Tak disangka, pagi yang cerah pada hari itu berubah menjadi hujan pada siangnya. Hujan'pun mengguyur Dockstown dan membasahi jalanan. Suara deru rintik hujan'pun perlahan terdengar menenangkan bagi orang-orang yang berhasil berteduh. Ibu-ibu rumah tangga tampak sibuk mengangkat jemurannya agar tidak basah untuk kedua kalinya. Dan mobil-mobil kini menjadi terbatas jarak pandangnya akibat hujan yang semakin deras. Dockstown yang biasanya bercuaca panas terik berubah menjadi kota yang sejuk dan juga basah.
Horn dan The Puppet terjebak di sebuah restoran Jepang. Hujan turun ketika mereka sampai disana. Mereka duduk di couple seat lantai dua dekat jendela. Horn segera memesan ramen, paket yakiniku dan Cappucino Ice, sedangkan The Puppet memesan sebuah menu paket yang terdiri dari nasi, sayuran dan tempura. Ia'pun juga memesan shushi dan Apple Tea sebagai minumannya.
"Porsimu besar juga. Kau sedang lapar?" tanya The Puppet setelah pelayan pergi bersama daftar pesanan mereka.
"Entahlah.. aku merasa sangat lapar sekarang. Tidak biasanya aku begini.." Ujar Horn sambal menunduk, memegangi kepalanya yang pening.
"Penembakan tadi pasti melubangi organ pencernaanmu sehingga perutmu kosong"
"Jangan bilang kau di basement mencium….."
"Aroma kotoran? Tidak juga…sulit menyebutkan baunya…. bau anyir darahnya sangat pekat hingga menempel di hidungku dan... maaf" The Puppet segera tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kau hampir membuatku tidak berselera…."
"Penyebab kau sangat lapar sebenarnya bukan karena saluran pencernaanmu yang berlubang. Melainkan kau kehilangan banyak darah sehingga kau kehilangan nutrisi bagi tubuhmu. Buktinya sekarang kau pasti merasa pusing"
"Tampaknya kau tahu betul masalah seperti ini. Kau bekerja di mana?"
"Aku mengajar anak-anak di St. Martin Elementary, daerah Eclipse, pernah dengar?"
Horn menggelengkan kepalanya "Nah…. Aku tidak familiar tentang sekolahan"
"Jadi…. Apa pekerjaanmu, Horn?"
"Pengangguran" jawab Horn datar.
"Kau tidak bergaul dengan para cañí?
"Untuk apa?…. aku bekerja setiap hari….. dulunya. Mereka selalu membuat masalah dengan orang-orang sekitar dan membuat sebuah lingkungan menjadi tidak aman. Bodohnya lagi mereka lebih suka memalak orang yang sama miskinnya dengan mereka."
"Kau tampaknya tahu banyak tentang para cañí."
"Kau akan tahu jika kau tinggal satu daerah bahkan satu gedung dengan mereka."
Misa mengangguk-angguk setuju. Ia'pun menoleh pada kaca yang mempertunjukkan opera rintik hujan dan pemandangan gedung-gedung tinggi diselimuti kabut. Suasana siang hari begitu gelap. Terlihat petir merekah dibalik awan-awan hitam dilangit, guntur yang cukup keras'pun ikut menyusul kemunculan petir. Wajah Misa tampak tenang saat melihat salah satu fenomena alam tersebut.
"Tampaknya kau sangat menyukai hujan" timpal Horn, memecahkan kesunyian sesaat mereka berdua.
"Ah… tidak juga…. Aku hanya menikmati suasana hujan. Aku jadi teringat dulu waktu aku masih kecil aku sangat benci hujan karena petirnya…. Tetapi ibuku malah menghukumku dan menempatkanku di sebuah kursi samping jendela. Ia menyuruhku untuk tetap melihat ke arah jendela hingga hujan reda." Misa senyum-senyum, "Ya tentu saja awalnya aku takut dan enggan melihat ke jendela. Tapi pada akhirnya ia mengajariku untuk melawan rasa takut itu, dan kini aku menikmatinya.."
"Kau sepertinya dekat dengan ibumu"
"Yah…. Dia tinggal di Espardica, kami kadang-kadang saling mengontak. Ia tidak suka memanjakan anak-anaknya, apalagi menanyakan kabar. Tetapi satu hal yang pasti, dia adalah ibu yang baik."
Horn mengangguk-ngangguk paham. Ia mencoba menoleh ke jendela dan melihat pemandangan yang sama.
"Ibu yang baik huh?"
"Kau tinggal bersama ibumu, Horn?"
"Ah tidak….. sejak kecil aku tinggal di apartemen bibiku hingga sekarang. Ibuku pergi entah kemana dan bibiku juga sudah tiada beberapa tahun yang lalu."
"Jadi kau tinggal sendiri… bagaimana dengan ayahmu?"
Horn menatap mata cokelat Misa lekat-lekat sebelum melempar pandangannya ke jendela.
"Dia sudah mati, tidak ada yang menarik tentang dirinya." Jawabnya datar.
Pesanan mereka'pun datang. Horn langsung menyambar santapannya menggunakan sendok, sedangkan Misa tampak tenang membelah sumpit untuk suapan pertamanya. Horn menghabiskan paket yakiniku-nya terlebih dahulu sebelum menyambar santapan keduanya.
"Pernah makan sushi?" tanya Misa menyodorkan sepotong sushi dengan sumpit ke wajah Horn. Horn bergidik.
"Nah…. bibiku pernah membawa sisa sushi dari acara makan-makan tempat ia bekerja dan yang kudapatkan hanyalah potongan-potongan ikan mentah. Rasanya memualkan.."
"Ehm…. Mungkin itu yang sashimi. Dulu standarnya memang beneran ikan mentah, tapi standar sekarang ikan-ikan ini harus dimasak terlebih dahulu. Nah..… cobalah, yang ini namanya nigiri."
Horn penasaran dengan rasanya. Walau ia pernah memakan sushi sebelumnya dan rasanya buruk, tetapi yang ini tampaknya tidak. Mungkin karena tampilannya yang berbeda atau karena senyuman dari orang yang menyodorkannya telah merubah persepsinya. Rasa penasarannya mengalahkannya dan ia'pun ingin melahap sushi yang ada dihadapannya. Horn mencoba mengambilnya dengan tangan, tapi Misa langsung menariknya.
"Ah ah.." katanya sambil menggoyangkan telunjuknya, "Karena aku yang menawarkannya jadi kau harus memakannya langsung dariku."
