Nuansa lorong telah berubah. Dinding, lantai dan langit-langit tidak lagi berupa tanah lembab, semuanya berlapis porselen putih. Para hantu dari divisi prajurit maupun pelayan berbaris menanjak memasuki area 1 klinik kesehatan Divisi Psikologi.
Setelah mengantri selama 2 jam, antrian hanya tersisa dua orang di depan Renji. Tak lama kemudian, saat gilirannya, Renji mendorong pintu ruang pemeriksaan. Karena ruangan itu dibuat khusus anti tembus sehingga para hantu harus mendorong pintu dengan tenaga mereka. Hal ini juga agar menghindari terjadinya penyerangan terhadap petugas di klinik kesehatan.
Area klinik Kesehatan Hantu berada di basmen Departemen Psikologi. Dibangun agar terlindung dari cahaya matahari dan dikhususkan untuk para hantu. Setiap konsultasi dan pemeriksaan, para hantu itu harus membayar sekeping koin 50 Yen.
Aroma lavender mulai tercium saat dia masuk selangkah. Seorang dokter berwajah tirus dan rambutnya belah tengah, duduk dengan tenang di samping brankar. Pria berjubah putih itu adalah Watanabe Sunosuke dan biasa dipanggil Suno.
Suno adalah pemimpin mahasiswa dan berumur 29 tahun. Kalau lagi masa orientasi mahasiswa baru, Suno yang paling kerepotan karena menarik manusia dari perut hantu itu susahnya setengah mati. Seperti melakukan persalinan, kalau terlambat sedikit, bisa berbahaya.
"Kau sedang mencari siapa? Tak ada orang lain selain aku di ruangan ini," kata Suno yang sejak tadi memperhatikan Renji menoleh sana sini.
"Kurasa tadi ada Tuan Niel. Apa dia tidak bertugas hari ini?"
Suara napas berat Suno menarik Renji mendekat.
"Ah, Neil lagi Neil lagi. Aku tak ada bedanya dengan bocah itu! Pelayanan kami sama. Kau membuat hatiku sakit, Renji."
"Sensitif sekali! Seperti wanita sedang menstruasi saja. Maksudku mencari Tuan Niel hanya ingin membicarakan Yuki. Tuan Niel sibuk sekali, yah? Jadwalnya jaga di klinik ini pun terasa jarang sekali. Padahal keberadaannya menjadi daya tarik para hantu."
"Sama saja kau sedang bilang, Pelayananku kurang memuaskan para hantu. Baiklah, semua pendapat itu diterima ... beritahu aku apa kekuranganku?" Suno berhenti menulis dan fokus memandangi Renji.
"Gawat! Aku tak sengaja membuatnya cemburu," batin Renji.
"Tidak semuanya menganggap Niel memuaskan, dibanding dengan hantu para wanita, kami para lelaki lebih banyak memilihmu. Kau selalu bersikap sopan dan cerita. Jangan samakan pandangan para lelaki dan para wanita. Mereka, wanita lebih terkesima pada pria dingin dan jarang bicara seperti Niel," celetuk Renji. Setengah kalimatnya sengaja dilebih-lebihkan. Dia takut Suno tak memberinya donor energi.
"Benarkah? Senang mendengarnya. Hari ini Niel hanya bertugas satu jam, dia sedang menjalankan tugas lain. Kemarilah, bicarakan masalahmu denganku!" Suno menutup beberapa dokumen dan membersihkan mejanya kemudian menginterupsi Renji dengan gerakan matanya.
Renji duduk di kursi dan menceritakan sedikit masalahnya. "Jadi begini, aku sudah tiga hari ditugaskan menjadi pelayan salah satu mahasiswa baru. Sampai sekarang hubungan kami tidak ada kemajuan. Wah, aku gemas sekali dengannya."
"Bisa sebutkan namanya?" tanya Suno, jarinya memegang polpen dan kertas.
"Dia, Ran Yuki ..."
"Ouh, gadis itu! Menanganinya memang agak berat. Namun, tidak perlu pendekatan khusus,"Suno menyela. Dia bersemangat mendengar nama gadis itu.
"Benarkan? jadi, Yuki ... Dia gadis seperti apa?" Renji bertanya lagi, wajahnya membesar oleh senyum yang lebar.
"Mata Yuki seperti punya penghalang sangat kuat. Aku pernah menemui kasus yang sama, manusia biasa yang mengikuti ujian orientasi di hutan hitam, indra keenamnya akan terbuka. Untuk Yuki, 50% penghalang diperkuat otaknya. Walau sekeras apapun kau berusaha, kalau dia kuat mengatakan 'ini tidak nyata' sampai kapan pun dia tak akan dapat melihat para hantu," jelas Suno. "Dia gadis yang unit, bahkan hantu jahil yang membangun gubuk di hutan hitam, tak dapat berbuat banyak karena tingkah polos Yuki. Kehadirannya menyebarkan kebahagiaan bagi semua orang."
"Sejauh ini aku sudah menunjukkan tanda-tanda keberadaanku. Seperti menjatuhkan barang, menyentuh benda-benda, bahkan aku pernah menepuk punggungnya, Setiap kali aku mengajaknya berbicara, dia tak merespon. Aku harus bagaimana, sebentar lagi ada laporan yang harus kuserahkan pada ketua."
Suno tertawa. "Kalau hanya begitu tak akan mempan. Ganggulah dia dalam pikirannya. Ran Yuki itu orangnya lebih terikat dengan otak, dia orang yang dominan realistis. Kau harus melakukan pendekatan yang tidak hanya sekadar sentuhan."
Suno bersandar sambil mengelus-elus dagunya. Sebentar kemudian, dia bangkit lalu menumpu siku di meja. "Mendekatlah, kurasa beginilah caranya."
