Chereads / White Love In The Dark Sky / Chapter 45 - Pertemuan Singkat Yang Menenangkan

Chapter 45 - Pertemuan Singkat Yang Menenangkan

Hantu-hantu itu berdesakan, bertumpang tindih menyebabkan udara terasa berat saat Yuki menarik napas.

Tubuh Yuki merosot di lantai. Wajahnya masam dan enggan menoleh ke sekitar. Bagaimana hantu-hantu berdesakan, dia tidak mau tahu.

Saking sesaknya ruang lift itu, salah satu bola mata sesosok nenek yang tergencet, meloncat keluar dari lubangnya. Membentur dinding lift kemudian jatuh ke bawang dan terguling.

"Arhhh ... Dasar anak muda! Sungguh tak menghargai penumpang yang lebih tua," keluh nenek itu yang berusaha bertahan, tangannya mendorong tubuh hantu lainnya agar wajahnya tidak gepeng.

"Mataku-mataku ... di mana mataku? Ada yang lihat?"tanya nenek itu.

Saat itu, bola mata menggelinding jatuh tepat di depan kaki Yuki.

Mata Yuki membesar, teriakannya lolos dari mulut yang dibekapnya. Namun, suara itu kalah nyaring dari pembicaraan para hantu.

Bola mata itu melihatnya intens.

"Oh, itu dia bola mataku."Si nenek melihat wajah Yuki dari bola mata yang jatuh itu.

"Hai, gadis manis. Ya, kau sedang melihatku. Ambilkan mata itu, berikan ke tanganku!" Nenek itu menjulurkan tangannya pada Yuki.

Mendengar suara itu, Yuki melirik dengan perasaan takut, pada sekitarnya.

"Bagaimana ini, aku tidak sanggup memegangnya, menjijikkan sekali!"kata Yuki dalam hati.

"Kenapa lift ini lambat sekali baru berhenti. Gadis manis, ya kau! Berikan bola mataku!"pinta nenek itu lagi seraya menggerakkan tangannya yang menjulur.

Mau tidak mau, Yuki terpaksa melakukannya.

Begitu jarinya mengangkat bola mata itu, lendir melekat di dasar lantai.

Perutnya yang lapar terasa diaduk-aduk dari dalam, dia hendak muntah. Namun, tangan satunya menahan agar hal itu tidak terjadi.

"Ah, baguslah aku bertemu dengan gadis baik sepertimu, Sayangku. Ouh, kau pernah bersama dengan Hiro! Aku melihatnya dari mataku."

Maksud nenek itu, bahwa dia dapat melihat kejadian masa lampau yang sangat membekas di hati Yuki.

Dalam pembicaraan beberapa hantu yang terjalin, nenek itu kembali berbicara, meski suara seraknya menjadi bercampur dengan hantu-hantu lainnya.

"Aku dulunya seorang peramal, Sayang. Dan sepertinya kau tak begitu suka berada di sini. Ouh, astaga! Aku melihat hal besar di belakangmu. Hati-hatilah! Beruntung, kau sudah masuk ke tempat paling aman di bumi ini."

Yuki gemetaran menjulurkan tangannya, diletakkannya bola mata itu tepat di telapak tangan sang nenek. Dia menutup matanya karena tak sanggup melihat banyak hantu yang berada di sekitarnya.

Layar indikator terus naik, setelah mencapai lantai empat, lift itu berhenti dan terbuka. Hawa dingin mulai berkurang saat hantu-hantu itu meninggalkan lift.

Sebelum ada yang datang lagi, Yuki menekan tombol lift.

Ruang lift yang cukup besar itu, sekarang hanya diisi oleh Yuki sendirian. Dia bersandar, menarik napas dan mengembuskannya berulang-ulang. Keningnya masih basah oleh keringat. Debar jantungnya perlahan normal kembali. Namun, perasaan tak nyaman masih mengekang lingkungan sekitarnya.

Yuki takut dan was-was, pikirnya setelah ini apa lagi yang akan dia temui.

"Aku ingin keluar dari sini. Sakura!" Yuki merengek.

Sesekali muncul bayangan-bayangan hantu di benaknya, menambah rasa takutnya.

"Tolong pergi dari pikiranku! Jangan ganggu aku!"Yuki bergumam, geram.

[ Aku harus keluar dari sini, malam ini! Tapi aku harus kemana? Uang diposito sudah kugunakan untuk membayar biaya kuliah untuk setahun. Apa aku menyusup saja ke apartemen lama? Bahkan satu malam pun aku tak akan bertahan di sini. Belum lagi, hantu pelayan di kamarku. Aku akan gila kalau begini terus. ]

[ Tidak ada pilihan selain keluar dari sini. Aku akan pikirkan bagaimana memulai dari awal lagi. ]

"Kendalikan dirimu, Yuki," Yuki berucap pada diri sendiri saat tubuhnya gemetaran.

Yuki berdiri, menghadap denah gedung kampus yang ditempel di dinding lift. Telunjuknya menyusuri peta dan menujuk pada salah satu divisi.

"Tidak bisa pergi begitu saja. Aku harus urus ini dahulu."

Setelah mencapai lantai 10, lift terbuka. Yuki bersembunyi di sudut lift sambil memperhatikan area luas tempat penyimpanan berkas.

