Pintu apartemen nomor 7630 ditutup. Pemiliknya, Horn, pergi keluar untuk membeli bahan-bahan untuk 'pesta' malam ini. Meskipun Horn sedang keluar dari apartemennya nyatanya bukan berarti apartemennya tidak berpenghuni sama sekali. Di dalam kamarnya terdapat seorang Carmen Olivia sedang berbaring telungkup di atas kasur yang seprainya sama sekali belum dirapihkan.
Dia sangat lelah.
Dua hari ini dia belum tidur. Dari kemarin dia sangat ingin sekali memejamkan matanya dan mengistirahatkan pikirannya, namun tubuh beserta pikirannya menolak, mungkin juga karena efek kafein teh yang Horn berikan padanya. Dia mencoba mengatur nafasnya dan tidak sengaja menghirup bau apak yang ditinggalkan Horn disana. Bau itu menarik perhatiannya. Dia mengalihkan pikirannya yang kacau dengan bau itu. Manis dan menenangkan. Pikirannya kosong sejenak. Tubuhnya yang tadinya tegang perlahan menjadi rileks.
"Hm…..Haaaaaah" suara berat helaan nafasnya.
Dia memutar posisi badannya dengan menutupi wajahnya, walau begitu dia masih bisa melihat langit-langit apartemen kumuh itu. Dengan pikirannya yang mulai tenang kini dia sadar bahwa tempat ini jauh lebih buruk dari tempat tinggalnya yang lama di Bayhold. Itu bukan masalah. Masalah sebenarnya ada di dalam batinnya yang baru kali ini diguncangkan lagi setelah sekian lama.
Teman, partner kerja sekaligus yang menjadi sosok kakak baginya baru saja mati. Bukan karena terbunuh dikarenakan pekerjaan ekstrimnya. Tetapi dia mati karena penyakit yang selama ini dia tutupi dari orang terdekatnya. Seseorang itu telah mengubah hidupnya. Seseorang itu telah membantunya mengontrol sihir yang dimilikinya. Seumur hidup dia kenal dengannya, baru kali ini Carmen mendapatinya berbohong sehingga sulit baginya untuk menerimanya.
"….Kau bilang sihirmu itu akan bisa menyembuhkan segalanya….. tetapi nyatanya itu tidak menyembuhkanmu sama sekali…. Pembohong… Pembohong….. Pembohong….. Pembohong…" gumamnya. Dia tersenyum.
Carmen mulai tertawa. Tawanya cukup keras. Dia tertawa hingga jika seluruh barang di kamar tahu dan bisa mendengar tawanya mereka akan mengatakan 'ironis'. Matanya yang bersembunyi dibalik tangan mulai sembab namun senyuman beserta tawanya tidak berhenti. Kamar Horn menjadi penuh tawa dan kesedihan yang menjadi satu, namun beberapa saat kemudian.
Tawanya berhenti.
Senyumnya kini hilang.
Carmen mengatur nafasnya dan merasakan emosinya baru saja mengalir deras dalam lautan tawa barusan. Dia selama ini membendung rasa sedih di dalam hatinya selama dua hari ini dan baru melepasnya sekarang. Dia berjanji untuk tidak menangis di depan sahabatnya, hingga dia terlalu takut untuk menangis di tempatnya yang lama. Tempat itu masih ada kehangatan milik sahabatnya, dan dia tidak boleh menghancurkannya. Dia akhirnya memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Mengemas kopernya pagi tadi setelah tidak bisa tidur semalaman kemudian berjalan kaki dari sana.
