"Kalian mau pulang ke rumah atau ke hotel?" Tanya Mama Sandra saat Bima dan Sefia berpamitan untuk berjalan – jalan ke luar.
"Kemana aja boleh, toh kita sudah halal." Jawab Bima sambil tersenyum lebar.
"Yang baru saja halal, gaya betuuuulll…." Cibir Melmel.
"Iri bilang, Non…." Balas Bima yang langsung menarik tangan Sefia keluar dari kebisingan keluarga besar mereka yang masih asik mengobrol di ruang keluarga.
"Bim! Kita mau pulang ke hotel Lho!" Teriak Bratasena saat Bima mencapai ambang pintu.
"Ok, hati – hati kalau begitu. Kami pergi dulu…"
Bima langsung pergi begitu saja bersama Sefia menggunakan mobil milik orang tua Sefia.
******
Seorang pemuda tampan turun dari pesawat yang baru saja membawanya dari negara jauh di luar sana. Entah sudah berapa lama Ia tak menginjakkan kakinya ke Jogjakarta.
Pandangannya mengedar keseluruh penjuru meneliti setiap detail bangunan bandara yang baru pertama kalia ini ia pijak.
"Wow! Ternyata banyak perubahan di sini." Gumam Laki – laki itu. Ia terus berjalan keluar dari bandara lalu menyetop taksi yang kebetulan saja baru menurunkan penumpang.
"Kawasan Malioboro Pak." Laki – laki itu mengatakan tujuannya pada sang sopir.
"Baik, Mas."
Andika sengaja tak memberitahu Bima jika Ia telah berada di kota Gudeg sesuai permintaannya.
Demi sahabat terbaiknya, Ia dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya di luar negeri untuk bisa segera kembali ke tanah air.
Ya! Andika adalah sahabat terbaik yang di miliki oleh Bima. Sedari kecil mereka selalu bersama, latar belakang keluarga Andika yang nota bene hanya orang biasa tak pernah menjadi persoalan bagi keluarga Bima.
Bahkan karena papa Bima lah Andika bisa menyelesaikan pendidikan SMA hingga menamatkan bangku perkuliahan dan kini berhasil mendapatkan gelar master.
"Dimana kamu,Bos?"Andika berucap lirih sambil melacak ponsel sang bos yang telah terpasang GPS. Jangan tanya mengapa bisa Ia dengan berani memasang GPS pada ponsel Bima. Tentunya itu karena ijin sang tuan besar Bratasena.
Andika adalah sosok asisten yang mampu diandalkan dalam hal apapun, dan Bratasena tak ingin kecolongan lagi seperti dulu yang hampir membuatnya kehilangan Bima.
"Ow masih seputaran situ, oke kita bertemu disana." Ucapnya lagi.
"Hallo Om,"
"Ya kamu dimana? Sepertinya kamu pakai nomor lokal."
"Saya sudah di Jogja Om."
"Baiklah, kita bertemu di hotel."
"Saya ingin bertemu dengan Bima dulu, Om."
"Ok baiklah kalau begitu, Om sudah pesan kan kamar atas namamu."
"Terima kasih banyak Om, maaf merepotkan."
"Kamu dan Bima sama – sama anak Om, tak perlu sungkan."
"Sekali lagi terima kasih Om."
"Tak masalah, jaga dan bantu Bima dengan baik, Om percaya padamu."
"Pasti Om,"
"Om tutup dulu telponnya kamu hati – hati."
"Baik, Om."
Andika kembali menaruh ponselnya ke dalam jaket. Kedua matanya menyusuri jalanan di kiri jalan seiring laju taksi yang Ia tumpangi.
Di tempat lain, Bima sedang tergelak karena lagi – lagi berhasil membuat istrinya blushing karena gombalannya.
"Iya deh… iya terserah kamu aja, Mas Bos." Ucap Sefia pada Akhirnya.
"Hahahahaa…. Oh lucunya istriku." Ucap Bima melirik Sefia yang sedang menoleh sembari menatapnya.
"Silahkan mbak.." Ucapan penjual mie godog yang baru saja menyajikan pesanan mereka akhirnya yang menjadi penengah tatapan mesra mereka.
Walau mereka mengikrarkan diri jika belum ada cinta di hati masing – masing, namun bagi orang yang melihat mereka adalah pasangan yang romantis dan serasi.
"Terima kasih, Pak." Ucap Bima sopan pada penjual mie godog dekat alun – alun utara.
