Saat itu pukul sembilan lebih lima belas menit. Ruang kelas dibiarkan terbuka. Bukan pintunya yang terbuka, melainkan Dibangun bersekat-sekat dengan kaca tebal yang menerawang. Memungkinkan siapa saja dapat mengikuti kegiatan kelas saat ini. Akan tetapi, hanya dapat melihat saja, sebab kedap suara.
Di depan papan tulis terdapat panggung kecil di sana berdiri seorang pria berperut tebal dan kulitnya agak sawo matang. Dari penampilannya, orang ini berusia di atas 40 tahun.
Beberapa menit yang lalu, dia menyebut namanya, Masato Hatarachi dan pernah mengajar di divisi intelijen.
Suaranya besar dan agak serak, dia berucap, "Di dalam lingkungan masyarakat setidaknya ada 15% pemikiran untuk melakukan tindak keriminal seperti pemerkosaan, perampokan, pembunuhan penganiayaan dan bahkan pembulian. Yang mana akibat dari perilaku manusia akhirnya merusak tatanan dua kehidupan."
Aku mengangguk ketika mataku ditatap oleh Pak Masato. Walaupun sebenarnya tanda tanya besar muncul di kepalaku.
Mimiknya begitu bersemangat, seolah anggukan dari mahasiswa adalah support dan apresiasi yang diharapkannya.
Pak Masato melanjutkan penjelasannya dengan sedikit penekanan. "Akibat kriminalitas tersebut, para korban akan berfikir praktis dalam kondisi depresi dan kejenuhan. Sehingga memunculkan pikiran untuk bunuh diri, membalas dendam dan melakukan tindak serupa pada orang lain. Lingkaran dendam pun tercipta dari ketidakadilan dan ketertindasan yang dialami korban. Seseorang yang mengakhiri hidupnya, akan selalu menderita dan terpanggil untuk melakukan pembalasan terhadap manusia yang menyebabkan ketidakadilan tersebut. Baru-baru ini teror, pembunuhan, pengambilan jiwa dan kerasukan semakin marak terjadi."
Pelajaran hari ini terdengar aneh untuk masuk ke pikiranku. Namun, aku berusaha untuk memahaminya sebaik mungkin. Dari pemaparannya, membawa pikiranku terhubung kembali pada kejadian bunuh diri di Flat-ku. Jadi yang terjadi pada Takeshi Yuno karena depresi yang menjadi salah satu alasan sikap impulsifnya hingga menyerangku.
Dalam masalah apa pun yang pernah memberatkan hidupku, memang ada bisikan yang mengajak bunuh diri. Itu adalah pengalaman dari bagian terburuk dari diriku. Sisi gelapku yang hampir membuat aku terjerumus pada sikap menyia-nyiakan kehidupan. Hidup ini terlalu mahal untuk di sia-sia. Seyogyanya, seorang manusia dapat bertahan dengan semua masalah yang menekan dan menyusutkan mental.
Andai saja, ketika kau memilih mati lalu dengan kehendakmu, kau hidup kembali. Tentu saja itu tidak akan dan tak mungkin terjadi. Karena manusia hanya makhluk lemah.
Ketika kau mati, yang kau bawa hanya penyesalan. Kehidupan harus dihargai, karena kau sendiri tak dapat menciptakan kehidupan itu.
Kalau saja semua manusia berpikir demikian dan lebih menghargai diri sendiri serta dapat mengabaikan pembicaraan orang lain, tak akan ada bangunan dan sarana umum yang memfasilitasi tindakan bunuh diri. Kau bunuh diri, bukan menyelesaikan masalah. Begitu mati, hanya meninggalkan nama dan kenangan yang ngeri untuk diingat. Sehingga perlahan namamu akan dimakan oleh waktu dan tenggelam. Menjadi sisa-sisa yang hanya terdokumentasi, tersimpan dalam sebuah kotak berdebu sebagai lembaran identitas yang jelek.
Aku ingin menjadi psikiater yang hebat, sehingga dapat mencegah tindakan manusia yang sembrono terhadap dirinya sendiri.
Lamunan ku terusik ketika sakura memperbaharui posisi duduknya.
Penjelasan Pak Masato kembali memasuki telingaku.
"Sebagai manusia yang memiliki aura murni, kita punya kapasitas dan kemampuan untuk mencegah masalah itu. Dimulai dari melakukan pendekatan terhadap orang-orang yang mengalami bunuh diri dan kematian yang di latarbelakangi ketidakadilan."