Yuki berjalan pelan-pelan dan mengintip pada lorong bercahaya terang. Di sana, beberapa orang sedang berlalu lalang mengumpulkan banyak hal dalam keranjang troli besar. Anehnya, tidak ditemukannya hantu-hantu yang beterbangan.

Saat keranjang troli yang penuh berkas-berkas itu lewat, Yuki berjongkok sambil mengikuti salah seorang yang memasuki ruang berkas. Ruang itu dibangun tidak memiliki jendela. Namun AC membuat udara jadi sejuk. Di dalamnya terdiri dari banyak sekali lemari berlaci.

Yuki bersembunyi dekat lemari. Setelah pegawai tadi keluar, Yuki melancarkan aksinya.

Selama satu jam dia mencari berkas-berkas pendaftarannya di berbagai laci, lemari bahkan rak-rak berkas. Berkas itu ditemukannya setelah menaiki rak teratas.

Berkas itu dilipat kecil-kecil dan dimasukkannya ke dalam kantong jas.

Ada rasa senang setelah berhasil mengantongi kertas miliknya. Yuki pergi setelah merasa lingkungan luar cukup aman. Dengan mengendap-endap dia pergi ke lift.

Senyumnya mengembang sempurna ketika tangannya menyentuh lipatan kertas yang sudah diamankan di saku jas.

Yuki menyeka keringat yang mengucur di pelipis. Tak sampai beberapa menit, lift berhenti di lantai terakhir. Di sana tidak ada apa-apa, hanya lantai kosong tak terpakai. Yuki menaiki tangga dan membuka pintu ke rooptop.

Dua langkah memasuki rooptop, angin berhembus kuat sekali. Ke arah mana pun mata bergerak, tak ada satu pun hantu. Angin membuat tubuhnya sejuk, peluhnya menjadi kering dan senyum besarnya semakin kokoh.

"Ini tempat paling aman. Kudengar hantu-hantu tak dapat mempertahankan diri dari cahaya matahari. Aku harus tetap berada di bawah matahari," Yuki bergumam.

Di rooptop itu terdapat taman kecil, dipenuhi tumbuhan bunga higanbana yang bergoyang tersapu angin. Tak jauh dari taman itu ada tempat duduk dengan payung besar.

Kaki yang sudah penat melarikan diri, beranjak mendekati pembatas rooptop. Yuki sangat menikmati angin bebas itu, sampai-sampai matanya terpejam.

"Aku tak akan berada di sini! Aku akan memulai semuanya dari awal. Meski sangat melelahkan."

"YUKI BODOH! KENAPA KAU TERJEBAK DI SINI DAN MENYIA-NYIAKAN USAHAMU? AAAAARHHH!!!"

Teriakan itu melegakan perasaan takutnya. Bahunya turun naik begitu udara masuk dari mulutnya.

"Berisik sekali!"

Suara pria dari arah kanan membuat Yuki terlonjak. Tangannya terkepal di dada dan dia menoleh pada bangku panjang di bawah payung besar.

Yuki memberanikan diri menengok.

Seorang pria berbaring di bangku itu, wajahnya tertutup buku. Rambut putih, dan aroma bunga dari tubuh pria itu langsung dikenali Yuki.

"Dia ... Hiro!"Yuki lekas mundur. Kedua tangannya terkepal kuat dan diacungkan ke depan layaknya seorang yang siap bertarung.

Yuki sedang waspada, jika sewaktu-waktu pria berambut putih itu menyerangnya lagi. Baginya, Hiro tak begitu berbeda dengan hantu.

"Kenapa kau di sini?" Yuki spontan melancarkan pertanyaan.

Hiro mendengus. "Seharusnya aku yang bilang begitu."Nada bicaranya lemah. Buku diangkatnya dari wajah.

Mata biru itu menatap Yuki sejenak. Hiro membenamkan lengannya sebagai bantalan kepala.

Matanya memandang bebas pada awan-awan yang bergerak oleh angin besar di ketinggian. Poninya bergoyang-goyang bersama kerah kemeja putihnya.

"Sejak kapan kau di sini?" tanya Yuki tegas. Bola matanya bergerak ke sekitar, kalau-kalau ada orang lain di tempat itu.

"Kenapa aku harus menjawab pertanyaan itu?" Hiro membalas dengan pertanyaan. Sikapnya dingin seperti biasa.

"Diganggu saat tidur adalah hal yang paling tidak kusukai."

"Heh! Nikmatilah waktu berjemurmu!"Yuki berbalik hendak turun kembali, tetapi Hiro mencegatnya.

Kata pria itu,"Aku bukan orang egois yang mementingkan kenyamananku. Kau tak perlu pergi. Hantu jenis apa pun tak akan mampu datang kemari. Tetaplah di sini, matamu sudah cukup rusak karena menyerap semua eksistensi para hantu."

Yuki tertegun melihat Hiro beranjak dari kursi.

Bukan lagi ribuan rasa takut yang bersarang di tubuhnya, melainkan rasa tenang setelah mendengar ucapan pria itu. Seolah ada angin sejuk yang berembus kencang menerbangkan semua keresahannya.

Mata Yuki masih mengamati sikap Hiro mempertanyakan berbagai hal yang selama ini didengarnya bahwa Hiro adalah orang yang berbahaya.