Mentari bersinar cerah. Burung-burung terlihat terbang dengan bergerombol.Tidak ditemukan adanya awan hitam yang menutupi langit menandakan bahwa hari itu sedang cerah.
Rose tengah duduk di sebuah kursi putih. Terdapat beberapa kue dan teh yang terletak di atas meja kaca. Gadis itu tengah melakukan piknik kecil di taman utama istana.
"Jadi, Yang Mulia tidak mengizinkan Anda untuk pergi tuan putri?" Bella kembali mengulangi perkataan sang peri.
"Benar Nona Bella. Saya minta maaf karena tidak bisa memenuhi ajakan Anda." Rose meminum teh nya setelah berbicara.
"Tidak apa-apa tuan putri. Yang Mulia pasti mengkhawatirkan keselamatan Anda."
"Tapi sebenarnya, itu sayang sekali. Apakah Yang Mulia akan terus mengurung Anda di istananya?" Bella bertanya kepada gadis itu.
"Saya tidak mengetahuinya Nona Bella." sang peri menjawab dengan tenang.
Rose merasa perilaku gadis itu semakin aneh dari hari ke hari. Mungkin, gadis itu merasa bahwa mereka berdua sudah bertambah akrab sehingga gadis bernama Bella itu berani mengutarakan pikiranya secara terang-terangan.
Tetapi mengapa dirinya berpikir bahwa gadis itu tidak menyukai Stevan. Meski secara halus, dalam beberapa perkataan gadis itu terdapat sindiran dan penolakan yang mendiskreditkan sang raja.
"Apakah dirinya yang terlalu banyak berpikir?" Rose menyembunyikan pikiran batinya.
"Dan satu hal lagi Nona Bella. Saya lupa memberitahu Anda jika beberapa hari lagi saya harus mengikuti pelatihan."
"Saya mungkin agak sibuk dan tidak bisa menemani Anda." Rose berbicara sopan kepada Bella.
"Saya mengerti tuan putri. Jangan lupa memberiku kabar jika Anda memiliki waktu luang." Bella tersenyum manis.
"Tentu saja Nona Bella." Rose membalas gadis itu.
***
"Tuan putri, Yang Mulia memanggil Anda ke ruang kerja raja." Zizi memberitahu sang putri peri.
Rose menghentikan aktivitas yang tengah Ia lakukan. Meletakan sebuah buku, dirinya bangkit dari tempat dirinya duduk bersantai.
"Bawa aku ke sana." Rose memerintahkan pelayan itu.
"Baik tuan putri." Zizi memimpin sang gadis peri.
Rose mengikuti Zizi untuk keluar dari perpustakaan kecil yang terletak di sayap timur. Gadis itu sangat tertarik dengan buku-buku yang berada di sana.
Sejak kembali dari kunjungan terakhirnya, Rose ketagihan untuk menenangkan diri di sana. Suasana di tempat itu juga harmonis yang membuatnya betah untuk menghabiskan sebagian besar waktunya di sana.
tok.. tok.. tok..
"Saya membawa Putri Rose, Yang Mulia." Zizi mengetuk pintu ruang pribadi raja.
"Masuk." dari dalam terdengar suara serak seorang pemuda.
Ceklek
Pelayan itu membuka pintu dan mempersilahkan sang putri untuk masuk. Dirinya kembali menutup pintu dengan pelan saat putri peri itu sudah berada dalam ruangan.
Pelayan itu kembali melakukan tugas lain yang belum Ia selesaikan. Berbeda dengan pelayan yang hanya mengandalkan koneksi dan paras rupawan yang mereka miliki untuk naik ke tangga sosial, Zizi adalah pelayan yang disiplin dan tahu dimana tempatnya berada. Itu sebabnya, dia tidak pernah mencampuri urusan Tuan yang Ia layani.
"Apa yang terjadi dengan wajahmu, Yang Mulia?" Rose bertanya saat melihat lingkaran hitam yang cukup jelas di wajah sang pemuda.
"Bukan apa-apa. Apa hari ini kau juga mempunyai tamu?" Stevan bertanya kepada gadis peri itu.
"Tidak Yang Mulia." Rose menjawab dengan jujur.
"Kalau begitu temani aku tidur siang sebentar." Stevan bangkit dari kursi kerjanya dan membawa Rose ke sofa panjang di sudut ruangan.
"Duduk." titah Stevan.
