Yuki berlari dari asrama menuju ruang kelas. Begitu dia muncul di depan pintu, seorang dosen baru saja duduk dan menyapa para mahasiswa. Kehadiran Yuki membekukan keceriaan di kelas, dan menarik semua mata ke arahnya. Beberapa ada yang berbisik dan mungkin saja membicarakan penampilannya yang hancur-hancuran hari ini.
Setelah meminta maaf, beruntung sekali Yuki lolos dari hukuman. Gadis rambut keriting itu duduk di tengah dan membuka buku catatannya. Kursi bagian depan biasanya diisi oleh Sakura, tetapi Sakura tidak hadir.
Yuki menepuk pelan punggng gadis berkepang dua di sampingnya, dan bertanya, "Hai, kenapa Sakura tidak masuk hari ini?"
"Dia ikut mencari Nami, pelayannya. Kenapa dengan penampilanmu hari ini? Apakah kau kesulitan mengendalikan pelayanmu?" tanya gadis itu.
Yuki mengangguk dengan alis berkedut.
Gadis itu menutupi wajahnya saat berbisik kepada Yuki. "Kau bisa pergi ke divisi psikologi untuk mengatasi hal itu. Mereka akan menyelesaikan masalahmu. Memperbaiki matamu."
Kemudian percakapan mereka terputus sesaat begitu dosen memulai kelas.
"Divisi psikologi? Benarkah?" Yuki bergumam.
"Kalau kau masih belum terbiasa, pergilah ke tempat paling terang, karena mereka tak dapat memperahankan tubuh mereka di bawah cahaya." Gadis itu berbisik untuk yang terakhir.
Setelah dua puluh menit melakukan penjelasan di depan kelas, dosen itu menutup semua kaca sehingga cahaya dari luar tak dapat masuk.
"Jangan terkejut, hari ini aku akan menjelaskan sesuatu pada kalian. Yang masih belum dapat melihat dengan jelas, tak perlu memaksakan diri."
Semua orang berbisik-bisik mempertanyakan apa yang akan ditampilkan di depan kelas oleh dosen itu.
"Kemarilah, ruangan sudah gelap." Dosen itu menatap ke langit-langit diikuti oleh para mahasiswa.
Sesosok gadis berambut panjang dan bergaun putih menembus langit-langit dan turun di samping dosen itu.
Semua orang menyambut dengan tepuk tangan tapi tidak bagi dua orang di kelas itu, Yuki dan seorang gadis bertubuh kurus yang hanya diam melihat sekitar.
"Sekolah indigo memang nyata. Para hantu menjadi tontonan bagi mereka. Ini mengerikan,"kata Yuki dalam hati.
Yuki memperhatikan gelagat gadis kurus yang ada di belakangnya dan berpikir mungkin gadis itu tak melihat sama sekali terhadap sosok hantu.
"Aku dulu seperti itu, tampak bodoh karena tak dapat melihat mereka," batin Yuki. Sesekali saja dia melihat ke depan, karena baginya sosok itu cukup menyeramkan.
Yuki meremas tas, menahan umpatan-umpatan ketakutan. Dalam pikirannya sekarang, sosok gadis bergaun putih itu adalah orang mati yang dihadirkan di antara manusia. Sekarang otaknya percaya 100%
"Gadis yang seharusnya tidur tenang dalam kuburan malah diundang dalam kelas," Yuki bergumam.
"Saat melayang di udara, setengah tubuh para hantu akan seperti kain yang berkibas-kibas. Biasanya para hantu akan lebih cepat terbang dengan cara seperti ini. Kaki mereka muncul ketika turun. Tak ada hantu yang bisa menginjak tanah, mereka akan menembusnya. Sehingga jika kalian melihat hantu berlari dengan kaki, ada jarak kecil di atas tanah. Mereka berjalan di dunia mereka dan akan terlihat seperti berjalan di dunia manusia."
Dosen menjelaskan sambil memperlihatkan kaki si hantu. "Ini adalah pengetahuan dasar yang harus kalian ketahui agar dapat membedakan hantu, manusia dan siluman. Terkadang ada hantu yang sulit dibedakan karena mereka punya kekuatan yang besar, sehingga eksistensi untuk menyerupai sesuatu itu sangat nyata di mata manusia."
Yuki tak berani bertukar pandang dengan hantu itu. Matanya selalu menunduk, memperhatikan bagian bawah kaki hantu itu. Baginya, hantu bergaun putih itu terlalu pucat dan menyeramkan, tidak seperti Renji yang terlihat cukup elok di matanya.
Si dosen menjelaskan kembali, "Para pelayan yang telah ditugaskan berada di samping kalian, umumnya bisa diperintahkan untuk menyerupai sesuatu. Mereka juga berguna di medan pertempuran untuk mengecoh musuh. Tapi mohon diingat, meski mereka dapat diperintah, harus memperhatikan kesanggupan mereka. Semakin banyak beban yang dilakukannya, otomatis tenagamu akan semakin tersedot. Jadi perlakukan hantumu dengan baik."
"Apa pun yang berbau kuburan pasti menyeramkan seperti di film-film horror," batin Yuki menggerutu.
"Nah, sekarang pergi dan sapalah mahasiswaku!" perintah si dosen kepada pelayannya. "Bagi yang baru membiasakan diri dengan mata indigo, tidak perlu takut. Ini akan membantu kalian untuk terbiasa dengan lingkungan mereka."
Hantu itu terbang menghampiri satu persatu mahasiswa dan mengajaknya bersalaman dengan sikap nan dingin.
