Perkuliahan berakhir pada pukul tiga siang. Ran Yuki dan Sakura kini telah berada di asrama, tepatnya di kamar Yuki. Karena tak tahan menahan gejolak emosi akibat pertanyaan yang bertubi di kelas, Yuki bercerita panjang lebar kepada Sakura.
"Jadi ... yang terjadi hari ini," Sakura tampak kaku untuk melanjutkan ucapannya. Jari-jarinya bergerak-gerak. "Dia menciu ... dia m-melakukannya dua kali! Bagaimana rasanya? Ah maafkan aku."
"Ternyata yang diceritakan ibuku benar. Biar kulihat bibirmu, apa ini akan membusuh?"
Sakura menyentuh dagu Yuki dan mengamati luka di bibir gadis berambut keriting itu."Wah, lukanya cukup besar dan membengkak. Kau terlihat seperti habis berkelahi. Jangan lupa diobati dengan rutin."
Mendengar ucapakan Sakura, Yuki semakin sedih. Gadis berambut keriting itu menahan tangis dengan gigi menyatu.
Kebetulan saat itu, Niel membawa kentung obat dari departemen psikologi dan kesehatan. Pria tinggi itu berdiri di depan kamar Yuki. Tangannya hendak mengetuk pintu, mendadak terhenti saat mendengar suara Yuki yang menahan tangis mirip seperti balon kempes. Tertarik, Niel menyimak pembicaraan antara Sakura dan Yuki. Sesekali dia hendak tertawa, tergelitik karena suara tangis yang tertahan itu terdengar lucu baginya.
Tak ingin mengganggu pembicaraan dua gadis itu, kantong plastik obat digantungnya di kenop pintu. Niel pergi meninggalkan kamar itu menuju asrama pria.
"Dia mengigit bibirmu dengan sangat kuat. Aku melihatnya dari video rekaman—"
Wajah Yuki semakin masam, matanya berkaca-kaca mendengar komentar Sakura. Tangis yang ditahan kuat sekali, akhirnya meledak.
"Aku akan tanyakan pada ibuku untuk mencegah luka ini membusuk. Jangan menangis terus, kau sudi membuang air mata untuk Hirotada?"
Yuki memukul pergelangan tangan Sakura. "Berhenti berkomentar! Aku tidak menangisi Pria Brengsek itu. Aku menangisi ciuman pertamaku! hiks!!!"
"Dia memang tega sekali. Bahkan melakukannya di depan kelas yang sedang berlangsung. Beruntung kelas Kak Niel saat itu sedang tidak ada dosen. Pantas saja ada beberapa mentor yang tidak menyukai Hirotada. Pria berambut putih itu tidak bertanggung jawab sama sekali. Bahkan dia tidak menjengukmu."
Perkataan Sakura membuat Yuki berhenti menangis. Segelintir memori muncul di kepala Yuki. Dia terikat perkataan Hiro, 'yang mereka ceritakan tentangku terlalu berlebihan. Aku tidak bermaksud apa pun, hanya ingin mengembalikan bibirmu seperti semula.'"
"Dia bilang waktu itu 'mengembalikan bibir'. Orang-orang seperti tidak menyukainya," pikir Yuki.
"Apakah aku terlalu gegabah mendorong diriku untuk membencinya? Seperti Hobi katakan, aku harus memberikan sedikit waktu untuk dia menjelaskan perbuatannya. Lagi pula waktu itu memang karena aku menyekapnya di lemari sampai Hiro pingsan, merebut payung merahnya. Aku pula memukul kepalanya. Semuanya tak akan terjadi, kalau aku tak melakukan itu pada Hiro." Hatinya yang sempat sakit tak terima oleh perbuatan Hiro, kini bagai es beku yang mencair.
Yuki menyentuh bibirnya. "Kenapa harus bibir. Dia sudah berbuat lancang padaku. Apakah perbuatanku yang memukul dan membuatnya pingsan waktu itu, sudah setimpal dengan ciuman?"Yuki membatin.
<>
Sakura pergi dari kamar Yuki setelah dua puluh menit berlalu. Sore itu, Yuki pergi bekerja seperti biasa. Dia mengenakan celana jins longgar dan jaket kuning berlogo bendera Jepang. Tas kecil diselempangkan di salah satu bahunya. Penampilannya begitu kontras namun masih menimbulkan manis untuk gadis seumurannya.