"Ayolah aku bukan anak kecil."
"Kau memang tidak pernah ramah dengan tawaran seorang perempuan, Horn" sanggah Misa dengan nada yang datar.
"Baiklah… baik…. anggap ini permintaan maafku atas kejadian kemarin…. aaa~~" Horn membuka mulut.
"A...amph" beo Misa saat menyuapi Horn dengan sushi. Ia menunggu reaksi Horn tentang sushi yang telah diberikannya, "Bagaimana, enak?"
Horn mengangguk, wajahnya cukup terkejut, "Sangat berbeda dari apa yang kumakan saat itu."
"Senang kau menyukainya… nah…. cobalah yang lain…" tawar Misa sambil menyodorkan tatakan penuh sushi padanya.
Mereka berdua'pun melanjutkan santapan mereka. Horn menghabiskan semangkuk ramen dengan cepat. Misa sudah selesai dengan hidangannya. Hujan deras masih mengguyur Dockstown. Aliran-aliran air mengalir dari atas menyusuri kaca jendela membuat sungai-sungai kecil yang bermuara ke saluran air. Kaca mulai sedikit berembun karena suhu yang merendah. Misa melihat Horn masih sibuk dengan ramennya. Tangan Horn berhasil menyendok kuah kental kecoklatan dari mangkuk ramen di hadapannya. Ketika ia ingin memasukan kuah tersebut ke mulutnya sebuah tangan menyambar tangannya dan menghentikan proses tersebut.
"slurp.... rasanya boleh juga." ujar Misa setelah berhasil merebut kuah tersebut dari mulut Horn.
"Hey… itu tidak sopan….!"
"Maaf aku tidak mau mengganggu antusiasmemu dengan kata-kata. Kau tampak sangat menikmati ramen tersebut sehingga aku ingin mencicipinya."
"Kenapa kau tidak memesannya saja?"
"Jika kau merasa cukup dalam sedikit itu mengapa kau butuh yang banyak?"
"Tapi setidaknya kau bisa bilang jika mau meminta."
"Setidaknya kita sudah bertukar suapan, señor Horn…..fu…fu..fu… ah tidak kita tidak jadi impas berarti kau masih berhutang padaku" ujar Misa, tertawa kecil.
Horn menggeleng dan kembali menghabiskan ramennya. Setelah selesai ia meneguk Cappucino Ice miliknya sampai habis. Setelah apa yang dihidangkan di meja habis, Horn mengatur nafasnya dan merebahkan dirinya di bangku. Ia menoleh ke jendela, melihat hujan masih turun sangat deras. Ia masih terjebak disana bersama Misa.
"Kau sudah mau pulang?" tanya Misa memecah konsentrasinya pada irama hujan di luar.
"Seperti yang kau lihat sendiri. Hujan deras."
"…Atau kau mencemaskan Carmen?"
Suara Horn tersendat untuk beberapa saat sebelum akhirnya ia bisa merespon kalimat barusan.
"Aku tidak tahu apa tanggapannya jika ia melihat kita disini. Terakhir kau memberi tahunya tentang pertemuan kita, ia tampak sangat marah."
"Oh…. begitu? Memang hubungan kalian itu sampai mana?" tanya Misa Sambil memainkan sendok cangkir Apple Tea-nya.
"Kita adalah partner."
"'Part…ner'?"
"Sebagai Caster dan Spell Punisher tentunya, kami tinggal satu atap."
"Satu atap!?" sentak Misa, kaget.
"Mungkin terdengar cukup aneh, tapi begitulah maunya. Dia ingin membantuku dengan mantra ini tapi dengan syarat dia harus tinggal bersamaku, di apartemen itu."
"Kalian tidak pernah bentrok?"
"Perkelahian kecil mungkin ada, tapi kami berhasil menyusun peraturan dan saling menolerir, yah aku yang banyak memberi peraturan di apartemen karena memang seharusnya itu tempatku, dan ia memberiku peraturan agar aku tidak sembarangan bertindak untuk mencegah sihir dari mantra ini keluar."
Misa manggut-manggut, "Sulit dipercaya…. The Red mau tinggal bersama seorang laki-laki…. Ah maksudku….. ini sungguh tidak biasa bagi gadis seusianya dan sejauh aku mengenalnya, ini tidak seperti dirinya."
"Kau terdengar seperti sangat mengenalinya…."
"Aku cukup kenal dengan The Doll, partner lamanya. The Doll lebih dulu masuk The Society lalu diikuti oleh The Red. Di jenjang waktu yang singkat itu aku sempat beberapa kali berbincang dengannya, jadi kami saling kenal."
Timbul pertanyaan pada benak Horn setelah mendengar pernyataan tersebut, "The Doll ini….. apa kau tahu penyebab kematiannya? Aku ingat dia sangat terpukul saat datang ke apartemenku."
"Sayangnya tidak…." Misa menatap lurus mata Horn. "…yang kutahu mereka sering mengambil mangsa caster-caster berbahaya, itulah mengapa nama mereka berdua sangat terkenal di The Society. Seperti yang pernah Victor katakan pada kami, 'kedatangan seorang Ultimate bagi kita, sama seperti menggenggam pedang bermata dua'. Sangat jarang yang berbicara dengan The Red. Dia, sejauh pengamatanku adalah seorang pendiam dan hanya The Doll-lah yang sering berbicara dengannya. Dia dan The Doll adalah dua persona yang berbeda 180 derajat. The Doll adalah orang yang sangat periang dan terbuka, sedangkan The Red sangat tertutup. Tampaknya mereka sudah mengenal sejak lama."
"Tunggu sebentar, Victor yang kau maksud…?"
Misa berhenti sebentar untuk mencerna pertanyaan Horn, "Kalau Versimu bagaimana?"
"…Moeb"
"Terserah…"
"Setidaknya aku tidak salah orang"
CRING!!
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Misa. Misa membuka ponselnya sebentar untuk membacanya dan menutupnya kembali. Horn hanya diam tak berkomentar melihatnya.
"…hanya teman" timpal Misa agar Horn tidak penasaran. Misa'pun menyeruput apple tea-nya yang sudah dingin tersebut hingga habis.
"Aku jadi penasaran…..". Misa menyimak. "…nama-nama julukan itu… The Doll (boneka) dan The Puppet (boneka) bukankah maknanya sama?"
Misa menyandarkan tubuhnya begitu mendengar pertanyaan Horn yang seperti itu.
