Buku yang mengikuti berjalannya waktu, tercium dari aroma yang apek. Hal itu semakin menarikku untuk membaca buku tersebut.
Pada halaman berikutnya, tertulis judul bab, 'Kelahiran Kamato Hitori'ditulis oleh, Tuan Chigayo.
[ Pada tahun 1972, seorang wanita yang tengah hamil tua dikejar pembunuh bayaran. Tiap kali wanita itu meminta tolong, manusia-manusia itu tidur lelap dan membutakan telinga. Tak ada siapa pun yang dapat dimintai pertolongan. Pada sebuah kuil merah, wanita itu menyusup ke dalam dan menemukan pohon tua yang berumur ratusan tahun. Dia kehilangan kesadaran karena kelelahan mental dan fisik akibat teror dan percobaan pembunuhan. ]
[ Hal yang mengejutkan terjadi. Wanita itu terbangun di dunia Siluman. Dunia itu seharusnya disebut dunia hantu, surga bagi makhluk gaib. Setelah munculnya kau siluman dari ras manusia yang memiliki kekuatan iblis, dunia itu pun jatuh dalam kekuasaan para siluman. ]
[ Pada hamparan salju di hutan dunia siluman, wanita itu sudah tak sanggup menahan perut besarnya lebih lama lagi. Tubuhnya dingin dan dia kelaparan. Dia melihat dari kejauhan sebuah rumah kayu di tengah hutan bersalju. Memancar cahaya dari lampu pelita menembus sela-sela kayu dan jendela. Meski kecil, tetapi tampak cukup hangat untuk berlindung dari cuaca dingin ini. Harapannya muncul. Kakinya bergerak meninggalkan jejak di hamparan salju. Kakinya tidak stabil, terkadang sempoyongan. ]
[ Keluar dari hutan, salju masih pekat menutup hamparan jalan. Dia menyeberangi jalan kecil menuju pagar rumah kecil itu. Namun, mendadak pandangannya bergoyang, dia pun jatuh dan terbaring kedinginan di tengah jalan. ]
[ Saat itu, muncul sesosok siluman rubah tua nan baik hatinya. Bersedia membawa wanita hamil tua itu ke rumahnya. Di sana wanita itu melahirkan anak lelaki merah berambut putih. Bibir dingin wanita itu mencium kening bayinya. Kemudian tubuhnya makin lemah dan tak lama meninggal dunia. ]
[ Siluman Rubah menghalangi rumahnya dengan mantera, agar siluman pemakan manusia tak mencium ari-ari bayi itu. ]
[ Jasad wanita itu dikuburkan di dekat rumah dan diberi mantera pelindung. Setelah itu siluman tua pergi dari rumah dan membawa bayi laki-laki di dalam baju tebalnya. Dia membawa senjata berupa tongkat dari kayu dan beberapa nasi kepal yang di gendong di punggung bungkuknya. ]
[ Siluman tua itu pergi ke dunia manusia dan menitipkan bayi molek nan masih merah di depan pintu panti asuhan. Ditinggalkannya selembar mantra agar makhluk seperti dia tak melihat bayi itu. ]
[ Di panti asuhan, Bayi itu diberi nama Utagawa Hitori. Pada usia 10 tahun, bangsawan yang mandul dari keluarga Kamato mengadopsinya sehingga nama Utagawa Hitori berubah menjadi Kamato Hitori. ]
[ Sepanjang perjalanan masa mudanya, Kamato Hitori menjadi pemuda yang pintar dan cerdik. Terkadang menjadi andalan sang ayah untuk membantu menjalankan bisnis. Berawal dari kantor besar ayahnya, Kamato mulai bertemu makhluk-makhluk gaib. Kemampuannya berkomunikasi diimbangi oleh beladiri sehingga dia menjadi seorang manusia yang unggul di dunianya dan dunia hantu. ]
[ Selama berkomunikasi dengan makhluk gaib, Kamato Hitori pun kadang kala menjadi tempat para hantu berbagi sisi kehidupan suram mereka. Dalam beberapa kesempatan, Kamato terkadang bertarung dengan berbagai jenis siluman dan membuat kesepakatan. Tak lama waktu berlalu Kamato makin dewasa, dan sudah tak mampu untuk mengawal hantu-hantu di dunia manusia. Maka munculah ide untuk membangun sebuah tempat untuk para manusia dapat membantu hantu dan mengurangi tingkat teror di dunia manusia. ]
[ Suatu hari Kamato jatuh cinta dengan seorang wanita biasa-biasa saja lalu menikahinya. Pada saat itu Kamato Hitori baru saja menyadari kelemahannya dan kemampuan tersembunyi yang dapat menyedot energi manusia. Dia harus mengendalikan kemampuannya itu di dunia siluman. Yakni pada siluman Rubah yang pernah menolong ibunya. Tiap malam sehabis bekerja, Kamato Hitori pergi mengunjungi siluman Rubah dan belajar beberapa hal untuk mengendalikan kekuatan itu. ]
[ Selama berumah tangga, Kamato Hitori memiliki tiga orang anak yaitu, Kamato Hirotada, Kamato Naguni, dan Kamato Aibara. ]
[ Dua diantara anaknya tewas dalam pembunuhan. Untuk mencegah hal serupa terjadi pada anak terakhirnya, Kamato Hirotada— dengan berat hati, anak berambut putih itu diserahkan kepada siluman Rubah penyelamat ibunya untuk diasuh dan dibesarkan. ]
¨ <> <>
Aku menutup buku tua itu dan mendesah menghayati cerita yang ditulis oleh Tuan Chigayo. Sebuah kehidupan yang berat dan penuh dengan kematian. Aku pun mengagumi pendiri universitas ini. Walaupun aku masih tetap tak mau percaya dengan dunia lain yang disebabkan dalam cerita ini.
