"Sudah selesai, Tuan Putri." Hena berbicara kepada sang putri peri.
Rose membuka matanya dan menatap pantulan dirinya setelah mendapatkan perawatan dari pelayan ras zeros untuk merias dirinya.
Wajah putihnya dibubuhi dengan warna merah muda yang membuat pipinya terlihat merona. Bibir ranum gadis itu diberikan sentuhan lipstik tipis yang membuatnya tampak lebih kenyal dan menggoda.
Untuk rambut pirangnya, pelayan itu membuat sanggul atas dengan menyisakan beberapa helai yang sengaja dibuat berantakan. Mahkota kecil yang memiliki permata merah di setiap sisinya dipasangkan untuk asesoris terakhir.
"Mari kita keluar Tuan Putri. Yang Mulia sudah menunggu." Zizi yang mengawasi di samping mereka mengingatkan.
"Baik." ucap Rose setelah puas dengan pantulan dirinya di cermin.
tap.. tap.. tap..
Suara yang dikeluarkan oleh sepatu kaca sang peri membuat pemuda yang tengah duduk sambil memainkan sebuah cincin berlian itu mendongak.
"Maaf sudah membuat Anda menunggu lama, Yang Mulia." Rose memberikan hormat saat sudah sampai di dekat sang raja.
"Cantik sekali." puji Stevan berdiri untuk melihat lebih dekat gadis itu.
"Sayang sekali kita tidak diizinkan memakai warna lain saat ini. Kau akan terlihat lebih mempesona dengan gaun biru." Stevan membelai tanda lahir Rose.
"Ayo pergi." Stevan membentuk pose pengawalan untuk memudahkan gadis itu memegang lenganya.
Rose mengikuti pemuda itu berjalan menuju aula utama. Sesampainya mereka di ruang besar tempat perayaan diadakan, sudah terlihat banyak orang yang menunggu kedatangan sang raja.
"Kemuliaan bagi Penguasa Malam."
"Kemuliaan bagi Raja Ras Zeros."
Terdengar sorak sorai saat pemuda itu memasuki ruangan.
Stevan berjalan dengan mantap saat menuntun sang peri menuju kursi singgasana miliknya. Dia membiarkan Rose untuk duduk di kursi yang terletak di sebelah kanan kursi raja. Kursi yang hanya ditujukan untuk ratu kerajaan ras zeros.
Seketika terdengar bisikan yang memenuhi ruangan karena bingung dengan maksud dari sang raja.
"Maaf Yang Mulia. Apa maksud dari tindakan Anda?" seorang lelaki yang terlihat seperti seorang penatua bertanya.
"Seperti yang kalian lihat. Aku ingin menunjuk gadis di sebelahku sebagai calon ratu masa depan." Stevan menjelaskan dengan tenang.
"Tetapi bukankah gadis itu juga terpilih sebagai calon ibu penerus tahta, Yang Mulia." ada seorang pemuda yang menimpali.
"Lalu? Apa masalahnya." Stevan berucap tidak puas.
"Yang Mulia, sejak dahulu ras zeros memiliki seorang ratu dan ibu calon putra mahkota yang berbeda." penatua itu kembali membalas sang raja.
"Dulu adalah dulu, dan sekarang adalah sekarang. Aku adalah orang yang berkuasa saat ini." Stevan berbicara dengan tenang.
"Yang Mulia, saya mohon pertimbangkan keputusan Anda kembali. Kerajaan akan tidak stabil jika ratu tidak sengaja meninggal saat melahirkan seorang pewaris." kali ini seorang wanita yang berbicara.
"Cukup!"
"Keputusanku sudah bulat." suara Stevan terdengar memenuhi seluruh ruang aula.
Tidak ada suara lain yang membantah sang raja. Mereka hanya diam-diam mengutuk wanita yang sudah menyihir penguasa mereka.
Rose berusaha untuk tetap tenang. Mencoba untuk mengabaikan puluhan pasang mata yang menatapnya menghina.
Dirinya juga tidak tahu apa yang membuat pemuda itu tiba-tiba mambuat pengumuman seperti itu. Sang raja muda membuat perubahan yang sangat drastis dengan perilakunya. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kepuasan tersendiri saat dirinya menerima perlindungan dan perlakuan istimewa dari pemuda itu.
Upacara formal sudah selesai dan kini mereka menikmati waktu santai untuk berpesta. Stevan pergi beberapa saat lalu saat menerima panggilan dari orang yang menjabat sebagai tangan kananya.
"Sangat lezat." Rose tengah mencicipi kue-kue kecil yang disediakan di atas meja panjang yang letaknya di samping ruangan.
"Apakah Tuan Putri sangat menyukai kue?" seorang gadis manis mendekati Rose.
