"Siapkan pesawat!" Suara tegas seorang Laura menggema di ruangan mewah kantor miliknya. Sang asisten mengangguk cepat.
'Satu tahun aku kembali ke kota ini, namun hanya mampu menatapmu dari jauh, semoga kamu bahagia walau aku tak rela.' Laura duduk bersandar dengan mata terpejam pertemuan beberapa jam dengan orang yang tak terduga membuat luka lama kembali terbuka.
"Saya terpaksa mengingatkanmu lagi, Laura. Jangan dekati anak saya, biarkan dia bahagia dengan wanitanya saat ini. Sudah cukup kamu mengecewakan keluarga saya dan anak saya." Ucapan BRatasena terus terngiang di telingganya. Sesal dan hanya sesal yang Ia rasakan tanpa mampu berbuat apapun untuk memperbaiki semua yang sudah terjadi.
"Pesawat sudah siap, nona." Suara asisten Laura membuyarkan lamunannya.
"Baiklah, mari kita berangkat."
Laura berjalan mendahului sang asisten menuju ke loby dimana mobil yang akan mengantarkan mereka ke bandara telah tersedia.
*****
"Aku berangkat ke kantor dulu ya, kamu baik – baik dirumah, nanti aku usahakan pulang cepat. Jangan segan – segan minta tolong sama mama atau Camel jika kau butuh sesuatu." Pesan Bima pada Sefia saat istrinya itu sedang membantunya bersiap menuju ke kantor.
Hari ini memang Bima melarang Sefia untuk berangkat ke kantor karena kondisi tubuh Sefia yang kurang baik sejak semalam.
Sefia tak menjawab ia hanya mengangguk paha. "Jangan berjanji untuk pulang cepat, aku tahu hari ini jadwalmu padat."
"Aku akan tetap berusaha untuk pulang cepat."
"Baiklah, terserah padamu saja. Selesai suami ku memang tampan, pantas saja banyak perempuan yang suka sampai mati – matian ngejar – ngejar." Goda Sefia sambil tersenyum kecil.
"Baru sadar rupanya kalau suamimu ini tampan." Sahut Bima sambil menoel pipi kiri sefia.
"Tapi sayang…" Sefia menjeda ucapannya, sontak Bima yang masih berdiri tepat di hadapannya itu mengernyitkan dahi.
"Kenapa?"
"Tapi sayang kamu udah termiliki oleh ku." Ucap Sefia lalu tertawa.
Bima ikut tertawa namun tatapannya tetap awas menatap pada wajah cantik yang telah rapi dengan jilbab instantnya. Baru kali ini Bima melihat tawa Sefia yang begitu renyah dan membuat Ia seketika merasakan kebahagiaan.
'Ternyata begitu mudah aku merasa bahagia bersama mu, Sefia.' Batin Bima sambil tersenyum.
"Ayo kita sarapan." Ajak Sefia yang di balas anggukan oleh Bima.
Tak seperti biasanya kali ini Bima memberanikan diri mengengam jemari Sefia saat mereka menuruni tangga melingkar di rumah mewah Bratasena.
"Kok kamu belum bersiap Sef?" Tanya Mama Sandra saat melihat Sefia memakai baju rumahan.
"Hari ini Sefia biar di rumah saja, Ma. Semalam dia demam." Jawab Bima sambil menarik dua kursi untuknya dan untuk Sefia.
"Kamu demam sayang?" Tanya Mama Sandra yang lantas berdiri dari duduknya lalu menyentuh dahi Sefia yang masih sedikit hangat.
"Hanya kecapean, Ma. Nanti juga sembuh."
"Kenapa tidak ke dokter? Biar diantar mama." Ucap Bratasena yang ikut merasa khawatir dengan kondisi Sefia.
"Tidak usah, Pah. Ini sudah mendingan kok." Sefia menolak dengan halus. Sefia tersenyum pada kedua mertuanya bergantian, Ia begitu bersyukur mendapatkan mertua yang baik dan tidak membedakan antara dirinya dan Bima walau hingga kini belum ada rasa cinta diantara keduanya.
"Ya sudah sehabis sarapan kamu istirahat saja, kalau butuh sesuatu bilang sama mama atau papa."
"Iya, Ma."
"Si Mel kemana, Ma?" Tanya Bima saat menyadari tak ada sosok adik semata wayangnya di antara mereka.