"Ah….. kau lupa The Puppet itu hanya singkatan?". Horn mengingat-ngingat sebentar dan akhirnya mengangguk. "The Doll seperti namanya kekuatannya seperti boneka. Dari yang kudengar ia bisa berada di dua tempat secara bersamaan alias ia bisa menduplikasi diri layaknya boneka produksi masal. Meniru rupa seseorang, atau mempreteli tubuh orang semudah kau mempreteli boneka adik perempuanmu. Aku tidak tahu banyak karena The Doll benar-benar minim dari pelanggaran The Ballot. Mantranya benar-benar pada sihir ilusi.". Misa memegang sampah kertas bekas bungkus sumpit yang ia pakai barusan. "Kalau aku… seperti julukanku The Puppeteer, aku pengontrol boneka…". Tiba-tiba sampah kertas di tangan Misa bergerak sendiri lalu melintir membentuk kepala dan badan yang hanya satu kaki. "Walau dasarnya adalah hanya sihir boneka kertas tetapi aku bisa berbuat lebih dari itu."
"…Lebih?"
"Kak Misa!". Horn kaget dengan suara yang tiba-tiba memanggil orang yang di depannya. Ketika ia menengok ke sebelah ia mendapati seorang anak kecil sekitaran umur lima-enam tahun dengan jas hujan bewarna biru muda menarik-narik rok Misa. Misa mengangkatnya kepangkuannya dan anak asing itu langsung tenang di pangkuannya. Horn yang kebingungan dari mana anak itu berasal. Padahal dari tadi ia tidak melihatnya. Ia mencoba mencari orang tua anak tersebut ke sekeliling tetapi di atas sana hanya ada mereka dan beberapa pasangan muda lainnya yang seingat Horn tidak membawa anak kecil.
"Jangan bilang….."
"Benar… ini adalah salah satu mantra dari The Puppeteer. Membuat boneka manusia, lengkap dengan kepribadiannya. Bisa kau lihat sendiri dari pakaiannya kubuat dari sampah-sampah plastik sehingga membuat jas hujan, isi tubuhnya sendiri dari air hujan yang kumasukan botol-botol plastik. Ini hanyalah sihir ilusi. Jika aku lepas mantranya pada penghilatanmu kau hanya melihat apa yang barusan ku sebutkan.
Horn menjulurkan tangannya untuk memegang tangan anak kecil itu. Anak kecil itu tampak kebingungan melihat tangannya dijabat oleh tangan yang dua kali lebih besar darinya.
"Shhh… tidak apa-apa dia orang baik.." ujar Misa seperti menenangkan anak kecil sungguhan.
"I-ini terlalu nyata. Tangannya benar-benar terasa seperti tangan manusia pada umumnya." Horn bergidik.
"Jangan terkecoh…. Itu semua adalah hasil manipulasi dari mantraku. Otakmu kupaksa untuk mempercayainya.". Anak kecil itu turun dan berlari masuk ke dalam kamar kecil yang berada di ujung, Horn tidak melepas pandangan padanya.
Itu hanya botol-botol berisi air Horn!
Botol berisi air!
"Sudah paham konteksnya The Purple, bagaimana aku bisa membantu pelatihan mantramu dengan mantra milikku?" tanya Misa saat kepala Horn kembali menghadapnya.
"Si…..tapi apakah kau bisa…."
"Ini bukan waktunya bersantai, PRAJURIT! Bangun! Tegakkan tubuhmu!" seorang drill instructor bertubuh tegap tiba-tiba saja muncul dan meneriaki Horn dengan perintah-perintah. Misa memalingkan wajah ke arah jendela berusaha tidak melihat apa yang sedang terjadi.
"Misa!" teriak Horn, jengkel. Sang Drill instructor tanpa ekspresi itu langsung berjalan cepat menuju kamar kecil yang tadi dimasuki oleh anak kecil yang dipangku Misa.
"I-itu bukan ulahku…." sanggahnya sambil menutup bagian mulutnya.
"Sudah jelas….. siapa lagi yang bisa melakukan….." kalimat Horn terhenti setelah ada tepukan dari tangan yang besar di bahunya. Ia'pun menoleh. Seorang pria bertubuh besar dan kekar memakai pakaian ala butler langsung berkata dengan suaranya yang berat dan tegas cocok dengan garis-garis rahang di wajahnya
"Seorang laki-laki sejati tidak boleh membentak-bentak wanita di depan umum". Pria itu meremas bahu Horn dan memberikan tatapan 'kau sudah mati dihadapanku'. Horn membalas tatapannya dengan ekspresi 'apa maksudmu, hah?'. Misa terkekeh dalam posisi masih menghadap jendela.
"Misa kau membuat kita dilihat banyak orang..." kata Horn. Pria kekar itu'pun mohon permisi lalu pergi menghilang ke kamar kecil. Horn memegangi kepalanya yang tidak pusing.
"Baiklah…. Aku terima tawaranmu, tapi apa ganjaran baliknya? Kedengarannya bantuan darimu tidaklah gratis." ujar Horn yang sudah risih jika puppet-puppet itu kembali dalam bentuk yang berbeda.
"Fu…fu…. Intuisimu tajam juga, The Purple. Tidak ada yang gratis.", The Puppet melipat tangannya tanpa menurunkan senyumannya. "Mantra ini sudah membantu karirku dalam mengajar dan membuatku sangat disenangi anak-anak bahkan rekan-rekan kerjaku. Aku telah menggunakan mantra ini selama bertahun-tahun h Jadi mungkin mantra sejenis ini dapat membantu latihanmu dengan cara yang berbeda. Jika di lingkungan kerjaku aku sangat disenangi orang-orang dan mendapatkan bonus per-bulannya, aku mau yang ini berbeda….". Horn menyimak.
"…Aku mau kita berkencan."
"…Eh?", Horn terbelalak kaget.
"…Kita akan pergi keluar setiap akhir minggu dan menghabiskan waktu bersama." tambah Misa.
"…. Kenapa kau mau berkencan denganku? Apa kau tidak punya 'partner' di tempat lain atau di The Society?"
"Akan kuberi tahu alasan simpelnya…. Kau untuk kedepannya, akan membutuhkanku dalam pengendalian mantramu. Apa itu sudah jelas?"
Horn mengangguk pelan tetapi masih ada sesuatu yang mengganjal pada hatinya, "Tapi tetap saja…. Mengapa berkencan? Apa Carmen akan baik-baik saja dengan semua ini?"
"Itu adalah resiko yang harus kau ambil dan kau tidak membaca situasi ya, Horn? Bukannya disini kita sedang berkencan? Sudah dua kali lho…", Misa terkekeh.
