Keberadaan pria berambut putih itu memicu detak jantungku lebih cepat, refleks aku bangkit dari posisi berbaring. Mundur ke belakang dan tersentak saat keseimbangan goyah. Berujung aku jatuh dari ranjang.
Aku menjerit sambil memegangi pantat yang ngilu. Kuintip dia di sisir ranjang. Dia menguap.
Hirotada bangkit dan meluruskan lengan yang kurasa sudah cukup lama berada di sisi ranjangku. Kelopak matanya mulai terbuka tipis, menampilkan netra biru jernih dan pupil hitam yang berubah ukuran saat berkedip.
Tubuhnya bersandari di kursi dan matanya berkedip-kedip menatapku. "Apa yang kau lakukan di sana?"
Lengannya menjulur hendak meraih tanganku. Hirotada menarik tangannya saat hendak kugigit.
Hiro duduk di kursi beroda tiga sambil bersila. Kursi itu meluncur, membawanya ke dekat lemari dan kembali dengan sebotol air minum.
Tatapannya datar ke arahku. "Kau pasti mendengar cerita tentang aku. Sehingga kau bersikap seperti itu. Seolah-olah aku akan mencelakaimu. Apa pun yang kau dengar semuanya hanya opini yang dibesar-besarkan. Ketahuilah, aku tidak menciummu. Tadi itu aku hanya mengambil apa yang tertinggal di bibirmu. Jangan khawatir rasa gatal itu tak akan muncul lagi."
Aku mengigit bibir dan menyembunyikannya. [Kau sebut tadi itu tidak mencium? Hah! Semua orang juga tahu itu ciuman yang bernafsu. Aku bahkan dapat merasakan kau me-melumat bibirku dengan ... sangat kuat]
"Aku mempunyai suatu penyakit aneh ...,"
Aku tercengang.
"Yang mengharuskan aku menarik energi manusia. Ini konsekuensi karena terlalu lama hidup di alam lain. Energiku terkuras. Ah sudahlah, kapasitas otakmu terlalu kecil untuk membayangkannya."
[Brengsek! Dia menghinaku] Aku meremas matras ranjang
"Tunggulah di sini! Aku akan membeli sesuatu untukmu."
Aku tak menggubris, hanya memperhatikan Hiro keluar dari ruang istirahat.
Pelan-pelan aku berdiri karena kakiku keram sekali. "Omong kosong apa yang kudengar ini. Bukannya minta maaf dan menyesali perbuatannya, dia dengan congkaknya menyebut itu ... Memalukan! Aku tidak bisa terus di sini. Sebelum dia kembali, sebaiknya aku pergi."
Aku mengambil jas hitamku kemudian berlari keluar.
"Hai, Yuki!"
Seseorang memanggil namaku dari belakang. Begitu aku menoleh—wajah tampan, tubuh atletis, kaki yang panjang—kehadiran Niel membuat jantungku terpukul. Dari ujung-ujung jari jemariku, gugup menjalar menjalar hingga ke dada.
[Apa yang akan dipikirkannya soal kejadian itu? Dia pasti menganggapku gadis murahan. Bagaimana aku menghadapinya?]
Dia berhenti di depanku.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Niel, matanya berpindah pada bibirku.
Aku membungkam bibirku dengan melipatnya ke dalam.
"Ayo ke dalam!" Dia mengajakku kembali ke ruangan istirahat.
"Tidak! Aku tidak mau ke sana!"
Terlihat bingung ekpresinya saat mata kami bersua. Kemudian Niel membawaku ke taman belakang. Kami duduk di dekat kolam, di sekitar kami hanya segelintir mahasiswa yang sedang berbincang.
Kulihat, dia melepas penutup obat luka dan duduk mendekat. Matanya menatap bibirku lagi. "Kalau tidak diobati, nanti infeksi malah memperburuk kondisimu." Dia mengobati luka kecil di ujung bibirku. Menekan luka dengan kapas yang sudah diberi obat anti infeksi.
Perih, aku mengerutkan bibir sambil meremas jari-jari. Mungkin dia melihat aku sedang menahan sakit, sehingga kurasakan tekanan kapas basah itu lebih pelan. Aku membeku tak berani bergerak selama dia mengobati luka itu.
