"Kamu sudah bangun?" Tanya Bima saat melihat Sefia yang sedang merapikan baju mereka ke dalam lemari pakaian.
"Sudah. Kamu mandilah aku siapkan baju kamu."
"Ok."
Bima lalu berlalu masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Sefia dengan sigap menyiapkan baju yang akan digunakan oleh suaminya.
Lima belas menit kemudian Bima keluar dari kamar mandi menggunakan kimono mandi miliknya.
"Terima kasih." Ucap Bima dari belakang Sefia yang masih merapikan barang – barang miliknya.
Sefia hanya mengangguk, sudah biasa Bima melakukan itu dan kini tak lagi membuatnya terkejut seperti yang sudah – sudah.
"Kita makan?" Tanya Bima.
"Ya, makan disini saja ya. Aku lagi malas keluar." Sahut Sefia lalu duduk di atas sofa kamar.
"Oke, seperti yang kamu inginkan, kamu mau aku pesankan apa?"
"Apa aja, aku ga rewel soal makanan."
Bima tersenyum melihat Sefia yang kini menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa dengan mata yang terpejam. Keusilan Bima pun terjadi.
Perlahan Bima berjalan ke arah Sefia yang masih setia memejamkan kedua matanya lalu Bima memposisikan dirinya tepat di hadapan Sefia dengan kedua tangannya mengungkung Sefia yang duduk di atas sofa.
"Aaa!"
Sefia yang mencium bau harum di hadapannya lalu segera membuka mata, namun betapa terkejutnya Ia saat menemukan wajah Bima yang berada tepat di hadapannya bahkan hidung mereka berdua hampir bersentuhan.
"Iseng banget sih. Kaget tau ga?" Sewot Sefia sambil memukul pelan lengan Bima.
Bima tertawa senang karena berhasil menjahili istrinya yang kini pipinya berubah merah.
Sefia lalu bangkit meningalkan Bima yang masih tertawa. Dan tak lama kemudian bel pintu berbunyi. Bima menghapusair di sudut matanya karena lelah menertawakan tingkah istrinya.
Bima menyusul Sefia yang duduk di kursi balkon setelah sebelumnya mengambil makanan yang di antar oleh petugas hotel.
"Ayo makan." Ajak Bima pada Sefia yang masih merengut kesal.
Tanpa menjawab ajakan suaminya, Sefia langsung mengambil makanan yang di bawa oleh Bima. Lagi, Bima dibuat tersenyum dengan sikap istrinya.
"Tambah manis kalau lagi marah." Goda Bima sontak saja membuat Sefia melotot ke arahnya.
Bima tertawa terbahak, namun seketika berhenti saat satu suapan meluncur kedalam mulutnya.
"Ketawa ga akan bikin kamu kenyang, suamik."
Keduanya lantas tersenyum, tangan Bima mencubit pipi kiri Sefia yang mengembung karena sedang mengunyah makanan.
"Nakal ya."
"Impas ya." Sahut Sefia dan keduanya kembali tersenyum lebar hingga tak terasa makanan yang mereka santap habis tak bersisa.
"Kenyang?"
"Alhamdulilah."
"Syukurlah kalau begitu, aku tak membuat istriku kelaparan."
Sefia tersenyum simpul, "Awas saja sampai kau membuat aku terlantar menjadi istrimu."
"Jangan berpikir kau akan meninggalkan ku." Ucap Bima dengan tatapan serius namun tak dilihat oleh Sefia.
"Tentu saja aku akan meninggalkanmu, enak saja kau menelantarkan aku." Sahut Sefia lalu menjulurkan lidahnya.
Bima baru tersadar jika istrinya hanya bercanda, Ia lantas mengejar Sefia yang telah lebih dulu berlari kecil ke dalam kamar.
"Eh ngapain?" Tanya Sefia saat tubuhnya dihimpit oleh suaminya dengan tiba – tiba.
"Ngapain saja boleh, apa kau lupa niat kita datang kesini untuk apa?" Bima menyeringai walau dalam hatinya bersorak. Sungguh Ia senang karena dapat mengerjai istrinya.
Sefia terdiam. Ia sungguh tidak lupa niat mereka untuk datang kenegara ini. Namun Ia tak menyangka jika Bima akan secepat ini meminta sesuatu hal yang selama ini ia jaga.