Horn agak terganggu dengan fakta tersebut. Ia'pun mengelak, "..terserah kau mau menyebutnya apa. Aku benci dengan istilah kencan. Dan aku lebih benci lagi orang yang baru kukenal sudah mengajakku kencan..!", dengus Horn kesal.
"Bukannya Carmen juga sama seperti itu…hm?"
"Dia lebih gila dari itu."
Misa tertawa.
"Lalu bagaimana? Apa kau benar-benar setuju dengan tawaranku?"
Horn terdiam sebentar memikirkan apa yang harus ia pertimbangkan. Ia memutar otak, Carmen dan Misa tampaknya sudah saling kenal, seharusnya itu tidak akan jadi masalah. Carmen keras kepala ingin melatihnya dengan caranya sendiri, sebuah cara yang efektif tetapi memiliki satu titik kesalahan yang membuatnya tidak maju, tapi jika dengan bantuan mantra milik Misa…. Seharusnya bisa.
"Baik… aku terima tawaranmu…"
Misa tersenyum mendengarnya. "Nah kalau begitu… akan kuperkenalkan kau dengan pelatihnya… itu dia", Misa menunjuk seseorang di belakang Horn.
"Eh…. Misa auhhhhh kangen…. Eh..eh ….siapa yang kali ini mau ikut training!!?? Aduh señor Hor nini ya? Duh…. ganteng dech... besok kita mulai…ya.".
perasaan Horn bercampur aduk dari kesal, jengkel hingga jijik ketika gym trainer gay yang mengenakan singlet pink itu memegang-megang bahu serta memanggil namanya. Hanya ada satu nama yang memperbuat semua ini.
"Misa!"
Misa tertawa sejadi-jadinya.
reda beberapa saat yang lalu. Jalanan masih basah dan tidak jarang ditemukan genangan-genangan air. Hujan telah berlangsung cukup lama. Dari tengah hari hingga matahari terbenam. Udara dingin'pun berhembus di atmosfer, menari-nari di udara dan menjilati kulit orang-orang yang masih mengenakan berbahan tipis. Untungnya Horn selalu bersama jaket kesayangannya.
"Hachiii...!"
"Kau kedinginan?" tanya Horn saat mereka keluar dari restoran jepang, petang itu. Restoran itu terletak tidak terlalu jauh dari perpustakaan kota karena masih dalam satu square.
"Ah… tidak ini mungkin karena perubahan suhu udaranya. Aku tidak apa-apa, ini normal.", kata Misa sambil mengibaskan tangannya.
Mereka'pun berjalan pulang bersama menuju halte terdekat. Halte sepi namun karena bangku tunggu basah, mereka akhirnya lebih memilih untuk berdiri. Bus mereka belum datang. Horn sebenarnya bisa saja berjalan pulang ke Shovel karena jaraknya tidak terlalu jauh. Masalahnya adalah orang di sebelahnya. Ia sudah merasa tidak enak berlama-lama bersama orang lain terutama orang itu adalah Caster. Ia harus berpamitan. Salah satu dari akhirnya mereka memecah suasana hening nan dingin tersebut.
"Kau mengambil rute bus ke arah Eclipse'kan?" tanya Horn.
"Oh…. aku? tidak… aku ada janji dengan teman yang tinggal di Shovel. Salah seorang kolegaku…. Ia meminta tolong untuk mengecek kelayakan metode pengajarannya. Berhubung ia juniorku saat kuliah jadi aku tidak keberatan untuk sekalian mampir. Ini tahun pertamanya mengajar di St. Martin, kurasa ia benar-benar bersemangat mengajar hingga memintaku untuk menilainya.."
"Oh.." respon Horn, singkat, setelah mengetahui ia akan satu kendaraan pulang dengan Misa.
"Ada apa..? kau tidak suka? Hey…. Kita bisa berjalan kaki ke Shovel jika kau mau. Jaraknya tidak terlalu jauh kok….. itu'pun kalau kau bosan menunggu bus."
'Terdengar seperti ide yang bagus', pikir Horn. Ia sudah terlalu lama menunggu hujan di restoran dan sekarang kini ia harus menunggu lagi. Yang ia inginkan hanyalah menyudahi pertemuan ini dan pulang. Suasananya menjadi hening setelah mereka kehabisan topik, di saat itulah hawanya berubah menjadi sangat tidak mengenakan dan canggung. Terlalu lama bersama Misa dapat membuat gosip di The Society, ia tidak hapal siapa saja anggota The Society karena sibuk berlatih tapi karena seorang Caster dapat merasakan aura dari mantra caster lainnya, ia menjadi was-was, terutama Carmen, jika ia tahu apa yang telah ia setujui.
Mobil berlalu lalang menjauhi trotoar agar tidak menciprati para pejalan kaki. Tetesan-tetesan air di atap halte semakin menipis. Dan bangku halte mulai mongering. Ternyata sudah 15 menit berlalu. Tampaknya bus mereka sudah terlambat. Pukul 19: 35, bus mereka memang terlambat. Ia ingin segera menyudahi pertemuan ini.
"Ya sudah… kita jalan kaki saja…" Jawabnya setelah lelah menunggu bus.
Mereka'pun berjalan kaki menulusuri trotoar. Blok demi blok. Dan beberapa persimpangan yang mengharuskan mereka menekan tombol menyeberang. Mereka tidak berbicara satu patah kata'pun selama perjalanan. Misa tampak sibuk dengan ponselnya berbeda dengan Horn yang lebih memilih untuk melihat-lihat jalanan sekitar yang mulai sepi dan gelap.
Kini mereka masuk ke bagian barat Shovel yang terdiri dari banyak pertokoan kumuh. Toko miras murahan banyak yang baru buka sedangkan yang lainnya mulai mengemas dan menutup toko mereka untuk dilanjut esok hari. Kondisi jalan sepi. Tidak ada kendaraan yang melintas, paling tidak ada satu-dua sepeda yang keluar-masuk Shovel, mungkin itu adalah para pekerja shift. Melihat rutinitas bekerja para pekerja di Shovel yang sangat padat dan melelahkan, membuat mereka sangat jarang mendapatkan waktu luang untuk mendidik anak-anak mereka, sehingga tidak jarang kalau ada segerombolan anak-anak atau pengangguran yang biasa disebut cañí yang sedang berkumpul untuk sekedar mabuk-mabukan atau berjudi main kartu.
