Setelah berkeliling hingga hampir larut malam, kini Bima duduk di sofa kamar Sefia sambil membuka ponsel miliknya, mengecek laporan yang baru saja di kirimkan oleh Emon, yang kini bertugas menggantikan Bima untuk sementara waktu selama Bima berada di Jogjakarta. Sementara sang istri sedang berada di kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengganti baju.
"Sefia…" Panggil Bima saat melihat istrinya itu baru saja keluar dari kamar mandi.
Sefia menatap Bima, ada kegugupan yang tiba-tiba saja melanda gadis itu.
"Bisa kita bicara?" Ucap Bima seolah ingin menghilangkan sedikit kegugupan karena panggilan darinya.
Sefia hanya mengangguk lalu melangkah kearah BIma lalu menempatkan dirinya duduk di sofa tepat di samping Bima.
"Mau bicara apa?" Tanya Sefia dengan wajah yang serius. Beberapa bulan menjadi sekertaris Bima tentu saja telah membuat Sefia mengerti bagai mana karakter Bima saat suaminya itu hendak mengatakan sesuatu yang serius, walau Ia sangat yakin seserius apapun jika menyangkut dirinya pasti akan berujung gombalan receh yang membuat Sefia menjadi sedikit kesal.
"Apa yang kau pikirkan tentang pernikahan kita?" Tanya Bima dengan pandangan lekat pada wajah Sefia yang juga menatap dirinya.
walau telah dibahas, namun rasanya Bima kembali harus menegaskan tentang hubungan mereka.
"Entahlah." Sahut Sefia jujur.
"Kita menikah karena perjodohan, dan bahkan aku sendiri tak pernah menyangka jika bosku lah pria yang di jodohkan denganku."
"Maka jangan pernah berpikir untuk berpisah dariku." Ucap Bima kali ini dengan tatapan tajam seolah sedang menghipnotis Sefia untuk tidak meninggalkannya.
"Aku tidak pernah menginginkan pernikahan kedua atau ketiga, Bos. Aku harap ini adalah pernikahan ku yang pertama dan yang terakhir, walau aku masih membutuhkan waktu untuk menerima semua ini. Maaf bukan aku tidak percaya padamu tapi…"
"Aku mengerti.." Bima segera memotong ucapan Sefia, karena bukan hanya Sefia yang membutuhkan waktu untuk menerima semua ini tetapi dia pun juga membutuhkan.
"Bagai mana jika suatu saat kekasihmu kembali?" Tanya Sefia, yang memang mengerti jika Bima memiliki kisah yang belum usai dengan kekasihnya.
Bima memang tidak menutupi apapun dari Sefia termasuk masa lalunya dengan sang kekasih yang hingga kini belum Ia ketahui dimana rimbanya.
Terlihat Bima menarik nafas panjang, punggungnya Ia sandarkan pada sandaran sofa lalu tatapannya menatap lurus kedepan.
"Aku hanya ingin meminta penjelasan darinya, mengapa Ia pergi begitu saja dari ku."
Sefia menatap Bima sekilas lalu mengikuti arah pandang Bima yang menatap luruske depan. "Lalu, jika kau telah mendapatkan penjelasan dari kekasihmu, kau mau apa?"
"Entahlah, namun aku percaya satu hal…" Bima menjeda ucapannya.
"Sesuatu yang melewatkan diri kita, berarti bukan yang terbaik untuk kita." Sambung Bima membuat Sefia kembali mengarahkan pandangannya pada laki – laki yang kini berstatus menjadi suaminya itu.
Ada sedikit kelegaan di hati Sefia mendengar apa yang di katakan oleh Bima, karena itu berarti Bima tak akan pernah meninggalkannya.
"Tapi kau sangat mencintainya.."
"Dari mana kau tahu jika aku sangat mencintainya?"
"Terbukti hingga kini kau masih menyimpan namanya di hatimu."
Bima menatap Sefia. Ada sesuatu yang menggelitik dari ucapan Sefia.
"Apa kau cemburu?"
Sefia menoleh pada Bima lalu menunjuk dirinya sendiri, "Aku?"
"Cemburu?" Detik berikutnya Sefia justru tertawa dan Bima segera merubah ekspresi wajahnya menjadi mood kesal.
"Hai Bos! Buat apa aku cemburu? Tidak ada gunanya."
"Mungkin sekarang tidak! Tapi ku harap suatu saat nanti kau akan merasakan apa yang namanya cemburu." Ucap Bima dengan mencondongkan tubuhnya pada Sefia dan reflek Sefia memundurkan pungungnya menjauh dari Bima.
"Kenapa begitu?" Sefia menyipitkan matanya.
"Aku ingin suatu hari rumah tangga kita berubah menjadi rumah tangga yang penuh dengan cinta, walau harus berjalan merangkak menuju ke titik itu."
Lagi – lagi ucapan Bima membuat Sefia tertegun.
"Mari kita saling mengobati." Ucap Bima penuh dengan keseriusan.