"Bimaaaa.." rengek Sefia saat perlahan wajah Bima mendekati wajahnya.
Sefia menutup matanya antara gugup dan malu walau dalam hatinya juga mau hahahaa..
Tiba – tiba Bima tertawa, dengan sekuat tenaga Sefia membalik keadaan hingga kini Sefia yang berada di atas tubuh Bima. Tanpa tersenyum dan tanpa berkedip, Sefia menatap Bima dengan intens. Hingga kini Bima terdiam dan ikut menatap mata teduh Sefia.
"Jangan suka iseng." Ucap Sefia yang membuat Bima terkejut dan tanpa Ia sadari kini Sefia telah berada di sampingnya dengan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
Bima tersenyum lebar lalu ikut masuk ke dalam selimut dan memeluk Sefia dari belakang karena posisi Sefia yang meringkuk memeluk guling membelakanginya.
Terjadi sedikit perlawanan dari Sefia, terlihat dari selimut yang mereka gunakan tertarik ke kanan dan kekiri, lalu tak berapa lama keadaan menjadi hening.
"Usil kamu ya." Ucap Bima sambil mengunci tubuh Sefia dalam pelukannya.
"Itu hanya sedikit pembalasan, suamik."
"Huh! Baiklah, sekarang mari kita istirahat. Selamat malam istrik."
"Selamat malam, suamik."
Berbeda dengan Bima dan Sefia yang saling melemparkan keusilan mereka. Di sebuah hotel seorang perempuan berdiri dibalkon kamarnya. Ditangan kanannya mengantung gelas berisi minuman beralkohol walau kadarnya masih dalam batas standar.
"Nona, sesuai info yang saya dapat Tuan Bima akan menghadiri reuni kampus anda." Kata – kata dari orang kepercayaannya masih terngiang di telingga Laura.
"Apa benar kita akan bertemu, Bima?" gumam Laura dengan raut wajah sendu.
Laura terkekeh, "Apa gunanya kita bertemu Bima, aku sudah tak layak untuk mu. Bahkan orang tuamu menentang kita." Laura menarik nafas panjang untuk mengurangi sesak dalam dadanya.
"Tapi mengapa aku tak bisa melupakanmu, Bima. Kau laki – laki terbaik yang pernah aku miliki. Namun dengan bodohnya aku menghianatimu."
"Aku memang bodoh Bima, Bodoh." Laura terus merutuki tindakannya di masa lalu yang menyebabkan Ia kehilangan Bima.
"Andai saja waktu dapat berputar kembali, aku ingin menjadikanmu satu – satunya laki – laki yang aku cintai dan memiliki diriku."
Laura kembali meneguk minumannya, seiring dengan tubuhnya yang merosot ke lantai. Air matanya pun luruh tak dapat Ia tahan, isakan demi isakan meluncur seirama dengan air matanya.
"Semoga kamu bahagia, Bima. Semoga wanita itu jodoh yang di berikan Tuhan untukmu dan yang akan memberikan banyak kebahagiaan untukmu selama nya."
"Nona, anda kenapa?" Suara laki – laki yang sangat Ia kenal tiba – tiba mengagetkannya.
"Bagai mana kau bisa masuk ke kamarku?"
Laki – laki menarik nafas panjang, "Mari ku bantu anda untuk bangun."
"Katakan padaku, bagai mana kau bisa masuk ke dalam kamarku?"
"Maaf, saya terpaksa meminta kunci cadangan pada resepsionis, karena sedari tadi saya mengetuk pintu kamar anda, namun anda tak juga membukakan pintu, saya khawatir terjadi sesuatu terjadi pada anda, petugas hotel memberi tahu saya jika anda memesan minuman beralkohol. Padahal nona tahu anda bukanlah seorang peminum."
"Aku ingin melupakan segalanya, Pram."
Lagi, laki – laki yang ternyata Pramudya itu menarik nafas panjang, atasannya sungguh keras kepala.
"Duduklah nona." Pramudya membantu Laura duduk di atas Sofa.
"Aku sudah bilang jangan panggil aku dengan sebutan itu jika kita hanya berdua saja, apa kamu lupa jika kita berteman."
"Maaf."
"Pram, apa yang kamua lakukan jika ternyata perempuan yang selama ini kau cintai menikah dengan laki – laki lain?"
"Maksud nona?"