Mataku beralih menatap sekitar.
"Ukhuk! Ukhuk!"
"Ada apa? Maaf aku tidak sengaja."
"Ah, aku tidak apa-apa." Mataku menangkap kehadiran Hiro di jendela lantai dua sedang menatap kami dengan ekspresi dingin. Di tangannya ada plester luka dan susu kotak.
[Kenapa dia melancarkan tatapan seperti itu? Membuat aku takut saja.]
Aku berpaling menghadap Niel sambil menunduk. Niel berbalik, tangannya terdiam tidak menempelkan kapas basah itu lagi pada bibirku. Kulihat dua orang ini bagaikan sedang perang batin. Mereka menatap satu sama lain dengan tajamnya. Dapat kurasakan ketegangan antara mereka.
Tidak tahan melihat keduanya, aku tersenyum meski bibir terasa sakit. Kapas yang basah kurampas dari tangan Niel. Dia terkejut dan menatapku sesaat.
"Sepertinya luka ini sudah mengering. Tidak perlu diobati lagi. Sakura mungkin sedang mencariku. Kak Niel, aku pergi dulu," ucapku lalu berdiri.
"Tunggu, Yuki!"
[Dia memanggilku ... Yuki. Bukan Ran Yuki] Aku tersenyum diam-diam. Sesaat kemudian menepis pikiranku saat teringat Mas Yushimaru. [Aku tidak boleh menjadi wanita hidung belang! Ah, Yuki, tahan perasaanmu. Yukiteru Niel hanya seorang mentor!]
Niel ikut berdiri, kedua bahunya jatuh saat mengembuskan napas panjang. Aku dan Niel bersama-sama memasuki gedung.
Hari ini aku telah melewatkan mata kuliah siang karena pingsan dan harus dirawat di ruang kesehatan. Hanya tersisa satu mata kuliah lagi sebelum malam hari.
Di lorong besar menuju kelas, aku dan Niel berjalan bersama. Beberapa mahasiswa baru memandangi kami, mereka berbisik yang kuduga mungkin membicarakan tentang aku.
"Jangan dipikirkan apa yang dibicarakan orang-orang. Fokuslah pada kegiatanmu!" Niel menasihati.
Aku tak banyak bicara, hanya membungkuk setelah diantara ke kelas. Begitu aku masuk, mata seluruh penghuni kelas mengekor kepergian Niel. Barulah ketika itu, Sakura menarik tanganku dan mereka duduk merapat mengelilingiku.
[Ada apa ini, aku seperti mau di demo saja.]
Kupikir akan mendapatkan tudingan dan pembulian, seisi kelas malah ramai bertanya tentang hubunganku dengan dua pria tampan itu.
[Kalau begini kondisi kelasku, lantas bagaimana orang-orang di luar kelas?]
"Apa yang terjadi sebenarnya, Yuki? Kami benar-benar penasaran. Anak-anak kelas lain heboh dan mengatakan banyak hal kepada kami," kata Sakura yang berbicara sambil menjejali mulut dengan cemilan.
"Kupikir berita itu bohong, tetapi beberapa foto sudah tersebar di website kampus—"
"Eh, we-website? Foto apa?" Aku kaget, spontan bertanya.
"Lihat, dia membelalak!" ucap salah seorang dari arah kananku.
Aku merampas ponsel seorang pria dan menscroll website yang tampil di layar ponsel.
[Begitu cepat kejadian itu, aku bahkan tak begitu tahu siapa saja yang melihat kami. Padahal saat itu di belakang gedung. Bisa-bisanya mereka memotret dengan angle yang pas. Augh, aku tak kuat melihat fotoku sendiri.] Aku membatin, melihat tiga foto memperlihatkan adegan memalukan.
Seorang pria merampas ponsel itu dari tanganku.
Andai saja wilayah ini hanya hamparan gurun pasir, aku akan berlari sejauh kakiku membawa dan berteriak memuntahkan semua kekesalanku.
"Bagaimana rasanya dicium seperti itu? Kalian terlihat romantis," seorang gadis bertubuh gembul berkata tepat di depanku.
Aku menatapnya dengan pasrah sambil menumpu kening.