"Tidak juga. Hanya penasaran dengan rasanya." Rose menjawab pertanyaan gadis itu.
"Sebelumnya perkenalkan nama saya Bella Anjastian, tuan putri." gadis manis itu memperkenalkan diri.
"Anda terlihat sangat cantik seperti rumor yang beredar Putri Rosalia." Bella memberikan pujian.
"Terimakasih Nona Bella. Anda juga sangat cantik." Rose membalas sanjungan gadis itu.
"Jika Anda tidak keberatan dengan rasa manis, saya merekomendasikan kue bulan ini, Tuan Putri." Bella menunjukan sebuah kue kecil berbentuk bulan sabit.
"Teksturnya lembut dan renyah saat digigit. Butiran putih yang ditaburkan di atasnya adalah gula yang sudah dihaluskan. Itu membuatnya terasa manis dan sejuk di lidah, tuan putri." gadis itu menjelaskan.
Rose mengambil satu buah kue bulan untuk mencoba rasanya. Rasanya seperti yang dikatakan gadis itu, lembut namun gurih. Sensasi dingin Ia rasakan saat lidahnya bersentuhan dengan kue bulan.
"Ini enak." Rose memuji.
"Senang mendengar Anda menyukainya, Tuan Putri." Bella tersenyum manis.
Rose ingin mengambil kue kedua, namun tiba-tiba kepalanya terasa pening. Sebelum Ia sempat mengatakan apapun, dirinya sudah kehilangan kesadaran.
"Tuan putri!" teriak Bella yang mengundang perhatian dari orang-orang di sekitarnya.
"Segera panggil penyembuh." suara maskulin terdengar tidak jauh dari tempat kejadian.
Stevan dan Teodhor yang baru saja memasuki ruangan segera menuju tempat kebisingan itu berada. Stevan dengan sigap membawa Rose yang tidak sadarkan diri ke arah ruang istirahat.
"Jangan biarkan satu lalat pun keluar dari ruang ini." Stevan memberi perintah kepada Teodhor dengan nada geram sebelum keluar dari aula.
"Baik Yang Mulia." Teodhor menjawab patuh.
Stevan menatap tabib yang menangani sang peri dengan tajam. Membuat lelaki yang sudah berusia lanjut itu gemetar saat melakukan pengobatan. Pemuda itu dengan setia menemani Rose saat penyembuh sedang memeriksa keadaan gadis itu.
"Yang Mulia, Tuan Putri telah diracuni."
"Racun yang digunakan adalah racun kayu Yang Mulia. Jika tertelan dalam jumlah besar, bisa menyebabkan korbanya lumpuh seperti kayu. Untungnya racun yang tertelan oleh tuan putri masih dalam kisaran dosis kecil." tabib itu memberitahu hasil pemeriksaanya.
"Kau bisa menyembuhkanya?" raja muda itu bertanya.
"Tentu saja Yang Mulia. Saya akan membuat obat penawarnya sekarang juga." tabib itu pamit kepada sang raja. Berusaha secepat mungkin untuk meninggalkan garis pandang sang raja muda.
"Pergilah." Stevan menjawab tabib kerajaan.
Seolah mendapatkan amnesti dari sang raja, tabib tua itu bergegas pergi meninggalkan ruangan.
"Zizi." sang raja memanggil pelayan yang berdiri di dekat pintu.
"Saya Yang Mulia." pelayan yang melayani sang putri menjawab panggilan raja.
"Temani gadisku. Jika ada hal buruk yang terjadi padanya, kepalamu yang akan menjadi jaminanya." Stevan berkata dingin.
"Baik Yang Mulia." Zizi menjawab penuh hormat.
Stevan mengalihkan pandanganya kepada sang peri yang terlihat damai meski sedang kehilangan kesadaranya.
"Tunggu aku." Stevan berbisik di telinga Rose sebelum mencium kening sang peri.
Penguasa kegelapan itu kembali ke aula pesta untuk mencaritahu siapa yang berani mengusik gadis miliknya. Seluruh tubuhnya memancarkan atmosfer tajam saat berjalan memasuki ruangan.
"Robek mereka."
"Mereka berani melangkahi batas mereka."
"Hancurkan mereka."
Bisikan-bisikan halus mulai bermunculan di benak sang pemuda. Stevan menggertakan gigi saat mencoba menahan pikiranya tetap terkendali.
Prang..
Penguasa kegelapan itu memecahkan guci keramik dengan tekananya yang menghancurkan.
"Siapa?"
"Siapa yang berani meracuni gadisku!" raungan kejam terdengar yang berasal dari sang raja zeros. Tatapanya tajam dan haus darah. Membuat orang-orang yang berkumpul di aula bergidik ketakutan.