Sensasi sejuk membekap tubuhku. Begitu dingin hingga mampu meremukkan tulang-tulang ku. Aku membuka mata, menerima cahaya dari langit nan diselubungi awan.
Aku heran setelah melihat sekeliling berupa pohon-pohon menjulang dipenuhi serbuk salju. [Aku ada di mana? Kenapa bisa ada di sini? Seingatku tadi itu ...]
Aku menyentuh bibir. [Pria berambut putih itu menciumku lagi! Apa bibirku akan baik-baik saja? Ini tidak akan membusuk 'kan?]
"Kemana semua orang? Siapa yang membawaku kemari?"aku berucap, panik.
Dari kejauhan, ada sebuah rumah kecil dari kayu. Cahaya kuning keluar dari celah-celan papannya. Atap rumah itu tebal oleh tumpukan salju. Asap dari cerobong mengepul keluar. Tempat itu satu-satunya yang dapat digunakan untuk menghangatkan diri.
Aku berjalan melewati pohon demi pohon pinus. Hanya bermodal kedua telapak tangan yang saling digesekkan, aku mendapatkan sedikit sekali kehangatan.
Lama-lama di luar aku akan mati beku.
Suara gemerisik serbuk salju menarik mataku memperhatikan rusa-rusa kecil dan kelinci meloncat sana sini.
[Situasi yang membingungkan. Siapa dan ... bagaimana seseorang memindahkan aku kemari? Apakah aku sudah tidak sadarakan diri lebih dari dua bulan? Jepang masih dalam peralihan musim hujan, butuh beberapa bulan lagi untuk musim dingin.]
Pada pagar dari kayu lapuk diletakkan bandul di bagian gagangnya, sehingga mempermudah untuk mendorongnya. Namun, sedikit berderit ketika kudorong.
Sepatuku semakin tenggelam saat menginjak bagian depan halaman rumah kecil ini. Mungkin Tak pernah dibersihkan sehingga salju penumpuk sangat tebal. Aku merapikan jas hitam yang membalut setengah tubuhku. Tanganku sangat dingin begitu pula kakiku yang hanya mengenakan rok selutut. Kepulan udara terlihat saat aku mengembuskan napas.
Begitu sampai di depan pintu. Niatku hendak mengetuk, tetapi pintu sudah dibuka oleh seorang nenek berwajah kecil, kurus dan hidungnya mancung. Lebih seperti pemain utama dalam film dunia sihir. Dia memegang keranjang dari rotan. Keranjang itu ditutupi kain merah. Tubuh rentanya berselimutkan syal nan tebal dan rambutnya yang beruban keriting, dibalut topi rajut.
[pasti terasa hangat sekali] pikirku.
Saat hendak keluar, nenek itu menoleh pada punggung yang terbaring di ranjang. Di dekat perapian.
"Hiro, jaga rumah dengan baik ketika aku pergi! Aku akan mengambil jamur ke hutan untuk makan malam."
[Hiro? Kenapa harus nama itu!]
[Nenek ini sudah sangat tua untuk mengambil jamur ke hutan. Bagaimana jika dia pingsan?]
Dia melewatiku begitu saja dan berjalan dengan langkah pendek bersama tongkat dari kayu yang sudah tua. Setiap berjalan, salju tersangkut di ujung pakaiannya.
"Cucuku yang malang punya ayah yang tidak bertanggung jawab. Bisa-bisanya tanpa rasa kasihan ayahmu menyerahkanmu padaku. Dia perlu energi manusia. Kemana aku mencarinya?"
Si tua itu meracau sampai ia memasuki hutan di depan rumah ini. Aku pun bingung dengan gumamannya.
Aku membuka pintu dan masuk. Di ruang ini suhunya cukup hangat dan nyaman.
Aku duduk di dekat ranjang. Kuperhatikan wajah bodah kecil berambut putih sedang enak-enakkan tidur. Cahaya dari perapian mewarnai wajahnya. Dia membuka mata, lalu beranjak sambil membawa syal dan jaket tebal. Kemudian meraih topi dari benang rajut.
"Hei, kau mau kemana? Nenekmu bilang tetaplah di rumah!" ucapku mencoba mencegahnya
Betapa herannya aku, bocah rambut putih itu tak menggubris keberadaanku."Bukankah dia harus bertanya kenapa orang asing sepertiku masuk rumahnya?" aku berucap bebas.
Namun, seakan-akan aku tidak ada, bocah itu tak menggubris, tak menoleh dan melanjutkan langkah kecilnya. Aku mengikutinya, membuka pintu kecil di belakang rumah. Tubuhnya nan setinggi pinggulku membuka pintu dengan sedikit berjinjit.
