Chereads / White Love In The Dark Sky / Chapter 46 - Shock, Jiwa Yang Tertidur

Chapter 46 - Shock, Jiwa Yang Tertidur

Tubuhku bergidik, udara yang dingin dan angin berembus cukup kencang, saat itu aku pun terbangun. Sejauh kulihat sekitar, Hiro sudah tidak ada.

Aku beranjak dan berdiri di depan pembatas bangunan. Hamparan gedung-gedung tinggi memancarkan sinar dari setiap jendelanya. Suara alat transfortasi terdengar samar bercampur suara beberapa mahasiswa di bawah gedung.

Ini sudah malam, dan di sekitar sini cukup gelap. Aku tidak menemukan ada penampakan hantu, begitu juga di halaman gedung.

Aku mengembuskan napas panjang.

[ Udara akan semakin dingin saat malam, aku tidak bisa berada di sini. Aku harus pergi ke flatku malam ini juga. ]

[ Tapi sebelum itu, aku harus turun dari gedung ini dan pasti banyak hantu di setiap lantai. ]

Aku memejamkan mata sembari mengepalkan tangan. Memupuk perasaanku untuk lebih berani.

[ Kuharap pria serba putih itu ada di sini, setidaknya dapat menemaniku turun. ]

"Harus benari! Aku hanya cukup berjalan dan menunduk saja."

Seekor kupu-kupu terbang sedikit lebih tinggi dari tubuhku. Kupu-kupu biru itu terbang mengitariku.

Aku mengabaikannya dan segera berjalan menuju pintu.

Kupu-kupu itu terus mengikutiku. Bahkan ketika aku menuruni tangga hingga memasuki lift.

Di lift yang sedang turun menuju lantai satu, aku terus terusik oleh kupu-kupu biru. Ia berputar-putar di langit-langit lift, terkadang hendak menyambar hidungku.

"Kenapa kau ikut denganku? Kau akan terjebak di gedung ini dan mati."

Tak berapa lama, lift terbuka. Kuperhatikan kupu-kupu itu keluar mendahuluiku. Aku khawatir dia akan terjepit sehingga kutunggu dia keluar.

Aku berjalan terus memperhatikan kupu-kupu sesekali pada para senior berpakaian hitam. Mereka juga memperhatikan kupu-kupu biru itu.

Saat mendekati pintu keluar, aku bergerak lebih cepat kemudian membuka pintu selebar-lebarnya hingga sang kupu-kupu keluar dengan selamat.

Tetapi anehnya, dia terus mengikutiku hingga sampai di teras asrama.

Kupu-kupu berbelok dan terbang menuju taman. Aku tersenyum kecil melihatnya seolah-olah sedang mengantarku.

[ Oh iya, apa tadi aku melihat para hantu? Tidak, sepertinya aku tidak melihatnya di gedung. Kupu-kupu itu mengalihkan perhatianku. ]

Sesampainya di kamar, aku bergegas mandi sebelum pelayan hantu datang ke kamarku. Selesai mandi, aku memakan mi cup yang kusimpan di koperku.

Kemudian terpikir lagi, kalau di asrama ini aku tak melihat ada hantu. [ Apa mataku sudah kembali seperti biasa? ]

"Ah, sudahlah, tetap saja aku harus pergi."

Sekitar lima belas menit sebelum jam tidur, aku sudah berbaring dengan selimut membungkus badan. Sorot mataku tertuju pada celah bagian bawah pintu yang bercahaya.

Tak lama setelah itu, lampu lantai dua telah dimatikan. Aku pun memejamkan mata, menunggu sampai semua orang tertidur.

<>

Lima belas menit kah ...

Atau mungkin sudah dua puluh menit ...

Aku membuka mata sedikit saat mendengar suara dari dalam kamarku.

"Makan sudah siap, tinggal menunggunya bangun saja. Ah, kerjaan pertama sebagai seorang pelayan, cukup menyenangkan."

Aku bangun saat sosok itu hendak membangunkan aku. Mata kami bersua dan sama-sama membola.

Wajahnya tidak seseram kemarin. Ren-Renji terlihat sedikit mirip manusia malam ini, tetapi tetap saja, badannya melayang dan matanya merah. Aku meremas selimut menahan diri agar tidak berteriak.

Aku menoleh pada meja rias. Tertata sepiring makanan yang masih mengepulkan asap dan satu gelas air.

"Ah, untunglah kau sudah bangun. Ayo makan nanti dingin!" Renji berseru mengajak dan menepuk pipiku.

[ Ouh, apa ini? Sejak kapan dia dapat menyentuhku. ]

"Ini hanya ada dalam pikiranku. Aku tak percaya hantu. Aku tak bisa tinggal di sini," sambil berucap aku beranjak dari ranjang. Berjalan mengelilingi ranjang menuju lemari.