Ketika menghampiri Yuki, hantu itu mengulurkan tangan minta bersalaman. Yuki sudah berkeringat dingin sejak tadi dan bulu kuduknya berdiri.
"Aku tidak pernah menyentuh hantu sebelumnya. Aku takut aku semakin terjerumus lebih dalam pada mata indigo," pikir Yuki.
Beberapa mahasiswa mendorong Yuki untuk segera menjabat tangan si hantu. Suasana kelas menjadi sangat berisik karena Yuki terlihat takut dan enggan sekali.
"Tangannya pucat sekali!" Yuki berucap dengan suara gemetar.
Teman sekelasnya tertawa mendengar hal itu.
"Kau harus terbiasa, Yuki. Semuanya akan mudah jika sudah menyentuh mereka. Ayo, ulurkan tanganmu,"sang dosen terus mendorong Yuki.
Dengan berat hati, Yuki mengulurkan tangan, tetapi ketika bersalaman hantu itu menembus tangannya. Semua orang berseru.
"Yuki! Kau harus percaya dengannya."
"Berjabat tangan tidak akan membunuhmu!"
"Tapi aku geli!" Yuki menyela seraya menggebrak meja.
"Ah, payah sekali! Segitu saja takut, bagaimana dia bisa masuk kemari? Membingungkan!"
Setelah perkuliahan pertama selesai. Yuki meminta izin tidak masuk kelas karena alasan ingin pergi ke divisi psikologi.
Sesuai saran gadis berkepang dua tadi, Yuki pergi ke divisi psikologi. Dia berjalan melewati beberapa kelas yang diisi oleh para senior.
Suatu ketika dia menemukan lorong yang minim pencahayaan. Di sekitar sana tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia. Namun dari papan arah yang melekat di tembok bahwa untuk menuju divisi psikologi, harus melewati lorong itu.
"Ah, tidak adakah jalan yang lebih aman dari ini. Aku merasa tidak aman."Yuki memeluk tas dan berdiri di ambang lorong sambil mengigit jarinya.
"Wah, bukankah itu Yuki? Kenapa dia kemari?"Dari atas pelafon, Renji tak sengaja melihatnya dan mengurungkan niat untuk pergi tidur di lorong bawah tanah tempat biasa para hantu istirahat.
Renji mengarahkan matanya ke lorong depan. "Ah, kurasa dia mulai terpengaruh. Berdiri seperti itu, pasti dia sedang ragu karena untuk lewat di sana. Ini jalur menuju divisi psikologi, apakah dia akan ke sana? Emmm ... baiklah coba lihat sejauh apa dia bisa bertahan."Renji tersenyum jahat.
Baginya, melihat Yuki yang berusaha keras menghadapi ketakutan adalah sebuah keasyikan tersendiri.
Sekarang Yuki memutuskan untuk melewati lorong. Namun, sebelum itu, dia menunduk dan matanya fokus melihat ke lantai sambil berjalan.
Angin dingin menyapu kakinya. Merayap hingga ke pundak. Yuki merinding, sambil memeluk tas langkahnya jadi lebih cepat.
"Hai, kau harus memperlihatkan tanda pengenal sebelum masuk ke sana!"
Suara besar menghentikan langkah Yuki. Dia mengembuskan napas, membuang rasa takutnya.
"Kupikir ini ruangan bebas. Maaf aku tadi buru-buru sekali." Yuki merogoh dompet di saku jasnya kemudian berbalik lalu menyodorkan kartu identitas.
Tangan biru berkuku panjang, membuat mata Yuki membola. Menjalar sensasi dingin hingga ke kepala dan menyebabkan sesak napas. Apa yang ada di depannya membuat Yuki tak ingin melihat sosok itu. Namun, matanya bergerak sendiri, hingga akhirnya bertatapan dengan seorang pria besar berwajah penuh jahitan.
Seperti disambar petir. Yuki berteriak lantang dan melarikan diri, masuk tanpa mengambil kembali kartu identitasnya.
"Hai, tunggu! Aku belum selesai!" seru sang hantu yang berpakaian sekuriti.
Renji membekap mulut ketika gelak tawa hampir lolos melihat Yuki berlari seperti sedang lari maraton.
Renji menghampirinya dan menepuk pundak hantu itu. "Mas Nobi, maafkan aku. Dia majikanku. Belum terbiasa dengan hantu dan mentalnya sedang terganggu. Aku akan mengambil ini. Mas Nobi jangan diambil hati ya, tolong maklumi indigo pemula itu." Renji mengambil kartu identitas Yuki dari tangan Nobi.
"Jagalah dia! Jangan berteriak di depan hantu lain. Wajahnya menyeramkan!"Nobil terlihat jutek. Wajahnya yang penuh jahitan itu mengeluarkan ulat.
"Kapan-kapan kita makan malam di asramaku, Mas Nobi!" Renji berkata sambil terbang meninggalkan lorong itu.
Renji berhenti saat menemukan, Yuki berada di antara barisan antrian sederet mahasiswa di ruangan berkaca terang. Ruangan itu penuh dengan ramuan serta alat canggih.
"Bagaimana dia bisa masuk ke sana? Ini ruang kesehatan indigo, apa dia tidak membacanya. Memang benar kata Niel, Yuki gadis ceroboh."
Ruangan serba kaca itu, adalah ruangan untuk kesehatan mata. Dengan beberapa alat yang tersedia, mata yang buram dan kurang jelas akan semakin jelas melihat dunia gaib. Yuki tak mengetahui bahwa dirinya sedang memperjelas penglihatannya terhadap hantu dan meningkatkan kemampuan mata indigonya.