Cañí menjadi sangat meresahkan masyarakat yang tinggal maupun berlalu lalang di Shovel. Karena mereka akan memalak atau mencuri dari siapapun yang menurut mereka anggap sebagai mangsa yang bagus. Horn sendiri sudah tidak takut dengan para cañí, melainkan ia malas meladeni mereka yang selalu ngomong bertele-tele. Dulu saat Horn masih bekerja di minimarket, para cañí sering nongkrong di depan toko dan membeli sebungkus rokok darinya. Terkadang jika mereka benar-benar nekat, minimarket sekelas milik Mr. Rodriguez'pun akan mereka rampok. Awalnya mereka hanya modal nekat. Lalu mereka berkembang dengan membawa senjata tajam. Puncaknya adalah ketika minimarket tempat Horn bekerja kerampokan saat malam hari. Salah seorang koleganya yang pada saat itu bekerja shift malam, tertembak di bagian dadanya dan langsung kritis saat dilarikan ke rumah sakit. Cañí, kini semakin berbahaya setelah beberapa kasus mereka yang melibatkan senjata api ilegal. Untuk itulah Lanza memberi setiap toko sebuah senapan shotgun yang disembunyikan dengan baik di balik meja kasir. Namun, setelah ruler yang baru memerintah, sudah banyak polisi yang berpatroli di jalanan Shovel. Tapi tetap saja, malam adalah waktu bagi mereka untuk kumpul-kumpul.
Berapa macam cañí lagi yang belum pernah Horn layani….? Cañí yang mabuk? Cañí yang sok-sok sakit dan butuh rokok? Atau cañí yang mencuri permen dan cokelat dari etalase? Terakhir kali Horn dihadang oleh cañí hasilnya malah berakhir buruk. Ia berhasil selamat tapi beberapa belanjaannya dan orang-orang yang menghadangnya jatuh.
"Ah…kau di mana? Rumah sakit?! Astaga!! Bagaimana bisa!? Kau sendirian?..... Baiklah aku akan menemanimu tunggu aku disana". Panggilan itu memecahkan pikiran Horn. Ia'pun menoleh pada si penerima panggilan tersebut.
"Maaf Horn… aku harus pergi ke Hospitaal de la Cruz. Kakak temanku yang tadi usebutkan mengalami kecelakaan. Aku mohon pamit Horn, terima kasih atas waktunya… dadah!", Misa pamit dan langsung pergi sebelum Horn dapat memblas ucapannya. Ia melihat dapat punggung Misa yang hilang ditelan sudut tikungan jalan.
"Dadah!", balasnya pelan walau sudah tahu, Misa tidak mungkin bisa mendengarnya.
Horn kini menyusuri distrik tempat tinggalnya sendirian. Distrik yang kejam dimana pada pukul segini semua orang enggan untuk keluar rumah kecuali mereka yang memang memiliki keperluan yang sangat genting. Tingkat kriminalitasnya tinggi. Ego akan jadi penentunya ketika para kriminal jalanan beraksi. Jalan masih sepi, tidak ada Cañí yang berkumpul. Lagipula Horn sedang tidak membawa apa-apa di tangannya, ini merupakan pertanda baik. Sampai seorang Cañí yang memegang pemukul baseball menerjang dan mnghantam bagian belakang lehernya.
BUGH!
Horn pingsan seketika.
BUGH….
DUAGH...
Byurrrr!
"AHahhh…." Suara tarikan nafas Horn yang tersentak. Sebelum ia dapat memperoleh kesadaran penuhnya sebuah tinju melayang mengenai perutnya. "Uhugh….ghh".
"Well….well….. tampaknya si kasir sudah bangun", ujar seseorang yang bersuara berat.
Horn tidak bisa melihat. Matanya kesilauan dari cahaya senter yang di arahkan padanya. Ia juga tidak dapat mengggerakan tubuhnya karena tubuh, tangan, kaki semuanya diikat dengan tambang di sebuah tiang. Ia mencoba meraba lingkungannya dengan gerakan-gerakan kecil
. Tempat itu berlumpur dan berpasir, dan dari apa yang ia dengar, kendaraan yang melintas terdengar sangat jauh. Tetapi sulit untuk memastikan karena tempat itu sangat ramai. Seperti pasar malam. Ia tahu tempat itu.tempat di arah tenggara Shovel dan bersebrangan langsung dengan hutan. Tempat itu adalah taman caravan, yang konon pada tahun 60-70 an digunakan sebagai tempat tinggal para hippie. Tempat itu dipilih karena dulu tempat itu sangat jauh dari keramaian, dan dekat dengan alam liar. Disanalah para hippie bernyanyi-nyanyi dan saling bertukar pemikiran tentang perdamaian dan kelestarian ekosistem Dunia. Tapi sekarang tempat itu dikuasai oleh para Cañí yang tidak jauh dari kaum bar-bar pada era mongolia.
Horn mencium bau busuk dari hidungnya. Itu pasti dari air yang mereka siram berasal dari selokan terdekat, tebaknya. Pria di hadapannya mencengkram rahangnya, di saat itu juga cahaya yang menyinarinya mundur dan membuat jarak pandangnya menjadi lebih baik.
Pria itu memiliki tampang jauh lebih tua darinya namun memiliki tubuh yang lebih pendek. Kulitnya gelap dan terdapat sebuah codet yang melintang di pelipis matanya. Dengan rahang yang tegas dan suara yang berat, seharusnya orang ini menjadi tentara saja, namun ketika ia melihat susunan gigi yang berantakan dan aroma rokok yang terlalu pekat dari mulutnya, ia'pun tahu mengapa.
"Jadi pak kasir…. Katakan padaku bagaimana rasanya membunuh orang? Hm…..?". Horn tidak menjawab, kemudian malah memberikan mereka tatapan kosong. Horn sudah malas berurusan dengan mereka.
"Lepaskan aku…", pintanya pada pria yang tampaknya mengetuai kelompok cañí tersebut.
"Huahahaha!!! Apa maksudmu melepaskanmu brengsek!", Horn dipukul. "Bajingan! Kau sudah membunuh beberapa anggota dari kami hanya karena kami meminta sedikit uang darimu!? Kau kira kau bisa membayar tiap-tiap nyawa kami, hah!? Heiiii…. Pak kasir! Jangan bermain menjadi korban buktinya sendiri kau yang membunuh mereka!!"
Horn tidak mengintrupsinya.