"Hem, sepertinya lezat sekali ya.." lanjut Bima yang langsung mengambil sendok serta garpu.
Sefia masih setia menatap Bima, Ia masih tak percaya Bos sekaligus suaminya sudi makan di tempat kaki lima dan berbaur dengan warga sekitar, seolah taka da kata jijik atau apapun.
Bima terlihat sangat menikmati makanannya tanpa terpengaruh sama sekali dengan keadaan sekitar.
"Kamu ga makan?" Tanya Bima.
Sefia tergagap. Ia langsung mengambil sendok dan garpu lalu menyantap mie godog yang tersaji di hadapannya.
"Permisi, boleh minta traktir?"
Sefia dan Bima sontak menatap sang pemilik suara yang mengagetkan mereka. Bima kembali melanjutkan acara makan mie godog nya, saat tahu siapa yang tiba – tiba datang dan meminta traktiran.
"Baru datang, lo?" Kata Bima sarkas, sambil melahap mie godognya tanpa peduli dengan Andika yang duduk di hadapannya.
"Suruh siapa bikin gue sibuk." Andika membela diri.
"Ga di kenalin sama istri lo nih gue?" Tanya Andika sambil menatap Sefia yang menatap Bima dan Andika dengan tatapan bingung
"Ga perlu!"
"Pelit!"
"Hai, gue Andika sahabat Bima." Ucap Andika tak perduli dengan ucapan Bima yang tak mau mengenalkan dirinya dengan Sefia.
"Sefia." Jawab Sefia dengan menangkupkan kedua tangannya di dada.
'Sefia! Ternyata Ia tetap imut walau kini telah dewasa.' Batin Andika.
"Udah tau namanya kan? Sekarang makan tuh! Nanti keburu dingin." Ucap Bima sambil menunjuk mie godog yang baru saja di hidangkan dengan dagunya.
"Kamu sudah telpon papa?"
"Sudahlah."
"Sudah aku tebak."
"Kenapa memangnya?"
"Bos lo siapa sih? Gue apa bokap?"
"Elo, tapi Papa lo itu Om gue, orang tua gue, jadi bodo amat kalo lo pengin marah."
Sefia mengerutkan kening, Ia tak mengerti pembicaraan kedua laki – laki yang berada satu meja dengannya. Sefia memilih untuk diam.
"Sef, semoga betah ya jadi istri Bima." Ucap Andika sengaja.
"Maksud lo apaan ngomong gitu sama istri gue." Bima menatap Andika tajam.
"Lihat sendiri kan Sef…."
"Lo jangan jadi kompor di rumah tangga gue ya.." Ucap Bima ketus.
Andika hanya tersenyum lalu melanjutkan acara makan mie godognya.
"Inshaallah betah." Ucap Sefia pelan.
"Tuh dengar sendiri kan?" Ucap Bima jumawa.
"Iya deh, namanya juga pengantin baru."
"Dari pada elo, belum pernah jadi pengantin."
Sefia terkekeh melihat dua sahabat itu saling ejek tiada henti, Hingga beberapa saat kemudian makanan mereka tandas, lalu mereka segera meninggalkan tempat makan kaki lima itu menuju ke parkiran.
"Nginep dimana lo?" Tanya Bima sambil berjalan mengandeng Sefia.
"Di hotel tempat bokap lo menginap."
"Ya udah balik kih, dari pada ganggu gue."
"Ya elah! Beneran nih ya… jangan nyariin gue. Sekalian aja gue balik ke luar negeri lagi."
"Berani balik ke Amerika lagi, gue pecat lo."
"kagak takut! Paling elo yang bakal nangis nyariin gue weeeeeek."
Sefia geleng – geleng kepala melihat interaksi keduanya yang semakin menjadi, seolah mereka lupa dengan umur mereka yang hampir kepala tiga.
"Udah ih! Kalian ribut terus. Kita antar dia ke hotel dulu kenapa sih?" Akhirnya Sefia angkat bicara, karena tak tahan dengan perdebatan mereka.
"Tuh! Istri lo aja belain gue."
"Iya deh iya! Apa yang enggak buat istri gue mah… dari pada malam pertama gue di suruh tidur di luar."
Andika tertawa puas, sedangkan Sefia mencubit pingang Bima yang membuat Bima langsung mengaduh.
'Gue pastiin Lo ga akan menyesal menerima perjdodohan ini, Bim… Dial ah cewek yang lo harapin dari dulu, bukan Laura.' Batin Andika.