
"…..Aku sudah hampir terkesan padamu The Purple, kau telah berhasil menyerangku hingga separah ini. Kukira kau hanya kesulitan pada paruh pertama… ah tidak… kau hanya kesulitan dalam menghabisi lawanmu dan ITU MEMBUATKU SANGAT KECEWA!!"
Carmen mendaratkan sebuah tendangan keras ke wajah Horn, kemudian disusul dengan menendang bagian dagu hingga Horn terkapar di lantai. Carmen menggenggam sesuatu yang tidak asing di tangannya namun kali ini ukurannya lebih besar. Orang awam'pun akan tahu nama dari yang digenggam Carmen karena terlalu familiar, AK-47.
Click…!
Carmen membidik sambil menginjak tubuh Horn dengan salah satu kakinya. Di balik mata merahnya yang tanpa jiwa itu, ia tidak ragu untuk menarik pelatuk senapan berkaliber 7.62 mm tersebut.
Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!....deru 30 peluru menembus tubuh Horn.
Rasa sakitnya tidak tertahankan, hingga otaknya tidak membaca rasa sakit tersebut. Horn mati rasa. Ada dua magasin lagi yang Carmen sematkan pada senapan berjenis rifle tersebut. Horn hanya dapat melihat dengan lambat bagaimana selongsong peluru mencuat keluar dari senapan begitu pelatuk ditekan.
Tubuhnya tergenang di kubangan darah akibat 90 peluru berhasil menembus tubuhnya. Nafas Horn satu-satu, ia bahkan tidak bisa bergerak. Ia hanya dapat menatap kosong Carmen yang ngos-ngosan setelah menghabiskan tiga magasin senapan tersebut. Tubunnya juga terkena cipratan darah Horn. Carmen melempar senapannya sembarangan dan terduduk bersandar di dinding. Ia menekuk lutut dan mengatur nafasnya.
"Apa yang terjadi padamu!? Selama latihan sebulan ini aku memeperhatikanmu kau selalu ragu ketika sparing! Sudah kubilang tidak apa-apa'kan! Kita ini Caster kelas Ultimate Horn! Ultimate! Serangan-serangan seperti itu tidak akan membunuhku semudah itu! Bukannya kau merasakannya sendiri, serangan fisik dengan senapan rasanya jauh berbeda? Aku sudah berkali-kali membuatmu berdarah-darah tetapi nyatanya kau masih hidup!". Carmen menarik nafas panjang. "Aku melakukan ini ini untuk kebaikanmu, Horn… jika kau ragu dalam menyerang nanti mantranya akan mengendalikanmu dan malah melawan keinginanmu. Kukira satu bulan sudah cukup…. tapi nyatanya hasilnya lain. Seperti yang kubilang barusan kita akan latihan fisik dan bela diri lagi selama seminggu…". Carmen bangkit berdiri. "Kau boleh pulang... aku yang akan menyiapkan makan malam kali ini"
Carmen bergerak memungut senapan beserta magasin kosongnya kembali. Ia kemudian memasukannya ke dalam koper. Ia mengambil sehelai handuk kecil untuk menyeka wajahnya yang berkeringat dan bercampur darah. Ia'pun meminum air yang dibawanya tanpa menoleh ke belakang. Nafasnya masih tidak teratur akibat jumlah adrenalin yang mengalir di tubuhnya.
"…Dulu….…Aku… pernah membuat seorang gadis cacat permanen..." Horn terbatuk, darah'pun keluar dari mulutnya.
"…Mungkin ini terdengar konyol bagimu….. tetapi begitulah kenyataannya...… dia mempermalukanku saat aku benar-benar mempercayainya...di saat itu juga aku tidak bisa mengontrol amarahku… rasa kecewaku ... aku sadar aku telah mengubah cara hidup seseorang bahkan cara hidupku sendiri..... itu masih memberiku trauma hingga saat ini.... ugh….itu adalah rasa paling bersalah yang masih kurasakan hingga saat ini...ah…..dan sialnya aku hampir melakukannya untuk kedua kali...Ingat saat kedatanganmu waktu itu?... kau sudah mendapatkan jawabannya…. Mengapa pukulan itu sangat tidak mengenaimu..."
"Kenapa?..." tanya Carmen.
"...…"
"Kenapa kau baru memberi tahuku sekarang?" Carmen berdiri di sebelah ujung kepala Horn.
"… kau sudah tahu'kan…. Aku bukan tipe pencerita...… aku lebih suka memendam masalahku sendiri…. aku benci orang lain ikut terlibat di dalamnya….."
"Tapi akhirnya kau menyiksa dirimu sendiri akibat perbuatanmu….". Horn terdiam kecil mendengarnya.
"..Bukannya kau bisa melihat sendiri…."
"…..kau orang yang aneh The Purple"
"… bukannya kau yang menganggap itu normal…?"
Carmen tidak membalasnya.
Terjadilah keheningan di antara mereka hingga suara dari beberapa tepuk tangan tunggal memecahkan suasana.