"Onzo, Yuri, Hugo, Carlos...", pria itu menggertakan gigi. "….Mereka itu teman-temanku! Teman-teman kita!! Dan ini…. Si pak kasir ini telah membunuh mereka dengan keji. Dengan cara yang diluar akal sehat manusia! Ayo! kita harus membalas dendamkan mereka semua walau hanya dengan satu jiwa miliknya!", ujar pidato sang pria yang juga sebagai penyulut api kemarahan massa para cañí.
Para cañí sudah bersiap dengan senjata-senjata mereka. Ada yang menggunakan tongkat baseball biasa, ada juga yang menggunakan tongkat baseball yang sudah dimodifikasi paku, ada pula yang membawa golok, atau yang sedang mengisi silinder revolver ilegal mereka, lalu ada pula yang mengeluarkan pisau lipat mereka. Mereka semua dengan senjatanya masing-masing demi menghajar satu orang yang tidak berdaya. Pria di hadapan Horn tersenyum dan berkata.
"Selamat menikmati pemandangan terakhirmu….pak kasir", ia'pun menghilang di balik kerumunan.
Horn menatap satu-persatu orang-orang yang ingin menghajarnya. Ia mengansumsikan ada puluhan orang disana. Ia mencoba mengendurkan tali yang tengah mengikatnya dengan menggerak-gerakkan tubuhnya. Tapi sayangnya, tali tersebut sudah diikat mati.
"Sial…"
Di sebuah gedung yang tidak pernah jadi, berdirilah seorang wanita dengan rambut merahnya yang pendek memperhatikan kea rah Caravan Park. Ia mnyaksikan bagaimana Horn dibawa dan diikat pada sebuah tiang lampu di tengah taman tersebut. Sontak terdengar suara dari arah belakangnya yang terdengar ngos-ngosan karena telah menaiki ribuan anak tangga demi mencapai puncak dari bangunan tersebut.
"Hah…. Permintaanmu benar-benar merepotkanku, The Red. Aku harus berputar-putar di distrik yang seperti labirin ini dan harus menaiki ribuan anak tangga hanya untuk menemuimu…..hah.... bagaimana apa sudah dimulai?" tanya The Puppet yang masih mengatur nafasnya.
"Kau datang tepat waktu….. ini baru saja dimulai…" jawab The Red. The Puppet mendekati ujung bangunan untuk melihat kejadian itu lebih jelas.
"Kau sudah memasang tabirnya?"
"Sudah….. tidak ada orang yang tahu apa yang terjadi di sana kecuali kita."
"Hm… kau tampak yakin dia akan menghabisi mereka semua hingga tidak tersisa…"
The Red melirik ke arah The Puppet dan berkata, "Aku berani bertaruh dia akan melakukannya, untuk itu jangan sekali-kali kau memberi tahu hal ini ke organisasi…"
"Ehh….. aku tidak pernah melapor pada organisasi tentang caster-caster yang bandel….". The Puppet melihat Carmen menodongkan pistol kearahnya tanpa menatap sama sekali, "… haha… Aku bercanda…."
"Kaulah yang melihatnya membantai empat cañí, dan kau juga yang melaporkannya…"
"Tampaknya kau sudah tahu siapa saksi matanya, The Red. Tenang saja, yang ini tidak akan ku beritahu mereka. Aku hanya ingin duduk manis menjadi penonton setia saat ini."
Di sana, di Caravan Park, sejumlah massa para cañí mulai menyerang Horn secara bergiliran. Mereka menghantam kepala, dada, hingga kaki Horn. Beberapa orang dengan pisau lipat mulai mengukir di permukaan kulit lengan Horn. Penglihatan Horn mulai kabur akibat darah yang mengalir dari luka di kepalanya. Tibalah dua orang dengan pistol revolver yang kemudian menembaki tubuhnya. Salah seorang penembak tidak sengaja mengenai kepala Horn dan itu membuat para cañí bersorak. Horn sudah berlumuran darah dan luka dari kepala hingga kaki. Pakaiannya compang-camping. Tubuhnya terkulai layaknya mayat. Salah seorang cañí membawa sebuah jerigen bensin dan menumpahkan isinya dari atas kepala Horn.
Walau begitu Horn masih bernafas. Jantungnya masih berdetak. Singkatnya, dia masih hidup. Bos para cañí'pun, kembali muncul kehadapannya untuk memeriksa apakah mangsa balas dendam mereka masih hidup atau sudah mati. Ia mendekatkan telinganya ke kepala Horn untuk mendengarkan pernafasannya dan detak jantungnya. Sesampainya telinga itu di depan wajah Horn.
"AAAARGHHHHH!!!!"
Horn menggigit telinga pria tersebut sekuat tenaga hingga berdarah. Pria itu terhuyung jatuh ke tengah kerumunan karena kesakitan. Para kerumunan menatap kaget Horn yang ternyata masih hidup. Ia tersenyum dan meludahkan sebuah peluru yang sebelumnya masuk ke dalam kepalanya, sontak hal itu membuat kerumunan heboh.
"Bakar dia! Dia itu iblis!! IBLIS!!"
Seorang anak buahnya'pun langsung menyalakan sebuah korek dan menyulut bensin yang ada di sekujur tubuh Horn. Api itu dengan cepat merambat ke seluruh tubuhnya dan menciptakan kobaran api yang dahsyat. Horn merasakan panas di sekujur tubuhnya. Ia meronta-ronta untuk melepaskan tali yang mengikatnya. Dari jaketnya hingga kulitnya perlahan hangus, begitu'pun tali yang mengikatnya. Begitu tali itu terlalap api, Horn ambruk di hadapan kerumunan. Karena permukaan taman berlumpur akibat hujan, api'pun cepat mengecil dan Horn bangkit dari belenggunya.
"Aku heran mengapa peluru yang menembus kepalanya tidak membunuhnya? Bukankah selama ini kau melindungi bagian kepalanya, saat latihan, The Red?", tanya The Puppet pada The Red.
"Ada beberapa faktor….. pertama karena dia adalah seorang caster Ultimate, dan kedua mereka tidak bisa menembak dengan benar terutama revolver mereka menggunakan peluru berkaliber .32 yang pada umumnya digunakan polisi untuk melumpuhkan para tersangka yang mencoba melarikan diri. Revolver itu jauh lebih pelan karena kegunaannya hanya memberikan luka atau rasa sakit." jawab The Red.
"Hm.. kau tahu banyak tentang senjata api, The Red."
"Hanya salah sedikit pengetahuan yang kutahu…."
The Puppet senyum manggut-manggut. Pertunjukan sebenarnya baru saja dimulai.