"Apa-apa yang mau kau lakukan, Yuki? Aku tidak bermaksud memaksa kau makan dari masakanku. Kau boleh memilih makananmu sendiri." Renji coba menghentikanku, dan kulihat, dia gelagapan.

Aku bergidik melihat tubuhnya yang gemulai seperti asap. Dia memang mudah berbicara, tetapi bagaimana dengan jantungku yang selalu terkejut tiap kali melihat mata merahnya? Aku akan mati membusuk sebelum bersuami. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku harus pergi saat ini juga.

Kubuka ransel besarku, dan kumasukkan beberapa baju yang tidak memberatkan perjalanku malam ini. Masa bodoh dengan diposito yang sudah ludes. Yang penting aku tidak gila.

BRAK

BRAK

BRAK

Renji membenturkan tubuhnya ke lantai lalu ke langit-langit dengan cara yang mengerikan. Sehabis itu, dia tak pausnya membujukku. Sekarang malah berguling-guling seperti ulat bulu kepanasan.

"Jangan pergi, Yuki! Aku tidak mau dipenjara lagi!" Renji memelas minta belas kasihku.

"Tolong jangan ganggu aku! Jangan usik aku. Aku tidak mau tinggal di sini!"

Kali ini Renji menarik kepalanya hingga berpisah dari badan dan air matanya meluncur deras masuk ke mulutnya. Begitu terus secara berulang.

"AAAAAAA!!! MENYERAMKAN! JANGAN GANGGU AKU!"

Aku berteriak seraya memukul udara sembari menunduk.

"Tolong selamatkan aku! Aku tidak ingin di penjara lagi. Yuki!" Dia balas berteriak dengan mata merahnya yang mendelik.

Aku terperosot di lantai, melihat dia menyatukan kembali lehernya. Tangisku membesar dan aku merengek agar dia meninggalkan aku.

Tangisku tersedan-sedan. Jantungku menggila melihat aksinya yang di luar akal sehat.

Aku menyedot ingus agar tidak meleleh. Kemudian tanpa mengganti baju, aku menggendong ransel.

Begitu hendak menarik kenop, kakiku tertahan oleh dinginnya cengkraman.

Aku menoleh dengan gugup. Tangannya mencengkeram kakiku. Putus, penuh darah dan urat tangannya memanjang sementara tubuhnya tiarap cukup jauh.

Gigiku bergemeletuk, mengigil. Berdiri rasanya tak sanggup lagi.

"Tolong jangan pergi. Di luar berbahaya! Tubuhku akan dikoyak madam Ryio kalau kau pergi."

"Tidak! Tidak! Ini hanya halusinasi bodoh!" Aku bergumam sembari memukul telinga.

Aku keluar dari kamar dan kakiku membeku. Ini lebih buruk.

Sekarang aku tahu kenapa mereka menerapkan jam malam bagi kami. Karena malam hari adalah aktivitas makhluk-makhluk ini.

Di lobi utama lantai dua, terjadi pesta kecil-kecilan. Suara-suara cekikikan mengema di atasku. Beberapa anak kecil berlari-lari. Tubuh mereka transparan. Ada yang merangkak dari lorong gelap menuju lobi, ada yang menenteng kepala di tangan dan tubuhnya membusuk, ada pula wajahnya pucat dan mirip zombi. Yang paling ngeri dua mata besar merah melotot padaku.

"RAN YUKI!"

Aku menengadah, mendengar suara madam Ryio yang tak terlihat wujudnya.

Seluruh gerak terhenti sepenuhnya. Aku gemetaran.

"Yu-Yuki, kembali ke dalam!"

Aku menoleh pada Renji yang menciut di balik pintu kamar.

Aku menggeleng, ini jauh dari ekspektasiku. Jauh lebih mengerikan dari dugaanku.

Aku membekap mulut, menahan rasa takut yang berkecamuk dalam batinku.

Ini bukan tempat tinggal manusia!

[ Jaraknya hanya satu lantai, aku akan mencapai pintu keluar. ]

Aku berusaha menahan ketakutan ini. Mata kututup sejak, selagi mengatur napas. Begitu membuka mata, aku berlari.

Napasku tercekat begitu sesuatu mencengkeram kerah baju dari belakang. Kakiku tak lagi menginjak lantai. Tubuhku terbang dan masuk ke sebuah kamar.

Aku membungkuk, menyembunyikan wajahku dan menggosok-gosok tanganku.

"Biarkan aku pergi! Kumohon, jangan sakiti aku! Aku tidak ingin di sini. Lepaskan aku!"

Sepasang kaki terdengar mendekatiku, suara napasnya berat saat orang itu mendesah.

"Yuki, ini aku, Sakura!"

Aku melirik pada kakinya yang berada di lantai. Aku menangkap tangannya dan menangis di depannya.