"Kalian akan dibimbing untuk menjadi lebih dekat dengan mereka. Mengalihfungsikan diri sebagai separuh dari hati dan perasaan mereka. Sehingga pendekatan yang dilakukan akan berimplikasi kepada para korban."
Aku mencoba mengulang penjelasan pak Masato. "Apakah para dosen seperti dia suka berfilsafat? Atau memang otakku terlalu kecil untuk menarik makna ucapannya?"aku bertanya-tanya dalam hati.
Sesaat kemudian, pak Masato mengakhiri perkuliahannya dan keluar dengan mimik nan tenang. Dia tersenyum saat beberapa mahasiswa menyapanya.
Suasana kelas sedikit berisik setelah kepergian pak Masato. Beberapa lelaki berbicara terlalu nyaring dan mendominasi. Suara para gadis tenggelam, meski kadang berbarengan senada.
"Yuki, aku tidak bisa makan siang denganmu. Mentorku memanggil sekarang dan memintaku untuk bertemu. Maaf, aku harus pergi." Sakura bergegas mengemasi buku tulisnya.
Aku pergi ke kantin, terlunta-lunta sendirian lagi. Kalau biasanya di kantin SMA, sering kali aku kehabisan makanan karena siswa lain berkerumun menyerbu kantin. Beruntung kantin di sini luas sekali, dan memiliki sembilan meja pemesanan sehingga para mahasiswa tak ada yang berkerumun. Mereka tertib.
"Mau pesan apa, Ran—Yuki?"
Seorang peramu saji di depanku menyebut namaku dengan cukup Pasih. Padahal tidak ada name tag yang kukenakan. Name tag itu masih dibuat. Lantas dari mana dia tahu namaku? Beberapa senior juga menyapaku, padahal itu adalah pertemuan pertama. Ini tidak terjadi pada mahasiswa lain, hanya aku.
Aku akan bertanya pada kak Niel jika bertemu dengannya nanti. Ucapannya waktu itu cukup mencurigakan.
"Omong-omong dari mana Kak Sota tahu namaku?" tanyaku, kueja namanya sebelum kusebut.
"Dari penampilanmu yang luar biasa pada ujian orientasi kemarin." Kak Sota tersenyum dan giginya terlihat. Dia memberiku bonus dengan jempolnya.
"Kau mau pesan apa?"
"Berikan aku satu paket makan siang yang paling populer di sini. " Aku mengambil satu botol air bersoda dan menyodorkannya.
Suasana kantin menjadi suram karena tidak ada Sakura. Aku memutuskan pergi ke lantai paling atas dengan lift.
Baru saja menjejakkan kaki, angin sepoi-sepoi menerjang tubuhku. Menggerakkan kepangan rambutku. Mengubah pengap penuh keringat menjadi sensasi dingin yang menyegarkan.
Rooptop memiliki pembatas setinggi dada, ada taman bunga yang tak begitu besar dan kursi dengan payung besar. Sejauh yang dapat dilihat, tempat ini sunyi oleh mahasiswa. Mungkin hanya aku yang kemari.
Aku meletakkan kotak makan siang di meja dan duduk dengan tenang. Sinar matahari begitu menyilaukan. Cahayanya memancar dari marmer sehingga mataku menyipit untuk mengurangi efek buruknya.
Ini tempat terbaik yang bisa digunakan untuk melepas penat. Dan tempat makan terbaik. Aku tak perlu susah payah mengawasi sekitar dan dapat menghindari pertemuan dadakan dengan Hiro seperti tadi pagi.
Setelah tiga puluh menit menghibur diri sendiri. Paket makan siang yang sudah habis kurapikan lalu membuangnya di tempat sampah.
"Hei, kau!"
Aku berpaling. Seorang gadis bertindik mendekatiku.
Cara berjalannya terlihat tomboy tetapi parasnya elok dan terawat sepertinya dari kalangan orang kaya. Kemeja putih sengaja tidak dimasukkan dan kancing bagian pusarnya tak dirapikan. Ujung kemejanya tertiup angin sehingga tampil pusarnya nan putih. Aroma parfum colagen tercium cukup kuat.
Auranya bagaikan lelaki dan memiliki ketegasan yang tidak dimiliki mahasiswa baru. Dialah salah satu pemegang kunci emas yang diperebutkan oleh beberapa senior. Begitulah hal kecil yang kudengar dari orang-orang.
Namanya, Ichiharu Kumiko!