Sang peri cantik mengikuti instruksi dari pemuda itu. Membiarkan Stevan menjadikan pangkuanya sebagai bantal untuk dirinya tidur siang.
Stevan merasakan lelah yang luar biasa. Beberapa hari ini dia tidak bisa tidur nyenyak. Tubuh dan pikiranya seakan saling bentrok. Membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
"Apa Yang Mulia tidak bisa tidur?" Rose bertanya saat dirinya memijat kerutan di dahi sang pemuda.
"Hm. Aku tidak bisa tidur jika tidak berada di sampingmu." Stevan menikmati sentuhan gadis itu.
"Setelah ratu menerima hukumanya, aku akan langsung mengangkatmu menjadi ratu."
"Saat itu, kau tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak tidur bersamaku." Stevan menatap Rose.
"Itu akan menunggu sampai semuanya terjadi Yang Mulia." Rose menjawab dengan lembut.
"Hm, aku hanya perlu menunggu sebentar lagi." Stevan bergumam sebelum dirinya jatuh tertidur.
Kali ini, istirahat siang sang raja berlangsung agak lama. Rose merasa kakinya mati rasa setelah pemuda itu terbangun.
"Sudah merasa lebih baik?" Stevan bertanya saat tanganya tengah memijat paha gadis itu.
"Iya Yang Mulia." Rose menjawab pertanyaan Stevan.
"Maaf, aku tidak menyangka akan tertidur sangat nyenyak." Stevan mengungkapkan penyesalanya.
"Bukan masalah besar Yang Mulia. Saya senang bisa membantu Anda." sang peri berkata rendah hati.
"Aku mendengar dari Nyonya Zara, pelatihanmu akan kembali dimulai besok pagi." Stevan bertanya.
"Benar Yang Mulia. Saya akan kembali mempelajari bagaimana menjadi seorang ibu pewaris." Rose menjawab pemuda itu.
"Sebenarnya, menjadi ratu saja sudah cukup. Kau tidak perlu mengikuti pelatihan itu." Stevan berkata ragu.
"Mengapa Yang Mulia? Apa Anda tidak ingin mempunyai anak dari makhluk lemah sepertiku?" sang peri bertanya tidak percaya kepada pemuda itu.
"Bukan itu maksudku. Hanya saja, menjadi seorang ratu dan ibu dari anaku adalah hal yang berbeda, Rosalia." Stevan tidak tahu bagaimana menjelaskan permasalahan itu dengan cara yang tidak menyakiti sang peri.
Awalnya, dirinya hanya ingin memanfaatkan gadis itu untuk melahirkan anaknya. Tidak perduli apakah gadis itu akan mati atau tidak dalam prosesnya.
Dirinya menyembunyikan rahasia bahwa menjadi seorang ibu penerus tahta, mempunyai resiko besar untuk menghadapi kematian. Tetapi sekarang, dirinya merasa takut jika harus kehilangan gadis itu.
"Bagaimana itu berbeda Yang Mulia. Apakah Anda ingin aku melihat Yang Mulia tidur bersama wanita lain?"
"Ataukah Yang Mulia sudah mempunyai kekasih yang aku tidak tahu?" Rose menginterogasi pemuda itu.
"Tidak Rose. Aku hanya memilikimu."
"Aku hanya bertanya. Tidak bermaksud melarangmu untuk mengikuti pelatihan Rosalia." Stevan menenangkan sang peri.
"Benarkah?" mata gadis cantik itu menyipit seakan menyelidik.
"Tentu saja Rosalia." sang penguasa kegelapan menjawab pertanyaan gadis itu.
Akhirnya sang peri melepaskan pemuda itu. Meski dirinya masih merasa ada yang tidak beres, dia tidak akan mendapatkan jawaban jika terus bertanya kepada pemuda itu. Mungkin, dirinya harus menyelidiki sendiri perbedaan antara kedua gelar dari kerajaan ras zeros itu.
"Saya minta maaf karena menuduh Anda, Yang Mulia."
"Itu karena saya juga ingin merasakan bagaimana menjadi seorang istri dan ibu yang baik untuk anak-anak kita kelak." Rose berbicara seakan tidak menaruh curiga sedikitpun kepada pemuda itu.
"Aku mengerti perasaanmu."
"Aku tidak akan bertanya tentang hal itu lagi jika ternyata menyakiti perasaanmu." Stevan memeluk gadis itu.
"Terimakasih atas pengertian Anda, Yang Mulia." gadis dalam dekapan pemuda itu menjawab.