"Dia sudah berangkat pagi – pagi, katanya ada sesuatu yang harus di persiapkan untuk acara lusa di puncak."
"Anak itu selalu saja.." Gerutu Bima yang sebenarnya sangat menghawatirkan keadaan adik nya.
"Dia baik – baik saja, Ia pandai menjaga diri." Ucap sang papa.
"Bima rasa bukan itu sebabnya.." Cetus Bima
Bratasena terkekeh, Bima sangat paham jika kemanapun anak buah papanya akan mengikuti mereka kemanapun tak terkecuali dengan Bima ataupun Sefia. Bratasena sangat menjaga keluarganya tanpa anak istrinya ketahui sejak dulu Ia selalu mengirim orang untuk mengawal mereka tanpa disadari oleh anak maupun istrinya.
"Papa hanya tidak mau saja kalian dalam bahaya, atau ada sesuatu yang menimpa kalian."
Kejadian saat Bima masih kecil yang mengakibatkan memori Bima menghilang sebagian sudah cukup untuk membuat Bratasena lebih berhati – hati dan tak ingin kecolongan lagi.
"Bima berangkat, pah." Pamit Bima seraya mencium pungung tangan papa nya lalu berganti pada sang mama.
Sefia berjalan di samping Bima, mengantarkan laki – laki itu sampai di depan pintu mobil yang telah tersedia di halaman rumah.
"Hati – hati ya." Pesan Sefia, singkat namun membuat Bima mengangguk senang.
"Kamu juga istirahat ya, aku berangkat. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Sahut Sefia setelah mencium tangan Bima.
Sefia kembali masuk ke dalam rumah setelah mengantarkan suaminya. Rasa pening di kepala membuatnya kembali dengan mudah memejamkan mata. Hingga satu jam kemudian Ia terbangun karena mendengar suara ponsel miliknya berbunyi.
Sefia mengamati sekilas nomor yang terpajang pada layar ponselnya. Ia lalu mengangkat panggilan tersebut karena takut jika itu adalah telpon penting dari salah satu klien Bima atau kantor cabang yang terkadang kesulitan untuk menghubungi nomor bos mereka.
"Hallo." Suara serak khas bangun tidur menggema di dalam telingga sang penelpon yang langsung menelan salivanya.
"Hallo." Sekali lagi Sefia mencoba menyapa sang penelpon.
"Sefia.."
DEG
Sefia tercekat. Suara yang masih sangat Ia ingat. Suara yang selalu mengalunkan kata – kata manis dan penuh cinta namun akhirnya berakhir dengan kata – kata perpisahan yang menyakitkan.
"Sefia, apa kamu masih disana?"
"Dari mana kamu tahu nomor ponselku?"
Terdengar helaan nafas dari seberang telpon.
"Tak perlu kamu tahu dari mana aku bisa tahu nomor ponselmu, yang jelas aku ingin bertemu denganmu."
"Maaf aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Aku sudah menikah."
"Kamu bohong."
"Sepertinya kamu belum kembali ke Jogja, sampai kamu belum mengetahui berita pernikahanku dari teman – teman sekolah kita."
'Bukan aku tak tahu, tapi aku tak ingin tahu. Karena yang aku mau kau kembali padaku.' Gumam Pramudya.
"Kalau begitu bisakah kita bertemu sebagai teman? Aku hanya ingin ngobrol dengan mu saja, tidak ada niat lain."
"Maaf Pram. Aku tidak bisa."
"Apa kau mencintai suamimu?"
"Apa urusanmu?"
"Aku tahu tak mudah bagimu melupakan kenangan tentang kita. Kita bukan sehari dua hari menjalin hubungan Sef."
"Lalu? Apa aku harus selalu mengingatmu karena hal itu?" Sefia tersenyum sinis walau ia menyadari jika Pramudya tak akan melihat senyumannya.
"Jujurlah pada hatimu Sef, kau tidak mencintai suamimu. Kau hanya mencintaiku."
"Aku mencintai atau tidak itu bukan urusanmu. Sepertinya pembicaraan kita cukup sampai disini."
"Sef…"
Sefia menekan tombol merah pada ponselnya sebelum Pramudya kembali mengucapkan kalimatnya.
"Kita sudah berakhir, Pram." Gumam Sefia lalu melangkah menuju ke kamar mandi di kamarnya.