Prok.....Prok...Prok…..
"Ah…. Sayang sekali aku melewatkan ujiannya... aku tadi sangat sibuk karena ada urusan di kantor"
"Apa yang kau lakukan disini The Puppet?" tanya Carmen pada orang yang berdiri di tribun.
"Apa yang kulakukan? Tentu saja aku ingin melihat kalian berdua berlatih…. atau mungkin kali ini ujian?"
"Tidak ada yang menarik di sini. Pergilah! Atau aku harus terpaksa menendang bokongmu dari sini." Carmen menodongkan pistol kepadanya.
"Seorang gadis cantik dan baik tidak boleh berkata kasar, Carmie…" The Puppet menggunakan mantranya untuk membuat anak-anak tangga dari kertas agar ia bisa turun. ".. atau seharusnya kupanggil The Red?". The Puppet tertawa kecil.
The Puppet yang sudah satu permukaan dengan mereka berdua'pun tersenyum. Senyum tipisnya sama sekali tidak turun. "Aku kagum melihat gaya pelatihanmu yang tidak biasa itu. Mungkin dengan Caster lain mereka sudah mati kehabisan darah, tetapi Caster seperti The Purple disini tampaknya akan berhasil…." The Puppet melirik Horn yang masih tergeletak di lantai, "Tetapi kau membuat kesalahan besar The Red.... Selama sebulan sudah kau melatih partnermu tapi hasilnya malah hanya menggali traumanya lebih dalam lagi. Hasilnya semua usahamu dalam melatihnya mantranya…ah bukan … mentalnya sia-sia selama ia masih menderita atas trauma itu."
"Untuk apa kau menjelaskan itu padaku? Kau kemari hanya ingin mengolokku?"
"Tenanglah terlebih dahulu The Red. Aku menjelaskan hal tersebut bukan bermaksud buruk, justru itulah aku kemari untuk membantumu melatihnya"
"Aku tidak butuh bantuanmu. Dia adalah tanggung jawabku."
The Puppet tertawa kecil.
"Sifatmu ternyata tidak jauh darinya. Apa kau lupa mantraku, The Red? Kemarin aku sempat berbincang-bincang dengan partnermu dan tampaknya ia belum mengerti konteksnya"
"Kau berbicara dengannya!?" mata Carmen langsung tertuju pada Horn yang berada di bawahnya.
"Yah….aku mengajaknya makan-makan kemarin sekaligus berbincang-bincang tentang masalah ini. Sayangnya begitu masuk topik ia langsung mengelak dan pergi. Jadi setelah kupikir-pikir tampaknya dia membutuhkan persetujuanmu…."
Carmen mendengus kesal mendengarnya. Pandangannya berulang-kali berpindah dari The Puppet dan Horn. Ia'pun menurunkan pistolnya.
"Cih… terserah dia saja! Aku muak dengan ketidakjujurannya!"
Carmen bergegas keluar dengan koper dan barang-barang yang dibawanya. Ia meninggalkan Horn dan The Puppet di basement. Horn untuk kedua kalinya melihat Carmen marah.
Horn mengumpulkan tenaganya untuk bangkit. Segera ia berbalik dan hanya bisa melihat punggung Carmen sekejap sebelum menghilang ditelan daun pintu basement. Horn kebingungan. Entah apa yang membuat Carmen marah kali ini. Pertemuannya dengan The Puppet memang seharusnya dirahasiakan tetapi sayangnya sang lawan bicaranya saat itu malah membeberkannya, dan membuat Carmen marah. Setidaknya pokok masalah pada pelatihannya sudah ia kemukakan kepada sang pelatih. Horn berbalik menghadap The Puppet yang masih tersenyum tipis.
"Ah….. dia malah pergi….padahal aku ingin sekali mendengar pendapatnya"
Horn bangkit duduk.
"Untuk apa... kau melakukan itu?" tanyanya disertai erangan.
"Tentu saja untuk menolongmu.."
"Dia sendiri sudah cukup menolong..."
"...Dengan menembakimu hingga berlumuran darah? Merusak mentalmu dan membangkitkan rasa traumamu lagi? Aku mencoba menyadarkannya bahwa selama ini caranya salah. Walau sebenarnya tidak sepenuhnya."
The Puppet menjulurkan tangannya untuk membantu Horn berdiri. Ia'pun menerima tangan tersebut.
"Mungkin The Red lebih tahu tentang melatih mantra para Ultimate. Tetapi ia salah tanggap pada traumamu itu. Latihanmu tidak akan mengalami kemajuan jika kita mengabaikan trauma psikis yang fatal tersebut." Kini Horn berdiri menghadapnya. "Sudahlah….. aku tidak ingin mengungkit masalah soal traumamu lagi… intinya kau tidak apa-apa sekarang" The Puppet menepuk bahu Horn dengan senyum manis di wajahnya.
"Lalu… apa yang harus kulakukan sekarang?"
KRUYYUK…...
Horn memalingkan wajah karena malu.
"Tampaknya kau harus isi perut terlebih dulu"