Meski masih pukul empar sore, lantai satu tetap gelap. Hal itu karena Madam Ryi, yang mengurus asrama tersebut, tidak senang terhadap sinar matahari. Sehingga gorden beledru yang tergantung di tiap jendela tidak pernah dibuka. Tak heran kalau semua gorden di lantai dua berwarna agak gelap.
Tetapi Yuki tak begitu risih, ini layaknya ruang kamarnya di flat-nya dahulu. Karena dia senang berhemat sehingga terbiasa menikmati kesuraman. Sepatunya berderap di lantai. Suasananya begitu sunyi, seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di lantai satu.
"Masih pukul 4.00 sore, apakah semua mahasiswa mengurung diri di kamar?" Yuki bergumam. Pada persimpangan ruang ditemukanlah Madam penjaga asrama ini.
Di ujung ruang, dekat pintu masuk ada meja seperti meja penerima tamu. Madam yang tubuhnya gembul itu sedang membaca koran. Ketika membaca wajahnya tak bergerak. Benar-benar seperti patung. Sinar putih dari komputer menyinari dagu bulat itu menambah aura seram.
"Ah, serius ..." Yuki mendesah sambil memegang tali tasnya. "Ini tak lebih baik dari suasana di flatku. Penjaganya memiliki kemiripan."
Yuki mendekat kemudian menyodorkan kunci kamarnya. "Selamat sore, Madam Ryio. Aku ingin pergi bekerja."
Mata si Madam sekilas melirik pada Yuki. "Berapa lama? Jauh atau dekat?"
"Sampai pukul 8.00 malam, Madam. Di distrik 14," jawab Yuki.
Madam Ryio mengambil kunci itu dan menyimpannya dalam laci. "Kalau terlambat, kau akan menginap di asrama hitam!"
"Uh, seperti apa asrama hitam itu?" Spontan pertanyaan tercipta dalam pikiran Yuki.
"Seperti kuburan!"
Yuki kaget. Meski tak tampak kagetnya, tetapi jantungnya tersentak cukup hebat hingga membuat seluruh tubuhnya merinding.
Selama kuliah berakhir, gerbang depan tak akan dibuka kecuali pagi hari. Mahasiswa yang keluar masuk akan menggunakan pintu gerbang bagian belakang atau bagian samping. Yuki keluar dari pintu belakang gerbang, menuruni tangga dan menelusuti gang kecil. Dia harus berjalan di sepanjang gang itu untuk menuju jalan utama.
Sepasang mata tajam memperhatikannya dari atas tembok gerbang yang menjulang delapan meter. Orang itu Hiro yang duduk santai sambil menjuntaikan kaki dan mengemut permen.
"Pakai pakaian kuning lagi. Terlalu mencolok, jadi kuning adalah kesukaannya, ya?" Hiro bergumam, matanya masih memperhatikan Yuki dari jauh. Setelah Yuki lenyap dari pandangannya, Hiro turun dari atas pagar dan masuk ke departemen Intelijen.
Karena kekuatannya yang belum pulih, Hiro absen dari misi perburuan hantu. Langkahnya santai menepak porselin lorong di lobi. Sorot matanya tertuju hampa pada porselin. Indra pendengarannya menangkap berbagai hal yang dibicarakan orang tentang dirinya. Di persimpangan menuju ruang istirahat, aura kebencian merayap di sekitarnya. Kakinya berhenti begitu pula sepasang kaki dua meter di depannya.
Hiro menatap lurus enggan bersua dengan Niel yang memandangnya hina.
Niel memasukkan tangan di saku celana. Pria itu berujar sinis, "Bukankah keterlaluan menargetkan mahasiswa baru sebagai korbanmu. Hanya dengan merasakan auranya, kau sendiri pasti tahu Ran Yuki memiliki jumlah kekuatan spiritual yang lebih kecil dari mahasiswa lain. Gadis itu trauma atas perbuatanmu. Mulai sekarang, dia menjadi tanggung jawabku."
Hiro menatap datar pada ujung lorong. Dia tak menanggapi ucapan sinis Niel. Hanya mendengus dan memindahkan bola lolipop yang diemutnya ke sebelah kiri mulut lalu berjalan seperti orang bisu dan tuli.
"Siapa yang menduga kalau gadis keriting itu menjadi salah satu mahasiswa baru. Dia bahkan tidak bisa melihat hantu penunggu flat-nya. Aku harus minta pendapat Hobito tentang 'trauma'."