"Sakura ... Aku tidak kuat berada di sini. Tolong keluarkan aku!" Aku merengek-rengek sambil menangis.

Sakura lagi-lagi membuang napas, dia membantuku berdiri dan kami sama-sama duduk di ranjangnya.

Sakura memelukku dan mengusap-usap punggungku. "Jadi ini alasan kau bolos tadi siang? Aku mengetahui bagaimana rasanya, Yuki. Kau bisa tenang berada di kamarku."

Elusan yang diberikannya membuat aku merasa terlindungi. Perlahan-lahan jantungku kembali stabil.

"YUKI!"

"AAAKKKKHHH!!" aku berteriak lantang, sehingga lepas pelukan Sakura.

Mata kupejamkan setelah dengar Renji memanggil. Bantal kupukul-pukulkan pada permukaan ranjang. Sudah tak peduli itu kamar siapa, karena ketakutan yang bersarang membuat aku panik sekali.

"Pergi dari hadapanku!!!" Aku berteriak lagi seraya menutup telinga dengan bantal.

"Jangan ganggu dia untuk sementara, Renji. Kembalilah ke kamarmu!" perintah Sakura terdengar samar.

"Sudah, sekarang Renji sudah tidak ada lagi. Aku tidak punya Nami. Di kamar ini tidak ada mereka, Yuki. Kau bisa menenangkan diri." Sakura berusaha membuat aku kembali pada diriku.

Aku sudah terlanjur merusak kamarnya, menghamburkan apa saja yang ada di kasur. Selimut kusut dan bantalnya berserakan di lantai.

Aku malu meski hanya sekadar bertatapan dengan Sakura.

"Aku mengerti perasaanmu. Aku mengalaminya juga. Sungguh berat untuk menyesuaikan mata ini dengan wajah-wajah seram mereka. Istirahatlah di sini sampai kau tenang."

Aku menangis sejadi-jadinya melihat Sakura memunguti bantal dan merapikan selimut lalu meletakkan tasku di dekat ranjang.

"Maafkan aku, Sakura. Aku tidak ingin di sini. Aku tak kuat. Semua ini tidak cocok denganku."

Sakura duduk di sisi ranjang dan membawaku untuk duduk dengan benar. Aku bersandar dengan kaki menjulur.

Dia membuka jasku dan meletakkannya di atas nakas, kakiku diselimuti. Kemudian Sakura berbaring di dekatku.

"Sekarang kau harus tenangkan dirimu. Lawan semua rasa takutmu dan buat dirimu sesantai mungkin. Aku sudah mengusir Renji, dia tak akan bisa kemari," celetuk Sakura. "Lupakan apa yang sudah kau lihat dan fokus saja untuk tidur."

Meski di kamar ini tak tampak satu pun makhluk melayang itu, otakku masih mengulang-ulang pemandangan aneh di lobi.

"Jantungku hampir copot, melihatmu hampir ke luar dari lantai dua," ungkap Sakura.

Aku terdiam memandang kosong pada tembok kamar. Sementara Sakura tak lagi bergerak, dia tertidur.

Mataku perih karena menangis terlalu lama, dan tak bisa menutup mata meski waktu berputar dan pagi pun datang.

Sakura terbangun mendengar cicitan burung gereja di dekat jendela. Dia menatapku sebentar. Tangannya menyentuh tubuhku dan menggoyang-goyangkan dengan pelan seperti membuat aku sadar. Tetapi rasanya aku berada di dalam kegelapan, dan pendengarankulah yang membuat aku tahu situasi sekitar.

"Yu-Yuki ... apa kau tidak tidur semalaman? Tubuhnya sepertinya demam. Kau seperti orang stres, Yuki. Matamu menghitam seluruhnya."

"Apa yang terjadi dengan Gadisku?" Renji datang mendekat.

"Renji! Jiwa Yuki sepertinya sedang tertidur. Matanya tak berkedip sama sekali. Bagaimana ini? Aku takut terjadi apa-apa dengannya. Carilah solusinya, jangan diam saja!"

Renji mendesah. Lalu katanya, "Madam Ryio tidak ingin ikut campur dalam masalah ini. Dia sendiri terkejut gara-gara tadi malam. Aku tak bisa membopongnya karena dia dalam kondisi tak sadar. Aku bahkan tidak bisa menyentuhnya."

"Aku pernah dengar situasi ini dari ibuku. Mata Indigonya menidurkannya. Kalau tidak dibangunkan dia bisa mati!"Sakura menjambak rambutnya, khawatir.

"Kau ... masuklah dalam tubuhnya. Bawa dia pada Suno. Ouh tidak! Divisi psikologi pasti sudah bergerak menjalankan misi. Sekarang hanya kau yang dapat membangunkan Yuki. Jika Seperti ini terus, dia akan gila. Ajak dia bicara dalam dirinya!"