Chereads / White Love In The Dark Sky / Chapter 28 - Pertemuan Tak terduga

Chapter 28 - Pertemuan Tak terduga

"Yuki! Ayo berangkat ngampus! Yuki!"

Seorang teman yang ramah, begitulah aku menyebutnya. Sakura mulai meninggikan suara memanggilku di balik pintu kamarku. Aku membuka pintu dan mengejutkannya tepat di depan wajahnya. Tetapi pandangannya datar. Setelah keusilanku tak berhasil, dia bersandar di samping tembok dekat pintu.

Aku tertawa sambil ditahan-tahan karena ada lingkatan hitam di bawah matanya. Sepertinya mood Sakura sedang tidak baik hari ini.

"Kau terlihat cantik sekali hari ini." aku mengatur perasaanku dan mempersembahkan senyum nan tipis.

"Omong kosong! Pujianmu yang seperti gulali itu tak menutupi penampilanku." Tangannya yang berkuku panjang menunjuk ke arah wajahku. "Harus kuapakan ya, rambutmu itu? Sejak kemarin aku gemas sekali melihatnya."

Aku sengaja berpenampilan seperti ini. Kalau sekolah atau kadang kerja, rambutku yang biasa ikal mekar, akan kuikat kuda dan kuikat lagi dengan tali karet warna warni atau jika tidak mood dengan model begitu, pasti hanya kugulung saja. Apa repotnya. Yang penting bajuku rapi. Rambut mekar menurutku ada untungnya juga. Kalau nanti bertemu Hiro, aku bisa berlindung dengan rambut ini.

Aku menggoyang-goyangkan rambut dengan kedua tangan. Terasa seperti busa sabun di kamar mandi, empuk dan mengembang.

Gigi Sakura bergemeletuk, atas dan bagian bawahnya menyatu. Dia gemas sendiri. Aku tertawa kecil melihatnya.

"Sini, rapikan!" Dia mendorong punggungku lalu kami masuk lagi ke kamarku.

Satu hal lagi yang aku sadari dari Sakura. Dia gadis yang suka kerapian sampai ke rambut-rambut. Sekarang dia mengumpulkan semua rambutku, lalu mengikatnya tinggi-tinggi. Aku tidak bisa menolak sikap baiknya. Di depan meja rias, kulihat, Sakura sesekali sibuk melirik jam beker bututku yang menunjukkan kelas pertama kami akan dimulai satu setengah jam lagi.

"Kenapa harus repot-repot, yang penting bajunya sudah rapi," aku bergumam.

"Basi! Seragamnya memang didesain sudah rapi. Akan lebih elok kalo dandananmu bergaya sedikit."

"Kurasa kau tertarik dengan style. Kenapa memilih sekolah di sini? Kau bisa mengikuti kursus tata rias atau kuliah dijurusan itu." Aku memandangnya dari cermin.

"Itu tidak begitu menguntungkan," jawabnya. Sakura mengepang rambutku kecil-kecil sampai keseluruhan.

"Bukannya ini akan membuat rambutku makin keriting."

"Kau harus banyak menghasilkan uang lalu pergi ke salon. Entah selama ini apa yang kau lakukan pada rambutmu tetapi ini rusak parah." Sakura berceloteh. Dia melakukan sentuhan terakhir, menyemprot rambutku yang mencuat-cuat dengan air.

"Rambut seperti ini makin membuat aku gugup. Orang-orang mungkin akan tertarik melihatnya. Aku tidak berniat jadi pusat perhatian. Dasar Sakura!" batinku.

"Bolehkah aku memakai topimu?" Sebuah topi hitam bergaris putih yang dipinjamkannya saat tour tadi malam sengaja tak kukembalikan.

Sakura mengangguk dan berkata sambil berjalan ke arah pintu, "Asal kau rawat dengan baik. Kau boleh memakainya kapan kau mau."

Kami keluar dari asrama dan mengikuti sebagian besar mahasiswa baru yang masuk ke gedung utama universitas. Saat menuju ruang kelas, beberapa mahasiswa senior menatapku sambil melambai, menyapa. Betapa kagetnya aku ketika itu. mahasiswa baru lainnya jadi ikut memperhatikan penampilanku.

"Hei Ran Yuki!"

"Yuki!"

"Selamat pagi, Yuki!"

Di lobi banyak mahasiswa lama berjubah hitam panjang sedang memandangi kami.

Di antara orang-orang mataku berhenti ketika melihat sorot mata nan ramah namun misterius melawan tatapanku. Orang itu, Niel. Pria tampan yang begitu menawan. Wajah tirusnya mengarah padaku. Tertangkap senyum tipis yang membuat moodku naik.

"Yuki, kenapa mereka melambaikan tangan padamu?" Sakura menarik mataku untuk bertatapan.

"Jangan tanya aku yang tidak mengerti situasi ini. Mana kutahu! Kata mentorku, kak Niel. Aku tidak perlu ambil pusing dengan hal-hal aneh begini," Aku berucap sambil melambaikan tangan kepada mereka.

Kami tak jadi masuk ke ruangan kuliah lebih awal karena perut sama-sama bergemuruh meminta makan. Kami pun berbelok ke kantin dan mengambil beberapa menu makanan.

Aku meletakkan mangkok nasi, sop misu dan sedikit ayam cincang. Sedangkan Sakura mengambil katsudon dan beberapa potong sosis. Kami mendekati meja panjang di tengah ruang.