Udara dingin membuat pipinya mengembul merah begitu juga hidung serta bibirnya. Sehingga terlihat menggemaskan sekali.
[Dia akan membeku. Bocah ini akan membeku kalau berlama-lama bermain di luar.]
Di belakang rumah, ada ayunan papan yang dipasang pada dahan besar sebuah pohon. Bocah itu duduk di papan dan bermainan ayunan sendirian. Tatapannya datar tertuju pada segerombolan anak-anak di bawah bukit Yang sedang main bola salju. Sesekali bocah itu tertawa ikut menertawakan beberapa bocah yang berguling-guling di salju.
"Dia anak kesepian. Mungkin hanya tinggal berdua dengan nenek itu. Kurasa dia ingin berteman, tetapi tak bias," pikirku.
Aku duduk di tumpukan goni dekat pintu sambil memandanginya.
Tak berapa lama bocah berambut putih itu pergi ke tengah halaman. Bocah itu mengeluarkan sarung tangan rajut lalu memakainya.
Dia itu membuat bola salju lalu menggulung-gulungkan sampai berukuran besar, bahkan melebihi besar tubuhnya. Kemudian dia menggulung-gulungkan satu bola salju lagi lantas di letakkan di atas bola satu yang pertama. Syal di lehernya dilepas bersama topi kemudian dipakaikan pada boneka salju.
Pipinya makin merah dan hidungnya tak kalah karena tekanan udara. Bocah itu tersenyum memandang hasil karyanya lalu memeluk bola salju itu. Mengindahkan rasa dingin yang menempel di pipi dan dadanya.
Kasihan sekali, mungkin anak kecil ini merindukan sosok orang tua.
Cahaya mentari mulai tampak keluar, sinarnya terang dan menerjang, akan tetapi sebentar lagi akan malam. Bocah itu pergi ke depan pagar pembatas. Aku mengikutinya, untuk melihat pemandangan di bawah bukit. Rumah-rumah penduduk penuh serbuk-serbuk salju, tiap rumah disinari lampu pelita dan cerobong asapnya mengepul. Anak-anak banyak bermain perang bola salju. Tawa bocah-bocah itu masuk ke telingaku.
Bocah itu tertawa melihatnya, tubuh kecilnya ikut bersuka cita. Meloncat-loncat kesenangan sendiri.
Aku panik ketika dia tergelincir membentur kayu pagar dan meluncur ke dasar jurang. Aku mendekati jurang dan kutemukan dirinya, berpegang pada akar pohon.
"Pegangan kuat-kuat, dan teruslah melihat ke arahku!" ucapku.
Aku melepas jas hitam kemudian mengulurkannya. Bocah itu berpegangan pada lengan jasku. Dia berhasil kutarik ke tebing.
"Kau terluka!" Keningnya berdarah.
Matanya menatap intens padaku. Mata biru yang besar dan jernih. Bocah itu tertawa melihatku, telunjuknya menyentuh dahiku lalu berjalan ke hidung, jatuh ke bibir dan mencapai dagu.
Aku tersenyum, jari kecil itu seakan-akan menggelitik wajahku.
"Kalau aku besar nanti, aku akan menikah denganmu!"
Aku terbahak mendengar pernyataannya yang dadakan sekali. Rambut putihnya kuelus. Dan kubalut dengan jas.
Kurasa dia tak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih. Sehingga memberikan pernyataan yang begitu spontan.
"Hiro! Hiro! Kau di mana?" suara nenek kurus itu terdengar dari dalam rumah.
Aku menoleh melihat ke arah rumah, lalu kembali menatap wajahnya. "Jangan membangkang pada nenekmu—"
Ucapanku belum selesai, bocah berambut putih itu mencuri ciuman di pipiku kemudian kabur secepat kilat menuju pintu belakang.
<><>
Udara hangat berembus dekat keningku, kesadaranku terkumpul. Hal pertama yang terlihat langit-langit ruang penuh ukiran serta lampu besar kristal tergantung mewah. Mataku jatuh pada sekujur tubuhku. Melihat kakiku tertutupi selimut hijau.
[Ternyata aku bermimpi]
Aku menoleh ke kiri dan memperhatikan wajah rupawan, seputih salju. Salah satu pipinya menggembul terletak pada lengan yang bersila di atas ranjangku.
Bibirnya merah padam, mengikat bertekstur lembut. Rambutnya jatuh berantakan menutupi kening.
Dia Seperti bocah dalam mimpiku, Hiro si kecil yang kesepian.
[DIA HIRO?] Mataku membelalak saat mengenali wajah dan rambut putih itu adalah Hirotada. Seketika ciuman yang beberapa saat lalu terjalin terulang kembali dalam pikiranku.