Dia kira penugasan di Shovel akan mudah baginya. Tadinya semua berjalan sesuai dengan rencana. Kurir lemah itu tidak menghalanginya. Ia dapat merebutnya dengan sekejap. Ia bolak-balik dari Shovel ke Bayhold, menunggu di tempat persembunyiannya, sahabatnya tidak kunjung datang. Ia mencoba menelpon. Tidak diangkat. Ia putuskan untuk mencarinya di Shovel daerah dimana mereka berpisah pada hari itu. Ketika hari semakin larut ia putuskan untuk beristirahat sejenak di bar kumuh yang ada di Shovel. Carmen pernah masuk ke dalam bar kumuh sebelumnya tetapi tidak separah yang ia lihat di Shovel. Bartender botak tersenyum ramah ke arahnya. Carmen duduk di depan meja bar yang pendek itu dan memesan sebuah bir untuk menenangkan semua kegelisahannya. Ia membuka salah satu permen tangkai rasa apel yang dibelinya siang tadi dan mencampurkan rasanya dengan bir murah dihadapannya. Seorang pria pegawai minimarket berwajah masam tiba-tiba saja masuk dengan hawa yang tidak mengenakan. Tampaknya pria itu kenal dengan bartender ini, dan tampaknya juga mereka sedang berselisih. Carmen tidak mau ikut campur. Ia asik sendiri dengan menikmati permen dan bir dinginnya. Tiba-tiba lamunannya terpecahkan setelah mendengar suara botol pecah tepat disebelahnya. Ia menoleh sebentar seperti para pengunjung lain disana pada orang yang membuat keributan itu lalu kembali pada kesibukannya masing-masing.
'Hanya orang aneh' gumamnya dalam hati.
Sang bartender menyalakan TV. Ia mendengar berita seorang CEO tewas dibunuh di kediamannya. Carmen tidak bereaksi, ia sudah tahu itu adalah salah satu perbuatan koleganya. Konsentrasi Carmen kembali terpecah setelah melihat pegawai aneh disebelahnya menyodorkan padanya sebuah botol bir. Ia memegang-megang jas hujan hitam miliknya yang kala itu menjadi kostum penyamarannya dan menyebutnya aneh karena malam itu tidak turun hujan. Carmen memutar posisi duduknya untuk menepis tangan pria yang mabuk itu. Pria itu mulai turun dari bangkunya dan terhuyung-huyung sebentar sebelum akhirnya ambruk. Carmen memperhatikan pria yang tergeletak setengah sadar akibat pengaruh alcohol di lantai bar, pria itu mengigau.
'Owh…. Chris itukah kau…..owh... kau… entah kenapa kepala botakmu malah menjadi berambut merah dan cantik….sekali…..huhuhuhu…..sialan'.
Rambut merah?
Maksudnya Aku?
Sang bartender menyela dan berkata akan segera pria mabuk itu kembali ke apartemennya. Malam semakin larut sang bartender kembali, para pengunjung'pun juga silih pulang dan pergi. Carmen masih menempati bangku yang sama, dan mencoba menelepon kembali sahabatnya itu. Masih tidak ada panggilan. Bar sudah mulai sepi, tidak terasa sudah pukul dua dini hari. Dia memutuskan untuk pergi dari bar itu dan naik ke lantai paling atas yang masih berupa hamparan.
Angin malam begitu sejuk di musim panas tahun ini. Ia dapat melihat Shovel lebih jelas. Walaupun kumuh tetapi kekurangan distrik ini tidak tampak di atas sana. Ia mencoba menikmati pemandangan tersebut sambil memikirkan mengapa sahabatnya tampak bertingkah aneh belakangan ini. Setelah rencana rampung untuk di eksekusi mereka'pun berpisah, itulah terakhir kali ia melihat wajah sahabatnya. Kondisinya memang agak pucat dan berkeringat, Carmen menanyakan kondisi fisiknya namun dia menjawab dengan mengatakan bahwa pekerjaannya beberapa hari ini membuatnya sangat lelah. Carmen terlalu naif. Ia mempercayai perkataan sahabatnya. Kini sahabatnya pasti sudah bertindak gegabah.
Carmen turun dari gedung setengah jadi itu lalu menyusuri jalanan Shovel. Dia melihat sebuah bilik telepon di sebelah minimarket dan memutuskan untuk menelpon sesorang lewat telepon umum tersebut. Ia memencet beberapa digit angka lalu menyambungkannya ke jaringan. Suara sambungan telepon terdengar sedikit putus-putus hingga ia mendengar suara serak yang menyambutnya dari balik telepon.
'persputakaan nasional Ouro disini…'.
'a cor da forca, Sean'
'a cor da forca, O vermelho. .....Ada apa kau menelpon malam-malam begini?' sahut orang dibalik telepon setelah mendengar kode itu.
'Apa kau melihat The Doll, di tempatmu....?' tanya Carmen dengan tenang walau hatinya tidak.
'..Kau tahu bukan kita ini bukan tempat mencari orang hilang tetapi yang membuatnya'kan?'
'Aku tahu, Sean..... maaf...'
'... bukannya The Doll selalu bersamamu...?'