Di meja panjang itu hanya ada tiga orang yang duduk paling ujung dan kami berdua di ujung sebelahnya.

Aku melirik Sakura yang lagi menyedot mi dan dia menangkap basah mataku.

"Aku mulai terganggu dengan tatapanmu. Sekarang bertanyalah jika ada pertanyaan." Sakura terdengar judes.

"Apakah tadi malam kau yang menggedor pintu kamarku?" Aku bertanya seraya memperhatikan lingkaran panda di matanya.

Mendadak Sakura menenggak air minumnya cukup banyak.

"Tidak. Aku tidak keluar kamar. Itu peraturannya 'kan. Kau pasti penasaran dengan tanda hitam di bawah mataku ini 'kan?" Sakura menunjuk kelopak mata bagian bawah.

"Ini gara-gara pelayan bodoh itu mengganggu tidurku. Dia ingin aku mendengar seluruh cerita hidupnya. Tadi malam aku harus menggunakan penutup telinga agar bisa tidur," keluhnya dengan wajah merengut.

"Pelayan?"

"Kau tidak bertemu pelayanmu? Kutanya kepada kamar sebelah, dia juga kedatangan pelayannya, atau mungkin pelayanmu tidak datang."

"Memang pelayanmu seperti apa, sampai-sampai tidak bisa tidur?" tanyaku di sela makan.

"Dia yang paling buruk yang pernah kukenal selama ini. Kurasa ... adanya pelayan itu hanya untuk menguji saja. Sedari awal kehadirannya, sudah membuat aku kapok punya ranjang. Aku benci ada seseorang menyusup di balik kolong ranjangku. Dia gadis yang cerewet sekali."

Aku tertawa melihat ekspresi Sakura ketika bercerita, mulai dari tegas, sinis hingga berekpresi masam kecut. Seperti sedang makan jeruk nipis saja.

"Nah, Yuki. Bolehkah malam ini aku tidur di kamarmu saja?" Wajahnya mendekat dengan mata melotot.

Aku menolak cepat. "Itu ide buruk! Nanti pelayanmu bersikeras ikut bermalam juga dan aku paling tidak suka hal yang mengganggu."

Sakura menggoyangkan seluruh badannya seraya menghentakkan kaki, sehingga sepatunya yang bertumit keras terdengar mengganggu.

Beberapa orang melirik ke arah kami sambil tersenyum.

Dua detik yang lalu aku merasa iba padanya, tetapi rasa iba itu lenyap ketika tumbuh anggapan dalam benakku.

"Kalau dia saja sampai pusing begitu, bagaimana dengan pelayanku nanti? Sampai saat ini aku tidak tahu pelayanku seperti apa. Sungguhnya aneh dan ajaib di asrama kau diberikan pelayan," Aku membatin.

"Maafkan aku. Ini karena aku juga tidak tahu pelayan seperti apa yang akan datang ke kamarku nanti. Aku hanya ingin mempersiapkan diri, Sakura."

Sakura mengangkat mangkok katsudon-nya dan menghabiskannya saat itu juga. Dia mengambil tisu untuk membersihkan mulut.

"Masa kau tidak tahu nama pelayanmu. Tunjukkan aku kunci kamarmu. Semuanya ada di sana, kau tidak melihat tulisannya?" tanya Sakura, menatapku heran.

Inilah perbedaan antara aku dan Sakura. Dia terlihat serba tahu karena ibunya punya teman di sini. Sedangkan aku, bagiku ini adalah dunia baru yang asing dan tidak seperti kampus biasanya.

Kuserahkan kunci kamar yang kuberi gantungan bebek kecil.

Dia melihat dengan cukup dekat, lalu menunjukkan sebuah tulisan kecil di batang pipih kunci itu.

"Nama pelayanmu, Hanamori Renji."

"Pelayanku laki-laki! Kalau begitu kami akan berbagi kamar. Apa aku salah dengar?" Spontan aku bertanya.

"Orang macam apa Hanamori Renji ini?" aku membatin.

Sakura mengambil beberapa ayam cincangku dan dimakannya bersamaan dengan sosis.

Aku tak menggubris perilakunya. Mataku mengarah ke berbagai hal, sambil mengunyah makanan.

Perbincangan terdengar dari arah belakang kami. Kemudian duduk beberapa pria membawa baki makan dan memenuhi meja kami.

Sudut mataku tak sengaja bertemu pandangan dengan tatapan sinis yang tampaknya juga tak disengaja. Pria berambut putih itu duduk satu meja dengan kami.

"Celaka!"

Aku menunduk dan menarik topi menutupi wajah.

"Kau kenapa?" tanya Sakura.

Tanganku melambai tanpa bersuara. Bermaksud mengatakan, 'tidak apa-apa.'

"Hei, kau bisa ambilkan botol garam!" Seru seorang pria. Dari balik topi aku melirik lalu mengambilkan botol garam di sampingku.

Topi yang menutupi wajahku mendadak diangkat oleh Sakura. Aku tersedak dan tanpa sengaja menyemburkan sisa makanan ke wajahnya. Semua orang terbahak-bahak.

"Ah, malah mengundang lebih banyak orang memperhatikan aku.''

Tanpa topi, aku berbalik dan berlari ke luar kantin.

Sementara terdengar dari belakang, Sakura memanggil-manggil namaku. "Yuki, kau meninggalkan topinya. Hei, bayar dulu makanan yang kau pesan!"

"Ah ... Masa bodoh dengan makanannya. Aku bisa kembali kemari lain waktu."