Renji mendekat sesuai permintaan Suno. "Kau harus mencobanya ketika dia telah tertidur lelap."
Malam yang ditunggu-tunggu tinggal 20 menit lagi. Senja masih memancar, menciptakan warna oranye pada serbuk-serbuk putih di langit. Sebagian sinar matahari telah meninggalkan kawasan gedung sekolah. Para hantu mulai keluar menembus langit-langit lorong dan berjalan di halaman depan gedung sekolah. Mereka Ada yang menjemput tuannya yang baru datang dari tugas, ada yang pergi ke kantin kampus sekadar mencari sisa makanan di kulkas, di baki, di panci, wajan dan tempat strategis lainnya yang sengaja di sisakan untuk para hantu.
Sinar terakhir matahari lenyap, sisanya menggambarkan panorama indah dicakrawala, berbalut kesemuan yang sebentar lagi akan menjadi kegelapan.
Karena saking gembiranya telah menemukan cara membuka mata batin Yuki, Renji bergegas pergi menuju tempat kerja Yuki. Dia ingin melihat sikap tuannya di tempat kerja.
Sambil mengemil kripik kentang rasa rumput laut, Renji terbang menuju gedung utama. Diperjalanan dia melihat punggung seorang gadis yang tak asing.
"Hai! Nami, kau mau ke luar gedung?"
Nami tak menggubris, dia sibuk merapikan rambut panjang yang berantakan. Digulungnya lalu diikatnya, agar tidak mirip Sadako atau sundol.
"Eh, kau masih marah soal tadi, hah? Maafkan aku soal bau mulut itu. Aku hanya bercanda. Sebagai permintaan maaf aku akan berikan pasta gigi mahalku nanti malam!"
Nami menoleh, mencari kebenaran pada mimik Renji. "Apa pasta gigi itu bisa menghilangkan bau mulutku? Tuanku tak ingin bicara, dia mengatakan begitu padaku hari ini, Renji." Nami merengek hendak menangis.
Saat jadi manusia, Renji hidup serba berkecukupan. Sehingga banyak yang dia ambil dari kamarnya sendiri untuk dibawa ke kampus. Sedangkan Nami, adalah gadis dari keluarga tak mampu. Tekanan keluarga dan ekonomi memaksanya bunuh diri. Setelah dia bunuh diri pun tak ada harta yang tertinggal di kamarnya. Meskipun ada, tentu sudah diambil habis oleh keluarganya.
...
Perbincangan yang berlangsung selama perjalanan harus berakhir ketika mereka menemukan dua jalan terpisah.
"Kabari aku jika rencanamu mengacau tuamumu malam ini berhasil, ya? Aku akan datang melihat tuanmu yang bernama Ran Yuki itu." Nami melambaikan tangan kepada Renji.
Renji menggubris dengan mengangkat tangannya. "Akan kusampaikan kepada tuanmu, kalau kau izin mengambil uang ke rumahmu. Jangan terlalu lama, kau bisa-bisa dihukum olehnya."
Dari kejauhan Nami tersenyum lebar dan menanggapi perkataan Renji. Katanya, "Sakura bukan majikan yang seperti itu!"
Renji berbalik, kemudian terbang dengan sangat cepat karena distrik yang dia tuju berada cukup jauh dari universitas. Dia harus melalui 5 distrik untuk bisa mencapai tempat kerja Yuki.
Langit penuh bintang, tapi dataran bumi juga tak kalah terang dari bintang di langit. Seluas pandangan matanya, hamparan kota itu begitu terang benderang oleh lampu putih dan kuning, ramai di satu sisi orang-orang beraktivitas, ada suara mobil, orang bertengkar, pencopetan, suara rel kereta yang berisik, anak-anak remaja di taman bermain sebuah mall besar, dan pidato kampanye ketua pemimpin distrik. Hiruk pikuk aktivitas manusia tak sebanding dengan aktivitas para hantu.
Dari atas di lihatnya diantara keramaian manusia, hantu-hantu sedang menggelar pesta di wilayah proyek bangunan. Tempat itu sepi dan suram kalau hanya sekilas, tetapi di mata Renji, di sanalah tempat paling meriah. Berbagai jenis hantu berdatangan. Bahkan ada yang melambai-lambai padanya mengundang untuk turun. Namun, bukan itu yang ingin dilakukan Renji. Dia masih ingat tujuan utamanya.
Setelah menolak ajakan beberapa hantu di daerah itu, Renji beralih ke atas kota yang lain sambil mendeteksi aura tuannya.
Suatu ketika, tertangkaplah aura kecil yang tak asing. Gadis itu, sang tuan yang disebut olehnya sebagai gadisnya berada di samping mobil Pick Up tengah tertawa riang, bercanda dengan seorang pria dewasa. Hanya dengan mendengar suara saja, Renji dapat menebak orang itu muda, remaja, atau dewasa.
Renji turun agak rendah. Di atas pohon, Renji memperhatikan mereka. Ada pembicaraan singkat selagi Yuki melepas jas hujan kuning, lalu pergi ke dalam toko. Renji bergegass terbang mengikutinya dan berhenti di dekat kamar ganti.
"Sambil menunggu Yuki, alangkah baiknya aku mencari makan ke dapur mereka."
Tubuhnya berbalik dan tiba-tiba Yushimaru berjalan ke arahnya dan melewatinya.
Renji terkejut. Dia melirik Yushimaru, menatap punggung lelaki itu dengan kening berkerut. "Dia sempat berbelok menghindariku? Bukan menembusku?"
"Ah, aku mungkin salah lihat. Dia tak memiliki aura spiritual yang tinggi seperti para indigo, mana mungkin dapat melihatku."