'... Kita berpisah dan...'
'..Cukup...Aku mengerti The Red, aku tidak butuh dongeng sebelum tidur darimu.... jika aku mau jujur aku tidak melihatnya dari kalian terakhir kemari dalam waktu yang berbeda ..... itu saja sampai jumpa.." panggilan'pun berakhir.
Carmen kini baru sadar. Sudah muncul jarak di antara mereka. Setelah betahun-tahun mereka bersama, sahabatnya kini menjauh dan tampaknya merahasiakan sesuatu, tetapi apa? Semua rahasia yang dimilikinya ia sudah tahu. Sejarah keluarganya. Kisah cintanya. Apa yang sebenarnya ia sembunyikan? Carmen akhirnya menghabiskan sisa waktu menuju fajar dengan berkeliling dataran Shovel yang sedang beristirahat. Sepi. Suasana sepi dan mencekam yang distrik itu berikan masih dapat dikalahkan oleh kekhawatiran Carmen atas nasib sahabatnya.
Matahari sudah mulai terbit. Ia sudah putus harapan untuk mencari sahabatnya. Kini ia hanya bisa berharap dapat menemukannya di tempat persembunyiannya. Ketika ia mau melesat pergi dari Shovel ia merasakan energi sihir yang kuat namun ia juga merasa energi itu ditahan secara paksa. Ia langsung memalingkan perhatiannya pada energi tersebut dan melesat mencari sumbernya.
Sumbernya ternyata berasal dari salah satu apartemen yang ada di Shovel. Ia tanpa basa-basi melesat masuk dan melihat sahabatnya tidak berdaya terbaring di sofa apartemen itu. Seorang pria tua tiba-tiba muncul dan mencoba menjelaskan situasi sebenarnya. Carmen tidak mendengar. Ia tidak tahu apa yang dilakukannya setelah itu. Begitu ia tersadar ia telah menancapkan sebuah pipa besi ke perut pria tua dan sahabatnya tersungkur memegangi perut sambil memanggil-manggil namanya dengan lemah. Carmen langsung memapah sahabatnya itu dan melesat keluar melewati balkon apartemen tersebut.
Carmen tanpa pikir panjang membawa sahabatnya menuju tempat persembunyian mereka di Bayhold. Disana Carmen membaringkan sahabatnya yang sudah sekarat itu. Sahabatnya terus-terusan minta maaf atas pekerjaannya yang belum tuntas. Carmen tidak mau mendengar tentang pekerjaan untuk saat itu. Sahabatnya tersenyum pucat sambil menunjuk bagian dadanya. Carmen terkejut. Ia melihat salah satu payudara sahabatnya sudah berbentuk tidak normal lagi, sahabatnya selama ini telah menyembunyikan penyakit mematikan mimpi buruk semua wanita, kanker payudara. Sahabatnya masih terus-terusan meminta maaf dan memberikan wasiat terakhirnya sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Sahabatnya yang empat tahun lebih tua itu meninggal di depan matanya pada pagi kemarin dengan paras tersenyum. Carmen merasakan shock yang luar biasa dan dia tertawa sejadi-jadinya yang disertai tangisan.
Entah berapa lama ia menatapi jenazah sahabatnya itu yang wajahnya sudah ia tutupi kain. Dia telah mengalami guncangan yang hebat pada mentalnya. Carmen memutuskan untuk keluar sambil untuk mendinginkan kepalanya. Ia teringat bahwa sahabatnya mengatakan bahwa pekerjaannya belum tuntas jadi kini ia harus menuntaskan pekerjaan itu.
Carmen kembali ke Shovel untuk menyelesaikan apa yang belum selesai, tetapi setelah apa yang menimpanya ia berasa sangat tidak bersemangat dan bisa hanya berjalan terhuyung-huyung pelan di trotoar Shovel tanpa arah. Ia tahu Shovel adalah tempat yang berbahaya akan orang-orang jahatnya, tetapi ia tidak peduli. Seseorang tiba-tiba saja menabrak bahunya dengan cukup keras. Dia berbalik dan melihat pelakunya meminta maaf. Dia melihat sesorang dengan rambut ungu mencolok dan aura mantra sihir yang tidak stabil. Tidak salah lagi orang ini adalah target dari misi ini. Dengan membunuhnya misi ini akan tuntas! Dia adalah….
The Purple
…...