[Dia bilang 'bagaiman?.' Dia tidak tahu betapa aku begitu ketakutan saat itu. Dan sekarang mereka mengerumuniku seperti semut. Habis gulanya mereka akan membubarkan diri. Nyatanya aku hanya gudang informasi untuk mengembangkan gosib yang tercipta.]
Emosiku melangit, menyebabkan hatiku terasa sesak dan kerongkongan tercekik. Sesasi itu mendorongku ingin meledakkan amarah. Pertanyaan bergelut berdesakan memasuki telingaku. Awalnya hanya pertanyaan biasa kemudian berubah tuduhan dan kejengkelan dari nada bicara mereka.
Aku menutup mata, membiarkan semuanya mengalir. Sambil mengepalkan tangan aku menarik napas dan membuangnya dari mulut. Sedikit demi sedikit emosi surut barulah aku membuka mata dan menatap mereka. "Tidak terjadi apa-apa dengan kami. Kak Niel hanya menjagaku karena tuntutan tanggung jawabnya sebagai mentor."
Bagaimana dengan Hiro? Yang satu itu, aku tak bisa menjawabnya. Untuk wajah sekelas Ichinose Hirotada yang bermata indah, wajah tampan dan berpenampilan unit, dia akan menjadi bahan cibiran kalau aku salah kata. Pria setampan dia banyak peminatnya.
Mereka mendesakku untuk menjawab bagaimana rasa bibir dua senior tampan itu. Semakin dijawab, hanya akan menumbuhkan pertanyaan rumit lainnya.
"Ahhh, Yuki. Jangan diam saja. Jangan buat kami tambah penasaran, dong." Suara rengekan dibumbui ketidakpuasan.
"Eh, jangan tekan dia! Kalau dipikir-pikir tidak semestinya pertanyaan itu kau ucapkan. Ini adalah masalah privasi!" ujar Sakura.
"Ini hanyalah salah paham. Senior itu, dia hanya ... hanya seperti itu. Aku ... baru pertama kali melihatnya." Niat hati ingin mengakhiri keributan ini, tapi apa yang ingin kukatakan mendadak lenyap di kepala. Aku tidak tahu harus mencari alasan apa saat teringat perbuatan Hiro.
Kemudian seorang gadis yang dandananya sangat heboh yang berdiri mendengarkan sejak tadi, ikut berkata, "Kalau begitu hanya satu kesimpulannya."
Semua orang berpindah menatap gadis itu.
[Orang yang senang bergosib memang suka menyimpulkan sendiri. Dan kesimpulan itu akan tersebar menjadi fakta semu. Ahhh ... ini yang membuat aku tak senang memiliki banyak teman.]
"Kupikir, Kak Hiro lah yang menyukai Yuki. Dia sedang menandai bahwa inilah gadisnya."
"Me-menandai!" ucapku spontan.
Semua orang berseru heboh mendengarnya. Ruang kelas begitu ramai karena pembicaraan itu.
"Aku sependapat dengannya," persetujuan dilontarkan oleh gadis bernama, Karin.
Kata Karin, "Aku mendengar dari orang lain, Yuki memiliki reaksi alergi setelah berciuman dengan si albino itu. Menurut hukumnya, untuk menghilangkan reaksi itu si albino akan menciumannya lagi." Belum selesai dia bicara, kemeriahan pun terjadi lagi.
Aku duduk pasrah melihat mereka saling mengutarakan pemikiran soal masalahku. [Bagaimana mereka bisa berpikir begitu? Apa maksudnya albino?]
Sakura menutup pipinya dan kegirangan sekali.
Aku menggeleng-geleng sambil menangkup kepala dengan kedua tangan.
"Seorang pria tak akan mungkin mau mencium kembali bibir yang sudah pernah dia rasakan. Kecuali atas dasar ketertarikan. Kak Hiro itu seorng albino yang tampan dan katanya tergolong pria yang tak pernah terlihat bersama gadis mana pun. Di sekolah ini hanya ada tiga orang albino—"
"Yang benar itu hanya dua orang!"sela yang lain.
Selagi mengatur emosi, aku membuang napas dan melirik ke luar kelas. Betapa malunya ternyata Niel masih di luar sambil tersenyum melihat kondisi kelas kami.