Lift membawaku turun ke lantai satu. Aku pergi menuju asrama untuk mengambil payung merah milik Niel bermaksud untuk mengembelikannya. Satu persatu kulewati orang-orang yang hampir memenuhi ruangan lantai satu. Sekelebat aroma tak asing mendadak tercium, jantungku mulai berpacu meresponnya. Dalam pikiranku hanya ada satu nama dengan aroma higanbana yang kuat sekali. Hirotada! Pasti orang itu.
Seketika aku bersembunyi di balik tembok. Aku mengintip memperhatikan orang-orang yang berkumpul dan benar dugaanku. Pria berambut putih itu berhenti berjalan. Wajahnya menoleh ke belakang. Aku kembali bersembunyi setelah sorot matanya hampir mendapatkan keberadaanku.
[Yang tadi itu hampir saja. Seandainya tadi aku tidak berhenti, pasti dia sudah melihatku.]
[Bibir terasa ingin sekali kugaruk. Gatalnya bukan main kali ini. Pasti karena aku terlalu dekat dengannya. Aku harus menjaga jarak!]
"Ada apa Hiro?" Orang di sampingnya terdengar bertanya. Aku berbalik lalu mengintip sedikit.
"Aku merasa ada aku yang lain di sekitar sini," Hiro menggaruk tengkuk lehernya dan matanya melihat-lihat sekitar.
[Apa maksudnya itu aku? Dalam jangkauan berapa meter dia dapat merasakan energinya di bibirku?]
Aku membelalakkan mata, pria di sampingnya itu ternyata Hobito, pria manis yang bertemu denganku di lift tadi.
"Kau harus menahan diri agar korbanmu tidak bertambah. Omong-omong, saat melakukannya apa kau masih mengingatnya? Sebaiknya istirahat saja kalau tidak begitu pulih. Izin pada ketua bahwa kau tidak bisa ikut misi kali ini." Hobito mengeluarkan lolipop di mulutnya, sesekali melihat orang-orang, sesekali pada Hiro.
Aku antusias mendengarkan pembicaraan mereka selanjutnya, tetapi kekecewaan menghajar wajahku ketika Hiro menjawab.
"Sudahlah. Aku tak ingin mengingatnya. Jangan terus mengusikku dengan masalah itu!"
Mereka berjalan kembali. Terdengar gelak tawa Hobito yang berbicara sambil menepuk pundak Hiro.
Aku berbalik, dan bersandar. Ucapannya seakan-akan merenggut harga diriku. Jantungku bergejolak, kekecewaan muncul mengusik perasaanku. Aku merasa menjadi seorang yang menyedihkan. Ciuman itu tidak seberapa baginya, tetapi itu adalah ciuman pertamaku yang berharga.
[Dia bilang tidak ingin mengingat kejadian waktu itu? Hah, dasar pria terkutuk! Dia menciumku dengan sangat buas, malah sekarang ... ah, aku tidak habis pikir sebegitu brengseknya Hiro!]
Aku mendesah sambil mengepalkan tangan. Setelah memastikan keduanya meninggalkan ruangan tengah lantai satu, aku berlari dan keluar. Kemudian memasuki asrama, pergi ke kamarku dan menambil payung merah di lemari.
Aku keluar dari asrama seraya membawa payung merah itu. Selangkah demi selangkah, kekecewaan dan rasa perih menggumpal di hatiku membuat kerongonganku tercekik. Ucapan Hiro terus membayangi langkahku. Entah kenapa efek dari ucapannya tak bisa kuhilangkan. Semakin kuingat semakin membuat mataku ingin menangis.
Sesampainya di departemen Intelijen. Lobi sedang ramai oleh para senior. Mereka tampak membicarakan sesuatu. Ada yang berdiri ada yang duduk di kursi salah satunya, Niel.
Aku masuk dan berjalan melewati para senior. Niel melihatku dengan sedikit terkejut. Begitu aku menghampirinya, ia berdiri seraya merapikan kaus hitamnya.
Aku menunduk enggan memperlihatkan kesedihan yang semakin terasa ingin jatuh dari mata.
"Selamat malam, Kak Niel. Waktu itu aku membawanya ke-kemari. Terima-Kasih," lidahku kaku dan suaraku gemetaran.
"Ouh, kau masih menyimpannya." Niel mengambil payung itu dari tanganku.
"Dia siapa?" tanya seorang yang duduk bersamanya.
"Adik bimbinganku." Suara Niel terdengar bersemangat.
Perasaan yang terpuruk ini mulai membanding-bandingkan sikap Niel dan Hiro. Andai saja Hiro memiliki sikap seperti Niel aku tidak akan sekecewa ini.
Aku tak mau bersua, dan memperlihat wajahku padanya.
"Kau kenapa, Yuki? Ada orang yang mengganggumu? Beritahu aku, akan kuberi dia pelajaran!"
Hal manis itu membuat aku tersentuh.
"Angkat wajahmu, aku tak bisa melihatnya," lanjut Niel.
[Kenapa pria ini begitu baik padaku? Sedangkan aku tidak dihargai oleh orang itu. Kenapa Hiro berkata hal yang menyakitkan. Hiro bodoh!] Aku mengutuknya menangis dalam diam di depan Niel.
Menjalar dingin hingga ke jantung saat Niel menarik daguku.
"Kurasa kau sedang tidak baik-baik saja."
"Aaaahhrrgg ... Huaaaa!!!" Aku menangis sejadi-jadinya. Sudah tak ada ruang dihati ini untuk menampung rasa sedih dan kecewa sehingga dua perasaan itu lolos dari mataku.