…
Setelah merekam apa yang telah ia lakukan dua hari ini kini tubuhnya mulai benar-benar terasa lelah. Matanya sudah terasa berat. Carmen'pun akhirnya terlelap melepas penat pada siang itu dengan beban pikiran yang lebih ringan di kepalanya.
"..Aaahhhhhhh…"
Carmen perlahan membuka matanya yang berat dan mendapati jendela kamar yang telah menyuguhkan pemandangan langit malam.
Sudah malam? Gumamnya dalam hati.
Perlahan-lahan ia bangkit dari tempat tidur Horn dan melihat-lihat kondisi kamar masih sama seperti pertama kali ia masuki. Rasa sakit dan pegal-pegal menguasai tubuhnya. Entah sudah berapa lama ia sepenuhnya beristirahat dari rasa penatnya. Carmen meregangkan tubuhnya untuk mendapatkan kebugaran yang cukup. Ia tidak sengaja melihat jam yang ada di kamar Horn menunjukan pukul delapan malam. Awalnya ia percaya tetapi melihat gelapnya suasana di luar membuatnya ragu. Benar saja setelah mengecek ponselnya ternyata sudah jam sepuluh malam lebih. Ia mendengar suara desis masakan di luar kamar. Dengan perlahan Carmen mengintip dari pintu dan melihat Horn sedang memasak sesuatu. Carmen perlahan-lahan membuka pintu dan mendekati Horn.
"Ah…. kau sudah bangun….. Aku tidak mau membangunkanmu barusan karena kulihat tidurmu sangat nyenyak…. Maaf jika aku melihatmu sedang tidur." kata Horn datar yang berhasil menyalip suara Carmen yang tersangkut di tenggorokannya.
"Tidak apa-apa lagi pula ini rumahmu…. Ada yang bisa aku bantu?"
Horn dengan mata yang masih terpaku pada masakannya berkata.
"Tidak usah…. kau duduk-duduk saja disana sebentar lagi juga selesai kok.."
"Biarkan aku membantumu, Horn"
"Kau sudah banyak membantuku untuk hari ini….. aku sangat berterima kasih. Jadi biarkan aku menyediakan ucapan terima kasihku" Horn menyimpulkan senyum datar di wajahnya.
"Ayolah, tuan Horn. Tadi Aku sudah berjanji untuk membantumu menyediakan makanan pesta" Goda Carmen sambil bersandar di meja dapur. Horn tidak bergeming.
"Duduklah disana sambil menikmati pizza yang baru kubeli barusan…." kata Horn sambil menunjuk meja makan yang sudah ia siapkan "….dari ceritamu saja kau pasti sangat lelah. Oh iya….kau juga tidak perlu memanggilku dengan sebutan 'tuan' aku belum setua itu."
Carmen tidak terima ia dikasihani seperti ini. Ini sangat tidak sopan baginya. Ia 'pun mendekati punggung Horn dan mencoba merebut spatula yang Horn pegang dengan tangan kanannya dari belakang. Tangan mereka bersentuhan.
"Carmen apa yang kau lakukan….. posisi ini sangat mengangguku….." Horn sadar bahwa posisi Carmen yang tepat di punggungnya terasa canggung.
"Ayolah Horn… biarkan aku membantumu menyiapkan makan malam aku sudah berjanj….ehh…". Sebelum carmen berhasil menyelesaikan kalimatnya, keseimbangan tubuhnya oleng ke samping. Kejadian itu akan membuatnya terbentur ujung meja dapur. Namun beruntung, Horn berhasil menahan dan memapah tubuhnya sebelum hal itu terjadi. Mereka seakan-akan tengah dalam posisi berdansa. Kini kondisinya menjadi semakin canggung. Mereka berdua tidak berkata apa-apa dan hanya saling tatap dalam posisi tersebut hingga tiba-tiba sebuah suara memecahkan situasi.
KRUYUUUK
"Carmen….." Carmen tidak menjawab karena menahan malu "…. kupikir-pikir jika kau membantu memasak aku mungkin bisa saja nanti tidak makan apa-apa. Jadi err.. bagaimana kau duduk manis menunggu sambil memakan pizza. Sekiranya itu akan menambal ruang kosong milikmu itu…"
Carmen dengan sigap memperbaiki posisi berdirinya kemudian langsung duduk menghadap ke arah balkon dengan satu potongan pizza yang langsung ia sambar. Ia tidak berani melihat ke arah Horn yang sedang memasak. Ia sudah terlanjur mempermalukan dirinya sendiri.