Horn bangkit dalam keadaan luka bakar di sekujur tubuhnya. Jaket kesayangannya rusak terbakar. Horn berdiri dengan kedua kakinya menghadap pada kerumunan cañí yang kini terperangah atas apa yang mereka lihat. Sang pria pemimpin para cañí'pun menyeru,
"Apa yang kalian tunggu!!? Cepat serang dia!!", serunya sambil mendorong dua anak buahnya yang memegang tongkat baseball. Dua anak buahnya itu mendekati Horn yang masih menatap kosong ke arah kerumunan. Mereka gemetaran mendekati orang yangtelah mereka ubah menjadi monster tersebut. Dengan aba-aba yang mereka buat, mereka berhasil menyerang Horn di bagian kepala dan perut hingga tongkat dari masing-masing mereka patah. Horn tidak bergeming satu senti'pun.
"ARRRGHHHHHHHH!! UARHHGHHHHH", kedua orang tadi tiba-tiba saja merintih kesakitan karena ada sesuatu yang menyengat mereka dari bawah. Mereka semakin merintih saat tegangan dari sengatan listrik itu semakin besar. Mereka'pun mulai kejang-kejang dan muncul sesuatu mengkilat yang perlahan menutupi tubuh mereka dari bawah. Awalnya hanya berupa bongkahan mengkilat seperti kristal yang berada di kaki mereka namun kemudian merambat naik dengan cepat dan menutupi tubuh…. Bukan, bongkahan kristal itu sudah menggantikan sebagian tubuh mereka! Mereka tidak bisa kemana-mana dan bongkahan itu hampir menngenai jantung mereka. Sayangnya tidak ada cañí yang berani membantu mereka. Kini bongkahan kristal sudah merambat ke jantung mereka dan....
Bummm!!! PYAR!!!
Tubuh kedua cañí yang malang itu meledak menjadi serpihan-serpihan kristal. Kepala mereka juga ikut meledak dan ikut menjadi serpihan-serpihan kristal. Beberapa cañí terluka terkena serpihan kristal yang tajam tersebut.
Mereka semua kaget atas apa yang terjadi. Terjadi kekalutan yang luar biasa dari dalam diri para cañí yang ada di lokasi. Mereka sudah cukup melihat kegilaan di luar akal sehat pada malam ini, mereka hanya ingin cepat-cepat pergi dari sana. Beberapa kelompok cañí'pun langsung berlari pergi dari lokasi menuju gerbang taman tersebut, namun sayangnya gerbang tersebut telah dikunci entah oleh siapa. Sang ketua'pun menyuruh anak buahnya untuk kembali menghabisi Horn, tetapi tidak ada yang berani. Selama ini mereka sudah berurusan dengan orang yang salah.
"Kau yang mengunci gerbangnya, The Red?"
"Mungkin itu salah satu bagian dari tabirnya…" jawab The Red santai.
"Hooo…."
Horn yang lukanya kini sudah sembuh menyerang kelompok cañí yang berusaha memanjat pagar dengan menghantarkan listrik lewat tanah menuju pagar-pagar pembatas di sekitar taman. Semua orang yang berusaha memanjat pagar tersetrum dan jatuh kembali ke dalam area taman. Karena pagar-pagar tersebut sudah dialiri listrik, berarti tidak ada kata untuk kabur.
Horn mengambil sebuah gagang tongkat baseball yang sudah patah. Digenggamlah gagang tersebut dan dengan mantranya, sebongkah berlian pipih nan tajam muncul di ujung gagang yang patah tersebut. Horn melesat dengan berlian yang ada di tangannya sebagai senjata. Ia mulai menyerang kerumunan cañí. Satu orang ditusuknya dan kemudian setelah dicabut tubuhnya pecah menjadi bongkahan-bongkahan berlian ungu. Kemudian ada seseorang yang bernasib sama setelah ia dicekik dengan sangat keras dan disetrum oleh Horn.
Horn berdansa di atas lumpur taman caravan Shovel. Sayangnya setiap kali ia mendapat pasangan dansa, pasangannya akan langsung pecah berkeping-keping. Atau mungkin caranya Horn berdansa terlalu kasar. Terkadang ia memukul keras wajah atau menebas perut pasangannya, atau yang paling lucu ia menendang kepala pasangan dansanya hingga terjerembap ke lumpur. Ada saja yang tidak mau berdansa dengan Horn, mereka memilih untuk kabur mengitari taman. Karena Horn seorang gentleman, ia menyelengkat kakinya dan menusuknya dengan berlian yang ada di tangannya.
Belum ada lima menit jumlah kontestan dansa untuk Horn sudah sangat sedikit. Yang sudah-sudah, mereka semua telah meledak berkeping-keping menjadi berlian ungu yang indah. Tersisa beberapa orang lagi yang berhasil bersembunyi di balik caravan-caravan tua yang sudah di tinggalkan. Horn mencari mereka secara perlahan seperti serigala mencari mangsanya di balik rerumputan ilalang.
"Hey... katanya kalian memiliki urusan denganku? Keluarlah dan kita bicarakan ini baik-baik.", kata Horn untuk memancing mereka keluar dari tempat persembunyian.
"Apakah kau di sini?" tanyanya sambil mengalirkan mantranya pada sebuah caravan.
Terdengar suara rintihan dari dalam caravan dan suara menggedor-gedor pintu. Pintu berhasil dibuka olehnya namun naasnya ia tidak selamat. isinya adalah seorang cañí yang mati tertusuk kristal yang sudah memenuhi seisi caravan. Ia mencari tiga orang lagi yang ia lihat berlari bersembunyi dibalik barisan caravan-caravan ini.
Salah seorang lagi ia lihat tampak ingin memanjat pagar yang sudah dialiri listrik. Horn dengan sigap melemparkan pisau berlian buatannya dan berhasil mengenai punggungnya. Nasibnya tidak jauh dengan cañí yang lainnya.