"Buku yang bagus untuk sebuah buku novel tua," pikirku.
Buku ini terlalu dilebih-lebihkan seperti cerita dalam dunia dongeng, tetapi aku dapat menarik kesimpulan. Bahwa Hiro memiliki kemampuan aneh yang sama dengan pendiri tempat ini. Meski sempat berpikir bahwa kemampuan seperti itu hanya palsu. Tapi untuk aku yang menjadi korbannya secara langsung sulit membuang kenyataan tersebut.
"Kalau begitu, apa yang diceritakan Sakura benar adanya. Hiro dapat melakukannya lagi padaku dan bibirku akan membusuk jika dia menyedot energiku lagi!"
Ackkkkk!!!!!
Aku terkesiap, karena terlalu terbawa suasana cerita. Teriakan di luar kamar membuat aku menoleh pada pintu kamar. Celah kecil di bawah pintu itu memperlihatkan kegelapan kondisi di luar. Rupanya lampu lantai dua telah dimatikan.
"Siapa yang berteriak jam segini?"
Teriakan menggema dalam volume kecil. Beberapa barang terdengar berjatuhan di luar kamarku.
Suara langkah kaki tanpa alas menghasilkan bunyi yang halus. Suara itu semakin mendekat.
SRKKK SRKKK
Jantungku hampir jatuh ke lantai melihat kenop pintu kamarku diputar-putar.
"Apa yang terjadi? Bukankah dilarang untuk keluar kamar."Aku gusar mendengar keributan itu.
"Siapa saja tolong aku! Aku ingin keluar!" Suara itu tepat di depan pintu kamarku disertai pukulan di balik pintu.
Suara itu seperti ketakutan. Ini bukan candaan, kan?
Suara itu lenyap di depan pintu kamarku. Kini suaranya yang bergema, berlari ke ujung lorong. Dapat kubayangkan orang di luar seperti panik minta pertolongan.
Timbul rasa penasaran yang mendorongku lalu berjalan menuju pintu masuk.
Kubuka kunci pintu dan mengintip sedikit. Lantai dua hanya mengandalkan sinar bulan dari jendela sepanjang lorong. Di ujung, gadis berambut panjang, tubuhnya lebih pendek dariku, berlari menyeberangi lorong. Berbelok sambil menyuarakan permintaan tolong pada kamar yang lain.
Aku menoleh pada arah berlawanan dan tetap saja tak menemukan apa pun yang mencurigakan.
"Mungkin keluar sebentar tak apa," pikirku.
Aku berjalan ke luar melewati dua kamar dari kamarku lalu berhenti di depan pintu kamar Sakura.
"Sakura, apa kau sudah tidur? Sakura!" Aku memanggilnya dengan berbisik-bisik.
Beberapa puluh detik menunggu sambil menempelkan kuping, terdengar suara dengkuran dari dalam kamarnya.
"Ash, dia tidur mati!"
Aku berjalan pelan-pelan sambil mengepalkan tangan, tegang akan suasana suram lantai dua. Aku membuka pintu tangga dan masuk ke sana. Niatku ingin ke lantai bawah untuk memberitahukan kepada petugas penjaga di sini tentang apa yang kulihat.
Lorong tangga tak kalah gelap, mataku bahkan tak bisa membedakan mana lantai dan mana anak tangganya. Tanganku meraba-raba sekitar dan menemukan tombol lampu, akan tetapi lampu tak berhasil menyala. Dengan menyusuri pembatas tangga, aku berjalan dengan hati-hati. Salah sedikit aku akan jatuh terguling dan ditemukan bersimbah darah.
"Memang betul asrama ini gratis, tetapi untuk masalah penerangan mereka pelit sekali," aku meracau sambil berjalan.
Aura aneh menyusup di punggungku, menciptakan kewaspadaan terhadap keberadaan orang yang terasa membuntuti dari belakang.
Aku menoleh ke belakang dan terkejut melihat keberadaan seseorang. Saking terkejutnya sampai-sampai pekikan lolos dari mulutku.
Aku membungkuk sambil menyembunyikan wajah.
"Passt ... Hei, hei, Ran Yuki. Ini aku, Neil!"
Cahaya redup terpancar di anak-anak tangga. Baru aku berani menoleh padanya.
Wajah rupawan yang diliputi cahaya lilin—pria itu menatapku lekat-lekat dan keningnya mengerut, seperti kebingungan. Keberadaanya melunturkan rasa takutku. Aku mendesah membuang kegugupan.
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau tak boleh berkeliaran atau Madam akan memindahkanmu ke asrama bawah."
"Tapi maksudku untuk melaporkan—"
Dia memotong ucapanku, "Dasar gadis ceroboh! Apa yang patut dilaporkan ... maksudmu melaporkan dirimu sedang melanggar peraturan? Ayo kuantara sebelum dilihat orang lain!"
Dibantunya aku berdiri kemudian memegang tanganku dan membawa ke lantai dua.
Niel ikut ke dalam kamarku, mengamati aku berbaring lalu menutup gorden beledru sehingga kegelapan menelan semua cahaya di kamarku.
"Tidurlah yang tenang dan abaikan suara apa pun yang terdengar di luar kamar!" kata Niel seraya berjalan ke arah pintu.
Pintu yang ditariknya menciptakan celah, membuat cahaya remang di luar, masuk ke kamarku. Ditutupnya pelan pintu itu dan membiarkan kebutaan menelan seluruh tubuhku. Mataku mulai berat dan aku pun tertidur.
"Apa yang membuat gadis itu berlari kocar-kacir?" ucapku dalam hati.