Yang tadi itu bego banget!! Jerit Carmen dalam hati.
Tanpa waktu lama, Horn sudah selesai memasak makanan pesta selamat datang itu, spageti. Ia menghidangkan dua piring spageti yang ia tata sedikit agar sedikit lebih cantik di atas piring datar. Kedua piring itu sekarang sudah diletakan di atas meja bundar serba guna milik Horn lengkap dengan garpu dan sendok di kedua sisinya. Semua sudah siap! Sekarang adalah waktunya makan malam sebagai pesta ucapan selamat datang untuk Carmen yang mulai dari hari itu tinggal di apartemen Horn.
"Carmen?" Horn memanggil Carmen yang masih memalingkan wajahnya ke arah balkon.
Sekarang Carmen tidak mampu melihat wajah Horn karena malu. Dia sudah sok-sok-an berlagak kuat untuk membantu tetapi padahal tidak. Dia telah membohongi dirinya dan Horn disaat bersamaan.
"Kau makan duluan saja….." elaknya.
"Aku memasak ini untukmu, bukan? Kau memintanya duluan…"
Carmen bertambah malu dan semakin ingin terus memalingkan wajahnya.
"A-aku akan memakannya nanti, tenang saja….. kau habiskan saja punyamu dulu…"
"Aku tidak akan memakannya sebelum kau memakannya….." ketus Horn.
Carmen semakin dilanda rasa bersalah tetapi ia tetap saja tidak mau menatap wajah Horn.
Satu menit berlalu.
Tiga menit berlalu.
Lima menit berlalu.
Kondisinya masih belum berubah. Yang berubah hanyalah spageti yang tadinya masih hangat kini mulai agak dingin. Horn masih memandang punggung Carmen yang setengah terbuka terselimuti oleh summer dress-nya.
"..Baiklah kalau begitu... ini adalah pesta selamat datangmu bukan untukku.. jadi? Spageti itu untukmu saja….. aku sudah kenyang dari tadi." Horn bangkit dari posisi duduknya, namun suara Carmen menahannya pergi.
"Maaf…" pinta Carmen yang menahan kaus yang dikenakan Horn. ".. a-aku ini hanya sama seperti dirimu…. Aku juga sedang kacau….. Aku memang berusaha membantumu, tapi juga berulang kali aku bertindak pilon dan gegabah…. Tolong maafkan aku… jangan mengusirku karena sikapku ini kumohon.."
..
…
Hening
Carmen melepaskan genggamannya dan tidak membuka suaranya lagi. Kini ia benar-benar ingin sebuah tanggapan dari Horn.
"Duduklah…" suruh Horn. ".. Tadi aku hanya ingin kau makan makanan pestamu bukan? Makanlah…."
Carmen dengan ragu mengambil peralatan makannya dan mengambil sesuap bagian dari masakan salah satu varian pasta tersebut. Horn bertopang dagu melihat Carmen mengambil suapan pertama. Ekspresi Carmen tiba-tiba berubah 180 derajat.
"Enak…?" tanya Horn datar.
"Ini lebih dari kata itu…. Aku tidak tahu kau bisa memasak, Horn?" tanya Carmen disambung dengan suapan selanjutnya.
Horn sedikit heran lalu ikut mengambil sesuap dari bagiannya. Ia tersenyum kaget.
"Aku tidak menyangka sebuah pasta instan bisa begini enaknya….. belum lagi resep yang diberikan wanita tua itu ada benarnya juga". Horn menatap Carmen yang sibuk dengan spagetinya. Carmen menatap kembali tatapannya.
"Ada yang salah?"
"Tidak… tidak ada apa-apa." Balas Horn.
"Kau bilang kau tidak setua itu… memang berapa usiamu, Horn?"
"24 tahun, hampir seperempat abad. Kau sendiri?"
"22.". Horn hanya manggut-manggut mendengarnya. Ia'pun kembali melahap spageti buatannya dan suasana di atas meja hening kembali.
"Tadi kau ke mana saja?"
"Hanya ke Eclipse sebentar untuk membeli bahan dan beberapa kebutuhan lainnya."
"Kau tidak mencarinya di Shovel?"