Ia kemudian mendengar suara gentong jatuh dan disusul oleh suara orang berlari di tanah basah. Horn menghampiri di lokasi di mana suara itu akhirnya menghilang. Karena taman caravan memiliki pencahayaan yang remang-remang, sulit bagi siapapun untuk melihat atau sekedar fokus pada suatu objek, tetapi Horn melihat sesuatu yang jelas di permukaan tanah sebelah sebuah karavan. Ia menarik keluar sesuatu yang cukup berat dan meronta-ronta dari kolong karavan. Setelah berhasil menariknya keluar, ia'pun mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Bingo!" sorak Horn seakan bangga mendapatkan hewan buruannya. Horn perlahan mencekik cañí yang baru saja bersembunyi tersebut dengan tangan kirinya dan menekan lehernya pada leer sebuah gentong besi di sebelah karavan. Horn sengaja mencekiknya pelan-pelan agar ia mendapati kematian yang lambat. Cañí yang tampak berumur kurang lebih 16 tahun tersebut meronta-ronta dan memukul-mukul lengan kurus Horn berharap sang predator melepaskan cekikannya. Horn tidak peduli dan menikmati melihat pemandangan nyawa cañí tersebut yang perlahan melayang. Tapi sebelum bisa melayang untuk selamanya seseorang dari belakang datang dengan sebuah parang.
ZLEBBB!!
Ketua cañí yang belum lama telah mencemooh dan memukuli Horn datang dan menusuknya dari belakang. Horn cukup kaget, tapi itu hanya berhasil untuk meregangkan sedikit cekikannya. Dengan parang yang masih menancap ia menoleh ke belakang di mana ia menemukan sang ketua terjatuh akibat kelelahan setelah mengirimkan serangan barusan serta ketakutan karena mendapati Horn tidak bergeming dengan serangan fatal macam tadi.
"Kau….", kata Horn kepada sang ketua. "….apa masalahmu?", Horn melempar cañí yang ada di tangannya ke dinding sebuah karavan dan membuatnya tewas seketika. Horn berpaling pada ketua cañí yang sedang berusaha berdiri tetapi tidak bisa-bisa karena tergelincir lumpur. Horn menarik kerah tracksuit sang ketua yang sudah kebanjiran keringat. Horn mendekatkan wajah sang ketua ke wajahnya, sehingga ia bisa mengobrol empat mata.
"..Bukan aku yang berniat membunuh teman-temanmu… Mereka hanya datang kepada orang yang salah, kau paham? Berurusan dengan kalian tidak akan membuat waktuku menjadi beharga….. dan kau lihat ini?", Horn menarik lepas parang yang menancap di tubuhnya, sang ketua semakin ketakutan.
"…iyaiyaiyaiya…. Aku paham… kumohon ampuni aku… orang tuaku akan sedih jika aku tidak pulang pagi ini….", pinta sang ketua.
"Orang tua? Huh….. sejak kapan cañí peduli dengan orang tua mereka… bahkan orang tuamu tahu kau hanya beban untuk mereka, bukankah begitu?", Horn memandangnya dengan jijik. Sang ketua tidak bisa membalas pernyataan itu. Horn mulai melihat-lihat parang yang baru saja menembus dirinya. Parang itu penuh darah miliknya dan ia perlihatkan ke hadapan sang ketua.
"Kau tahu…. Tubuhku hanya pernah ditembus oleh peluru…. Entah sudah berapa banyak peluru yang sudah menembus tubuhku… aku lupa. Terakhir tadi pagi aku ditembus oleh peluru AK-47! Kau tahu AK-47'kan?", sang ketua segera menggeleng. "Ah.. mustahil kau tidak tahu… kalian tidak pernah membaca surat kabar apa? Haaah....", Horn menarik nafasnya untuk menarik ketenangan ke dalam dirinya.
"Hari sudah malam… udara malam ini cukup dingin. Cuaca yang enak untuk tidur bukan?", sang ketua mulai gemetaran. "Teman-temanmu sudah pada tidur duluan kusarankan kau menyusul mereka. Hm... aku harus mengantarmu tidur….. bagaimana jika aku berbagi pengalaman padamu?"
"…Pe..pengalaman?"
"Tepat!", kata Horn tersenyum lembut. "..dari codet yang kulihat darimu kau sudah tahu rasanya ditebas. Jadi izinkan aku berbagi pengalamanku yang jauh berbeda…"
"Huegghhh…..UGHHH…AAaaarhgg….."
Tubuh sang ketua mulai ditembus oleh batang-batang kristal yang tajam. Horn menyalurkan mantranya dan menanam bongkahan kristal di tubuh sang ketua hingga batang-batangnya yang tajam dan mencuat menembus tubuhnya. Horn melepaskan cengkeramannya dan membiarkan sang ketua jatuh ke tanah. Horn sengaja tidak langsung meledakan tubuh sang ketua agar kematiannya lebih lambat. Darah mengalir dari ujung batang-batang kristal bewarna ungu tersebut, mengganggu keindahan sebuah kristal yang memiliki nilai yang sangat tinggi. Setelah puas melihat kematian sang ketua yang perlahan, Horn memutuskan untuk meledakan tubuhnya menjadi kristal berkeping-keping.
Horn juga meledakan cañí yang tewas terbunuh saat ia melemparkannya ke dinding sebuah karavan. Horn tanpa pikir panjang langsung pergi dari tempat itu. Tubuhnya kotor penuh lumpur. Ia harus segera bebersih sesampainya di rumah.
"Ah…. Sayang sekali tebakanmu benar The Red." kata The Puppet memberi selamat pada The Red.
"Sudah kubilang padamu dia akan menghabisi mereka semua…. Dia itu memang penuh potensi.", timpal The Red tanpa menoleh pada The Puppet. The Puppet tersenyum melihat ekspresi The Red.
"Kau terdengar sangat mempercayainya..."
"Dia itu sempurna untuk pekerjaan kotor seperti ini. Jika potensinya disia-siakan akan sulit mencari caster Ultimate yang sepihak dengan kita…"
"Oh begitu…..", The Puppet kembali berpaling memperhatikan Horn yang kini berjalan menuju apartemennya. "..ngomong-ngomong…. Partnermu itu setuju menerima pertolongan dariku… aku mau tahu bagaimana reaksimu?"
The Red terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaan The Puppet, "Kali ini aku membiarkannya…. Karena aku tahu, aku tidak akan berhasil mengajarnya jika kondisinya seperti itu. Jadi jika itu satu-satunya cara untuk melatihnya, aku tidak bisa menolaknya.", jawab The Red.
"Hoo…."
"Kau sudah selesai?", The Red berpaling ke arah The Puppet. "..aku harus menyambut makan malamnya karena sudah janji.", The Red melewati The Puppet dan hendak pergi menuruni anak tangga.
"Satu lagi….". kata The Puppet. "Apakah kau pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang lebih?". The Red berhenti lalu menoleh ke arahnya.
"Apa maksudmu...? tentu saja tidak…. Dia hanya ku anggap sebagai partnerku untuk pekerjaan ini."