Malu sebenarnya malu, tapi sudah habis tak terbendung perasaan hatiku.
"Ada apa ini? Ayo ceritakan padaku," bujuk Niel.
Orang-orang mungkin menganggapnya jahat, tapi untuk sekali ini saja aku ingin egois aku ingin mengadu pada seseorang seperti dia.
Aku berjongkok sambil menangis histeris. Niel menekuk lututnya di lantai. Sekitarku berubah gelap saat sesuatu menyelimuti punggung hingga menenggelamkan wajahku. Aroma tubuhnya lekat pada jaket hitam yang menyelimutiku, mememindungiku dari pandangan orang-orang.
"Baiklah. Aku tak akan memaksa kau bercerita. Menangislah sampai hatimu membaik. Keluarkan tekanan itu agar kau bebas, " ucap Niel.
Bagaimana aku tak sedih, ciuman itu hanya aku yang mengingatnya dan itu ciuman pertamaku yang sangat tidak dihargai. Selama ini aku hidup dengan tegar. Namun, kali ini adalah hal pertama yang membuat aku merasa sakit hati.
"Kenapa dengan Yuki?" Suara Sakura terdengar dekat denganku.
"Pergilah antarkan dia ke ruang istirahat. Jangan paksa dia bercerita," kata Niel pada Sakura.
Pelukan lembut di punggungku menarik aku berdiri. Sakura membimbingku berjalan. Menutup telingaku dengan jaket besar Niel dari omongan orang-orang.
Tak lama kami sampai di ruang istirahat departemen Intelijen. Sakura keluar setelah mendapatkan panggilan dari mentornya. Aku menatap hampa ke langit-langit kemudian beralih pada gorden sekat. Setelah berbaring selama 15 menit, aku mulai mengantuk ditambah sehabis menangis mataku jadi panas.
Mendadak, bibirku terasa gatal lagi secara bersamaan aura keberadaan seseorang terasa di belakangku. Aroma harum ini ... Aku mengenalinya.
Aku beranjak dari ranjang dan berlindung di balik tirai.
[Kenapa dia kemari? Ingin menyerangku lagi?] Aku mengulum bibir yang gatal dan membisu. Mendengarkan dengan gugup suara sepatu di balik tirai sekat.
"Aku mengetahuinya dari Hobito. Kau ... gadis berjas hujan yang waktu itu."
Suaranya lembut dan dingin.
"Aku tidak bermaksud merampas ciumanmu. Waktu itu keadaanku sedang kritis, aku terpaksa melakukannya. Kurasa terjadi sesuatu pada bibirmu."
Langkah sepatunya mendekat ke arahku.
"Gadis yang menyedihkan. Aku harus repot-repot melakukanya lagi kali ini."
Sebuah perkataan yang sulit diterima menumbuhkan rasa tak mengenakkan, kejengkelan dan amarah bergemuruh—perasaanku bagaikan ombak yang ricuh, mataku mulai berkaca-kaca.
Jika aku menangis di depannya, itu hanya merendahkan diriku sendiri. Tanpa berbicara, aku mendorongnya, memejamkan mata membiarkan air mata jatuh bebas pada pipiku.
Aku berlari menerobos beberapa orang yang berada di sekitar ruang istirahat. Berbelok pada persimpangan seraya menutupi wajahmu.
Mungkin saat ini dosenku telah masuk, tetapi dalam keadaan seperti ini, sulit bagiku untuk menyesuaikan diri di dalam kelas. Kucoba menekan perasaan ini, tapi tak kunjung berhenti air mataku.
Kemana kiranya aku harus pergi? Aku terdiam memandang beberapa orang yang melihatku. Pandangan mereka seolah-olah sedang menertawakan aku, menganggap aku mahasiswa aneh yang berlari sambil menangis.
[Gara-gara Hiro. Mengapa dia harus muncul lagi di depanku?]
Di dekat belokan di teras, aku melihat sebuah papan arah menunjuk taman belakang. Aku tak punya pilihan selain ke sana, mencari kesendirian sampai aku siap kembali ke permukaan.
[Pria brengsek! Bajingan!]
Aku berlari menuju taman itu.
Dari arah belakang langkah sepatu yang menghentak laju, terdengar olehku. Ketika hendak melewati sebuah ruang kelas, tanganku dicengkeram. Tubuhku tertarik ke belakang. Selama kehilangan keseimbangan. Tengkuk leherku ditahan dan aku berhadapan dengannya. Mata biru itu menatapku dingin. Detik berikutnya, ia memejamkan mata. Sensasi lembut menekan bibirku.
Aku terkejut saat ia melumat.
Keningku mengerut, aku gelisah teringat kisah dari Sakura. Mulutku ... akan kah membusuk karena dia melakukan ini padaku?
Tanganku mendorong dadanya. Dan tiap kali aku berontak, ia akan mengigit bibiku kemudian melucuti tanganku dengan sekali pegang.
Kepalaku mulai pening sesaat kemudian tenagaku menurun. Aku merasa lemas hingga untuk berdiri saja rasanya tidak mampu lagi. Namun, pria itu tetap menahan tengkuk leherku.
Tangan yang dijeratnya berusaha kulekaskan meski terasa berat dan sulit. Udara mulai sulit untuk kuhirup. Tubuh lemas ini berujung tak mampu lagi berdiri. Hiro memelankan lumatannya lalu menjatuhkan tubuhku.
Aku membuka mata dan merasakan rumput-rumput kecil menusuk pipiku. Pandanganku ke depan, pada wajah terkejut yang kukenal. Niel berlari ke arahku dengan wajah gusar.
____________