"Untuk apa? Kau mau mencari barang yang dibuat mahal karena tidak laku?"
"Hahaha.. aku hanya bercanda Horn." Jawab Carmen yang sudah selesai dengan spagetinya.
"Apa kau benar-benar merasa tidak masalah tinggal di sini? Tempat ini sempit dan kotor lho…. Berbeda dengan yah….. tempatmu yang lama di Bayhold tepatnya?"
"Tentu tidak masalah Horn. Sekotor atau sebesar apapun tempat apabila kau sebut nyaman itu lebih baik daripada tempat yang orang sebut berhantu, bukan begitu?"
Carmen agak melenceng sedikit dengan analoginya tetapi konteksnya masuk, Horn'pun mengangguk setuju.
Malam pertama mereka berdua dihabiskan untuk saling berkenalan. Senyum mulai terpampang jelas di wajah keduanya. Mereka mengobrol hal-hal yang dengan topik kasual seperti tentang diri mereka. Horn tidak berbicara banyak. Walau begitu, sebagian besar percakapan mereka terasa sangat canggung.
Spageti Horn menyusul ikut habis. Di atas meja kemudian ramai dengan kotak pizza dan kaleng-kaleng bir. Keduanya habis oleh dua orang yang kurang lebih baru saling mengenal tersebut.
Malam mulai larut. Horn tidak bisa minum-minum lebih banyak dari sekaleng bir ringan karena ia akan teler jika lebih dari itu. Dan itu akan berdampak buruk baginya. Akhirnya banyak kaleng bir yang tersisa dari satu kerat yang Horn beli siang tadi. Bagi Carmen alcohol bukan masalah baginya, sisa alcohol yang tidak diminum Horn itu adalah anugrah karena dia adalah pecinta bir. Tampaknya Carmen memiliki daya tahan terhadap alcohol yang tinggi. Horn kini menemukan sesuatu maslaah yang tepat akan muncul tidak lama lagi.
Di mana dia akan tidur?
Malam semakin larut. Horn membersihkan sisa pesta kecil-kecilan mereka. Sambil menghisap rokok, sampah-sampah ia kumpulkan dalam sebuah kantung plastik mulai dari sampah kertas hingga kaleng, dia tidak ingin apartemen kotornya hanya bertambah kotor. Carmen masih terduduk di tempat ia menyantap hidangan pesta sembari memegangi kepalanya yang pusing. Horn tidak mau mengganggunya karena Carmen pasti sedang masih merasa lelah dan tidak nyaman. Horn melihat dengan kepalanya sendiri di rentang usia Carmen yang masih begitu muda, ia dapat mengonsumsi banyak alcohol, berbeda dengan dirinya.
Lantai dan meja sudah bersih dari sampah, dapur lumayan berantakan tapi mungkin ia akan membereskannya besok pagi. Horn meregangkan tubuhnya sedikit. Ia dapat merasakan lelah pada tubuhnya atas apa yang terjadi pada hari ini. Ia ingin segera tidur tetapi....
Orang ini bagaimana?
Carmen menaruh kepalanya tepat di atas meja. Wajahnya tidak kelihatan karena tertutup bayangan. Horn memperhatikan Carmen tidak bergerak. Tampaknya dia pingsan atau tertidur, Pikirnya. Horn menghela nafas panjang. Tampaknya ialah yang harus membereskan tempat tidur malam ini.
Horn masuk ke dalam kamar yang kondisinya masih sama seperti yang terakhir dia tinggalkan pagi ini, hanya saja seprainya lebih berantakan karena Carmen sempat tidur disana. Horn segera mengangkat selapis yang paling atas atau yang paling sering ditidurinya dan mengambil selapis lagi yang lebih tipis dibawahnya. Dulu ia pernah tinggal berdua, jadi walaupun apartemen ini mennyuguhkan kamar single bed namun ia masih punya kasur cadangan dibawah kasur yang lebih tebal. Kasur polos itu ia hamparkan di sebelah ranjang. Setelah ia membereskan seprai dan meletakkan koper milik Carmen ke pojok kamar kini ia menemukan tantangan baru. Membangunkan Carmen untuk pindah ke kamar.
Tepat saat Horn membuka pintu kamar….. Ia bertemu sesosok bermata merah yang sedang berdiri di ambang pintu langsung menatap matanya. Ia kaget.
"AH!" jerit Horn.