"Maksud mu?"
"Aku tahu kau masih terluka karena ulah mantan pacar mu yang memilih mengejar cita – citanya dengan memutuskan hubungan denganmu secara sepihak, begitu juga dengan aku, bisa di katakan kita berdua hampir mempunyai kisah yang sama bukan? Maka itulah, mari kita saling mengobati."
"Caranya? dengan pacaran?" Sefia ingat pembicaraan mereka beberapa jam lalu.
"Ya.. Belajar untuk saling menerima satu dengan yang lain, aku akan belajar mencintaimu, dan aku harap kamupun demikian." ucap Bima
Sefia menunduk, "Tapi untuk saat ini…"
"Kita pelan – pelan saja." Lagi – lagi Bima memotong ucapan yang hendak di keluarkan oleh Sefia.
"Baiklah… mari kita coba."
Bima tersenyum lalu mengusap kepala Sefia yang masih tertutup jilbab.
"Ayo tidur. Aku sudah capek sekali." Ucap Bima sambil melangkah menuju ke ranjang besar milik Sefia.
Sefia diam mematung. Ia masih ragu dan malu serta banyak rasa lain yang Ia rasakan saat ini jika harus tidur satu ranjang dengan Bima.
Bima yang telah sampai di sisi ranjang, menoleh pada Sefia yang masih terdiam di sofa sambil menatap ke arahnya.
"Kamu jangan takut, aku tak akan memperkosamu, walau itu perkosaan halal." Ucap BIma lalu naik ke atas ranjang.
Sefia menarik nafas panjang. Benarkah Ia harus tidur dengan Bima? Sefia masih enggan rupanya.
'Mending aku tidur di sofa.'
"Jangan berfikir untuk tidur di sofa, cepat kemari atau perlu aku gendong sampai ke atas ranjang?" Ucapan Bima membuat kedua mata Sefia membulat.
'Dasar sinting! Untung aja sekarang jadi suami kalau bukan, udah aku tending.' Batin Sefia.
"Jangan menggerutu, cepat kemari."
Lagi – lagi ucapan Bima tepat sasaran, hal itu membuta Sefia berdecak kesal namun tak menghentikan gerakannya melangkah menuju ke atas ranjang.
Sefia menarik selimut lalu segera membenamkan tubuhnya di dalam selimut yang sama dengan Bima walau dengan membelakangi laki – laki itu.
"Dosa lho tidur membelakangi suami." Ucap Bima sambil terkekeh, Bima begitu senang menggoda Sefia, bukan karena maksut namun sebenarnya Bima sedang menutupi kegugupannya senidiri dengan menggoda Sefia.
Ini adalah pertama kali keduanya tidur satu ranjang dengan lawan jenis kecuali keluarganya. Baik Sefia ataupun Bima sebenarnya sama – sama memiliki kegugupqn sendiri dengan detak jantung yang bertalu begitu cepat.
"Kamu ga lepas itu jilab?"
"Kenapa?"
"Aku curiga, jangan – jangan kamu sudah ubanan ya?"
"Sembarangan. Tadi juga udah lihat aku ga pakai jilbab kan."Ucap Sefia sambil menoleh menghadap Bima seraya memukul tubuh Bima menggunakan bantal guling.
Bima terkekeh, tangannya dengan sigap menangkis pukulan bantal guling dari istrinya.
"Jangan lupa aku suami kamu, jadi sudah halal jika aku mau melihat rambut kamu, bahkan melihat atau merasakan yang lain."
Sefia menatap tajam Bima yang sedang terkekeh. "Iya iya… pakailah jilbabmu, jika kau belum siap memperlihatkan rambutmu kepadaku."Ucap Bima.
"Telat! kamu sudah lihat tadi!"
Sefia turun dari ranjang, lalu melangkah menuju ke sudut ruangan kamarnya, dimana terdapat tempat khusus untuk nya meletakkan jilbab. Perlahan Ia membuka jilbab instant yang Ia kenakan.
Bima menatap sefia yang sedang melepaskan jilbab, matanya tak berkedip saat melihat rambut Sefia yang mulai terurai. Rambut hitam dan panjang sebawah bahu kini terlihat menghiasi kepala istrinya. Wajah yang cantik kulit sawo matang yang bersih dan mulus serta di lengkapi bulu mata yang lentik membuat kecantikan Sefia berkali lipat terlihat.
Bima pura – pura menatap ponselnya saat Sefia kembali melangkah ke sisinya.
"Assalamualaikum suamik."
Bima menoleh lalu tersenyum hingga menampakkan lesung pipinya, "Waalaikum salam istriku yang ternyata tidak beruban."
Lagi – lagi Bima terkekeh melihat wajah kesal Sefia.
Sefia menutup matanya, berusaha menetralkan detak jantungnya dengan segera tidur.
"Cantik." Ucap Bima lalu memberikan satu kecupan di kening Sefia sebelum menyusul Sefia yang telah terbuai di alam mimpi.