Carmen dengan kedua bola matanya yang memerah tengah berdiri di ambang pintu. Walaupun mabuk ia sadar harus pindah ke tempat. Tetapi tetap saja, kewarasannya dipertanyakan.
"Carmen aku sudah membereskan tempat tidur untuk….mu..?" Carmen dengan tubuh yang oleng mendorong bahu Horn dengan kedua tangannya. Horn terdorong mundur sampai akhirnya ia tersandung bagian ujung ranjang yang membuat mereka berdua terjatuh ke atas kasur.
Posisi mereka sangat terbilang canggung. Wajah mereka saling berhadapan. Mata mereka saling tatap. Tubuh Carmen tepat berada di atas Horn. Carmen menahan tubuhnya agar tidak jatuh di pada tubuh Horn. Carmen memasang senyum lebar. Horn tidak tahu harus membalas apa ia hanya dapat mencium bau alcohol yang menyengat dari mulut Carmen.
"Ca…. carmen menyingkirlah dariku… kau ini mabuk!" Horn mencoba mendorong bahu Carmen untuk menyingkirkannya dari posisi yang penuh tanda tanya itu. Carmen tidak bergeming. Horn dapat melihat salah satu tali summer dress Carmen menjuntai turun, membuat bagian dada Carmen sangat terekspos dan Horn dapat melihatnya dengan mudah pada posisi itu. Horn tidak mau melihat itu. Terlebih lagi bukan itu yang jadi masalah sesungguhnya. Dia baru saja mengenal gadis ini kurang dari kemarin. INI SUDAH TERLAMPAU JAUH. Walaupun ia pernah mendengar arti dari kata 'kencan buta' sebelumnya, jika ini adalah pertama kali ia merasakannya, Ini terlalu aneh dan canggung. Ia tidak mau menanggalkan keperawanannya untuk gadis yang baru saja ia kenal.
"Hehehehehe…." Carmen tertawa di depan wajahnya. "…. Aku suka ekspresi itu…Itu sangat lucu…. Sangat manis….. hehehehehe…." Carmen kemudian menjilat-jilati wajah Horn sambil tertawa-tawa kecil. "Kau menyukainya The Purple…..? hihihi…Aku ingin sekali memakanmu….…merasakan setiap inci dari tubuhmu itu…..". Itu kata-kata yang terlalu erotis. Horn tidak bisa menjawab apa-apa. Tepatnya sekali lagi ia tidak bisa menjelaskan keadaan saat ini. Horn mengatakan dirinya untuk sekian kalinya bahwa dirinya pasti sudah gila dengan keadaan yang terlalu sulit untuk dijelaskannya.
Carmen kemudian turun menuju dada Horn dan menggesek-gesekan batang hidungnya ke atas permukaan kaus yang menutupi dada Horn tampak seperti sedang mencari sesuatu. Berulang kali Carmen menghela nafasnya setelah melakukan 'penggalian'. Horn merasa tidak nyaman dengan posisi ini… ia mau keluar dari situasi ini SEKARANG JUGA!
Carmen tiba-tiba berhenti 'menggali' dan menyandarkan kepalanya ke atas dada Horn. Ia tidak bergerak untuk beberapa saat sebelum ia mulai 'menggali' lagi sedikit lalu kemudian benar-benar tertidur di atas dada Horn. Horn merasa ini adalah kesempatan baginya untuk menggeser Carmen ke tempat yang seharusnya dia tidur. Horn menggapai kedua lengan atas Carmen dan secara perlahan mengangkatnya sedikit sebelum akhirnya menggesernya ke kasur yang tepat ia tiduri itu. Horn menjaga jarak dari Carmen yang tengah berbaring tidur.
Dengan nafas memburu ia menenangkan dirinya yang dilanda syok akibat kejadian tadi. Horn menggelengkan kepalanya dulu sebelum ia mengambil sebuah kasur yang tergeletak di lantai dan membawanya keluar kamar. Ia tidak mau tidur lagi dalam satu ruangan bersama seseorang terutama wanita. Ia akhirnya berjanji pada dirinya akan menghabiskan setiap malamnya tidur di luar kamarnya selama Carmen tinggal di apartemennya. Ya…lihat saja!! Horn'pun melepas penat di ruangan terbuka apartemennya.
…
…..
...
"…hihihi…. Aku benar-benar akan memakanmu The Purple..."